Haidar menyipitkan matanya seperti mengenali sosok yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri, penasaran Haidar langsung menyebrang jalan dan mendekati bangunan cafe itu.“Itu 'kan Mas Revan.” Ia terbelalak melihat Revan bersama dengan seorang wanita yang membawa bayi.Langkah kaki Haidar masuk ke dalam cafe, ia bukan orang yang suka mencampuri masalah orang lain tapi entah kenapa ia begitu ingin tahu karena ini bersangkutan dengan Alesha.“Ayo gendong. Masa nggak mau gendong anak sendiri.”Deg!Haidar merasa jantungnya berhenti berdetak. Kini ia duduk di meja seberang Revan dengan membelakangi. Revan jelas tidak akan mengenali Haidar yang memakai masker dan topi. Ia sama sekali tidak ada niat untuk mengikuti Revan tapi takdir memang membawa Haidar ke tempat ini.“Nggak usah keras-keras juga ngomongnya, kalau ada yang kenal gue gimana!” Revan nampak kesal.“Ya ampun, nggak usah bentak gitu juga, Van. Lihat Alisa kaget.” Namira menimang tubuh bayi itu yang tersentak karena suara Rev
“Kok tadi gue belain dia segitunya ya?” Revan menggaruk tengkuknya lalu masuk ke dalam mobil menyusul Alesha yang sudah ada di dalam.Revan menjadi bingung dengan dirinya sendiri, semenjak pindah ke apartemen, Revan bersikap seperti biasa. Tidak memperdulikan Alesha sama sekali bahkan ia tidak tidur dalam satu ranjang, Revan memilih tidur di sofa meski di kamar yang sama.Alesha tidak pernah berpikir buruk pada Revan, ia hanya mengira jika Revan sama seperti dirinya. Butuh waktu untuk melanjutkan lagi ke hal yang lebih intim. Saat itu mereka hanya satu minggu tinggal di rumah orang tua Alesha, selebihnya langsung menempati apartemen yang disediakan oleh Ustadz Harun. Sebagai hadiah pernikahan untuk anak dan menantunya.Sampai di apartemen, Alesha langsung bergegas untuk mandi agar bisa segera menyiapkan makan malam. Ia juga akan menanyakan soal Revan yang tadi terlihat marah-marah pada kedua teman Alesha.Sedangkan Revan menghempaskan tubuhnya di sofa, ia merasa sangat lelah. Lelah be
Revan menjelaskan semuanya pada Aslan dan Alesha tanpa ada yang ditutupi sedikitpun. Ia pasrah akan jadi seperti apa nantinya, yang terpenting sekarang sudah jujur karena semakin lama menyimpan fakta ini sudah pasti Alesha akan semakin sakit dibuatnya.Wajah Revan bahkan sampai babak belur karena tak bisa menahan marah. Alesha hanya bisa memeluk sang kakak agar lelaki itu berhenti memukuli Revan.“Kenapa lo nggak jujur dari awal hah? Sengaja lo mau hancurin hidup Alesha? Salah apa dia sama lo!”“Aku yang salah, Bang. Tapi tolong jangan bawa Alesha.” Revan memohon sambil berlutut, ia merasa tidak rela jika Alesha dibawa pergi oleh Aslan.“Terus lo mau dia disini urusin anak lo gitu?”Dengan berderai air mata, Alesha menggelengkan kepalanya. Ia jelas terluka dengan kebohongan yang dibuat Revan, padahal jika lelaki itu jujur dari awal Alesha bisa saja menerimanya tapi Revan malah menutupi itu bahkan dari kedua orang tuanya.Revan harus bersiap kehilangan Alesha dan juga semua fasilitas y
