Senang banget Gallen masuk peringkat. Terima kasih atas dukungan sobat readers semua. Mohon bantuan juga kesediaan sobat readers untuk menyalakan bintang dengan memberikan rating ya. Caranya? Tulis ulasan di halaman depan cerita (di bawah sinopsis/blurb). Love you all.
Tiba waktunya makan siang, Gallen memilih duduk sendiri di pojok kantin perusahaan.Lokasi itu memberinya akses menyeluruh untuk mengamati setiap orang yang keluar masuk kantin.Gallen makan dengan menu sederhana—seporsi nasi putih dan ikan bakar."Bah, di sini kau rupanya!" Tahu-tahu Sitompul muncul, membawa sepiring menggunung makanan di tangannya. Selera makannya sangat besar. "Kucari-cari kau tak ada. Cepat sekali kau menghilang!" Sitompul duduk berseberangan dengan Gallen tanpa disilakan.Gallen hanya tersenyum simpul."Aku terus saja memikirkan perkataan kau tadi," celoteh Sitompul di sela-sela suapannya."Lupakan saja kalau kau tidak tertarik." Gallen menyahut acuh tak acuh.Sikap santai Gallen yang terkesan tak butuh justru menantang jiwa petualang Sitompul."Bah! Aku tak bilang begitulah," sanggah Sitompul, "Aku ca—"Tatapan tajam Gallen memaksa Sitompul untuk bungkam. Ia segera menyadari suasana kantin teramat ramai. Bukan waktu yang
Melihat Sitompul masih terombang-ambing di tengah terjangan gelombang kebimbangan, Gallen menghela napas panjang. Ia bangkit.Sebelum berlalu, ia berkata, "Aku telah menjawab semua pertanyaanmu. Giliranmu untuk menjawab pertanyaanku."Kenyataannya, Gallen adalah seseorang yang lebih banyak bertanya untuk menggiring alam bawah sadar Sitompul agar bersedia membantunya.Pintar sekali dia memutar balik fakta!Gallen membungkuk, berbisik tepat di telinga Sitompul, "Kau akan mendapat bayaran dua atau tiga kali lipat dari gajimu sebagai OB."Sitompul menatap kosong, seolah hanya raganya yang ada bersama Gallen, sementara jiwanya pergi entah ke mana.Tak mendapat tanggapan atas iming-imingnya, Gallen menepuk pundak Sitompul, "Kalau kau berubah pikiran, beritahu aku secepatnya!"Sitompul kehilangan minat untuk menandaskan sisa kopi, penutup makan siangnya."Alamaaak! mimpi apa aku semalam? Sial kali nasibku hari ini."Teringat janji Gallen, mata Sitompul berked
Sepanjang malam, Sitompul tak dapat tidur. Tubuhnya berguling ke kiri dan ke kanan bak cacing kepanasan.Keesokan harinya, ia bangun dengan dua lingkaran tebal mata panda.Selama perjalanan menuju ruangan tempat mangkalnya, otaknya terus menimbang-nimbang untung rugi tawaran Gallen."Tak apalah! Demi mamak sama adikku, nyawa pun akan kugadaikan!" putusnya.Mata Sitompul bergerak liar mencari keberadaan Gallen."Dino, kau lihat Gee-kah?" tanyanya, menepuk pelan punggung Dino yang sedang mengeluarkan pakaian dinasnya dari loker."Gee? Si aneh itu sudah mulai gerak, Bang!" beritahu Dino sambil memasang kancing kemeja kerjanya.Lelaki jomlo itu tak malu-malu mengganti pakaian di depan Sitompul."Bah! Rajin kali dia? Mau jadi karyawan teladankah?"Dino mengedikkan bahu. Lalu, berlalu setelah menyambar ember dan alat pel."Din, kau tahu dia di ruang mana?""Cari saja di ruang bos-bos, Bang!""Bah! Baru kerja dua hari sudah berani masuk ke ruang bos?
