"Apa kau tidak dengar kakekmu bilang untuk membiarkan aku pergi?" Gallen melirik jemari Atha yang mencengkeram pundaknya. "Singkirkan tanganmu dari tubuhku dan fokuslah untuk merawat kakekmu!"Dengan sekali sentak, Gallen berhasil melepaskan cengkeraman Atha.Luka Stephen tak terlalu parah. Tidak ada alasan baginya untuk menghabiskan waktu dalam ruangan dengan aroma yang membikin pusing kepala.Jauh dalam lubuk hati, sungguh Gallen tak tega mengucapkan rangkaian kata pedas yang dapat menyakiti perasaan Stephen.Namun, teringat betapa kejamnya lelaki sepuh itu terhadap keluarganya, rasanya tak masalah jika dia sedikit memberi peringatan.Syukur-syukur hati Stephen tergerak untuk mengakui kesalahannya dan minta maaf. Kalaupun hati Stephen tetap membatu, setidaknya ia telah memberi kesempatan.Stephen tak punya hak lagi untuk menyalahkannya suatu hari nanti bila ia benar-benar melaporkan lelaki renta itu ke polisi.Terik mentari di atas kepala. Gallen tiba di rumah ketika waktu menunjukk
Kamar rahasia di mana Grath disekap tak lagi lengang.Dua lelaki usia kepala empat sibuk melepas peralatan medis yang melekat di tubuh Grath. Mereka mendorong brankar dan menaikkannya ke mobil SUV berwarna hitam."Tuan Kyler, apa Anda yakin mengirimnya tanpa didampingi tenaga medis?" tanya lelaki berjas putih dengan rambut sedikit gimbal.Sebagai dokter, nalurinya masih menyisakan kekhawatiran.Ah, kalau saja dia bisa melepaskan diri dari jerat kekuatan seorang David Kyler, ia pasti telah melarikan diri dari markas terkutuk itu.Nuraninya sebagai dokter terus saja berperang dan merasa sangat tertekan selama bekerja untuk David."Kalian sudah mengikatnya dengan erat, bukan?""Sudah, Tuan.""Kalian yakin obat-obatan yang kalian suntikkan mampu membuatnya bertahan selama enam jam ke depan?""Yakin, Tuan.""Pergilah! Tugas kalian selesai untuk hari ini," usir David. "Kalian akan menyusulnya dengan kendaraan yang lain.""Berangkat sekarang, Tuan Kyler?" tanya lelaki berwajah bulat setelah
Gallen merasakan brankar bergerak miring, kemudian meluncur turun secara perlahan.Tiba-tiba kecepatan luncuran brankar itu berubah drastis.Lelaki berjas putih itu tanpa sadar melepaskan pegangan tangannya ketika hendak menerima panggilan telepon.Putaran roda brankar membawa Gallen bak papan ski yang meluncur bebas dari bukit salju.Gallen berpegangan erat pada sisi brankar agar tidak terbanting jatuh.Lelaki berjas putih melotot kaget menyadari kelalaiannya. Cepat-cepat ia berlari, memburu brankar yang meluncur deras."Ya, Tuan! Paket sudah diterima dengan baik!" teriaknya, dengan napas tersengal-sengal.Grep!Ia berhasil menyambar pegangan brankar sebelum ujung besi itu menghantam dinding.Fiuh!Lelaki itu mengibaskan peluh di keningnya dengan punggung tangan."Hampir saja!" lirihnya, mengelus dada.Setelah berhasil menundukkan kecemasannya, ia memutar brankar, mendorongnya menuju ruangan khusus."Dia tanggung jawabmu sekarang!""Kau boleh pergi!"Pintu berderit halus. Gallen mera
