Kenzie bersandar di dinding dengan melipat sebelah kakinya sambil bermain ponsel. Jaraknya sangat dekat dengan lift.Begitu melihat Gallen berjalan dengan langkah panjang meninggalkan ruang rapat, ia menyimpan ponselnya ke dalam saku."Kau menungguku?" tanya Gallen, kaget mendapati Kenzie masih berada di lantai yang sama dengannya."Bukan! Menunggu Tukang Bakso lewat!" omel Kenzie, memasang tampang kesal. "Sudah tahu masih bertanya!"Keduanya masuk ke lift. Saling melempar tatapan dingin."Kau tidak bilang bahwa kau akan menungguku," protes Gallen."Iya sih, tapi harusnya kau sadar, Bro ... yang memintaku memberikan laporan secepatnya siapa? Kakekmu? Dasar enggak peka. Pantas saja kakak iparku sampai celaka. Cih! Dasar payah!""Kau semakin berani ya sekarang. Sudah tidak butuh restu dariku, huh?"Seketika Kenzie terdiam. Ya Tuhan! Kenapa dia bisa lupa tentang Falisha? Gawat kalau sampai Gallen mengeluarkan taring gara-gara tersinggung dengan perkataannya."Hehe ... santai, Bro! Cuma b
Andai tak terhalang terali besi, Gallen pasti tak akan berpikir dua kali untuk menghadiahkan bogem mentah kepada Tristan.Entah terbuat dari apa hati Tristan, hingga tega merencanakan perbuatan terkutuk yang dapat menghancurkan harga diri Grizelle—sepupunya sendiri.Bagi Gallen, kehormatan Grizelle adalah harga mati. Dia tidak akan memaafkan pelakunya sebelum mendapat hukuman setimpal. Tak peduli walau pelakunya keluarga sendiri.Binar mata Gallen membara. Merefleksikan kemarahan yang berkobar terhadap Tristan. Akan tetapi, dia masih mampu mengontrol nada suaranya, agar tak melengking tinggi."Katakan! Kenapa kau tega melakukan semua itu pada istriku, hah?! Kau sudah menguasai perusahaan keluarga, sementara Grizelle harus bekerja keras mengumpulkan rupiah, demi bisa bertahan hidup. Apa itu belum cukup untuk membuatmu berpuas diri?"Wajah Tristan memerah. Tarikan kuat Gallen pada kerah bajunya membuatnya kesulitan bernapas. Ia menengadah dengan mulut terbuka. Meraup oksigen di tengah p
"Ma!" Atha menerobos masuk ke ruang kerja Bellona."Apa kau jadi bodoh hingga tak tahu cara mengetuk pintu?" Bellona mengangkat wajah, menatap dingin pada putra tunggalnya yang datang mengganggu."Aku tidak masuk ke kantor orang asing, Ma. Tidak perlu terlalu bersikap formal dan sopan."Atha melenggang santai, mendudukkan diri di atas sofa yang berada di pojok kanan ruang kerja Bellona, tepat di bawah jendela kaca."Ada apa kau menemuiku?" Bellona melanjutkan mengoreksi hasil kerja sekretarisnya, agar dapat direvisi secepatnya."Ma, anak itu berhasil mendapatkan investor.""Benarkah?" Bellona menjeda tarian penanya. "Investor bodoh mana yang masih bersedia menyokong Perusahaan Kyler?"Diam-diam ia telah melakukan black campaign kepada para investor agar mundur dari proyek Perusahaan Kyler. Kenapa masih ada yang berani membangkang?"Aku tidak tahu kabar pastinya, Ma, tapi dengar-dengar perampok itu telah bertemu dengan petinggi dari D & Co dan GK Group."Pena di tangan Bellona terjatuh.
