“Loh! Yonna, kamu mau ke mana?” Tanya Tuan Rey dengan sedikit bingung melihat aku membawa keranjang belanjaan.
“Mau belanja, Tuan.”
“Belanja?”
“Iya, Tuan. Semua sayuran dan persediaan makanan sudah habis,”
“Uangnya ada?”
“Ada, Tuan. Baru saja diberikan oleh Tuan Roy.”
Wajah Tuan Rey langsung berubah, entah mengapa setiap aku menyebut nama Tuan Roy, sepertinya Tuan Rey seakan tidak suka namun, aku berusaha tidak mau ambil pusing.
“Ya sudah, biar saya antar.”
“Hah! jangan, Tuan. Biarkan saya sendiri saja.”
“Sendiri? Dengan kaki kamu yang seperti itu?”
“Sudah jangan keras kepala! Biar saya antar saja,”
Tuan Rey langsung memberikan Daffa padaku dan ia bergegas memanaskan mobilnya.
“Ayo naik, Yon.”
Aku mengangguk. “Baik, Tuan.”
Setelah masuk mobil ta
Sesampainya di rumah, Tuan Rey langsung mandi, aku melihatnya bergumam dalam hati.“Ternyata seperti in ya,i kehidupan orang kaya, ke pasar saja langsung jijik.”Aku menurunkan Daffa dari gendonganku dan meletakkannya di lantai, tidak lupa juga aku memberinya permainan agar ia betah dan tidak menangis.“Sayang, kamu temani ibu disini ya, jangan nakal ya, Sayang.” Ucapku.Aku sibuk memotong sayuran untuk makan siang ini. Aku tidak sadar ternyata Daffa sudah berjalan menuju kamar Tuan Roy.Daffa memukul-mukul pintu kamar tersebut, aku sama sekali tidak menyadari hal itu.“Krieeetttt,,,,”“Eh, Daffa. Sini sama, Om.”Roy langsung membawa Daffa pergi keluar dan mengajaknya duduk di teras rumah.Setelah selesai mandi Rey langsung pergi ke kamar abangnya Roy.“Tok,,,, tok,,,, tok,,,,”Tidak ada jawaban sama sekali.&ldquo
Ketika semua pekerjaanku sudah selesai aku baru teringat dengan Daffa yang sudah tidak ada di dapur, aku langsung panik dan mencarinya ke mana-mana.“Daffa,,,, Daffa,,,, kamu dimana, Nak!” Teriakku.Aku panik, setelah aku mencari di sekeliling namun, tidak menemukan Daffa.Ketika sampai di teras depan aku sedikit lega ketika melihat Daffa di pelukan Tuan Roy.Perlahan-lahan aku menghampiri mereka berdua di teras depan.“Tuan, makan siang sudah saya siapkan.”Tuan Roy langsung membalikkan badannya. “Terima kasih, Yonna.”“Terima kasih, Yon.” Sahut Tuan Rey.“Tuan, boleh saya memandikan Daffa? Dia habis dari pasar, Tuan.” Pintaku.“Oh, iya boleh.” Jawab Tuan Roy sambil memberikan Daffa padaku.“Terima kasih, Tuan.”Tuan Roy hanya mengangguk.Dalam hati aku sangat senang melihat Tuan Roy tidak marah lagi padaku.
