Turun dari motor butut kesayangannya, Gallen disambut oleh wajah serius Kenzie. Lelaki itu duduk di atas sebuah kursi plastik berbentuk bulat sambil mengawasi seorang karyawan Gallen yang sedang bekerja.
“Sudah lama?”
Kenzie baru menyadari kehadiran Gallen. “Ah, belum terlalu lama,” sahutnya, meninggalkan tempat duduknya dan menyusul Gallen masuk ke sebuah ruangan kecil.
“Kau sudah mendapatkan informasinya?” tanya Gallen, menghempaskan pantat pada kursi putar tua. Warnanya bahkan sudah pudar.
“Ya. Tidak sulit mendapatkannya.”
Kenzie duduk berhadapan dengan Gallen. Mengulurkan sebuah amplop cokelat kepada Gallen.
Gallen membuka amplop di depannya. Ekspresi wajahnya tak terbaca ketika dia sedang berkonsentrasi menyerap informasi yang tersaji dalam semua dokumen itu. Setelah selesai, ditaruhnya kembali amplop itu di atas meja.
“Jadi, Codet benar-benar pemimpin tertinggi kelompok Cakar
“Aw! Panaaas … panaaas!”Bella—gadis bertubuh tinggi semampai dengan kulit kuning langsat—menjerit kesakitan seraya menarik kemeja yang dikenakannya. Sebelah tangannya menyambar tisu di atas meja.Secangkir cokelat panas baru saja memandikan bagian depan tubuhnya. Bahkan, cipratan minuman favoritnya itu juga mengenai wajahnya. Disekanya wajah rasa terbakar itu dengan helaian tisu.“Maaf, Nona … s–saya tidak sengaja.”Darah seakan disedot habis dari wajah Falisha. Disambarnya helaian tisu di atas meja, bermaksud untuk menyeka lelehan cokelat panas yang membasahi baju Bella.Bella menepis tangan Falisha. Sorot matanya memerah saga, seolah-olah dia ingin mencabik-cabik tubuh Falisha detik itu juga.“Kamu bisa kerja nggak sih?! Kamu sengaja ya ingin mencelakaiku?”“T–tidak, Nona. S–saya benar-benar tidak sengaja.”“Dasar udik! Bekerja
Bertahun-tahun Bram mengejar Falisha, tetapi gadis itu tak pernah memberinya kesempatan. Jangankan membalas perasaannya, melirik pun enggan. Gadis itu selalu melarikan diri darinya. Sekarang saatnya untuk memberi sedikit pelajaran. “Dia teman sekampusku.” Bram mengakui mengenal Falisha. Bella memindai sekujur tubuh Falisha dari ujung kepala hingga ke kaki. “Hanya teman sekampus atau … dia wanita yang selama ini terobsesi denganmu?” Falisha mendongak. Menatap tak percaya pada Bella, lalu beralih pada Bram. Sorot matanya seakan ingin menelan lelaki itu hidup-hidup. Bram merasakan hawa dingin menjalari sekujur tubuhnya. Aliran darahnya seakan membeku seketika. Tatapan mata Falisha bukan hanya menyiratkan ketidaksenangan seperti sebelumnya, melainkan penuh kebencian dan dendam. Lewat pandangan menikam itu seakan-akan Falisha berkata, ‘Kurang ajar! Kamu cari mati dengan memutarbalikkan fakta! Tunggu pembalasan dariku!’ Akan tetapi,
“Heh, Falisha! Kau sengaja ingin mempermalukan Bella?” Bram semakin menunjukkan keberpihakannya pada Bella. “Aku hanya menawarkan solusi.” Falisha menjawab acuh tak acuh. Orang-orang di kafe itu kian tertarik menyaksikan perdebatan antara mereka. Warna muka Bella bergulir pucat ketika jarak lelaki bertubuh tambun dengan dirinya bertambah dekat. Tanpa sadar dia bergeser, berlindung di balik badan Bram. Kalau saja dia tahu bahwa lelaki itu adalah Winata sang pemilik kafe, tentu dia tidak akan berani bersikap sombong. Merasakan tangan Bella gemetar saat menggelayuti lengannya, jiwa pahlawan Bram bangkit. Dia membusungkan dada. Dagunya menjulang angkuh menatap lelaki yang mendatangi Bella. Lewat postur tubuhnya, dia seakan berkata, ‘Jangan coba-coba mengganggu wanitaku! Atau kau akan merasakan akibatnya!’ “Anda sangat cantik, Nona! Tapi … Anda juga licik!” Winata tersenyum sinis. “Apa menurut Anda tidak ada seorang pun dari kami yang meny
