Thomas melayangkan tatapan misterius pada Gallen.Gallen berkedip, seakan berkata, 'Aku baik-baik saja, Kek. Pergilah!'"Jangan sakiti asistenku!" pesan Thomas sebelum beranjak pergi.Bertahun-tahun mengenal Thomas, Jeremy sangat memahami karakter sang profesor jenius.Ia tak akan peduli dengan nyawanya sendiri. Tetapi jika menyangkut nyawa orang-orang yang bekerja untuknya, apa pun alasannya, Thomas tidak akan pernah mengorbankan mereka.Thomas akan memilih untuk mengorbankan dirinya demi menyelamatkan asistennya. Itulah kenapa lelaki berusia senja itu membiarkan sang asisten yang mengambil pesanannya.Thomas tak akan marah, bahkan mungkin malah bersyukur, bila sang asisten memilih kabur dan tak pernah kembali.Jeremy tidak bodoh. Ia tidak akan membiarkan hal itu terjadi.Thomas berbalik sebelum mencapai pintu gerbang."Kenapa? Pesanan obat itu hanya trik Anda untuk melarikan diri?" ejek Jeremy. Moncong senjatanya masih mengancam nyawa Gallen.Thomas menggeleng. "Aku sudah terlalu tu
Gallen berbalik. Matanya yang tajam memindai keberadaan Thomas di tengah kegelapan."Lari, Dokter! Ambil obatnya!" Thomas berteriak dari sisi kiri Gallen.Profesor tua itu cukup piawai bersandiwara.Suara Thomas terdengar normal. Tidak ada getar ketakutan ataupun rasa sakit.Rupanya letusan senjata itu hanyalah sebuah tembakan peringatan dari salah satu pria berseragam hitam yang menyerang langit.Ia sengaja melakukan hal itu, lantaran dua orang yang menjadi target mereka tak mengindahkan teriakannya."Jangan biarkan mereka lolos!" teriak lelaki berambut jabrik. "Aku akan membawa Jeremy masuk."Lelaki itu menggendong Jeremy di punggungnya.Gallen membiarkan saja lelaki itu pergi. Lawan jadi berkurang satu."Tunggu apa lagi, Dokter? Pergi! Ambil obatnya!" Sekali lagi Thomas mengusir Gallen.Kehadiran dua orang penjaga pintu gerbang memicu rasa cemas di hati Thomas.Ia tidak akan bisa memaafkan diri sendiri andai Gallen meregang nyawa malam ini. Cucunya masih terlalu muda untuk menjadi
Gallen tak peduli. Ia mengamati pintu gerbang dengan saksama. Mengukur ketebalan dan ketinggian pintu besi itu, agar ia tahu seberapa besar kekuatan yang harus ia keluarkan untuk mendobraknya."Kalian akan merasakan kemurkaan Tuan Kyler jika kalian tetap pergi dan pasien itu mati!"Lelaki bergelang karet itu bertambah gusar. Hatinya gatal ingin memburu Gallen yang terlihat tak acuh dengan peringatannya, tetapi kakinya terpasak ke tanah.Kalau terjadi sesuatu yang buruk pada pasien tunggal David, dia dan rekan kerjanya juga akan terkena imbas dari ankara murka sang tuan kejam.Gallen mengerahkan tujuh puluh persen kekuatannya ke kaki.Braak!Dengan satu tendangan, pintu gerbang itu menyibak dengan suara yang sangat berisik.Sebuah minivan hitam beringsut menyambut Gallen.Seorang lelaki membukakan pintu dan membantu Gallen membaringkan Thomas di kursi penumpang.Setelah Gallen duduk di samping Kenzie yang memegang kemudi, lelaki itu pindah ke mobil lain yang berada di belakang minivan.