“Kenapa kamu kaget?”Alesha masih terpaku, jantungnya berdetak dengan kencang saat telinganya berdengung dan samar-samar mendengar pintu terbuka tapi ia tidak mendengar apa-apa lagi sekarang.Ia menggelengkan kepalanya karena merasa ada yang aneh.“Aku tunggu buat sarapan ya. Habis ini langsung ke kampus 'kan?”Alesha mengangguk. Karena apa yang dirasakannya itu membuat ia yakin untuk menemui ibu mertuanya dan menceritakan secara langsung.Selesai bersiap-siap, Alesha bergabung dengan Revan yang sudah menunggunya dari tadi. Biasanya Revan harus dibangunkan tapi kali ini ia malah bangun sendiri bahkan sudah menyiapkan. Ia rela melakukan ini setiap hari asalkan bisa melihat kembali senyum Alesha, sejak tadi keluar dari kamar belum ada senyum yang Revan lihat seperti biasanya.Lelaki itu bahkan sibuk memperhatikan Alesha yang menyantap sarapannya dengan kepala menunduk.Berada dalam situasi seperti ini membuat Revan sangat tidak nyaman. Ingin semuanya segera selesai tapi tidak mau jika A
Boleh jadi karena kelapangan hatinya memaafkan sang suami, ridhonya menerima masa lalu Revan itu yang membuat Sang Pencipta mengabulkan semua pengharapan Alesha, wanita yang memiliki hati yang begitu lembut, mencoba memaafkan saat dirinya bahkan sudah terluka. “Alesha, kamu dengar?” tanya Revan masih tidak percaya.Alesha mengangguk dengan berderai air mata haru, tidak menyangka sesuatu yang tidak mungkin kini telah terjadi. Dulu orang tua Alesha bahkan sudah melakukan berbagai cara untuk kesembuhan putrinya, tidak peduli dengan uang yang sudah mereka keluarkan karena yang terpenting itu anak mereka, tidak hanya di dalam negeri mereka bahkan sampai pergi ke luar negeri. Tapi hasilnya nihil, sekeras apapun berusaha jika Allah belum mengizinkan sudah pasti tidak akan ada hasilnya.Namun saat Alesha ikhlas dan menerima semuanya dengan hati yang lapang, disaat itulah semua permohonannya terkabul. Percaya jika yang Maha Kuasa akan memberikan yang terbaik dan mungkin memang ini yang terbai
“Abi, Ummi. Aku memang salah tapi aku nggak mau menikahi Nara. Aku tanggung jawab penuh pada Alisa tapi kalau soal menikah aku nggak bisa.” Revan berucap dengan tegas.“Enak sekali kamu ngomong ya. Setelah kamu merusak anak saya, kamu buang begitu saja!” Hendar, bapaknya Nara kembali menarik kerah kemeja yang dikenakan oleh Revan.“Tolong, Pak. Jangan melakukan kekerasan, bicara baik-baik.” Ustadz Harun mencoba untuk menengahi.“Ada apa ini Pak Ustadz? Maaf saya lancang masuk karena mendengar keributan.” Seorang tetangga datang.“Tidak apa, Pak. Ini masalah keluarga.”“Kalau begitu permisi, Pak Ustadz.”“Oh, anak ustadz ternyata. Tapi kelakuannya laknat!” maki Hendar.“Pak, udah. Kasihan Revan.” Nara tidak tega juga melihat Revan yang sudah babak belur akan dihantam lagi oleh Hendar.“Dia aja nggak kasihan sama kamu.”“Saya lebih baik dipukul daripada menikah dengan Nara!”“Revan!” Ustadz Harun nampak begitu marah dengan apa yang dikatakan oleh anaknya itu.Jika ia tahu dari awal soal
“Ada apa? Kamu mau kemana?” Desti terlihat kaget saat melihat Haidar yang buru-buru menyambar tasnya.“Ada urusan penting, Bu. Aku harus kembali ke kota, nanti aku jelasin.”Saat ini Haidar hanya ingin menemui Alesha, meski tak bisa membantu menyembuhkan luka wanita itu tapi ia tetap ingin berada di samping Alesha saat dunianya sedang tidak baik-baik saja.Tanpa berpikir soal tubuhnya yang lelah, Haidar kembali ke kota. Saat ini hanya Alesha yang memenuhi benaknya. Desi sampai terheran-heran apa yang membuat Haidar pergi tergesa-gesa dengan wajah panik bahkan sampai tidak ada waktu sekedar untuk menjelaskan soal yang terjadi.“Loh, Haidar kemana?” Anto yang baru saja keluar dari kamar mandi dan melewati kamar Haidar hanya melihat Desi seorang diri disana.“Katanya ada urusan, Mas. Dia balik ke kota.”“Apa? Balik ke kota padahal dia baru aja sampai, emang ada masalah apa sampai dia segitunya?”Desi menggeleng, “nggak tahu, Mas. Tapi tadi Alesha yang nelpon tapi aku nggak berani nanya l