Semangat kerja Sitompul merosot drastis. Tulang-tulangnya lemas seperti jelly. Pengajuan kasbon ke perusahaan gagal. Sementara nasib harapannya pada Gallen juga tak tentu.Seharian ini ia tidak bertemu dengan Gallen, padahal ruangan tempat mangkal mereka sama. Saat jam makan siang pun dia tidak melihat Gallen di kantin."Pak Darius, ada lihat Gee, tak?" tanyanya, mengejar Darius yang akan bertolak menuju pos jaga."Aku sibuk. Mana sempat memperhatikan setiap karyawan."Wajah Sitompul bertambah suram. "Ke mana pula aku mesti cari kau, Gee?"Sitompul bertanya seolah-olah Gallen berdiri di hadapannya.Melangkah gontai meninggalkan pintu gerbang kantor, Sitompul meneteskan air mata, tetapi cepat-cepat disekanya.Malu kalau sampai ada orang yang menyaksikan dia menangis. Masa iya badan besar, jiwa seperti anak kecil.Dalam keyakinan masyarakat sudah terpatri bahwa lelaki tidak boleh menangis. Itu cengeng namanya.Stigma yang aneh!Jelas-jelas laki-laki t
Setelah sepanjang malam dirundung gelisah dan rasa penasaran, pagi ini Sitompul menapaki markas besar para OB dengan perasaan campur aduk.Perasaan penuh syukur, senang, sekaligus ngeri.Jika tebakannya tidak meleset, maka Gallen sungguh sosok yang patut untuk disegani dan ditakuti.Bagaimana tidak? Mereka baru berinteraksi selama dua hari, tetapi lelaki aneh itu telah mengetahui jati diri dan latar belakang keluarganya nun jauh di seberang pulau tanpa perlu menanyakannya secara langsung.Kata apa lagi yang pantas untuk disematkan selain menakutkan?Gallen seakan punya seribu mata di angkasa. Mata yang dapat mengintip dan mengetahui segala hal kapan saja dia mau. Benar-benar menyeramkan!Baru kali ini Sitompul bertemu dengan seseorang semisterius Gallen.Tercacak di tengah pintu masuk, sejenak Sitompul ragu. Matanya lekat menatap ke depan.Di sudut ruangan, Gallen berkonsentrasi mengganti pakaian.Namun, Sitompul menyadari bahwa ia tidak akan mengetahu
"Bah! Cepat kali langkah kau, Bos!" Ngos-ngosan Sitompul menyusul Gallen.Butiran keringat menyembul dari setiap pori di keningnya, padahal mentari pagi baru sepenggalah naik."Tak ada yang memintamu mengejarku." Gallen menyahut acuh tak acuh. Tapak kakinya menderap tegap, mendekati ruangan yang menjadi tujuan."Memanglah, tapi ...." Sitompul merapatkan bibir ke telinga Gallen, "Aku masih penasaran sama tugas aku untuk kau. Bilanglah!"Ayunan langkah Gallen melambat, lalu berhenti. Begitu pun dengan Sitompul.Gallen berbisik di telinga Sitompul. Untaian kalimatnya sukses membuat mata Sitompul membeliak, nyaris keluar dari cangkangnya.'Alamak! Aneh kali tugasku! Masa aku diminta mengumpulkan sampah dari ruangan bos-bos?' Sitompul membatin dalam ketidakpercayaan.Dia pikir Gallen akan menginstruksikan dirinya untuk melakukan tindak kekerasan pada seseorang. Tak disangka dia hanya disuruh mengumpulkan semua sampah kertas dari ruangan para petinggi per
Gallen menarik napas dalam-dalam sebelum mengukir senyuman palsu. Embusan napas leganya mengudara, mengetahui bukan Lukman yang berdiri di depannya, melainkan Rasyid."Ya, Pak?""Tolong belikan makanan. Tadi saya tidak sempat sarapan di rumah."Rasyid mengulurkan selembar uang berwarna merah."Jangan yang pedas ya!""Ya, Pak!"Alis Rasyid melengkung naik, memperhatikan punggung Gallen berlalu.Perasaan akrab dengan wajah Gallen mengusik pikirannya. Dia menggeleng, lalu beranjak menuju ruangannya.Di kantin perusahaan, Gallen sedang menerima kembalian uang belanja titipan Rasyid ketika ponselnya berdering.Melihat nama Hanum yang terpampang di layar monitor, cepat-cepat ia menyambar uang dari pemilik kantin.Ia berjalan dengan setengah berlari meninggalkan kantin."Ada apa?""Maaf, Tuan Kyler," sahut Hanum dari seberang telepon. Nada tegas Gallen membuat hatinya sedikit ketar-ketir, "Ada hal penting yang membutuhkan pertimbangan Anda.""Baik
