“Anda satu-satunya pewaris Tuan Besar Dirga. Kakek Anda sudah semakin tua. Jadi, saya harap Anda berkenan mengabulkan permintaan Tuan Besar Dirga.”
Hening. Gallen tak menyahuti perkataan Willy. Willy pun tak berani mendesak Gallen. Hanya tatapannya terpaku penuh harap pada sang pewaris tunggal.
Kriyuuut!
Perut Gallen melayangkan protes dengan nada lantang. Menuntut haknya untuk ditunaikan. Muka Gallen bersemu merah. Merasa malu dan ingin memaki penghuni perutnya.
Willy tersadar dan merasa bersalah. Hidupnya sudah cukup lama, tetapi dia melupakan etika dasar. Dia mengundang Gallen dan Kenzie untuk makan siang. Namun, yang dia lakukan adalah menimpakan beban di pundak Gallen sebelum makan.
“Maafkan saya, Tuan Kyler! Sungguh saya orang tua yang tidak berguna.”
Willy mengode pelayan yang sedari tadi mematung beberapa langkah dari meja mereka dan dibalas dengan anggukan kepala.
“Baiklah. Kita makan siang dulu.
“Nasibmu bagus banget, Bos!” Kenzie mengintip aktivitas Gallen di jok belakang melalui kaca spion tengah. Bola matanya berpijar menggoda. “Pulang-pulang disambut hadiah mewah. Lah aku siapa yang mau ngasih perusahaan?”Kenzie mendecak, menertawakan kemalangan diri sendiri.“Nggak usah iri! Kau juga bakal kecipratan berkahnya.”“Maksud, Bos?”Otak Kenzie tak mampu mencerna dengan sempurna perkataan Gallen. Konsentrasinya sebagian besar tertuju pada roda kemudi.“Kau kan tahu aku tidak betah dengan urusan perusahaan. Jadi ya … aku tidak keberatan kau mengambil alih tugasku.”Ckiiit!Kenzie refleks menginjak pedal gas.“Bisa nyopir nggak sih?! Kau mau kita berdua mati?!” Gallen menghardik kesal sambil mengusap jidatnya yang membentur bagian belakang jok di depannya.“S–sorry, Bos! Aku nggak sengaja.” Kenzie menoleh ke b
Entakan sepatu dengan langkah tegap menggema setelah menghantam lantai. Gallen dan Kenzie serentak menoleh begitu pintu berderit pelan. Begitu pula dengan Bayu. Roman muka Bayu yang semula terlihat sedikit tegang berubah cerah dan penuh percaya diri ketika melihat dua lelaki bertubuh kekar melangkah masuk. Gallen segera mengenali Regan. Pemuda itu datang bersama seorang lelaki berseragam polisi, dengan tiga bintang emas menghias pundak. Jelas dia bukan orang sembarangan. Dengan penampilan gagahnya, lelaki itu terlihat lebih muda, padahal usianya kemungkinan besar sudah menginjak setengah abad. “Paman! Kakak! Lihat! Penjahat itu bahkan berani muncul lagi di sini!” Bayu menunjuk Gallen dengan lemparan dagu. “Maaf, aku ingin datang lebih awal ke sini, tapi masih ada pekerjaan yang harus kuselesaikan. Bagaimana kabar, Kakak?” Harris seolah tak mendengar pengaduan Bayu. “Apa yang dirasa sakit?” Harry mencoba duduk, tetapi dicegah oleh Harris, “Teta
“Tolong, jangan ambil hati perkataan anak saya, Tuan Penyelamat! Dia hanya terbawa emosi.”“Cukup panggil aku Gallen. Aku mengerti. Di usia seperti itu sebagian anak muda memang belum mampu mengontrol emosi sepenuhnya.”“Terima kasih! Aku berutang nyawa pada Anda.” Harry menunduk, merasa malu atas perlakuan kasar anaknya. “Aku janji akan menjelaskan kepada anakku.”Gallen mengusap punggung tangan Harry. “Tidak usah terlalu dipikirkan! Aku tidak apa-apa.”“Anda benar-benar anak muda berhati malaikat!”“Anda terlalu berlebihan! Aku hanya menjalankan kewajibanku sebagai sesama manusia.”Saat Harry ingin mengatakan sesuatu untuk menanggapi ucapan Gallen, ponsel Gallen berbunyi.“Maaf. Aku menerima telepon sebentar!”Gallen menjauh. Beberapa menit kemudian dia kembali. Bibirnya mengukir senyum menyaksikan Harry berbincang santai dengan ad