“Berani bersumpah?”“Iya, Tuan. Saya tidak berbohong, Tuan.” Ucapku sambil menangis.“Lalu mengapa kamu menangis?”Aku menggeleng.“Bukankah kamu berani bersumpah?”Aku mengangguk.“Lantas mengapa kamu menangis?”“Saya berani bersumpah kalau saya tidak berbohong namun, setelah apa yang saya jelaskan, Tuan masih tidak percaya. Lalu apa yang Tuan inginkan lagi?” Jawabku di sela-sela isak tangisku.“Lantas dengan hanya kamu bersumpah saya percaya?”“Lalu apa yang, Tuan inginkan?” Tanyaku dengan pasrah.“Bersumpah!”“Bersumpah seperti apa yang, Tuan inginkan? Bukankah saya sudah bersumpah tadi?”Tuan Rey mendekatiku dan memegangi wajahku. “Bersumpahlah kalau kamu tidak akan menemui Abang saya lagi.”Perkataannya seakan membuatku tersambar petir di siang hari. “A
“Mengapa kamu kemari, bukankah kau sudah senang? Jangan lupa, kau harus bersumpah padaku!”Tuan Rey meletakkan kedua tangannya di pinggang, dia tidak melihatku namun, ia tau jika aku berada di belakangnya saat ini.“Tuan,”“Diam! Jangan memanggilku dengan sebutan, Tuan!”Aku mundur beberapa langkah, terlihat Tuan Rey langsung memutar badannya dan berjalan mendekatiku.“Stop disitu! Mengapa kamu ketakutan? Sebenarnya apa yang kau bicarakan pada abangku tadi malam!” Bentaknya.Aku semakin takut, tidak mengerti bahkan aku tidak paham apa maksud dari Tuan Rey bersikap seperti ini padaku.“Jangan sok polos, katakan padaku! Apa yang kau katakan, Yonna!”Aku tidak tahan lagi, aku langsung memberanikan diri untuk menatap wajahnya dan mempertanyakan apa maksud dari semua ini.“Sebenarnya apa maksudmu, Tuan? Apa salah saya, apakah saya pernah melakukan kesalahan fat
Aku langsung menepis tangan itu. “Saya tidak mengerti dengan sikap anda, Tuan.”“Tidak mengerti bagaimana, Yon? Coba jelaskan.”“Bagaimana, Tuan bisa bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa tadi malam?”“Lupakan yang terjadi tadi malam, saya minta maaf, Yonna.” Jawabnya seakan tidak merasa bersalah.Aku semakin tidak mengerti, setelah menerima jawaban yang tidak memuaskan itu, aku langsung mempertanyakan sumpah yang Tuan Rey maksudkan tadi malam.“Apa, Tuan masih ingat dengan sumpah?”Tuan Rey berpura-pura bingung. “Sumpah yang mana, Yonna?”“Tadi malam, Tuan. Apa itu juga lupa?” Jawabku merasa sedikit kesal.“Jelaskan.”“Apa yang mau dijelaskan, Tuan? Bukankah yang seharusnya meminta penjelasan itu, saya?”Tuan Rey sedikit panik namun, ia berusaha tetap tenang. “Oh, itu. Saya hanya bercanda,&
“Awas saja kamu!” Bentaknya dari kejauhan sambil berlalu pergi begitu saja.Aku menoleh sebentar, tanpa memperdulikan ucapannya aku langsung pergi.Di dalam kamar, aku menatap langit biru dari jendela kamarku, entah mengapa kurasakan dunia ini tidak adil untuk orang seperti aku, terkadang aku merasa bahagia, dan terkadang pula merasa sedih.Mataku tertuju pada sebuah mobil yang masuk di antara gerbang rumah, tidak salah lagi itu adalah mobil Tuan Roy, seketika mataku berbinar bibirku tersenyum bahagia.“Apakah semudah itu aku bahagia? Lantas barusan apa yang aku katakan? Dunia tidak adil bukan?” Tiba-tiba aku teringat ungkapan hatiku di balik jendela kaca itu.Sebelum Tuan Roy turun dari mobil, aku langsung menuju dapur untuk menyiapkan makan malam untuk nya.“Loh, Yonna. Kamu ngapain?”Aku menoleh ke belakang, suara yang tidak asing, suara yang membuat hatiku tenang, siapa lagi kalau bukan