"Tuan Robinson, bukankah aku sudah bilang, aku tidak membutuhkan sekretaris?""M–maaf, Tuan Muda Kyler. S–saya telah bekerja sesuai perintah Anda.""Begitukah? Maksud Anda, Anda juga tidak tahu apa-apa?""B–benar, Tuan. Saya tidak tahu sama sekali. Saya akan mengeceknya untuk Anda." Jack membungkuk, tergesa-gesa undur diri."Kau juga. Keluar!"Nada dingin dan tatapan tajam yang memancar dari netra biru Gallen membekukan aliran darah di tubuh Laura.Kakinya berpijak goyah, tetapi demi ambisinya untuk bisa selalu berada di sisi Gallen, ia bergeming.Walau keberaniannya untuk menantang wajah Gallen ikut mati ditikam tatapan tajam Gallen, ia tidak menyerah.Dulu ia memilih Jody karena tergoda oleh seuntai gelang mewah. Setelah Gallen menjadi seorang Kyler, Jody tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan Gallen. Bahkan, seujung kukunya pun tidak."Tuan Muda, ini dia yang menjadi biang kesalahpahaman Anda dan saya." Jack masuk kembali ke ruang kerja Gallen tanpa mengetuk pintu. Ia mendor
"Aaargh! Gallen sialan! Tega-teganya dia membuangku ke bagian pemasaran!" jerit Laura begitu memasuki ruang kerjanya.Ia mengamuk, menendang meja kerjanya hingga kakinya terasa sakit.Sambil mengaduh, ia melompat dengan sebelah kaki untuk duduk."Kenapa sih susah sekali untuk menaklukkannya kembali?" Laura bertanya pada diri sendiri.Kalau begini, akan sulit baginya untuk bisa dekat-dekat dengan Gallen. Tapi jika ia menolak posisi ini, ia benar-benar kehilangan kesempatan untuk sekadar bertemu dengan lelaki impiannya itu.Meski dengan berat hati, ia harus rela menempati posisi yang ditawarkan saat ini."Tunggu saja, Gallen! Aku akan mencari cara untuk bisa menjadi sekretarismu. Hanya dengan begitu aku punya banyak kesempatan untuk menjalankan semua rencanaku!" tekad Laura.Sialnya, hampir dua minggu ia selalu ditugaskan di lapangan. Tak sekali pun ia dapat bertemu muka dengan Gallen. Apalagi, ruang kerja mereka berada pada lantai yang berbeda. Semakin kecil peluang Laura untuk sekadar
Jumat selepas senja. Dan mentari telah terlelap di pelukan malam. Grizelle berkemas.Ia memasukkan beberapa setel pakaian miliknya dan Gallen ke dalam koper yang ditaruhnya di atas kasur.Tangannya terhenti saat menarik ritsleting koper. Tatapannya lurus ke depan, kosong."Kau berubah pikiran?"Gallen baru saja selesai menyisir rambut. Pantulan Grizelle yang terlihat bengong di dalam cermin menarik perhatiannya."Huh? Tidak. Bukan itu."Mereka sudah sepakat akan melewatkan akhir pekan ini dengan bermalam lagi di rumah Stephen."Gerakan tanganmu lebih jujur daripada bibirmu," sindir Gallen."Oh, ini?" Grizelle mengunci koper. "Jariku hanya merasa sedikit pegal," kilahnya."Kau tidak pandai berbohong, Greeze. Lebih baik berterus terang! Aku tidak akan memaksamu untuk bermalam di rumah kakek kalau kau tak merasa nyaman.""Sungguh. Bukan itu.""Lalu, apa yang mengganggu pikiranmu?""Kamu yakin tidak apa-apa kita meninggalkan ayah dan Falisha di rumah? Kita hanya dapat berkumpul di akhir p
