“Aarrgh!” Kenzo meninju angin dengan kesal lantaran gagal menyusul Amisha.
“Sayang, biarkan saja dia pergi. Bukankah itu lebih baik?” Wanita itu berusaha menghibur Kenzo.
“Semua ini gara-gara kamu! Aku jadi kehilangan tambang emas dan masa depanku!” Kenzo menatap tajam kepada kekasihnya.
“Kita masih bisa mencari perempuan bodoh lainnya,” bujuk wanita itu, tersenyum manis seraya menggelayut manja di lengan Kenzo.
“Ah! Benar juga! Kamu memang kekasih pintarku!” Kenzo mencolek dagu wanita itu. Emosinya mereda.
Mereka kembali masuk ke toko pakaian, melanjutkan kegiatan mereka yang sempat tertunda.
Bersembunyi di balik sebuah mobil, Amisha melihat semua adegan mesra sepasang kekasih itu dengan air mata mengalir deras. Hatinya benar-benar hancur bagai butiran debu.
“Aku memang bodoh dan telah dibutakan oleh cinta!” gumam Amisha, pelan. Tanpa terasa air matanya kembali luruh, mengenang kisah kelam itu.
Amisha melangkah gontai di sepanjang jalan. Tak ia pedulikan tubuhnya yang basah kuyup. Air mata kian membasahi pipi, menyatu dengan derasnya hujan di malam itu.
‘Apa aku memang tidak pantas untuk dicintai?’ tanya hati Amisha, berbalut pedih.
Tok! Tok! Tok!
Amisha mengetuk pintu rumahnya dengan lesu, lupa bahwa di sisi pintu ada bel. Tubuhnya menggigil karena terlalu lama terpapar hujan dan dinginnya udara malam.
“Ya ampun, Non. Nona kenapa begini?” Asisten rumah tangga Amisha berteriak kaget dan cemas melihat kondisi tubuh Amisha.
Amisha berdiri lemah, nyaris jatuh terempas ke lantai teras jika sang asisten rumah tangga tidak cepat-cepat menangkap tubuhnya.
“Mang Dadaaang!” Wanita itu berteriak kencang, memanggil penjaga rumah sambil mendekap Amisha yang sudah tak sadarkan diri.
“Ada apa, Bi Inah?” tanya Dadang, berteriak sambil berlari tergopoh-gopoh menghampiri Inah.
“Ya Allah, Non. Kenapa sampai pingsan begini?” Dadang bergumam cemas. Cepat-cepat ia membopong Amisha, naik ke lantai dua.
Dadang membaringkan Amisha di atas ranjang, lalu keluar, membiarkan Inah menyelesaikan tugas selanjutnya.
Inah mengganti pakaian basah Amisha dan menyelimutinya agar tubuh Amisha terasa hangat. Matanya menatap sendu wajah cantik Amisha. Dirabanya kening Amisha. Ia terperanjat. Tubuh Amisha sangat panas. Sepertinya gadis itu terlalu lama kehujanan.
“Kasihan sekali Non Amisha.” Inah bergumam pelan seraya mengelus kepala majikannya itu.
Sambil menunggu kehadiran dokter keluarga Amisha yang telah dihubunginya, Inah mengompres kening Amisha dengan air hangat, berusaha menurunkan suhu panas di tubuh sang majikan.
Selang beberapa waktu, dokter selesai memeriksa kondisi kesehatan Amisha. Dokter itu tersenyum pada Inah.
“Tidak perlu cemas, Bi Inah. Nona Muda hanya demam biasa. Istirahat yang cukup akan mengembalikan kesegaran tubuhnya,” jelas sang dokter, menenangkan kekhawatiran Inah.
“Syukurlah. Terima kasih, Dokter Willy!” Inah merasa lega, mengetahui Amisha baik-baik saja.
Ia mengantar Dokter Willy hingga ke pintu ketika dokter itu pamit, karena telah selesai menjalankan tugasnya.
Berdiri di belakang jendela kamarnya, Zain sedang berkonsentrasi, berbicara dengan seseorang melalui telepon genggamnya.
“Pokoknya aku tidak mau tahu. Carikan aku posisi yang pas di perusahaan Harist!” perintah Zain tegas pada lawan bicaranya.
“Aku bisa saja membantumu, tapi … aku tidak yakin kau akan bersedia melakukan pekerjaan kotor dan merendahkan dirimu,” sahut suara di seberang telepon, tenang.
“Apa maksudmu?” tanya Zain, dengan kening berkerut.
“Semua posisi saat ini sudah terisi penuh, kecuali satu ….” Suara di seberang telepon menjeda ucapannya, membuat Zain penasaran.
“Bicara yang jelas, Seno!” hardik Zain, sedikit kesal karena merasa dipermainkan.
“Wow! Kau terdengar tidak sabar. Kenapa kau ingin bekerja di perusahaan Harist? Bukankah kau punya perusahaan sendiri yang sudah go international?”
Wajah Zain mengeras mendengar pertanyaan Seno. Lelaki itu sepertinya benar-benar ingin menguji kesabarannya.