“Saya ingin bertanya, padamu,”“Bertanya tentang apa, Tuan?”“Bagaimana perlakuan, Rey terhadapmu?”Mendengar pertanyaan itu, aku langsung teringat kembali keanehan sifat Tuan Rey padaku. Aku tidak berani mengatakan yang sebenarnya, aku takut mereka menjadi bertengkar.“Am,,, baik-baik saja, Tuan. Tidak ada yang aneh sama sekali.”“Jika saya pergi, apakah ia pernah memarahimu? Atau malah sebaliknya,”“Ti,,,, tidak, Tuan. Saya tidak pernah di marahi oleh, Tuan Rey.”“Jujur, Yonna. Mengapa kamu terlihat sangat takut begitu,”“Tidak, Tuan. Saya sudah jujur,”“Oke, akan saya tanya langsung dengan Rey.”“Tidak perlu, Tuan. Jangan bahas soal ini lagi, saya tidak apa-apa. Saya hanya seorang pembantu disini, saya merasa apa yang dikatakan oleh Tuan Rey tadi benar. Tuan jangan terlalu baik dengan saya,” t
“Prangggg!!!!”“Eh maaf, maaf Yonna. Saya tidak sengaja.” Ucap Tuan Rey ketika ia tidak sengaja menjatuhkan satu buah piring kaca.“Akh, tidak apa-apa, Tuan. Ini tidak jadi masalah.” Jawabku sembari membersihkan pecahan piring itu.“Biar saya bantu, Yon.”“Tidak perlu, Tuan. Biarlah ini menjadi tugas saya,”“Tidak, biar saya bantu.” Ucapnya sedikit memaksa.Mendengar ucapan itu, aku tidak dapat mencegahnya.“Terserah, Tuan saja. Tetapi ini perlu hati-hati, Tuan. Sebab ini pecahan kaca, saya takut tangan, Taun terluka.”Tuan Rey tersenyum. “Tidak, tidak akan terluka,” jawabnya meyakinkanku.Aku tidak menjawab, aku fokus membersihkan pecahan kaca yang sangat banyak Berserakan di lantai. Tidak begitu lama, aku terkejut.“Ah, au! Sakit sekali,” rintih Tuan Rey, sambil memegangi tangannya.Aku meliha
“Keadaannya kritis.” Ujar dokter yang tiba-tiba keluar tanpa aba-aba itu.Rey yang tadinya terlihat emosi berubah sangat kecut dengan penyesalan yang tiada arti.“Ap-apa? Kritis, Dok?” Tanyanya dengan mata yang berkaca kaca.Dokter hanya mengangguk perlahan. “Kami sedang berusaha mencari darah A+ untuknya. Apa anda, suaminya?”“Da-darah? A+?” Rey terpaku beberapa saat setelah dokter mengatakan hal itu.“Iya, pasien benar-benar banyak kehilangan darah. Sekali lagi saya tanya, apa anda suaminya?”Rey menggeleng. “Bu-bukan, Dok. Saya temannya. Kalau begitu, coba periksa saya, Dok. Jika golongan darah saya cocok, ambil saja.”“Kecil kemungkinan, Pak. Tetapi tidak masalah, mari kita coba.”Rey mengikuti dokter yang berjalan sangat cepat. “Masuk ke dalam.” Pinta sang dokter.Rey tidak menjawab melainkan langsung masuk dan duduk di k