"Nggak ikut gabung sama yang lain, Mas Gee?" tegur Saripah—penjaga kantin yang berdarah Jawa. Tangannya sibuk menata dagangannya.Wanita berusia awal empat puluhan itu merasa heran melihat sikap santai Gallen."Memangnya ada apa, Mbak?""Lo, Mas Gee nggak tahu ya?"Gallen menggeleng."Ealaah. Itu lo ... katanya hari ini Bos Besar bakal datang ke perusahaan.""Bos Besar?""Iya. Tuan Stephen Kyler," jelas Saripah, "Karena sudah tua, Bos Besar jarang ke sini. Sesekali datang, ya ... begitu sambutannya.""Semua karyawan bakal berbaris jadi pagar betis," imbuh Saripah, diiringi tawa kecil. "Enak ya jadi orang kaya. Dihormati di mana-mana. Nggak kayak kita, diremehin terus."Gallen tak lagi tertarik mendengar ocehan Saripah. Mendengar nama Stephen Kyler meluncur dari bibir penjaga kantin itu, jemarinya gesit mengetik pesan, lalu melesat menyusul rekan sekantornya.Menyadari kantinnya telah kosong ketika ia menoleh pada posisi Gallen berdiri, Saripah mende
"Nyonya Bellona Hopkins?!" seru Gallen, kaget. "Tidak. Anda datang pada waktu yang tepat. Mari bergabung bersama keluargaku!""Iya, Nyonya. Ayo duduk sini!" Kimi menjemput Bellona."Terima kasih!" Bellona merasa terharu dengan sambutan Gallen dan keluarganya. "Sebenarnya, aku ke sini ingin minta maaf pada Gallen atas namaku dan juga Atha. Aku terlalu serakah dan mementingkan anakku.""Seorang ibu selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Itu bisa dimaklumi, Nyonya," sahut Gallen. "Kami juga minta maaf karena telah melaporkan Anda dengan beberapa tindak kejahatan yang tidak Anda lakukan."Wajah Gallen kecut, merasa bersalah."Itu bukan kesalahanmu sepenuhnya. Wanita berhati iblis itu yang sangat pandai menipu orang." Muka Bellona menggelap. "Kalau aku tahu Bibi Rose menggunakan wajahku untuk berbuat jahat, aku pasti telah lebih dulu menyeretnya ke penjara. Dia benar-benar licik!""Dia pasti mempelajari keterampilan make-up saat berada di Korea Selatan," timpal Kimi."Betul. Itu ar
Gallen melangkah gontai memasuki rumah. Ia melewati Grizelle yang duduk santai di ruang tengah begitu saja.Namun, ketika sudut matanya menangkap bayang Grizelle saat hendak menaiki tangga, ia berbalik.Tanpa malu-malu ia merebahkan diri dan meletakkan kepala di pangkuan Grizelle yang duduk berjuntai di atas sofa.Grizelle mengelus rambut Gallen yang jatuh ke kening."Kamu dari mana saja? Aku sangat khawatir. Teleponmu tidak aktif."Gallen merogoh saku, mengeluarkan ponsel. "Ck! Baterainya habis.""Sini! Kubantu mengisikan dayanya.""Nanti saja! Aku masih mau seperti ini." Gallen menaruh ponsel di atas meja, lalu melingkarkan lengan pada pinggang Grizelle.Saat hatinya sedang galau dan pikiran kacau, berbaring di pangkuan Grizelle bikin nyaman.Wangi vanila berpadu dengan aroma alami tubuh Grizelle menghadirkan perasaan tenang di hati Gallen.Setelah cukup lama menikmati kehangatan pangkuan Grizelle, Gallen bangkit. Mengecup kening Grizelle."Terima kasih. Bersamamu, aku selalu merasa