“Kalau kau tidak mau. Aku akan mencari orang lain. Tapi ingat! Lupakan persahabatan kita!” tukas Zain, dengan nada mengancam.
“Oke! Oke! Aku akan bantu, tapi … apa kau bersedia menjadi seorang office boy?” tanya Seno, ragu-ragu.
“Apa? Yang benar saja, Seno. Apa kau anggap aku ini tidak punya kemampuan apa pun untuk bekerja di perusahaan Harist?” Zain mendecak kecewa. Harga dirinya merasa terhina.
“Kan aku sudah bilang sebelumnya … semua posisi penuh kecuali satu itu, tapi ... itu bukan sembarang office boy lo ….” Seno berkata lunak, seakan sedang berusaha membujuk Zain.
“Apa bedanya?” Rasa ingin tahu Zain mulai tergelitik.
“Posisi yang aku tawarkan ini berhubungan langsung dengan Nona Muda Amisha Harist.”
“Benarkah?” Kekesalan Zain langsung berubah menjadi semangat juang empat lima.
“Apa kau mulai tidak percaya padaku?” protes Seno, terdengar jengkel.
“Oke! Aku terima posisi itu. Kapan aku bisa mulai bekerja?” Tiba-tiba saja Zain sangat ingin matahari segera bersinar terang, mengusir kegelapan malam panjang.
“Temui aku besok dan bawa berkas lamaranmu!” sahut Seno.
“Huh? Aku harus pakai lamaran juga?” protes Zain, dengan nada kecewa.
“Apa aku harus menerimamu sebagai karyawan gelap?” tanya Seno, berseloroh.
‘Kalau aku tidak benar-benar membutuhkan bantuan anak ini, aku tidak akan sudi mengalah dan merendahkan diriku.’ Zain membatin kesal karena Seno berada di atas angin.
“Baiklah. Sampai jumpa besok!” Zain langsung menutup teleponnya disertai makian yang tak lagi terdengar oleh Seno.
Zain merebahkan tubuh di atas ranjang. Kedua tangannya terlipat di bawah kepala. Pandangan matanya mengawang, menatap langit-langit kamar. Sejurus kemudian, senyum manisnya terkembang, menyemai harap akan perjumpaan dengan sang gadis pujaan hati dalam indahnya mimpi.
“Amisha Harist … tunggu aku! Aku akan datang untuk menaklukkanmu!”
Zain pun terlelap.
“Aku tidak percaya aku bisa melakukan hal sebodoh itu hanya karena sebuah kenangan buruk yang menjijikkan!” Amisha memaki dirinya sendiri kala teringat bagaimana ia membiarkan dirinya berjalan tak tentu arah di bawah derasnya guyuran hujan. Ia mengutuk kelemahan hatinya yang masih saja menangis hanya karena terkenang bagaimana Kenzo mengkhianati kesetiaannya beberapa tahun lalu.“Aku rasa tidak ada yang lebih bodoh dari diriku! Pantas saja Kenzo mencampakkan aku.” Amisha mengejek diri sendiri dengan lenguhan jengkel.CEKLEK!Suara pintu terbuka membuat Amisha, yang berbaring di atas tempat tidur, berpaling ke arah pintu. Tampak Inah datang membawa baki berisi semangkuk bubur dan segelas jus jambu merah segar bercampur madu.“Bagaimana perasaan Anda pagi ini, Nona Muda?” tanya Inah lembut seraya meletakkan nampan yang dibawanya di atas meja.“Memangnya apa yang terjadi padaku, Bi?” Amisha balik bertanya.“Ya, Tuhan! Nona lupa? Kemarin malam Nona jatuh pingsan di depan pintu lho. Dema
Kurang dari tiga puluh menit, Amisha sudah tiba di kantor. Ia berjalan menuju lift. Langkahnya nan elegan selalu saja menarik perhatian karyawan pria yang berselisih jalan dengannya. “Selamat pagi, Nona!” sapa Seno yang bertemu Amisha di depan lift. Amisha mengangguk ringan tanpa membalas sapaan Seno. Seno sangat maklum. Ia mengiring Amisha memasuki lift dan berdiri kaku di samping bosnya itu. Sesekali ia melirik Amisha dengan sudut matanya.Sudah hampir lima tahun Seno bekerja untuk Amisha. Belum sekali pun ia dapat melihat dengan jelas seperti apa wajah asli junjungannya itu. Rumor yang didengarnya simpang siur. Selentingan kabar angin mengatakan bahwa Amisha adalah wanita yang memiliki kecantikan luar biasa tanpa cela. Sementara kabar lainnya mengatakan Amisha tak lain merupakan wanita berwajah jelek.Ia memiliki cacat pada matanya. Itu sangat memalukan bagi orang kelas atas sehingga ia selalu menutupinya dengan kacamata hitam yang lebar.Bahkan, sebagian rumor juga mengatakan ba