Karena merasa perkataannya benar, aku hanya diam dan terus berpikir bagaimana caranya agar tidak terjadi apa-apa pada anakku Daffa.“Terserah apa yang kau katakan, Rey. Aku tidak perduli.”Rey hanya tertawa puas. “Lebih baik kau tidur saja, Yonna. Kita bahas nanti setelah kau pulih.” Ujarnya dengan percaya diri seakan rencananya berhasil.Aku hanya diam dan diam.Malam telah tiba, Rey terlihat duduk di kursi luar menjaga jaga keadaan, mungkin takut aku akan kabur malam ini.Perlahan lahan aku membuka infus yang ada di tanganku dan berjalan mengintip melalui celah pintu.“Bagaimana cara agar aku bisa kabur malam, ini? Sedangkan dia berjaga diluar.” Ujarku pelan.Aku kembali ke tempat tidur dan berpura pura memasang pelekat infus di tanganku agar, terlihat tetap terpasang.“Cekreekk... “ Suara pintu terbuka dan aku berpur pura memejamkan mata.Rey masuk guna memastikan aku te
“Aku dimana,”“Yon, Yonna? Kau sudah sadar? Tenang-tenang. Aku tidak akan menyakitimu.” Ujar Rey berusaha menenangkan Yonna.“Aku dimana sekarang?”“Di rumah sakit, Yon.”“Aku kenapa?”“Kau... emm... kamu sakit, Yon. Kamu pingsan.”“Aku ingin pulang sekarang juga,” ucapku dengan suara parau hampir tidak terdengar jelas.“Kamu ingin pulang? Dokter mengatakan belum bisa untuk saat ini, jadi kita pulang besok.”“Aku tidak mau! Aku ingin pulang sekarang juga.” Dengan nekat aku berusaha membuka jarum infus yang terpasang di tanganku. “Arghhh... mengapa ini ada di tanganku!”“Tenang, Yon. Tenang! Jangan panik.”“Anakku mana! Mana anakku!”“Daffa baik-baik saja.”“Apa yang kamu lakukan pada anakku!”“Apa maksudmu, Yon? Aku tidak
“Waw! Pertunjukan yang sangat hebat. Saya yakin kau bisa melakukannya Yonna,”“Ini yang Tuan inginkan, bukan? Akan aku lakukan.”“Berapa banyak kau minum? Satu botol ini?” Tanya tuan Rey di tengah kesadaranku yang mulai tidak terkendali.“Lebih banyak dari itu.”“Apa kau sudah gila! Saya tidak menyuruhmu minum lebih dari yang aku minta!”Tuan Rey seketika bangkit dan menghampiriku dengan wajah yang memerah.“Hentikan! Duduk disitu!”Aku tidak memperdulikan apa yang ia katakan, aku menuang kembali bir ke dalam gelas dan mencoba meminumnya kembali.“Praaanggg... “Gelas yang berisi minuman bewarna merah keunguan itu tumpah dengan pecahan kaca berserakan di mana-mana.Wajahku tidak sedikitpun panik. “Mengapa? Berikan lagi minuman itu, aku sangat menikmati malam ini. Jangan hentikan aku, aku lelah.”“Hentikan!
“Apa maksudmu, Rey?” Tanyaku dengan wajah yang pasrah dan memerah menahan emosi.“Rey? Oh... Sudah berani kau memanggilku tanpa sebutan, Tuan?” Kata Tuan Rey mengakui keberanian ku“Aku bertanya apa maksudmu! Dengan mengajakku pergi ke tempat ini, kamu kira ini lucu? Lepaskan tanganku! Aku ingin pulang!”Tuan Rey hanya tertawa dengan raut wajah puas. “Hahaha... Jangan takut, Cantik. Kau akan baik-baik saja, kita hanya perlu bersenang senang disini.”“Saya bilang lepaskan saya! Atau perbuatanmu akan saya bongkar!” Ancamku sambil menghindari tatapan tajam mata Tuan Rey.“Ssttttt... Ah!”Sebuah tangan mencengkeram wajahku sangat teramat kuat, yang tidak lain tangan Tuan Rey.“Apa? Kau mengancamku? Coba lakukan! Kau akan melihat apa yang akan terjadi pada anak semata wayangmu Daffa!”Mataku membulat, pikiranku mulai kacau.“Daf-Daffa? A