Harris mengeluarkan sehelai kartu nama. Saat di rumah sakit, dia lupa meminta nomor ponsel Gallen. Tidak pula ia memberikan nomor ponselnya kepada penyelamat kakaknya itu. Sekarang dia menyesal. Ternyata menemukan Gallen tidak semudah perkiraannya. “Tolong, serahkan ini kepada Gallen saat dia pulang nanti, Pak. Katakan padanya bahwa saya ingin bertemu dengannya!” “B–baik, Pak!” Harris meninggalkan rumah Gallen dengan perasaan menyesal dan kecewa. Ah, kalau saja dia tidak menganggap remeh identitas Gallen, mungkin usahanya untuk menemui lelaki itu tidak akan sia-sia. Harris pulang ke rumah Regan. Setelah berganti pakaian, dia termenung di kamarnya. Memikirkan keganjilan yang terjadi sehubungan dengan kecelakaan Harry. Harry tak mengenali siapa yang telah menabraknya. Saksi tidak ada. CCTV di lokasi itu pun tidak berfungsi. Jadi, bagaimana Gallen bisa tahu nomor kendaraan pelaku tabrak lari itu? Awalnya dia mengira alasan Gallen menyelam
“Apa kau tidak sayang meninggalkan kehidupan mewahmu?” Gallen memasang wajah prihatin. “Masa masih muda sudah mau mati.” “Kau!” Elyas menggeram marah mendengar ledekan Gallen. “Sudahlah, Bro! Percuma bicara dengan orang yang tidak berpendidikan. Hajar aja!” Salah satu rekan Elyas ikut memanas-manasi dari atas motornya. Sesekali ia memutar gas dengan kuat. Menciptakan raung yang memekakkan telinga. Benar kata pepatah lama. Temanmu adalah cerminan dirimu, maka berhati-hatilah dalam memilih teman. “Enyahlah sebelum kesabaranku habis!” Elyas mengusir Gallen dengan nada ketus. Gallen tetap tenang. Ia hanya tersenyum tipis. “Tak perlu mengusirku!” Bersamaan dengan itu, sebuah mobil berwarna silver berhenti di bibir jalan. Della pamit pada Falisha. “Itu kakakku. Daah, Faly. Sampai ketemu besok!” “Daah. Hati-hati!” Gallen menyalakan mesin. Kini saatnya mereka juga pulang. Della telah dijemput. Tidak ada
Elyas bertepuk tangan. Memberikan apresiasi sindiran terhadap keberanian Gallen menerima tantangan darinya."Bagus! Bersiaplah untuk menangis darah!""Jangan terlalu yakin!""Wah, kau masih berani sesumbar! Motor bututmu itu tidak akan bisa mengalahkan kecepatan mogeku.""Betul!" timpal rekan-rekan Elyas, lalu kompak menertawakan Gallen."Bagaimana kalau aku menang?" tanya Gallen, tak gentar dengan cemoohan Elyas dan komplotannya."Aku akan membiarkan kalian pergi.""Tidak sepadan!""Lalu apa maumu?"Iris mata Gallen berkilat terang selama sepersekian detik, tetapi Elyas tidak menyadari hal itu."Mauku?" Gallen melirik sekilas pada Falisha dan menyentuh lembut lututnya. "Kalau aku menang, aku mau kau tidak akan pernah muncul lagi di hadapan Falisha.""Apa?! Kau sengaja menjauhkan aku darinya?"Gallen mengedikkan bahu dan berkata acuh tak acuh, "Terserah apa pendapatmu! Kau boleh melupakan taruhan ini kalau tidak mau."Elyas mengeritkan gigi
Garis start dan keramaian telah jauh tertinggal. Elyas menyeringai melirik kaca spion. Gallen tak terlihat. Ia yakin kemenangan sudah di tangan. Mana mungkin motor bebek butut milik Gallen bisa mengalahkan kecepatan mogenya? Begitu yang terlintas dalam pikiran Elyas.Menyadari Elyas tak lagi terlihat, Gallen tersenyum tipis. Saatnya beraksi. Gallen menarik gas. Melaju di luar trek dengan kecepatan tinggi.Melintasi tikungan, Gallen beralih ke sisi dalam trek tanpa menarik habis rem belakang untuk mengurangi kecepatan.Tindakan seperti itu hanya akan menyebabkan beban mesin berlebih saat keluar dari tikungan. Selain itu juga mengakibatkan besutan akan terlambat melaju. Gallen tidak mau ambil risiko.Motor bebek miliknya memang butut, tetapi Gallen telah memodifikasi mesin dan beberapa bagian penting. Bahkan, mesin 1000 cc yang Gallen pakai dipesan khusus saat ia masih bekerja sebagai agen rahasia.Saat itu Gallen hanya berpikir untuk membaw