"Kenapa kaget? Kau tidak suka melihat kedatanganku?"Nada dingin dari suara David yang arogan dan tak bersahabat membuat udara di ruangan itu turun hingga ke titik yang mampu membekukan darah."Tuan ... saya sedang sibuk. Anda boleh datang setelah saya menyelesaikan apa yang menjadi tugas saya.""Professor Dayyan, peraturan Anda hanya berlaku untuk kaki tanganku. Aku penguasa di sini. Dan Anda bekerja untukku."Thomas tak berdaya, tapi ia harus melindungi keberadaan Gallen dari David."Tuan, mohon mengertilah! Tunggulah sebentar lagi! Aku hanya butuh sedikit waktu lagi untuk memasangkan kabel terakhir."Braak!Tendangan kuat pada daun pintu menjadi jawaban bagi permohonan Thomas.Wajah David menegang dan gelap ketika ia menerobos masuk dengan langkah pongah. Dadanya membusung tinggi.Ia mengedarkan pandangan berkeliling dengan mata menyipit. Ayunan kakinya menjangkau setiap sudut yang menyimpan benda-benda berukuran tinggi dan cukup besar.Firasatnya sedari tadi gelisah. Dan ketika me
Thomas dan Gallen perlahan balik kanan.Seorang lelaki berseragam hitam menodongkan moncong senjata api kepada mereka berdua."Kami sedang terburu-buru," kata Thomas, tenang. "Tolong jangan menghambat! Atau pasien dalam ruangan itu akan mati."Kata 'pasien dalam ruangan itu' memiliki kekuatan super yang sangat ampuh manaklukkan lelaki berseragam hitam tersebut. Ia menyimpan kembali senjata api miliknya setelah menyelisik ekspresi Thomas dan Gallen selama beberapa waktu."Baiklah. Silakan, Prof!" Lelaki itu berbalik pergi."Kita harus lebih cepat!" kata Thomas. "Untung kau memiliki kemampuan mengubah wajah yang sangat mumpuni."Gallen memang sempat merias diri menyerupai tenaga medis yang menggantikan posisi ayahnya sambil menyimak penuturan Thomas di ruang khusus tadi.Langit malam bermuram durja dalam pelukan kelam. Tak satu pun bintang menampakkan diri. Rembulan entah di mana bersembunyi.Binatang malam yang biasanya bernyanyi mendadak sunyi, bersama semilir angin yang berhenti.Gal
Thomas melayangkan tatapan misterius pada Gallen.Gallen berkedip, seakan berkata, 'Aku baik-baik saja, Kek. Pergilah!'"Jangan sakiti asistenku!" pesan Thomas sebelum beranjak pergi.Bertahun-tahun mengenal Thomas, Jeremy sangat memahami karakter sang profesor jenius.Ia tak akan peduli dengan nyawanya sendiri. Tetapi jika menyangkut nyawa orang-orang yang bekerja untuknya, apa pun alasannya, Thomas tidak akan pernah mengorbankan mereka.Thomas akan memilih untuk mengorbankan dirinya demi menyelamatkan asistennya. Itulah kenapa lelaki berusia senja itu membiarkan sang asisten yang mengambil pesanannya.Thomas tak akan marah, bahkan mungkin malah bersyukur, bila sang asisten memilih kabur dan tak pernah kembali.Jeremy tidak bodoh. Ia tidak akan membiarkan hal itu terjadi.Thomas berbalik sebelum mencapai pintu gerbang."Kenapa? Pesanan obat itu hanya trik Anda untuk melarikan diri?" ejek Jeremy. Moncong senjatanya masih mengancam nyawa Gallen.Thomas menggeleng. "Aku sudah terlalu tu
Gallen berbalik. Matanya yang tajam memindai keberadaan Thomas di tengah kegelapan."Lari, Dokter! Ambil obatnya!" Thomas berteriak dari sisi kiri Gallen.Profesor tua itu cukup piawai bersandiwara.Suara Thomas terdengar normal. Tidak ada getar ketakutan ataupun rasa sakit.Rupanya letusan senjata itu hanyalah sebuah tembakan peringatan dari salah satu pria berseragam hitam yang menyerang langit.Ia sengaja melakukan hal itu, lantaran dua orang yang menjadi target mereka tak mengindahkan teriakannya."Jangan biarkan mereka lolos!" teriak lelaki berambut jabrik. "Aku akan membawa Jeremy masuk."Lelaki itu menggendong Jeremy di punggungnya.Gallen membiarkan saja lelaki itu pergi. Lawan jadi berkurang satu."Tunggu apa lagi, Dokter? Pergi! Ambil obatnya!" Sekali lagi Thomas mengusir Gallen.Kehadiran dua orang penjaga pintu gerbang memicu rasa cemas di hati Thomas.Ia tidak akan bisa memaafkan diri sendiri andai Gallen meregang nyawa malam ini. Cucunya masih terlalu muda untuk menjadi