Mentari tak begitu menampakkan sinarnya yang menyengat, ku buka jendela kamar dan kutatap wajah Daffa yang masih tertidur pulas memeluk guling. Wajahnya yang tampak sangat mirip dengan lelaki brengsek itu membuatku terdiam membeku.“Wajahnya sangat mirip denganmu, bagaimana aku bisa lupa dengan kejadian bertahun tahun lalu? Kau begitu dalam menggores luka pada diriku, dan kau juga telah menghancurkan masa depanku saat ini.” Aku berbisik lirih entah kepada siapa, bertahun tahun telah aku lalui begitu saja tanpa rasa yang berarti pada siapa pun.“Yonna... Cepat kemari.”“Suara itu lagi?” Batinku.Tatapan penuh masih tertuju pada wajah Daffa, sebelum aku meninggalkannya untuk beberapa saat kemudian.“Ada apa, Tuan?”Tuan Rey meletakkan bungkusan bewarna keemasan tepat di meja depanku. “Pakai ini.” Pintanya tanpa basa basi.“A-pa ini, Tuan?”“Jangan banya
Dikala mulut tidak mampu untuk berkata kata lagi, aku pergi begitu saja dari tuan Roy.“Hey, kita belum selesai bicara. Tidak sopan kamu pergi begitu saja,” ucap Tuan Roy dari melihat aku pergi begitu saja.Tatapanku hanya tertuju ke depan, tanpa melihat ke belakang lagi, kudengar Tuan Roy berbicara sendiri mungkin kesal melihat caraku meninggalkannya yang terkesan tidak sopan.Sampai di dalam kamar.“Daffa, ikut ibu.”“Kemana, Bu?” Tanya Daffa dengan wajah bingung namun tetap mengikutiku.“Ikut saja, Nak.”Aku membawa Daffa ke samping rumah, disitu ada tempat duduk yang jarang di datangi Tuan Roy dan Tuan Rey bagiku ini tempat aman untuk bercerita selain di kamar.“Nak, mulai sekarang jangan dekati Tuan Roy lagi, ya. Ibu tidak suka.” Ujarku memulai percakapan pahit ini.Daffa lantas memandangi wajahku yang seakan akan bercanda itu.“Kenapa, Bu? Daf
Tahun begitu cepat berganti, kini Daffa tumbuh menjadi anak yang cerdas dan pintar.“Bu, dimana ayah?”Pertanyaan Daffa mengingatkan aku kembali ke masa pahit itu.“Ayah kamu sudah mati, Nak.” Jawabku, singkat tanpa melihat wajahnya.“Foto ayah ada, Bu? Daffa ingin melihat wajahnya sekali saja,” pinta Daffa.“Tidak ada! Sudah, jangan tanyakan lagi dimana ayahmu itu.”“Ibu kenapa? Memangnya Daffa salah kalau ingin bertemu ayah?”Aku memandangi wajah Daffa dan memeluknya.“Sayang, maafkan ibu. Kamu tidak salah, Nak tetapi, ini bukan waktu yang tepat untuk menjelaskan semuanya.”“Maksud, Ibu apa?”Aku hanya menggeleng dan pergi.“Bu! Kalau ibu tidak mau memberi tahu Daffa, nanti Daffa tanyakan saja pada om Roy,”Mataku melotot, segera aku palingkan wajahku dan menatap Daffa.”“Untuk apa? Me
“Bruukkkkk....”Suara badan Tuan Rey menghantam dinding cukup kuat, aku berhasil mendorongnya hingga ia terjatuh.Tidak ingin menyia nyiakan kesempatan, aku berlari menyelamatkan diri.“Jangan lari kau, Yonna!” Teriak Tuan Rey dari belakangku.Tanpa memperdulikan teriakan tersebut, aku terus berlari dan masuk ke dalam kamar.Setelah menutup pintu, nafasku terengah engah kusandarkan diri pada pintu dan tubuhku jatuh perlahan.Aku berteriak dalam hati, ingin rasanya pergi dari rumah ini namun, aku tidak tau harus melangkahkan kaki ke mana lagi.Lukaku belum sepenuhnya sembuh, kini mentalku di hancurkan habis habisan oleh Tuan Rey.“Buka pintunya, Yonna! Jika tidak akan aku dobrak!”Teriak Tuan Rey dari luar pintu kamarku.Aku diam membisu, hanya air mata yang terus saja mengalir deras di kedua pipiku. Saat ini aku pasrah apapun yang akan Tuan rey lakukan nantinya.