'Apa dia sudah tidur?' Grizelle membatin, melirik pada sosok Gallen yang berbaring di sebelahnya, berdindingkan sebuah bantal guling.Ia bergerak mendekat dalam mode senyap. Mengibaskan tangan di atas wajah Gallen.Kelopak mata Gallen bergeming. Dengkurnya pun terdengar halus dan teratur.'Baguslah, dia tidur nyenyak. Aku bisa bergerak malam ini.' Grizelle bermonolog dalam hati, tersenyum lega.Berjingkat ia merangkak turun dari ranjang. Sekali lagi ia menoleh pada Gallen. Setelah yakin sang suami masih pulas, ia berganti pakaian.Ia memakai baju dan celana hitam, dengan bahan yang menempel pada kulit. Lalu, ditutupi sehelai jaket dengan kerah yang dibiarkan tegak. Melindungi lehernya dari terjangan dinginnya cuaca.Wajah cantiknya bersembunyi di balik sebo. Bahkan, manik mata indahnya dilapisi lensa kontak berwarna gelap.Kini sekujur tubuhnya menyerupai malam. Kelam.Grizelle meninggalkan kamar diam-diam. Gerakannya sangat pelan dan hati-hati, seperti seorang pencuri yang menyantron
Putaran gagang pintu makin kencang. Begitu pula dengan detak jantung Grizelle. Gegas ia melesat mundur.Ceklek!Grep!Pintu terbuka, bersamaan dengan sebuah tarikan kencang yang membetot tubuh Grizelle ke belakang. Menyandarkannya ke dinding.Telapak tangan lebar membekap mulut Grizelle dari balik sebo.Hening sejenak.Dua tubuh berlawanan kutub saling melekat. Grizelle tak bisa mengenali wajah sang penyelamat. Posisi badannya terkunci. Sulit sekali untuk bergerak, walau sekadar untuk mengangkat kepala sedikit lebih tinggi.Cahaya senter dari pintu masuk menari di udara. Menyorot titik-titik penting ruang kerja Stephen. Tak ada suara, selain langkah kaki bergerak mendekati meja kerja Stephen secara perlahan.Wajah lelaki dalam gelap itu sedingin bongkahan es. Emosinya tak terbaca, bertabir pekatnya malam.Tak menemukan sesuatu yang mencurigakan pada meja kerja Stephen, ia menyusuri deretan setiap buku dan dokumen. Memeriksa dengan teliti.Sesekali ia membuat gerakan memutar secara mend
"Nyonya Bellona Hopkins?!" seru Gallen, kaget. "Tidak. Anda datang pada waktu yang tepat. Mari bergabung bersama keluargaku!""Iya, Nyonya. Ayo duduk sini!" Kimi menjemput Bellona."Terima kasih!" Bellona merasa terharu dengan sambutan Gallen dan keluarganya. "Sebenarnya, aku ke sini ingin minta maaf pada Gallen atas namaku dan juga Atha. Aku terlalu serakah dan mementingkan anakku.""Seorang ibu selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Itu bisa dimaklumi, Nyonya," sahut Gallen. "Kami juga minta maaf karena telah melaporkan Anda dengan beberapa tindak kejahatan yang tidak Anda lakukan."Wajah Gallen kecut, merasa bersalah."Itu bukan kesalahanmu sepenuhnya. Wanita berhati iblis itu yang sangat pandai menipu orang." Muka Bellona menggelap. "Kalau aku tahu Bibi Rose menggunakan wajahku untuk berbuat jahat, aku pasti telah lebih dulu menyeretnya ke penjara. Dia benar-benar licik!""Dia pasti mempelajari keterampilan make-up saat berada di Korea Selatan," timpal Kimi."Betul. Itu ar
Gallen melangkah gontai memasuki rumah. Ia melewati Grizelle yang duduk santai di ruang tengah begitu saja.Namun, ketika sudut matanya menangkap bayang Grizelle saat hendak menaiki tangga, ia berbalik.Tanpa malu-malu ia merebahkan diri dan meletakkan kepala di pangkuan Grizelle yang duduk berjuntai di atas sofa.Grizelle mengelus rambut Gallen yang jatuh ke kening."Kamu dari mana saja? Aku sangat khawatir. Teleponmu tidak aktif."Gallen merogoh saku, mengeluarkan ponsel. "Ck! Baterainya habis.""Sini! Kubantu mengisikan dayanya.""Nanti saja! Aku masih mau seperti ini." Gallen menaruh ponsel di atas meja, lalu melingkarkan lengan pada pinggang Grizelle.Saat hatinya sedang galau dan pikiran kacau, berbaring di pangkuan Grizelle bikin nyaman.Wangi vanila berpadu dengan aroma alami tubuh Grizelle menghadirkan perasaan tenang di hati Gallen.Setelah cukup lama menikmati kehangatan pangkuan Grizelle, Gallen bangkit. Mengecup kening Grizelle."Terima kasih. Bersamamu, aku selalu merasa