Gallen tak peduli. Ia mengamati pintu gerbang dengan saksama. Mengukur ketebalan dan ketinggian pintu besi itu, agar ia tahu seberapa besar kekuatan yang harus ia keluarkan untuk mendobraknya."Kalian akan merasakan kemurkaan Tuan Kyler jika kalian tetap pergi dan pasien itu mati!"Lelaki bergelang karet itu bertambah gusar. Hatinya gatal ingin memburu Gallen yang terlihat tak acuh dengan peringatannya, tetapi kakinya terpasak ke tanah.Kalau terjadi sesuatu yang buruk pada pasien tunggal David, dia dan rekan kerjanya juga akan terkena imbas dari ankara murka sang tuan kejam.Gallen mengerahkan tujuh puluh persen kekuatannya ke kaki.Braak!Dengan satu tendangan, pintu gerbang itu menyibak dengan suara yang sangat berisik.Sebuah minivan hitam beringsut menyambut Gallen.Seorang lelaki membukakan pintu dan membantu Gallen membaringkan Thomas di kursi penumpang.Setelah Gallen duduk di samping Kenzie yang memegang kemudi, lelaki itu pindah ke mobil lain yang berada di belakang minivan.
"Nyonya Bellona Hopkins?!" seru Gallen, kaget. "Tidak. Anda datang pada waktu yang tepat. Mari bergabung bersama keluargaku!""Iya, Nyonya. Ayo duduk sini!" Kimi menjemput Bellona."Terima kasih!" Bellona merasa terharu dengan sambutan Gallen dan keluarganya. "Sebenarnya, aku ke sini ingin minta maaf pada Gallen atas namaku dan juga Atha. Aku terlalu serakah dan mementingkan anakku.""Seorang ibu selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Itu bisa dimaklumi, Nyonya," sahut Gallen. "Kami juga minta maaf karena telah melaporkan Anda dengan beberapa tindak kejahatan yang tidak Anda lakukan."Wajah Gallen kecut, merasa bersalah."Itu bukan kesalahanmu sepenuhnya. Wanita berhati iblis itu yang sangat pandai menipu orang." Muka Bellona menggelap. "Kalau aku tahu Bibi Rose menggunakan wajahku untuk berbuat jahat, aku pasti telah lebih dulu menyeretnya ke penjara. Dia benar-benar licik!""Dia pasti mempelajari keterampilan make-up saat berada di Korea Selatan," timpal Kimi."Betul. Itu ar
Gallen melangkah gontai memasuki rumah. Ia melewati Grizelle yang duduk santai di ruang tengah begitu saja.Namun, ketika sudut matanya menangkap bayang Grizelle saat hendak menaiki tangga, ia berbalik.Tanpa malu-malu ia merebahkan diri dan meletakkan kepala di pangkuan Grizelle yang duduk berjuntai di atas sofa.Grizelle mengelus rambut Gallen yang jatuh ke kening."Kamu dari mana saja? Aku sangat khawatir. Teleponmu tidak aktif."Gallen merogoh saku, mengeluarkan ponsel. "Ck! Baterainya habis.""Sini! Kubantu mengisikan dayanya.""Nanti saja! Aku masih mau seperti ini." Gallen menaruh ponsel di atas meja, lalu melingkarkan lengan pada pinggang Grizelle.Saat hatinya sedang galau dan pikiran kacau, berbaring di pangkuan Grizelle bikin nyaman.Wangi vanila berpadu dengan aroma alami tubuh Grizelle menghadirkan perasaan tenang di hati Gallen.Setelah cukup lama menikmati kehangatan pangkuan Grizelle, Gallen bangkit. Mengecup kening Grizelle."Terima kasih. Bersamamu, aku selalu merasa