“Berengsek! Siapa yang berani bermain-main denganku?!”Winata memaki geram. Bokongnya terasa sakit akibat tendangan yang sangat keras. Dia nyaris batuk darah ketika dadanya menghantam tepi meja.Begitu berhasil membalikkan badan, matanya melotot pada Gallen. “Kau?!”Gallen memasang wajah datar. “Ya. Itu aku! Anda pantas mendapatkannya.”Winata telah berhasil menguasai diri. Dia melangkah menghampiri Gallen. “Siapa kau hingga berani mencampuri urusanku?”Tatapan mengejek memancar dari mata geram Winata. Disapunya sekujur tubuh Gallen. “Cih! Kau bahkan tidak layak menginjakkan kaki di sini!”“Apa Anda pikir aku senang menginjakkan kaki di tempat sekotor ini?”“Jaga bicaramu! Apa kau tahu dengan siapa kau berhadapan?” Winata mengepalkan tinju. “Sebaiknya kau lekas angkat kaki dari sini sebelum anak buahku mematahkan kakimu!”“Tent
Winata mencengkeram kerah baju Gallen. Niat Gallen untuk membeli kafe yang dikelolanya menampar telak mukanya di hadapan umum. Sebuah tinju berkekuatan penuh dilayangkannya pada wajah Gallen.Gallen lebih gesit. Sebelum tinju Winata mendarat di pipinya, dia menangkap lengan lelaki itu lebih dulu. “Apa seperti ini cara Anda berbisnis? Itu sangat buruk! Tidak heran kalau kafe ini terus mengalami penurunan laba bersih.”“Hentikan omong kosongmu! Apa yang kau ketahui tentang dunia bisnis? Kau hanyalah seorang gembel yang mendiami kolong jembatan!”Gallen tersenyum tipis, “Mungkin aku memang gembel, tapi ... aku tidak memiliki utang yang akan segera jatuh tempo. Bukankah Anda membutuhkan uang dalam jumlah yang cukup besar untuk melunasi utang-utang Anda?”Gallen mengedarkan pandangan berkeliling, tampak seperti juru taksir yang sedang menilai harga kafe itu. “Aku memberi Anda penawaran yang bagus. Terserah kalau Anda i
Gallen bergeming. Air mukanya tak beriak. Beragam hinaan yang ditujukan kepadanya dianggapnya sekadar angin lalu. “Aku ingin surat-suratnya selesai malam ini juga.”“Wah, dia pasti benar-benar sudah gila! Apa dia pikir uang dua milyar itu cuma seharga permen?”“Jangan tertipu! Dia sedang berpura-pura untuk menutupi rasa malu.”Silang pendapat antara para pengunjung kafe terdengar seperti dengungan lebah.“Anak muda! Berhenti bermain-main denganku! Kalau kau tidak punya uang, pergilah! Tapi sebelum itu, berlututlah pada Nona Bella dan bayar kompensasi yang dia minta!”Alis Gallen mengerut. “Bukankah aku meminta Anda untuk segera menyiapkan surat-suratnya? Aku akan membayar tunai setelah Anda menandatangani jual-beli.”“Siapkan saja, Pak! Jika dia tidak mampu membayar, Anda bisa menuntutnya!”Bram semakin bersemangat memprovokasi Winata. Dia ingin melihat kehancuran
“Hahaha … sudah kuduga kau tidak akan punya uang sebanyak itu!” Tawa Bram membahana ketika dilihatnya Gallen masih tegak bergeming di tempatnya, menatap tak berkedip pada dokumen yang baru saja ditandatangani oleh Winata. “Kalian lihat! Lelaki tak tahu diri ini pada akhirnya hanya mempermalukan dirinya sendiri!” Bram berteriak lantang, mengumumkan pada dunia bahwa Gallen sungguh terlihat menyedihkan. “Benar-benar bodoh!” “Ya. Dia seperti katak di bawah tempurung!” Semakin riuh kalimat bernada cemooh mengudara dari bibir para penjilat itu. Gallen masih bersikap acuh tak acuh. Setia menunggu sampai orang-orang itu merasa lelah. Setelah bisik-bisik mulai sedikit hening, Gallen mengeluarkan selembar cek dari kantongnya. Dia menuliskan angka sesuai dengan jumlah yang diminta, lalu menyerahkan cek itu kepada Winata. Di saat semua tercengang dengan apa yang dilakukannya, Gallen sudah selesai membubuhkan tanda tangannya pada su