Hati Gallen terenyuh menyaksikan sosok Grath yang terbaring tak berdaya.Wajah tirus sang ayah tampak sepuluh tahun lebih tua dari usia sebenarnya.Dagingnya hanya menyisakan kulit pembalut tulang, dengan warna yang sangat pucat, lantaran lama tak terjamah oleh cahaya matahari pagi."Maafkan aku, Gallen! Tak banyak yang dapat kulakukan untuk menyelamatkan ayahmu." Thomas yang berdiri di samping Gallen merasa bersalah. Tatapan ibanya menyapu wajah pucat Grath."Ini semua bukan salah Kakek. Aku bersyukur ayahku masih hidup, walaupun butuh waktu untuk memulihkan kondisi kesehatannya.""Kau benar! Sayang sekali aku hanya mampu mencegah kondisinya bertambah parah," lirih Thomas. "Andai aku punya akses untuk mendapatkan obat, ayahmu tentu bisa pulih lebih cepat.""Tidak apa, Kek. Itu saja sudah membuatku senang. Kalau Kakek tidak berinisiatif untuk membuang diam-diam obat yang akan disuntikkan ke tubuh ayahku, mungkin aku tidak akan pernah melihatnya lagi.""Sudah menjadi takdirmu masih dip
"Pertanyaan Kakek akan terjawab setelah kita berhasil membangunkan ayahku.""Aku tidak tahu seberapa banyak dosis obat yang disuntikkan ke tubuh ayahmu, tapi kalau dilihat dari kepentingan David, seharusnya itu hanya bertahan dalam hitungan jam."Thomas mengecek mata dan ujung jemari Grath."Selama ini dia masih sadar. Hanya berpura-pura koma di hadapan orang lain. Dia masih mampu mengontrol pikirannya hingga tak terbaca oleh peralatan canggih itu.""Alhamdulillah." Gallen tersenyum lebar. "Sebenarnya, obat apa yang disuntikkan David ke tubuh ayahku?""Semacam pelumpuh saraf, yang bekerja secara bertahap," jelas Thomas. "Dokter muda itu bertindak tepat waktu. Dia memutus pemberian dosisnya. Jika tidak, ayahmu akan kehilangan kemampuan gerak dan bicara secara total."Selama ini, diam-diam aku melakukan terapi saraf pada ayahmu, tapi hasilnya bekerja dengan lambat. Aku tidak berani mengambil risiko dengan kesembuhan yang mencolok.""Hem, aku mengerti." Gallen mengangguk. "Aku telah meng
"Apa kamu berniat untuk membunuh dirimu sendiri hanya karena patah hati?" omel Erina. "Sejak menceraikan Claretta, kamu kembali pada kebiasaan burukmu dan tak lagi peduli pada perusahaan."Erina meraih koran pagi, ikut duduk di dekat Abizam yang sedang menikmati secangkir kopi dengan kepulan asap rokok yang menyesakkan dada.Ia mengusir gumpalan kabut beraroma nikotin itu dengan kibasan koran.Abizam mematikan rokoknya pada asbak yang nyaris penuh.Bel berteriak memanggil.Erina memonyongkan bibir. Amarah pada Abizam tak puas tersalurkan.Sebaliknya, Abizam merasa terselamatkan dari khotbah membosankan yang memekakkan telinga.Ia memanfaatkan momen itu untuk kabur dari sang ibu."Selamat pagi, Pak. Dengan Pak Abizam?" Dua orang polisi berseragam lengkap berdiri di depan pintu.Abizam spontan melangkah mundur. Peluh di keningnya terbit seketika. Ia berbalik dan berlari, meninggalkan sang polisi yang saling lirik, lalu mengangguk.Keduanya merangsek masuk tanpa permisi, memburu Abizam y