“Aku bisa jelasin, sayang. Tolong jangan salah paham.” Revan mencoba untuk meraih tangan Alesha namun wanita itu dengan cepat menghindar.“Silahkan, apa yang mau kamu jelaskan, Mas.” Alesha membiarkan Revan untuk bicara.“Aku … aku sebenarnya terpaksa. Keluarganya mendesak aku, apalagi Bapaknya mengancam pakai kekerasan. Kamu ingat saat waktu itu aku pulang babak belur?”Ya, Alesha masih ingat itu dan Revan mengatakan jika ia bertengkar dengan temannya.“Sebenarnya, Bapaknya Nara yang buat aku babak belur.” Revan melanjutkan penjelasannya.“Ada pilihan untuk kamu agar bicara baik-baik sama aku, Mas. Tapi kenapa malah kamu bohong? Semua sudah terlanjur, kamu bisa lanjutkan pernikahan kamu dan Nara apalagi Alisa butuh orang tua yang lengkap. Aku yang bakalan mundur.”Revan dengan cepat menggeleng, “nggak, aku nggak mau pisah sama kamu. Nanti aku akan jatuhkan talak pada Nara. Aku minta maaf.”“Mas, pernikahan itu bukan permainan. Kamu nggak bisa sembarangan menikah terus cerai, sampai h
Patah hati terparah yang pernah Bagas rasakan, padahal hanya mengetahu mantan istrinya disukai lelaki lain. Itu baru sebatas menyukai bagaimana jika Hanum benar menikah dengan Malik? Hatinya akan lebih hancur daripada ini.“Ayah kenapa?” Mentari menegur sang ayah yang diam mematung dengan kedua sorot matanya tidak lepas dari kedua orang yang masih saling berinteraksi.“Nggak papa kok. Ayo masuk.” Bagas mencoba untuk bersikap wajar meski hatinya porak-poranda.Ia menemani Mentari karena Bu Wiwik sedang tidak ada di rumah sedangkan Hanum masih sibuk di warung, Bagas memiliki banyak kesempatan untuk bersama dengan Mentari tapi tidak sebahagia sebelumnya karena saat ini melihat Hanum dan laki-laki bernama Malik itu membuat pikiran Bagas tidak karuan.“Ayah capek ya, tidur aja dulu. Nanti kalau nenek pulang aku bangunin.” Mentari begitu perhatian padahal yang membuat Bagas tampak lesu jelas bukan karena ia yang memang merasa kelelahan tapi karena faktor lain yang tidak akan dimengerti oleh
Faz mengerucutkan bibirnya kesal, “Apaan sih, Ma. Aku sama Rendi nggak ngapa-ngapain kok,” sangkalnya karena memang mereka hanya sebatas berpelukan.“Halah. Mana ada maling mau ngaku. Kalau Mama nggak dateng pasti sudah kebablasan,” cibir Bunga.“Enggak, Ma. Jangan nuduh begitu, kasihan Rendi. Orang kita cuman pelukan kok.”Rendi tesenyum kikuk, “Maaf, Tante. Saya nggak bermaksud.”“Kalian udah lama loh berduaan.” Bunga mengusir dengan halus.“Kalau begitu saya pamit, Tante.” Lelaki itu langsung peka jika dirinya saat ini sudah disuruh untuk pulang.“Pinter.”“Ma.” Faz langsung melayangkan protes, “lama dari mananya, belum seharian kok.”“Aku pulang dulu ya.” Rendi langsung pamit pada Faz dan juga Bunga.Rendi itu sangat peka apalagi tahu seperti apa watak dari calon ibu mertuanya, meski terlihat galak Bunga itu sebenarnya baik dan sudah mulai membuka pintu restu untuk Faz dan juga Rendi.“Mama main ngusir aja sih!”Bunga langsung mengambil posisi duduk di samping sang putri, “kamu be