Hati Gallen dipenuhi perasaan was-was sepanjang perjalanan pulang ke rumah. Falisha tak mengatakan apa pun saat dia menyerahkan kafe yang baru dibelinya pada gadis itu. Namun, dia sangat yakin selaksa tanya menggayuti benak Falisha.Gadis itu pasti bertanya-tanya dari mana dia mendapatkan uang untuk melunasi pembelian harga kafe. Apakah dia harus berterus terang tentang jati diri dan kekayaannya? Tidak! Belum waktunya. Dia harus memutar otak untuk menemukan alasan yang tepat agar Falisha tidak curiga.Tepat seperti dugaannya, setibanya di rumah, Falisha langsung menarik lengan Gallen ke dapur.“Kak, ceritakan padaku! Dari mana Kakak mendapatkan uang sebanyak itu?” tanya Falisha, tatapannya penuh selidik. “Kakak tidak merampok atau melakukan sesuatu yang ilegal, kan?”Gallen tersedak ludahnya sendiri. “Apa di matamu kakakmu ini punya tampang kriminal?”“B–bukan begitu maksudku, Kak. Kakak hanya m
"Nyonya Bellona Hopkins?!" seru Gallen, kaget. "Tidak. Anda datang pada waktu yang tepat. Mari bergabung bersama keluargaku!""Iya, Nyonya. Ayo duduk sini!" Kimi menjemput Bellona."Terima kasih!" Bellona merasa terharu dengan sambutan Gallen dan keluarganya. "Sebenarnya, aku ke sini ingin minta maaf pada Gallen atas namaku dan juga Atha. Aku terlalu serakah dan mementingkan anakku.""Seorang ibu selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Itu bisa dimaklumi, Nyonya," sahut Gallen. "Kami juga minta maaf karena telah melaporkan Anda dengan beberapa tindak kejahatan yang tidak Anda lakukan."Wajah Gallen kecut, merasa bersalah."Itu bukan kesalahanmu sepenuhnya. Wanita berhati iblis itu yang sangat pandai menipu orang." Muka Bellona menggelap. "Kalau aku tahu Bibi Rose menggunakan wajahku untuk berbuat jahat, aku pasti telah lebih dulu menyeretnya ke penjara. Dia benar-benar licik!""Dia pasti mempelajari keterampilan make-up saat berada di Korea Selatan," timpal Kimi."Betul. Itu ar
Gallen melangkah gontai memasuki rumah. Ia melewati Grizelle yang duduk santai di ruang tengah begitu saja.Namun, ketika sudut matanya menangkap bayang Grizelle saat hendak menaiki tangga, ia berbalik.Tanpa malu-malu ia merebahkan diri dan meletakkan kepala di pangkuan Grizelle yang duduk berjuntai di atas sofa.Grizelle mengelus rambut Gallen yang jatuh ke kening."Kamu dari mana saja? Aku sangat khawatir. Teleponmu tidak aktif."Gallen merogoh saku, mengeluarkan ponsel. "Ck! Baterainya habis.""Sini! Kubantu mengisikan dayanya.""Nanti saja! Aku masih mau seperti ini." Gallen menaruh ponsel di atas meja, lalu melingkarkan lengan pada pinggang Grizelle.Saat hatinya sedang galau dan pikiran kacau, berbaring di pangkuan Grizelle bikin nyaman.Wangi vanila berpadu dengan aroma alami tubuh Grizelle menghadirkan perasaan tenang di hati Gallen.Setelah cukup lama menikmati kehangatan pangkuan Grizelle, Gallen bangkit. Mengecup kening Grizelle."Terima kasih. Bersamamu, aku selalu merasa