Tubuh Ghifari panas dingin. Telapak tangannya basah. Sudah hampir satu jam dia duduk berhadapan dengan polisi yang tadi siang datang ke rumahnya.Selama itu pula Ghifari senantiasa melangitkan doa agar malam ini Gallen tidak pulang.Entah apa yang dilakukan anak lelakinya itu di luar sana hingga polisi menyambangi kediaman mereka untuk mencarinya.Tidak! Gallen tidak boleh tertangkap. Dia tulang punggung keluarga. Harapan masa depan keluarga mereka.Sialnya, semesta sedang tak berpihak kepadanya. Jantung Ghifari berdebar-debar ketika mendengar suara pintu diketuk beserta salam. Itu Gallen!Bertolak belakang dengan kegundahan Ghifari, Harris tersenyum semringah. Tak sia-sia dia mendekap sabar untuk menunggu Gallen. Akhirnya sebentar lagi dia akan bertemu dengannya.Seumpama hujan turun setelah sekian lama kemarau panjang, hati Harris girang bukan kepalang. Jiwanya menari riang.Namun, dia berjuang untuk mengendalikan diri.Ghifari mengode Gallen d
"Nyonya Bellona Hopkins?!" seru Gallen, kaget. "Tidak. Anda datang pada waktu yang tepat. Mari bergabung bersama keluargaku!""Iya, Nyonya. Ayo duduk sini!" Kimi menjemput Bellona."Terima kasih!" Bellona merasa terharu dengan sambutan Gallen dan keluarganya. "Sebenarnya, aku ke sini ingin minta maaf pada Gallen atas namaku dan juga Atha. Aku terlalu serakah dan mementingkan anakku.""Seorang ibu selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Itu bisa dimaklumi, Nyonya," sahut Gallen. "Kami juga minta maaf karena telah melaporkan Anda dengan beberapa tindak kejahatan yang tidak Anda lakukan."Wajah Gallen kecut, merasa bersalah."Itu bukan kesalahanmu sepenuhnya. Wanita berhati iblis itu yang sangat pandai menipu orang." Muka Bellona menggelap. "Kalau aku tahu Bibi Rose menggunakan wajahku untuk berbuat jahat, aku pasti telah lebih dulu menyeretnya ke penjara. Dia benar-benar licik!""Dia pasti mempelajari keterampilan make-up saat berada di Korea Selatan," timpal Kimi."Betul. Itu ar
Gallen melangkah gontai memasuki rumah. Ia melewati Grizelle yang duduk santai di ruang tengah begitu saja.Namun, ketika sudut matanya menangkap bayang Grizelle saat hendak menaiki tangga, ia berbalik.Tanpa malu-malu ia merebahkan diri dan meletakkan kepala di pangkuan Grizelle yang duduk berjuntai di atas sofa.Grizelle mengelus rambut Gallen yang jatuh ke kening."Kamu dari mana saja? Aku sangat khawatir. Teleponmu tidak aktif."Gallen merogoh saku, mengeluarkan ponsel. "Ck! Baterainya habis.""Sini! Kubantu mengisikan dayanya.""Nanti saja! Aku masih mau seperti ini." Gallen menaruh ponsel di atas meja, lalu melingkarkan lengan pada pinggang Grizelle.Saat hatinya sedang galau dan pikiran kacau, berbaring di pangkuan Grizelle bikin nyaman.Wangi vanila berpadu dengan aroma alami tubuh Grizelle menghadirkan perasaan tenang di hati Gallen.Setelah cukup lama menikmati kehangatan pangkuan Grizelle, Gallen bangkit. Mengecup kening Grizelle."Terima kasih. Bersamamu, aku selalu merasa