"Biarkan polisi menjalankan tugasnya, Erin!"Langkah Erina terhenti mendengar suara bariton yang begitu khas.Hingga nyawanya lepas dari raga, ia tidak akan pernah melupakan pemilik suara itu.Jantung Erina berdegup kencang. Ia berbalik. Matanya melotot kala melihat sosok Thomas berdiri di tengah pintu sambil merentangkan kedua tangan."Aku kembali, Sayang!" Thomas tersenyum hangat. Matanya berkaca-kaca. Menatap penuh kerinduan pada sosok Erina yang tampak jauh lebih kurus daripada terakhir kali ia melihatnya."Thomas, ini benar-benar kamu?" Erina menyeret langkah berat, seakan tak percaya pada penglihatannya."Ya. Aku kembali, untukmu dan Grizelle."Erina lupa pada usianya yang tak lagi muda. Ia menghambur ke dalam pelukan Thomas. Mengabaikan oknum polisi muda dan Grizelle yang terlihat salah tingkah.Kasih sayang tak mengenal batas usia untuk berlabuh saat ia merasa lelah mengarungi bahtera kehidupan di tengah terjangan badai dan hantaman gelombang penderitaan.Puas tergugu, dekapan
"Apa?! Profesor Dayyan dan asistennya kabur?!"David bergegas mematikan laptopnya, lalu keluar dari ruangan sunyi, tempatnya bertapa. Ponsel masih melekat di telinga."Bagaimana dengan pasien itu? Mereka membawanya?""T–tidak, Tuan!" Suara gugup menyahut dari seberang telepon. "Kemarin malam mereka hanya melarikan diri berdua.""Berengsek! Apa saja kerja kalian di sana, hah?! Mereka kabur kemarin malam, tapi kalian baru mengabariku saat matahari mulai meninggi.""K–kami tidak bisa bergerak, Tuan. J–Jeremy juga pingsan.""Dasar bodoh! Kalian benar-benar tak berguna!"Tuts!Makian David ditutup dengan pemutusan sambungan telepon."Aaargh sial! Masalah Bellona belum selesai, sekarang muncul lagi masalah baru!"David berlari ke garasi, melajukan mobil dengan kecepatan tinggi.Pikiran David dipenuhi dengan bayangan Grath. Jika Grath mati, ia akan kehilangan tambang emasnya.Sementara di kediaman Kenzie, Grath mulai mendapatkan kesadarannya. Namun, ia tak segera membuka mata.Telinganya awa
"Nyonya Bellona Hopkins?!" seru Gallen, kaget. "Tidak. Anda datang pada waktu yang tepat. Mari bergabung bersama keluargaku!""Iya, Nyonya. Ayo duduk sini!" Kimi menjemput Bellona."Terima kasih!" Bellona merasa terharu dengan sambutan Gallen dan keluarganya. "Sebenarnya, aku ke sini ingin minta maaf pada Gallen atas namaku dan juga Atha. Aku terlalu serakah dan mementingkan anakku.""Seorang ibu selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Itu bisa dimaklumi, Nyonya," sahut Gallen. "Kami juga minta maaf karena telah melaporkan Anda dengan beberapa tindak kejahatan yang tidak Anda lakukan."Wajah Gallen kecut, merasa bersalah."Itu bukan kesalahanmu sepenuhnya. Wanita berhati iblis itu yang sangat pandai menipu orang." Muka Bellona menggelap. "Kalau aku tahu Bibi Rose menggunakan wajahku untuk berbuat jahat, aku pasti telah lebih dulu menyeretnya ke penjara. Dia benar-benar licik!""Dia pasti mempelajari keterampilan make-up saat berada di Korea Selatan," timpal Kimi."Betul. Itu ar
Gallen melangkah gontai memasuki rumah. Ia melewati Grizelle yang duduk santai di ruang tengah begitu saja.Namun, ketika sudut matanya menangkap bayang Grizelle saat hendak menaiki tangga, ia berbalik.Tanpa malu-malu ia merebahkan diri dan meletakkan kepala di pangkuan Grizelle yang duduk berjuntai di atas sofa.Grizelle mengelus rambut Gallen yang jatuh ke kening."Kamu dari mana saja? Aku sangat khawatir. Teleponmu tidak aktif."Gallen merogoh saku, mengeluarkan ponsel. "Ck! Baterainya habis.""Sini! Kubantu mengisikan dayanya.""Nanti saja! Aku masih mau seperti ini." Gallen menaruh ponsel di atas meja, lalu melingkarkan lengan pada pinggang Grizelle.Saat hatinya sedang galau dan pikiran kacau, berbaring di pangkuan Grizelle bikin nyaman.Wangi vanila berpadu dengan aroma alami tubuh Grizelle menghadirkan perasaan tenang di hati Gallen.Setelah cukup lama menikmati kehangatan pangkuan Grizelle, Gallen bangkit. Mengecup kening Grizelle."Terima kasih. Bersamamu, aku selalu merasa