"Kenapa? Kaget? Hahaha ...."Wanita itu tak peduli dengan keberadaan polisi dan tangannya yang terbogol. Ia tertawa, seperti telah kehilangan kewarasannya.Gallen bukan hanya kaget, tapi syok. Tak menyangka orang yang selama ini dikenalnya begitu baik dan berada di pihaknya, ternyata merupakan dalang dari segala kemalangan yang menimpa keluarganya."Bibi Rose, katakan bahwa ini tidak benar!""Hahaha ... sayangnya, inilah kenyataannya."Gallen menggeleng-geleng. Masih sulit memercayai kebenaran yang terpampang di depan mata."Kenapa, Bi? Bukankah nenekku selalu memperlakukan Bibi dengan baik?"Gallen masih ingat, walaupun samar, neneknya tidak pernah memperlakukan Bibi Rose dengan kasar.Rianna bahkan memercayai Bibi Rose menjadi pelayan pribadinya. Neneknya bahkan tak pernah perhitungan dalam membelikan pakaian dan memenuhi kebutuhan Bibi Rose.Tapi lihat balasan yang diberikan wanita itu! Hanya pengkhianatan terhadap keluarganya."Baik? Cih! Nenekmu bahkan lebih licik dari seekor rub
"Bro, target memasuki perangkap. Kau ingin melihat langsung?""Aku sudah berada di lokasi. Di mana kau?"Gallen berdiri di belakang sebuah tiang besar, mengawasi seorang wanita yang baru saja turun dari mobil.Wanita itu memakai setelan tunik dan celana panjang yang terlihat modis. Sehelai masker dan kacamata hitam berbingkai lebar menutupi wajahnya yang lonjong.Sebuah topi bulat dengan hiasan sekuntum bunga teratai mekar meneduhi wajahnya yang tersembunyi dari terik matahari."Arah jam sembilan."Gallen mengerling ke titik yang disebutkan. Tampak bayangan Regan duduk di belakang roda kemudi, berlagak sedang membersihkan dashboard. Namun, matanya sering kali mengerling ke pintu gerbang."Aku pada titik jam satu."Pandangan keduanya segera bertemu begitu Gallen menutup panggilan telepon.Regan tersenyum seraya mengangguk ringan.Wanita itu telah memasuki lobi hotel. Regan mengikuti dari belakang layaknya juga seorang pengunjung.Gallen berjalan memutar. Memasuki hotel lewat pintu khusu
"Laura, memaafkan dan kembali bersama adalah dua hal yang berbeda! Jangan mengharapkan lebih dari apa yang dapat kuberikan dan pantas untuk kau dapatkan!"Binar di mata Laura sirna seketika. Tatapannya luruh ke tanah."Tapi aku masih sangat mencintaimu, Gallen! Tak bisakah kamu menceraikan istrimu dan kembali padaku?""Laura, rumah tangga bukan hanya tentang rasa cinta, tapi tentang komitmen dan saling percaya."Cinta adalah ungkapan rasa hati. Dan asal kau tahu, hati itu sangat rapuh. Mudah sekali terbolak-balik, seperti musim yang terus berganti."Sementara komitmen adalah keteguhan hati dalam memegang janji suci. Tak peduli sekuat apa semesta mengguncangnya, ia tak akan berubah. Tetap setia melewati berbagai cobaan dan rintangan."Namun, sekali komitmen itu hancur, maka yang tersisa hanyalah serpihan tak berwujud, dan tak akan pernah bisa kembali utuh seperti semula."Kau bukan hanya telah menghancurkan komitmen cintamu denganku, Laura, tapi juga telah membuangnya. Apa lagi yang bi
Hening!Orang itu tak menyahuti perkataan Gallen. Ia sama sekali tak membantah tuduhan Gallen."Siapa kau?"Gallen menekan beberapa titik di punggung orang itu dengan gerakan cepat. Mengunci tubuhnya agar tak bisa melarikan diri."Kamu apakan badanku, hah?! Lepaskan aku!"Gallen terkesiap. Ternyata sosok yang bersembunyi di balik coat panjang dengan kepala tertutup hoodie lebar itu adalah seorang perempuan."Kau tidak akan ke mana-mana sebelum aku mendapatkan apa yang kuinginkan darimu," bisik Gallen, dengan nada penuh penekanan.Beberapa pasang mata, dari orang-orang yang melintas hendak keluar masuk Rumah Sakit, mengerling curiga pada Gallen.Gallen pindah ke hadapan wanita itu. Tegak dengan sebelah tangan bersembunyi dalam saku celana.Posisi mereka seperti dua orang kenalan yang saling bercengkerama.Keinginan wanita itu untuk kabur dari Gallen melebihi kuatnya terjangan ombak yang mengempas batu karang. Sayang, sekujur tubuhnya tak bisa digerakkan."Tolong, lepaskan aku! Aku janj