“Nggak, Ma. Aku tetap pada pendirian aku, aku mau tinggal di kampung. Setelah menemui Faz nanti baru aku pergi, nanti aku kembali saat Faz melahirkan.”Bukan tidak ingin tanggung jawab dengan terus ada di samping Faz tapi Bagas tahu jika Faz tidak menginginkan kehadirannya karena rasa bencinya pasti begitu besar. Jadi daripada membuat Faz semakin tidak nyaman lebih baik Bagas sadar diri.“Kok kamu jadi gini sih, Gas? Kamu diancam sama Hanum?”Bagas enggan mendengar ocehan sang ibu yang selalu saja merendahkan Hanum dan menganggap Hanum itu tidak baik. Kurang apa Hanum selama ini, wanita itu begitu setia dan menerima Bagas apa adanya, menunggu restu yang tak kunjung didapat dan pada akhirnya Hanum pun mundur.“Sudah ya, Ma. Aku capek.” Bagas menutup pintu kamarnya dan langsung mengunci dari dalam, enggan untuk diganggu.Semuanya sudah hancur tak bersisa, jika masih melakukan sesuatu yang buruk apalagi berdampak pada orang lain maka Bagas tidak akan bisa tenang mungkin saja akan lebih h
“Bukan, bukan. Aku nggak pernah sama sekali berpikir kayak gitu, Faz. Aku terima kamu dan bayi kamu tapi kalau sampai harus ikut merahasiakan aku nggak bisa. Lebih baik segera kamu bicarakan sama Bagas. Aku nggak maksa, tapi menurut aku lebih baik seperti itu.”Faz akan percaya jika Rendi benar-benar mencintainya setelah mereka resmi menikah sedangkan sekarang kondisi masih tidak memungkinkan karena memang Faz masih hamil. Harus menunggu beberapa bulan lagi sampai nanti bayi itu lahir.“Kalau bisa aku menikahi kamu sekarang agar kamu percaya pasti akan aku lakukan, tapi kondisi saat ini kamu tahu sendiri seperti apa. Aku mohon percaya sama aku, aku sama sekali nggak berpikir sampai ke situ.”Faz merasa bersalah juga karena akhir-akhir ini ia memang mudah sekali tersulut emosinya dan akhirnya Rendi yang kena semprot padahal lelaki itu begitu setianya mendampingi, mendengar semua keluhan yang dirasakan oleh Faz meski memang tidak bisa mendampingi benar-benar ada di samping Faz karena la
Bagas tidak percaya saat membaca ulang pesan yang dikirimkan oleh Hanum. Ia tahu betul Hanum tidak akan mungkin meminta pisah seberat apapun masalah dalam rumah tangga mereka, bahkan saat tak kunjung mendapat restu saja ia masih bertahan bertahun-tahun. Bagas malah berpikir pasti ada yang menghasut Hanum sampai berpikir untuk berpisah, ia tidak sadar jika Hanum seperti ini karenanya yang malah mengejar Faz yang sudah jelas tidak akan mungkin bisa didapatkannya lagi.Harusnya saat Hanum menerima semuanya setelah tahu Bagas menikah lagi, lelaki itu jangan berbuat hal macam-macam yang membuat Hanum semakin tersakiti. Tapi Bagas malah melakukan hal yang sebaliknya dan sekarang kaget sendiri saat Hanum bertindak tegas."Ma, aku pergi dulu." Bagas berdiri dengan perasaan tidak karuan."Mau kemana?""Ada urusan. Pokoknya sebelum urusan aku selesai aku nggak bakalan pulang." Menyambar kunci mobil lalu berlari keluar membuat sang ibu terheran-heran.Saat mencoba menelpon Hanum, malah tidak bis
"Nggaklah, aku nggak mau. Sembarangan!""Nggak usah ngegas juga, Papa cuman becanda." Aslan bercanda tapi dengan wajah yang datar, siapapun tidak akan menyangka lelaki itu bercanda.Faz mencebik. "Bercandanya nggak lucu, Pa.""Kamu nggak bisa menikah dalam keadaan hamil, Faz. Kamu nggak tahu itu?""Tahu dong, Pa. Tapi 'kan dapet restu dari Papa sama Mama nggak gampang jadi dari sekarang aja ngomongnya karena belum tentu langsung dikasih jalan.""Ya udah."Mata Faz langsung berbinar. "Papa kasih restu?""Ya udah kamu keluar sana, Papa lagi kerja nih. Kamu sama Mama kamu sama aja ganggu Papa hobinya.""Terus kapan kasih restu, Pa? Aku pengen nikah.""Kapan-kapan aja. Kamu juga pengen nikah tetep nggak bisa sekarang, udah kalian keluar."Faz menghela nafas panjang lalu melangkah keluar dari ruangan sang ayah sedangkan Bunga masih berdiri di samping meja kerja sang suami."Mas, gimana?"Sebelah alis lelaki itu terangkat. "Gimana apanya?""Mau kasih restu? Aku nggak mau ya kalau punya mena