"Kenapa? Kaget? Hahaha ...."Wanita itu tak peduli dengan keberadaan polisi dan tangannya yang terbogol. Ia tertawa, seperti telah kehilangan kewarasannya.Gallen bukan hanya kaget, tapi syok. Tak menyangka orang yang selama ini dikenalnya begitu baik dan berada di pihaknya, ternyata merupakan dalang dari segala kemalangan yang menimpa keluarganya."Bibi Rose, katakan bahwa ini tidak benar!""Hahaha ... sayangnya, inilah kenyataannya."Gallen menggeleng-geleng. Masih sulit memercayai kebenaran yang terpampang di depan mata."Kenapa, Bi? Bukankah nenekku selalu memperlakukan Bibi dengan baik?"Gallen masih ingat, walaupun samar, neneknya tidak pernah memperlakukan Bibi Rose dengan kasar.Rianna bahkan memercayai Bibi Rose menjadi pelayan pribadinya. Neneknya bahkan tak pernah perhitungan dalam membelikan pakaian dan memenuhi kebutuhan Bibi Rose.Tapi lihat balasan yang diberikan wanita itu! Hanya pengkhianatan terhadap keluarganya."Baik? Cih! Nenekmu bahkan lebih licik dari seekor rub
"Bro, target memasuki perangkap. Kau ingin melihat langsung?""Aku sudah berada di lokasi. Di mana kau?"Gallen berdiri di belakang sebuah tiang besar, mengawasi seorang wanita yang baru saja turun dari mobil.Wanita itu memakai setelan tunik dan celana panjang yang terlihat modis. Sehelai masker dan kacamata hitam berbingkai lebar menutupi wajahnya yang lonjong.Sebuah topi bulat dengan hiasan sekuntum bunga teratai mekar meneduhi wajahnya yang tersembunyi dari terik matahari."Arah jam sembilan."Gallen mengerling ke titik yang disebutkan. Tampak bayangan Regan duduk di belakang roda kemudi, berlagak sedang membersihkan dashboard. Namun, matanya sering kali mengerling ke pintu gerbang."Aku pada titik jam satu."Pandangan keduanya segera bertemu begitu Gallen menutup panggilan telepon.Regan tersenyum seraya mengangguk ringan.Wanita itu telah memasuki lobi hotel. Regan mengikuti dari belakang layaknya juga seorang pengunjung.Gallen berjalan memutar. Memasuki hotel lewat pintu khusu
"Laura, memaafkan dan kembali bersama adalah dua hal yang berbeda! Jangan mengharapkan lebih dari apa yang dapat kuberikan dan pantas untuk kau dapatkan!"Binar di mata Laura sirna seketika. Tatapannya luruh ke tanah."Tapi aku masih sangat mencintaimu, Gallen! Tak bisakah kamu menceraikan istrimu dan kembali padaku?""Laura, rumah tangga bukan hanya tentang rasa cinta, tapi tentang komitmen dan saling percaya."Cinta adalah ungkapan rasa hati. Dan asal kau tahu, hati itu sangat rapuh. Mudah sekali terbolak-balik, seperti musim yang terus berganti."Sementara komitmen adalah keteguhan hati dalam memegang janji suci. Tak peduli sekuat apa semesta mengguncangnya, ia tak akan berubah. Tetap setia melewati berbagai cobaan dan rintangan."Namun, sekali komitmen itu hancur, maka yang tersisa hanyalah serpihan tak berwujud, dan tak akan pernah bisa kembali utuh seperti semula."Kau bukan hanya telah menghancurkan komitmen cintamu denganku, Laura, tapi juga telah membuangnya. Apa lagi yang bi