"Kenapa? Kaget? Hahaha ...."Wanita itu tak peduli dengan keberadaan polisi dan tangannya yang terbogol. Ia tertawa, seperti telah kehilangan kewarasannya.Gallen bukan hanya kaget, tapi syok. Tak menyangka orang yang selama ini dikenalnya begitu baik dan berada di pihaknya, ternyata merupakan dalang dari segala kemalangan yang menimpa keluarganya."Bibi Rose, katakan bahwa ini tidak benar!""Hahaha ... sayangnya, inilah kenyataannya."Gallen menggeleng-geleng. Masih sulit memercayai kebenaran yang terpampang di depan mata."Kenapa, Bi? Bukankah nenekku selalu memperlakukan Bibi dengan baik?"Gallen masih ingat, walaupun samar, neneknya tidak pernah memperlakukan Bibi Rose dengan kasar.Rianna bahkan memercayai Bibi Rose menjadi pelayan pribadinya. Neneknya bahkan tak pernah perhitungan dalam membelikan pakaian dan memenuhi kebutuhan Bibi Rose.Tapi lihat balasan yang diberikan wanita itu! Hanya pengkhianatan terhadap keluarganya."Baik? Cih! Nenekmu bahkan lebih licik dari seekor rub
"Bro, target memasuki perangkap. Kau ingin melihat langsung?""Aku sudah berada di lokasi. Di mana kau?"Gallen berdiri di belakang sebuah tiang besar, mengawasi seorang wanita yang baru saja turun dari mobil.Wanita itu memakai setelan tunik dan celana panjang yang terlihat modis. Sehelai masker dan kacamata hitam berbingkai lebar menutupi wajahnya yang lonjong.Sebuah topi bulat dengan hiasan sekuntum bunga teratai mekar meneduhi wajahnya yang tersembunyi dari terik matahari."Arah jam sembilan."Gallen mengerling ke titik yang disebutkan. Tampak bayangan Regan duduk di belakang roda kemudi, berlagak sedang membersihkan dashboard. Namun, matanya sering kali mengerling ke pintu gerbang."Aku pada titik jam satu."Pandangan keduanya segera bertemu begitu Gallen menutup panggilan telepon.Regan tersenyum seraya mengangguk ringan.Wanita itu telah memasuki lobi hotel. Regan mengikuti dari belakang layaknya juga seorang pengunjung.Gallen berjalan memutar. Memasuki hotel lewat pintu khusu
"Laura, memaafkan dan kembali bersama adalah dua hal yang berbeda! Jangan mengharapkan lebih dari apa yang dapat kuberikan dan pantas untuk kau dapatkan!"Binar di mata Laura sirna seketika. Tatapannya luruh ke tanah."Tapi aku masih sangat mencintaimu, Gallen! Tak bisakah kamu menceraikan istrimu dan kembali padaku?""Laura, rumah tangga bukan hanya tentang rasa cinta, tapi tentang komitmen dan saling percaya."Cinta adalah ungkapan rasa hati. Dan asal kau tahu, hati itu sangat rapuh. Mudah sekali terbolak-balik, seperti musim yang terus berganti."Sementara komitmen adalah keteguhan hati dalam memegang janji suci. Tak peduli sekuat apa semesta mengguncangnya, ia tak akan berubah. Tetap setia melewati berbagai cobaan dan rintangan."Namun, sekali komitmen itu hancur, maka yang tersisa hanyalah serpihan tak berwujud, dan tak akan pernah bisa kembali utuh seperti semula."Kau bukan hanya telah menghancurkan komitmen cintamu denganku, Laura, tapi juga telah membuangnya. Apa lagi yang bi
Hening!Orang itu tak menyahuti perkataan Gallen. Ia sama sekali tak membantah tuduhan Gallen."Siapa kau?"Gallen menekan beberapa titik di punggung orang itu dengan gerakan cepat. Mengunci tubuhnya agar tak bisa melarikan diri."Kamu apakan badanku, hah?! Lepaskan aku!"Gallen terkesiap. Ternyata sosok yang bersembunyi di balik coat panjang dengan kepala tertutup hoodie lebar itu adalah seorang perempuan."Kau tidak akan ke mana-mana sebelum aku mendapatkan apa yang kuinginkan darimu," bisik Gallen, dengan nada penuh penekanan.Beberapa pasang mata, dari orang-orang yang melintas hendak keluar masuk Rumah Sakit, mengerling curiga pada Gallen.Gallen pindah ke hadapan wanita itu. Tegak dengan sebelah tangan bersembunyi dalam saku celana.Posisi mereka seperti dua orang kenalan yang saling bercengkerama.Keinginan wanita itu untuk kabur dari Gallen melebihi kuatnya terjangan ombak yang mengempas batu karang. Sayang, sekujur tubuhnya tak bisa digerakkan."Tolong, lepaskan aku! Aku janj