"Kenapa? Kaget? Hahaha ...."Wanita itu tak peduli dengan keberadaan polisi dan tangannya yang terbogol. Ia tertawa, seperti telah kehilangan kewarasannya.Gallen bukan hanya kaget, tapi syok. Tak menyangka orang yang selama ini dikenalnya begitu baik dan berada di pihaknya, ternyata merupakan dalang dari segala kemalangan yang menimpa keluarganya."Bibi Rose, katakan bahwa ini tidak benar!""Hahaha ... sayangnya, inilah kenyataannya."Gallen menggeleng-geleng. Masih sulit memercayai kebenaran yang terpampang di depan mata."Kenapa, Bi? Bukankah nenekku selalu memperlakukan Bibi dengan baik?"Gallen masih ingat, walaupun samar, neneknya tidak pernah memperlakukan Bibi Rose dengan kasar.Rianna bahkan memercayai Bibi Rose menjadi pelayan pribadinya. Neneknya bahkan tak pernah perhitungan dalam membelikan pakaian dan memenuhi kebutuhan Bibi Rose.Tapi lihat balasan yang diberikan wanita itu! Hanya pengkhianatan terhadap keluarganya."Baik? Cih! Nenekmu bahkan lebih licik dari seekor rub
"Bro, target memasuki perangkap. Kau ingin melihat langsung?""Aku sudah berada di lokasi. Di mana kau?"Gallen berdiri di belakang sebuah tiang besar, mengawasi seorang wanita yang baru saja turun dari mobil.Wanita itu memakai setelan tunik dan celana panjang yang terlihat modis. Sehelai masker dan kacamata hitam berbingkai lebar menutupi wajahnya yang lonjong.Sebuah topi bulat dengan hiasan sekuntum bunga teratai mekar meneduhi wajahnya yang tersembunyi dari terik matahari."Arah jam sembilan."Gallen mengerling ke titik yang disebutkan. Tampak bayangan Regan duduk di belakang roda kemudi, berlagak sedang membersihkan dashboard. Namun, matanya sering kali mengerling ke pintu gerbang."Aku pada titik jam satu."Pandangan keduanya segera bertemu begitu Gallen menutup panggilan telepon.Regan tersenyum seraya mengangguk ringan.Wanita itu telah memasuki lobi hotel. Regan mengikuti dari belakang layaknya juga seorang pengunjung.Gallen berjalan memutar. Memasuki hotel lewat pintu khusu
"Laura, memaafkan dan kembali bersama adalah dua hal yang berbeda! Jangan mengharapkan lebih dari apa yang dapat kuberikan dan pantas untuk kau dapatkan!"Binar di mata Laura sirna seketika. Tatapannya luruh ke tanah."Tapi aku masih sangat mencintaimu, Gallen! Tak bisakah kamu menceraikan istrimu dan kembali padaku?""Laura, rumah tangga bukan hanya tentang rasa cinta, tapi tentang komitmen dan saling percaya."Cinta adalah ungkapan rasa hati. Dan asal kau tahu, hati itu sangat rapuh. Mudah sekali terbolak-balik, seperti musim yang terus berganti."Sementara komitmen adalah keteguhan hati dalam memegang janji suci. Tak peduli sekuat apa semesta mengguncangnya, ia tak akan berubah. Tetap setia melewati berbagai cobaan dan rintangan."Namun, sekali komitmen itu hancur, maka yang tersisa hanyalah serpihan tak berwujud, dan tak akan pernah bisa kembali utuh seperti semula."Kau bukan hanya telah menghancurkan komitmen cintamu denganku, Laura, tapi juga telah membuangnya. Apa lagi yang bi
Hening!Orang itu tak menyahuti perkataan Gallen. Ia sama sekali tak membantah tuduhan Gallen."Siapa kau?"Gallen menekan beberapa titik di punggung orang itu dengan gerakan cepat. Mengunci tubuhnya agar tak bisa melarikan diri."Kamu apakan badanku, hah?! Lepaskan aku!"Gallen terkesiap. Ternyata sosok yang bersembunyi di balik coat panjang dengan kepala tertutup hoodie lebar itu adalah seorang perempuan."Kau tidak akan ke mana-mana sebelum aku mendapatkan apa yang kuinginkan darimu," bisik Gallen, dengan nada penuh penekanan.Beberapa pasang mata, dari orang-orang yang melintas hendak keluar masuk Rumah Sakit, mengerling curiga pada Gallen.Gallen pindah ke hadapan wanita itu. Tegak dengan sebelah tangan bersembunyi dalam saku celana.Posisi mereka seperti dua orang kenalan yang saling bercengkerama.Keinginan wanita itu untuk kabur dari Gallen melebihi kuatnya terjangan ombak yang mengempas batu karang. Sayang, sekujur tubuhnya tak bisa digerakkan."Tolong, lepaskan aku! Aku janj