Jika hati dan tubuhnya bahkan sudah terbagi, apalagi yang menjadi alasan Hanum bertahan jika bukan Mentari. Berat rasanya bertahan bersama Bagas saat tahu lelaki itu sudah mencintai wanita lain yang sekarang sudah menyandang status sebagai mantan istri lelaki itu.Hanum lebih rela menemani masa sulit suaminya, daripada menemani lelaki yang sudah membagi hatinya seperti ini. Itu sangat menyakitkan.Mungkin jika kebohongan Bagas tidak diketahui oleh Faz, bisa saja Hanum yang akan ditinggalkan oleh Bagas. Sekarang Hanum tidak lagi merasa takut jika akan ditinggalkan. Ia sudah sangat lelah dengan apa yang terjadi, kesabarannya sudah dipertebal tapi malah ini yang didapatkan.Sudah satu minggu Bagas pergi, semenjak Hanum melihat foto Faz yang masih tersimpan di ponsel Bagas bahkan dijadikan tampilan layar. Lelaki itu hanya menghubungi sekedar untuk bicara pada Mentari, Hanum seolah tidak dianggap dan wanita itu pun tidak peduli lagi. Ia lelah jika terus meladeni Bagas yang sama sekali tida
POV Author“Mau kemana, Mas?”“Ada urusan.”“Urusan apa?”“Urusan penting.” Bagas menepis tangan Hanum membuat wanita itu mengernyit heran.Sikap Bagas berubah meski lelaki itu terus menepis dan mengatakan jika ia tidak berubah sama sekali tapi di sini Hanum yang merasakannya. Suaminya itu bersikap dingin bahkan jarang pulang padahal Bagas sendiri yang mengatakan jika ia tidak akan lagi bekerja di kota. Tapi lelaki itu selalu beralasan ada urusan di kota tapi tidak menjelaskan dengan detail urusan apa yang sedang dilakukannya.“Apa ini cuman perasaan aku doang ya.” Hanum menggeleng, “jangan mikir macam-macam, Hanum. Mas Bagas pasti lagi sibuk apalagi perusahaannya sekarang udah hancur.”Hanum tahu soal perusahaan keluarga suaminya yang akhirnya hancur. Ada rasa bersalah menyusup dalam dadanya karena ia yang berencana untuk memberitahu secara tidak langsung pada Faz soal siapa Hanum sebenarnya.Kalau saja Bagas tahu Hanum sengaja tidak memberitahu jika Faz akan mengikuti, sudah pasti l
“Aku cinta sama kamu.”“Bullshit! Nggak usah kamu keluarkan rayuan kamu dalam situasi ini, Mas. Aku tetep pada keputusan aku buat pisah. Aku nggak mau jadi sumber derita buat wanita lain yang nggak tahu apa-apa. Mbak Hanum pasti nggak tahu soal permainan kamu ini 'kan?”“Kita selesaikan baik-baik ya, jangan kayak gini.”“Iya, aku emang mau selesaikan ini baik-baik sama kamu. Kita pisah tapi aku nggak bakalan cabut dana yang mengalir ke perusahaan ayah kamu tapi setelah kerjasama selesai jangan harap dapat bantuan lagi kalau sampai nanti perusahaan itu kembali jatuh!”“Sayang ….”“Cukup, Mas! Kamu nggak kasihan sama istri dan anak kamu. Nggak usah kamu korbankan mereka cuman akrena harta yang nggak bakalan kamu bawa mati.”“Ini bukan soal harta tapi perasaan aku. Kamu nggak percaya?”“Nggak, aku sama sekali nggak percaya sama kamu. Kebohongan kamu sebelumnya bahkan aku masih nggak percaya kalau itu sebuah kenyataan.”Aku merasa beruntung karena belum memberikan hatiku padanya, tidak ma