"Ada apa ini? Kenapa semua terlihat canggung?" tanya Grizelle, merasa tak enak hati karena masuk tanpa mengetuk pintu."Ah, itu hanya perasaanmu saja!"Gallen menyongsong Grizelle, mengambil alih tas berukuran kecil, yang berisi pakaian Kimi."Instingku tak pernah salah," bisik Grizelle. "Aura ruangan ini agak aneh."Gallen tersenyum simpul. Ia akui Grizelle memiliki kepekaan yang luar biasa. Pantas saja ia tak pernah gagal dalam menyelidiki kasus kliennya."God! Ayah juga di sini?" seru Grizelle, bergegas menyalami Grath. "Huh! Sekarang aku tahu kenapa ruangan ini terasa aneh. Ternyata Adam dan Hawa bertemu kembali setelah terlempar dari surga ke belahan dunia yang berbeda.""Greeze, apa yang kamu katakan?" Pipi Kimi merona merah.Perumpamaan yang disematkan Grizelle pada dirinya dan Grath menurutnya terlalu berlebihan."Wah, Ayah juga sudah sembuh? Luar biasa! Memang ya ... lelaki akan melupakan segala rasa sakit dan kesedihannya begitu melihat senyum menawan sang istri," imbuh Griz
"Penjahat seperti David Kyler tidak akan mampu menyentuhku, Bu. Ibu tidak perlu mencemaskan aku. Pikirkan saja kesehatan Ibu! Ibu harus segera sembuh.""Kamu juga tidak perlu mengkhawatirkan aku secara berlebihan."Gallen meraih jemari Kimi. "Bu, aku takut. Jika terjadi sesuatu yang buruk pada Ibu, aku akan merasa bersalah seumur hidup. Aku akan dihantui perasaan menyesal.""Gallen, tidak ada yang perlu disesali dari sebuah takdir. Cepat atau lambat, kita semua akan meninggalkan dunia ini.""Aku tahu, Bu. Tapi aku akan menyesal karena aku belum sempat mempertemukan Ibu dengan ayah.""Kamu tidak perlu melakukan itu, Gallen." Kimi melengos. Matanya terasa panas."Kenapa? Apa Ibu tak lagi mencintai ayah?""Bukan. Bukan karena itu. Seumur hidupku, aku hanya mencintai satu orang pria. Dan Pria itu adalah ayahmu."Aku tidak pernah mencintai lelaki lain, dan tidak akan pernah bisa.""Tapi, kenapa Ibu tidak mau bertemu dengan ayah? Selama ini ayah juga menderita, Bu."Kimi berusaha untuk dudu
Bugh!Tendangan Gallen melempar David hingga menghantam dinding dan menyebabkan dinding itu jebol."Bawa dia!" titah Gallen pada dua orang anak buah Kenzie yang menonton aksinya."S–siap, Komandan!"Mereka gugup melihat kehebatan Gallen. Tak terbayang jika mereka yang berada di posisi David. Mengerikan.Cepat-cepat mereka mengangkat sosok David yang tergeletak di tanah.Suara dering ponsel memecah kesunyian di kamar isolasi Grath.Thomas meninggalkan komputer yang memuat laporan perkembangan kesehatan Grath. Berjalan sedikit menjauh setelah membaca nama Gallen pada layar monitor."Firasatku tidak enak menerima panggilan telepon darimu pagi-pagi begini," ujar Thomas dengan suara lirih."Apa istriku bersama Kakek? Aku tidak bisa menghubunginya.""Tidak. Ada apa?""Kek, kalau Grizelle datang menemui Kakek, tolong minta dia untuk ke rumah ibuku, mengambil baju. Ibuku dirawat di Rumah Sakit.""Ibumu dirawat?! Apa yang terjadi? Apa dia baik-baik saja?""Ceritanya panjang, Kek. Aku masih ada