"Ada apa ini? Kenapa semua terlihat canggung?" tanya Grizelle, merasa tak enak hati karena masuk tanpa mengetuk pintu."Ah, itu hanya perasaanmu saja!"Gallen menyongsong Grizelle, mengambil alih tas berukuran kecil, yang berisi pakaian Kimi."Instingku tak pernah salah," bisik Grizelle. "Aura ruangan ini agak aneh."Gallen tersenyum simpul. Ia akui Grizelle memiliki kepekaan yang luar biasa. Pantas saja ia tak pernah gagal dalam menyelidiki kasus kliennya."God! Ayah juga di sini?" seru Grizelle, bergegas menyalami Grath. "Huh! Sekarang aku tahu kenapa ruangan ini terasa aneh. Ternyata Adam dan Hawa bertemu kembali setelah terlempar dari surga ke belahan dunia yang berbeda.""Greeze, apa yang kamu katakan?" Pipi Kimi merona merah.Perumpamaan yang disematkan Grizelle pada dirinya dan Grath menurutnya terlalu berlebihan."Wah, Ayah juga sudah sembuh? Luar biasa! Memang ya ... lelaki akan melupakan segala rasa sakit dan kesedihannya begitu melihat senyum menawan sang istri," imbuh Griz
"Penjahat seperti David Kyler tidak akan mampu menyentuhku, Bu. Ibu tidak perlu mencemaskan aku. Pikirkan saja kesehatan Ibu! Ibu harus segera sembuh.""Kamu juga tidak perlu mengkhawatirkan aku secara berlebihan."Gallen meraih jemari Kimi. "Bu, aku takut. Jika terjadi sesuatu yang buruk pada Ibu, aku akan merasa bersalah seumur hidup. Aku akan dihantui perasaan menyesal.""Gallen, tidak ada yang perlu disesali dari sebuah takdir. Cepat atau lambat, kita semua akan meninggalkan dunia ini.""Aku tahu, Bu. Tapi aku akan menyesal karena aku belum sempat mempertemukan Ibu dengan ayah.""Kamu tidak perlu melakukan itu, Gallen." Kimi melengos. Matanya terasa panas."Kenapa? Apa Ibu tak lagi mencintai ayah?""Bukan. Bukan karena itu. Seumur hidupku, aku hanya mencintai satu orang pria. Dan Pria itu adalah ayahmu."Aku tidak pernah mencintai lelaki lain, dan tidak akan pernah bisa.""Tapi, kenapa Ibu tidak mau bertemu dengan ayah? Selama ini ayah juga menderita, Bu."Kimi berusaha untuk dudu
Bugh!Tendangan Gallen melempar David hingga menghantam dinding dan menyebabkan dinding itu jebol."Bawa dia!" titah Gallen pada dua orang anak buah Kenzie yang menonton aksinya."S–siap, Komandan!"Mereka gugup melihat kehebatan Gallen. Tak terbayang jika mereka yang berada di posisi David. Mengerikan.Cepat-cepat mereka mengangkat sosok David yang tergeletak di tanah.Suara dering ponsel memecah kesunyian di kamar isolasi Grath.Thomas meninggalkan komputer yang memuat laporan perkembangan kesehatan Grath. Berjalan sedikit menjauh setelah membaca nama Gallen pada layar monitor."Firasatku tidak enak menerima panggilan telepon darimu pagi-pagi begini," ujar Thomas dengan suara lirih."Apa istriku bersama Kakek? Aku tidak bisa menghubunginya.""Tidak. Ada apa?""Kek, kalau Grizelle datang menemui Kakek, tolong minta dia untuk ke rumah ibuku, mengambil baju. Ibuku dirawat di Rumah Sakit.""Ibumu dirawat?! Apa yang terjadi? Apa dia baik-baik saja?""Ceritanya panjang, Kek. Aku masih ada