"Kenapa? Kaget? Hahaha ...."Wanita itu tak peduli dengan keberadaan polisi dan tangannya yang terbogol. Ia tertawa, seperti telah kehilangan kewarasannya.Gallen bukan hanya kaget, tapi syok. Tak menyangka orang yang selama ini dikenalnya begitu baik dan berada di pihaknya, ternyata merupakan dalang dari segala kemalangan yang menimpa keluarganya."Bibi Rose, katakan bahwa ini tidak benar!""Hahaha ... sayangnya, inilah kenyataannya."Gallen menggeleng-geleng. Masih sulit memercayai kebenaran yang terpampang di depan mata."Kenapa, Bi? Bukankah nenekku selalu memperlakukan Bibi dengan baik?"Gallen masih ingat, walaupun samar, neneknya tidak pernah memperlakukan Bibi Rose dengan kasar.Rianna bahkan memercayai Bibi Rose menjadi pelayan pribadinya. Neneknya bahkan tak pernah perhitungan dalam membelikan pakaian dan memenuhi kebutuhan Bibi Rose.Tapi lihat balasan yang diberikan wanita itu! Hanya pengkhianatan terhadap keluarganya."Baik? Cih! Nenekmu bahkan lebih licik dari seekor rub
"Bro, target memasuki perangkap. Kau ingin melihat langsung?""Aku sudah berada di lokasi. Di mana kau?"Gallen berdiri di belakang sebuah tiang besar, mengawasi seorang wanita yang baru saja turun dari mobil.Wanita itu memakai setelan tunik dan celana panjang yang terlihat modis. Sehelai masker dan kacamata hitam berbingkai lebar menutupi wajahnya yang lonjong.Sebuah topi bulat dengan hiasan sekuntum bunga teratai mekar meneduhi wajahnya yang tersembunyi dari terik matahari."Arah jam sembilan."Gallen mengerling ke titik yang disebutkan. Tampak bayangan Regan duduk di belakang roda kemudi, berlagak sedang membersihkan dashboard. Namun, matanya sering kali mengerling ke pintu gerbang."Aku pada titik jam satu."Pandangan keduanya segera bertemu begitu Gallen menutup panggilan telepon.Regan tersenyum seraya mengangguk ringan.Wanita itu telah memasuki lobi hotel. Regan mengikuti dari belakang layaknya juga seorang pengunjung.Gallen berjalan memutar. Memasuki hotel lewat pintu khusu
"Laura, memaafkan dan kembali bersama adalah dua hal yang berbeda! Jangan mengharapkan lebih dari apa yang dapat kuberikan dan pantas untuk kau dapatkan!"Binar di mata Laura sirna seketika. Tatapannya luruh ke tanah."Tapi aku masih sangat mencintaimu, Gallen! Tak bisakah kamu menceraikan istrimu dan kembali padaku?""Laura, rumah tangga bukan hanya tentang rasa cinta, tapi tentang komitmen dan saling percaya."Cinta adalah ungkapan rasa hati. Dan asal kau tahu, hati itu sangat rapuh. Mudah sekali terbolak-balik, seperti musim yang terus berganti."Sementara komitmen adalah keteguhan hati dalam memegang janji suci. Tak peduli sekuat apa semesta mengguncangnya, ia tak akan berubah. Tetap setia melewati berbagai cobaan dan rintangan."Namun, sekali komitmen itu hancur, maka yang tersisa hanyalah serpihan tak berwujud, dan tak akan pernah bisa kembali utuh seperti semula."Kau bukan hanya telah menghancurkan komitmen cintamu denganku, Laura, tapi juga telah membuangnya. Apa lagi yang bi