"Ada apa ini? Kenapa semua terlihat canggung?" tanya Grizelle, merasa tak enak hati karena masuk tanpa mengetuk pintu."Ah, itu hanya perasaanmu saja!"Gallen menyongsong Grizelle, mengambil alih tas berukuran kecil, yang berisi pakaian Kimi."Instingku tak pernah salah," bisik Grizelle. "Aura ruangan ini agak aneh."Gallen tersenyum simpul. Ia akui Grizelle memiliki kepekaan yang luar biasa. Pantas saja ia tak pernah gagal dalam menyelidiki kasus kliennya."God! Ayah juga di sini?" seru Grizelle, bergegas menyalami Grath. "Huh! Sekarang aku tahu kenapa ruangan ini terasa aneh. Ternyata Adam dan Hawa bertemu kembali setelah terlempar dari surga ke belahan dunia yang berbeda.""Greeze, apa yang kamu katakan?" Pipi Kimi merona merah.Perumpamaan yang disematkan Grizelle pada dirinya dan Grath menurutnya terlalu berlebihan."Wah, Ayah juga sudah sembuh? Luar biasa! Memang ya ... lelaki akan melupakan segala rasa sakit dan kesedihannya begitu melihat senyum menawan sang istri," imbuh Griz
"Penjahat seperti David Kyler tidak akan mampu menyentuhku, Bu. Ibu tidak perlu mencemaskan aku. Pikirkan saja kesehatan Ibu! Ibu harus segera sembuh.""Kamu juga tidak perlu mengkhawatirkan aku secara berlebihan."Gallen meraih jemari Kimi. "Bu, aku takut. Jika terjadi sesuatu yang buruk pada Ibu, aku akan merasa bersalah seumur hidup. Aku akan dihantui perasaan menyesal.""Gallen, tidak ada yang perlu disesali dari sebuah takdir. Cepat atau lambat, kita semua akan meninggalkan dunia ini.""Aku tahu, Bu. Tapi aku akan menyesal karena aku belum sempat mempertemukan Ibu dengan ayah.""Kamu tidak perlu melakukan itu, Gallen." Kimi melengos. Matanya terasa panas."Kenapa? Apa Ibu tak lagi mencintai ayah?""Bukan. Bukan karena itu. Seumur hidupku, aku hanya mencintai satu orang pria. Dan Pria itu adalah ayahmu."Aku tidak pernah mencintai lelaki lain, dan tidak akan pernah bisa.""Tapi, kenapa Ibu tidak mau bertemu dengan ayah? Selama ini ayah juga menderita, Bu."Kimi berusaha untuk dudu
Bugh!Tendangan Gallen melempar David hingga menghantam dinding dan menyebabkan dinding itu jebol."Bawa dia!" titah Gallen pada dua orang anak buah Kenzie yang menonton aksinya."S–siap, Komandan!"Mereka gugup melihat kehebatan Gallen. Tak terbayang jika mereka yang berada di posisi David. Mengerikan.Cepat-cepat mereka mengangkat sosok David yang tergeletak di tanah.Suara dering ponsel memecah kesunyian di kamar isolasi Grath.Thomas meninggalkan komputer yang memuat laporan perkembangan kesehatan Grath. Berjalan sedikit menjauh setelah membaca nama Gallen pada layar monitor."Firasatku tidak enak menerima panggilan telepon darimu pagi-pagi begini," ujar Thomas dengan suara lirih."Apa istriku bersama Kakek? Aku tidak bisa menghubunginya.""Tidak. Ada apa?""Kek, kalau Grizelle datang menemui Kakek, tolong minta dia untuk ke rumah ibuku, mengambil baju. Ibuku dirawat di Rumah Sakit.""Ibumu dirawat?! Apa yang terjadi? Apa dia baik-baik saja?""Ceritanya panjang, Kek. Aku masih ada