"Kenapa? Kaget? Hahaha ...."Wanita itu tak peduli dengan keberadaan polisi dan tangannya yang terbogol. Ia tertawa, seperti telah kehilangan kewarasannya.Gallen bukan hanya kaget, tapi syok. Tak menyangka orang yang selama ini dikenalnya begitu baik dan berada di pihaknya, ternyata merupakan dalang dari segala kemalangan yang menimpa keluarganya."Bibi Rose, katakan bahwa ini tidak benar!""Hahaha ... sayangnya, inilah kenyataannya."Gallen menggeleng-geleng. Masih sulit memercayai kebenaran yang terpampang di depan mata."Kenapa, Bi? Bukankah nenekku selalu memperlakukan Bibi dengan baik?"Gallen masih ingat, walaupun samar, neneknya tidak pernah memperlakukan Bibi Rose dengan kasar.Rianna bahkan memercayai Bibi Rose menjadi pelayan pribadinya. Neneknya bahkan tak pernah perhitungan dalam membelikan pakaian dan memenuhi kebutuhan Bibi Rose.Tapi lihat balasan yang diberikan wanita itu! Hanya pengkhianatan terhadap keluarganya."Baik? Cih! Nenekmu bahkan lebih licik dari seekor rub
"Bro, target memasuki perangkap. Kau ingin melihat langsung?""Aku sudah berada di lokasi. Di mana kau?"Gallen berdiri di belakang sebuah tiang besar, mengawasi seorang wanita yang baru saja turun dari mobil.Wanita itu memakai setelan tunik dan celana panjang yang terlihat modis. Sehelai masker dan kacamata hitam berbingkai lebar menutupi wajahnya yang lonjong.Sebuah topi bulat dengan hiasan sekuntum bunga teratai mekar meneduhi wajahnya yang tersembunyi dari terik matahari."Arah jam sembilan."Gallen mengerling ke titik yang disebutkan. Tampak bayangan Regan duduk di belakang roda kemudi, berlagak sedang membersihkan dashboard. Namun, matanya sering kali mengerling ke pintu gerbang."Aku pada titik jam satu."Pandangan keduanya segera bertemu begitu Gallen menutup panggilan telepon.Regan tersenyum seraya mengangguk ringan.Wanita itu telah memasuki lobi hotel. Regan mengikuti dari belakang layaknya juga seorang pengunjung.Gallen berjalan memutar. Memasuki hotel lewat pintu khusu
"Laura, memaafkan dan kembali bersama adalah dua hal yang berbeda! Jangan mengharapkan lebih dari apa yang dapat kuberikan dan pantas untuk kau dapatkan!"Binar di mata Laura sirna seketika. Tatapannya luruh ke tanah."Tapi aku masih sangat mencintaimu, Gallen! Tak bisakah kamu menceraikan istrimu dan kembali padaku?""Laura, rumah tangga bukan hanya tentang rasa cinta, tapi tentang komitmen dan saling percaya."Cinta adalah ungkapan rasa hati. Dan asal kau tahu, hati itu sangat rapuh. Mudah sekali terbolak-balik, seperti musim yang terus berganti."Sementara komitmen adalah keteguhan hati dalam memegang janji suci. Tak peduli sekuat apa semesta mengguncangnya, ia tak akan berubah. Tetap setia melewati berbagai cobaan dan rintangan."Namun, sekali komitmen itu hancur, maka yang tersisa hanyalah serpihan tak berwujud, dan tak akan pernah bisa kembali utuh seperti semula."Kau bukan hanya telah menghancurkan komitmen cintamu denganku, Laura, tapi juga telah membuangnya. Apa lagi yang bi
Hening!Orang itu tak menyahuti perkataan Gallen. Ia sama sekali tak membantah tuduhan Gallen."Siapa kau?"Gallen menekan beberapa titik di punggung orang itu dengan gerakan cepat. Mengunci tubuhnya agar tak bisa melarikan diri."Kamu apakan badanku, hah?! Lepaskan aku!"Gallen terkesiap. Ternyata sosok yang bersembunyi di balik coat panjang dengan kepala tertutup hoodie lebar itu adalah seorang perempuan."Kau tidak akan ke mana-mana sebelum aku mendapatkan apa yang kuinginkan darimu," bisik Gallen, dengan nada penuh penekanan.Beberapa pasang mata, dari orang-orang yang melintas hendak keluar masuk Rumah Sakit, mengerling curiga pada Gallen.Gallen pindah ke hadapan wanita itu. Tegak dengan sebelah tangan bersembunyi dalam saku celana.Posisi mereka seperti dua orang kenalan yang saling bercengkerama.Keinginan wanita itu untuk kabur dari Gallen melebihi kuatnya terjangan ombak yang mengempas batu karang. Sayang, sekujur tubuhnya tak bisa digerakkan."Tolong, lepaskan aku! Aku janj