Hening!Orang itu tak menyahuti perkataan Gallen. Ia sama sekali tak membantah tuduhan Gallen."Siapa kau?"Gallen menekan beberapa titik di punggung orang itu dengan gerakan cepat. Mengunci tubuhnya agar tak bisa melarikan diri."Kamu apakan badanku, hah?! Lepaskan aku!"Gallen terkesiap. Ternyata sosok yang bersembunyi di balik coat panjang dengan kepala tertutup hoodie lebar itu adalah seorang perempuan."Kau tidak akan ke mana-mana sebelum aku mendapatkan apa yang kuinginkan darimu," bisik Gallen, dengan nada penuh penekanan.Beberapa pasang mata, dari orang-orang yang melintas hendak keluar masuk Rumah Sakit, mengerling curiga pada Gallen.Gallen pindah ke hadapan wanita itu. Tegak dengan sebelah tangan bersembunyi dalam saku celana.Posisi mereka seperti dua orang kenalan yang saling bercengkerama.Keinginan wanita itu untuk kabur dari Gallen melebihi kuatnya terjangan ombak yang mengempas batu karang. Sayang, sekujur tubuhnya tak bisa digerakkan."Tolong, lepaskan aku! Aku janj
"Ada apa ini? Kenapa semua terlihat canggung?" tanya Grizelle, merasa tak enak hati karena masuk tanpa mengetuk pintu."Ah, itu hanya perasaanmu saja!"Gallen menyongsong Grizelle, mengambil alih tas berukuran kecil, yang berisi pakaian Kimi."Instingku tak pernah salah," bisik Grizelle. "Aura ruangan ini agak aneh."Gallen tersenyum simpul. Ia akui Grizelle memiliki kepekaan yang luar biasa. Pantas saja ia tak pernah gagal dalam menyelidiki kasus kliennya."God! Ayah juga di sini?" seru Grizelle, bergegas menyalami Grath. "Huh! Sekarang aku tahu kenapa ruangan ini terasa aneh. Ternyata Adam dan Hawa bertemu kembali setelah terlempar dari surga ke belahan dunia yang berbeda.""Greeze, apa yang kamu katakan?" Pipi Kimi merona merah.Perumpamaan yang disematkan Grizelle pada dirinya dan Grath menurutnya terlalu berlebihan."Wah, Ayah juga sudah sembuh? Luar biasa! Memang ya ... lelaki akan melupakan segala rasa sakit dan kesedihannya begitu melihat senyum menawan sang istri," imbuh Griz
"Penjahat seperti David Kyler tidak akan mampu menyentuhku, Bu. Ibu tidak perlu mencemaskan aku. Pikirkan saja kesehatan Ibu! Ibu harus segera sembuh.""Kamu juga tidak perlu mengkhawatirkan aku secara berlebihan."Gallen meraih jemari Kimi. "Bu, aku takut. Jika terjadi sesuatu yang buruk pada Ibu, aku akan merasa bersalah seumur hidup. Aku akan dihantui perasaan menyesal.""Gallen, tidak ada yang perlu disesali dari sebuah takdir. Cepat atau lambat, kita semua akan meninggalkan dunia ini.""Aku tahu, Bu. Tapi aku akan menyesal karena aku belum sempat mempertemukan Ibu dengan ayah.""Kamu tidak perlu melakukan itu, Gallen." Kimi melengos. Matanya terasa panas."Kenapa? Apa Ibu tak lagi mencintai ayah?""Bukan. Bukan karena itu. Seumur hidupku, aku hanya mencintai satu orang pria. Dan Pria itu adalah ayahmu."Aku tidak pernah mencintai lelaki lain, dan tidak akan pernah bisa.""Tapi, kenapa Ibu tidak mau bertemu dengan ayah? Selama ini ayah juga menderita, Bu."Kimi berusaha untuk dudu
Bugh!Tendangan Gallen melempar David hingga menghantam dinding dan menyebabkan dinding itu jebol."Bawa dia!" titah Gallen pada dua orang anak buah Kenzie yang menonton aksinya."S–siap, Komandan!"Mereka gugup melihat kehebatan Gallen. Tak terbayang jika mereka yang berada di posisi David. Mengerikan.Cepat-cepat mereka mengangkat sosok David yang tergeletak di tanah.Suara dering ponsel memecah kesunyian di kamar isolasi Grath.Thomas meninggalkan komputer yang memuat laporan perkembangan kesehatan Grath. Berjalan sedikit menjauh setelah membaca nama Gallen pada layar monitor."Firasatku tidak enak menerima panggilan telepon darimu pagi-pagi begini," ujar Thomas dengan suara lirih."Apa istriku bersama Kakek? Aku tidak bisa menghubunginya.""Tidak. Ada apa?""Kek, kalau Grizelle datang menemui Kakek, tolong minta dia untuk ke rumah ibuku, mengambil baju. Ibuku dirawat di Rumah Sakit.""Ibumu dirawat?! Apa yang terjadi? Apa dia baik-baik saja?""Ceritanya panjang, Kek. Aku masih ada