Hening!Orang itu tak menyahuti perkataan Gallen. Ia sama sekali tak membantah tuduhan Gallen."Siapa kau?"Gallen menekan beberapa titik di punggung orang itu dengan gerakan cepat. Mengunci tubuhnya agar tak bisa melarikan diri."Kamu apakan badanku, hah?! Lepaskan aku!"Gallen terkesiap. Ternyata sosok yang bersembunyi di balik coat panjang dengan kepala tertutup hoodie lebar itu adalah seorang perempuan."Kau tidak akan ke mana-mana sebelum aku mendapatkan apa yang kuinginkan darimu," bisik Gallen, dengan nada penuh penekanan.Beberapa pasang mata, dari orang-orang yang melintas hendak keluar masuk Rumah Sakit, mengerling curiga pada Gallen.Gallen pindah ke hadapan wanita itu. Tegak dengan sebelah tangan bersembunyi dalam saku celana.Posisi mereka seperti dua orang kenalan yang saling bercengkerama.Keinginan wanita itu untuk kabur dari Gallen melebihi kuatnya terjangan ombak yang mengempas batu karang. Sayang, sekujur tubuhnya tak bisa digerakkan."Tolong, lepaskan aku! Aku janj
"Ada apa ini? Kenapa semua terlihat canggung?" tanya Grizelle, merasa tak enak hati karena masuk tanpa mengetuk pintu."Ah, itu hanya perasaanmu saja!"Gallen menyongsong Grizelle, mengambil alih tas berukuran kecil, yang berisi pakaian Kimi."Instingku tak pernah salah," bisik Grizelle. "Aura ruangan ini agak aneh."Gallen tersenyum simpul. Ia akui Grizelle memiliki kepekaan yang luar biasa. Pantas saja ia tak pernah gagal dalam menyelidiki kasus kliennya."God! Ayah juga di sini?" seru Grizelle, bergegas menyalami Grath. "Huh! Sekarang aku tahu kenapa ruangan ini terasa aneh. Ternyata Adam dan Hawa bertemu kembali setelah terlempar dari surga ke belahan dunia yang berbeda.""Greeze, apa yang kamu katakan?" Pipi Kimi merona merah.Perumpamaan yang disematkan Grizelle pada dirinya dan Grath menurutnya terlalu berlebihan."Wah, Ayah juga sudah sembuh? Luar biasa! Memang ya ... lelaki akan melupakan segala rasa sakit dan kesedihannya begitu melihat senyum menawan sang istri," imbuh Griz
"Penjahat seperti David Kyler tidak akan mampu menyentuhku, Bu. Ibu tidak perlu mencemaskan aku. Pikirkan saja kesehatan Ibu! Ibu harus segera sembuh.""Kamu juga tidak perlu mengkhawatirkan aku secara berlebihan."Gallen meraih jemari Kimi. "Bu, aku takut. Jika terjadi sesuatu yang buruk pada Ibu, aku akan merasa bersalah seumur hidup. Aku akan dihantui perasaan menyesal.""Gallen, tidak ada yang perlu disesali dari sebuah takdir. Cepat atau lambat, kita semua akan meninggalkan dunia ini.""Aku tahu, Bu. Tapi aku akan menyesal karena aku belum sempat mempertemukan Ibu dengan ayah.""Kamu tidak perlu melakukan itu, Gallen." Kimi melengos. Matanya terasa panas."Kenapa? Apa Ibu tak lagi mencintai ayah?""Bukan. Bukan karena itu. Seumur hidupku, aku hanya mencintai satu orang pria. Dan Pria itu adalah ayahmu."Aku tidak pernah mencintai lelaki lain, dan tidak akan pernah bisa.""Tapi, kenapa Ibu tidak mau bertemu dengan ayah? Selama ini ayah juga menderita, Bu."Kimi berusaha untuk dudu
Bugh!Tendangan Gallen melempar David hingga menghantam dinding dan menyebabkan dinding itu jebol."Bawa dia!" titah Gallen pada dua orang anak buah Kenzie yang menonton aksinya."S–siap, Komandan!"Mereka gugup melihat kehebatan Gallen. Tak terbayang jika mereka yang berada di posisi David. Mengerikan.Cepat-cepat mereka mengangkat sosok David yang tergeletak di tanah.Suara dering ponsel memecah kesunyian di kamar isolasi Grath.Thomas meninggalkan komputer yang memuat laporan perkembangan kesehatan Grath. Berjalan sedikit menjauh setelah membaca nama Gallen pada layar monitor."Firasatku tidak enak menerima panggilan telepon darimu pagi-pagi begini," ujar Thomas dengan suara lirih."Apa istriku bersama Kakek? Aku tidak bisa menghubunginya.""Tidak. Ada apa?""Kek, kalau Grizelle datang menemui Kakek, tolong minta dia untuk ke rumah ibuku, mengambil baju. Ibuku dirawat di Rumah Sakit.""Ibumu dirawat?! Apa yang terjadi? Apa dia baik-baik saja?""Ceritanya panjang, Kek. Aku masih ada