"Ada apa ini? Kenapa semua terlihat canggung?" tanya Grizelle, merasa tak enak hati karena masuk tanpa mengetuk pintu."Ah, itu hanya perasaanmu saja!"Gallen menyongsong Grizelle, mengambil alih tas berukuran kecil, yang berisi pakaian Kimi."Instingku tak pernah salah," bisik Grizelle. "Aura ruangan ini agak aneh."Gallen tersenyum simpul. Ia akui Grizelle memiliki kepekaan yang luar biasa. Pantas saja ia tak pernah gagal dalam menyelidiki kasus kliennya."God! Ayah juga di sini?" seru Grizelle, bergegas menyalami Grath. "Huh! Sekarang aku tahu kenapa ruangan ini terasa aneh. Ternyata Adam dan Hawa bertemu kembali setelah terlempar dari surga ke belahan dunia yang berbeda.""Greeze, apa yang kamu katakan?" Pipi Kimi merona merah.Perumpamaan yang disematkan Grizelle pada dirinya dan Grath menurutnya terlalu berlebihan."Wah, Ayah juga sudah sembuh? Luar biasa! Memang ya ... lelaki akan melupakan segala rasa sakit dan kesedihannya begitu melihat senyum menawan sang istri," imbuh Griz
"Penjahat seperti David Kyler tidak akan mampu menyentuhku, Bu. Ibu tidak perlu mencemaskan aku. Pikirkan saja kesehatan Ibu! Ibu harus segera sembuh.""Kamu juga tidak perlu mengkhawatirkan aku secara berlebihan."Gallen meraih jemari Kimi. "Bu, aku takut. Jika terjadi sesuatu yang buruk pada Ibu, aku akan merasa bersalah seumur hidup. Aku akan dihantui perasaan menyesal.""Gallen, tidak ada yang perlu disesali dari sebuah takdir. Cepat atau lambat, kita semua akan meninggalkan dunia ini.""Aku tahu, Bu. Tapi aku akan menyesal karena aku belum sempat mempertemukan Ibu dengan ayah.""Kamu tidak perlu melakukan itu, Gallen." Kimi melengos. Matanya terasa panas."Kenapa? Apa Ibu tak lagi mencintai ayah?""Bukan. Bukan karena itu. Seumur hidupku, aku hanya mencintai satu orang pria. Dan Pria itu adalah ayahmu."Aku tidak pernah mencintai lelaki lain, dan tidak akan pernah bisa.""Tapi, kenapa Ibu tidak mau bertemu dengan ayah? Selama ini ayah juga menderita, Bu."Kimi berusaha untuk dudu
Bugh!Tendangan Gallen melempar David hingga menghantam dinding dan menyebabkan dinding itu jebol."Bawa dia!" titah Gallen pada dua orang anak buah Kenzie yang menonton aksinya."S–siap, Komandan!"Mereka gugup melihat kehebatan Gallen. Tak terbayang jika mereka yang berada di posisi David. Mengerikan.Cepat-cepat mereka mengangkat sosok David yang tergeletak di tanah.Suara dering ponsel memecah kesunyian di kamar isolasi Grath.Thomas meninggalkan komputer yang memuat laporan perkembangan kesehatan Grath. Berjalan sedikit menjauh setelah membaca nama Gallen pada layar monitor."Firasatku tidak enak menerima panggilan telepon darimu pagi-pagi begini," ujar Thomas dengan suara lirih."Apa istriku bersama Kakek? Aku tidak bisa menghubunginya.""Tidak. Ada apa?""Kek, kalau Grizelle datang menemui Kakek, tolong minta dia untuk ke rumah ibuku, mengambil baju. Ibuku dirawat di Rumah Sakit.""Ibumu dirawat?! Apa yang terjadi? Apa dia baik-baik saja?""Ceritanya panjang, Kek. Aku masih ada