Zain meletakkan peralatan kebersihan yang dibawanya di luar ruangan Amisha. Ia baru ingat pesan Seno untuk tidak membersihkan ruangan bosnya itu saat Amisha sedang berada di dalam ruangan. Amisha sangat membenci itu. Jadi, Zain memutuskan untuk memastikan keberadaan Amisha terlebih dulu.Zain mengetuk pintu beberapa kali. Tak ada sahutan. Ia mendorong daun pintu pelan dan melangkah masuk dengan hati-hati. Kekosongan dan kesunyian menyambut kehadiran Zain di ruangan itu. Ia melirik jam dinding. Pukul 8.17.“Bukankah rumornya Amisha Harist adalah wanita yang sangat disiplin waktu? Kenapa dia belum muncul?” Zain bertanya heran.Tatapan jeli Zain menyapu seisi ruang kerja Amisha. Alisnya terangkat saat melihat tas Amisha sudah teronggok manis di atas meja.“Ah! Ternyata dia sudah datang, tapi … di mana dia?” Zain masih mempertanyakan keberadaan bosnya itu. Entah kenapa kecemasan menyergap hatinya. Membayangkan kemungkinan hal buruk telah menimpa Amisha. Bukankah kemarin malam hujan sangat
Gianna dan Amisha saling lempar pandang, lalu serentak menoleh ke arah sumber suara yang menyela obrolan mereka.Seorang lelaki berpakaian seragam office boy datang menghampiri mereka sambil menenteng bingkisan berisi makanan dan minuman.“Dia Dede. Lelaki yang telah membawamu ke sini dalam gendongannya,” bisik Gianna di telinga Amisha.“Apa? Kamu pasti bercanda, ‘kan?” sergah Amisha, terperangah.Gelengan kepala Gianna membuat tatapan mata Amisha mendadak sayu. Ia merasa malu.“Aku membawa sesuatu. Nona Amisha dan Nona Gianna pasti lapar. Makanlah!” Dede mengeluarkan kotak makanan yang dibawanya da
Seminggu telah berlalu semenjak Amisha diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Ia telah kembali ke kesibukan semula. Berjibaku dengan waktu dan berkutat dengan setumpuk berkas serta seribu satu agenda pertemuan dengan rekan bisnis.Amisha ingin sekali bisa menendang Dede hengkang dari perusahaannya. Namun, kenyataan bahwa Dede bukanlah seorang office boy biasa seperti rekan-rekannya memaksa Amisha untuk tidak pernah menjalankan niat hatinya itu.Cara kerja Dede sungguh cekatan. Ia juga memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Tak jarang Dede ikut memberi masukan kepada Amisha saat ia merasa otaknya buntu, tidak mampu memikirkan solusi terhadap permasalahan perusahaannya. Meski Amisha tidak ingin mengakui itu di hadapan Dede, jauh di lubuk hatinya ia memuji cara pikir Dede. Amisha baru saja selesai menghadiri pertemuan dengan beberapa orang kolega. Ia kembali ke kantor membawa setumpuk lelah di kedua pundaknya.BRAK!Amisha mengempaskan berkas yang dibawanya ke atas meja dengan kasar, lal
“Tangkap!” seru Amisha, melemparkan sesuatu kepada Dede tatkala mereka tiba di pelataran parkir.Dede memperhatikan benda yang dilempar Amisha dan kini berada dalam genggaman tangannya. Sebuah kunci mobil. Ia menatap Amisha dengan sorot mata penuh tanya.“Jangan bilang kamu tidak bisa menyetir mobil!” ujar Amisha, dingin.“Oh! Oke!”Buru-buru Dede menyusul Amisha yang sudah berjalan menuju mobil. Dede membukakan pintu untuk Amisha.Amisha mengenyakkan pantat di jok belakang dan menyandarkan kepala dengan santai. Sungguh hari yang sangat melelahkan. Ia harus menahan hati, bertemu dengan kolega yang menyebalkan dan haus akan pujian, sebelum akhirnya bersedia menandatangani kontrak kerja sama.
Amisha tak pernah menyangka akan ada hari untuknya bertemu lagi dengan Kenzo. Seseorang yang ingin dihindarinya seumur hidup. Lelaki yang telah memperkenalkannya pada indahnya cinta sekaligus menorehkan jejak luka yang mendalam di relung hatinya.Masih terbayang jelas pengkhianatan Kenzo bertahun-tahun silam. Juga senyum mencemooh yang baru saja dipertontonkan lelaki itu dengan pongah bersama perempuan jalang simpanannya. Perempuan yang tak memiliki rasa empati sedikit pun terhadap sesama wanita.Luka lama Amisha seakan berdarah kembali. Namun, air matanya tak lagi tersisa untuk menangisi semua kepedihan itu. Air matanya telah terkuras habis bersama derasnya hujan di malam itu. Malam ketika terik kehampaan membakar hangus keyakinannya akan adanya cinta suci di hamparan bumi ini.Dede berulang kali melirik Amisha dar
Kacamata hitam di tangan Amisha jatuh ketika tahu-tahu Dede sudah berdiri di depannya, menghidangkan secangkir cappuccino.Amisha mendongak. Pandangan mata kagetnya bersirobok dengan tatapan tajam Dede. Sesaat Amisha membatu kaku.Di usianya yang menjelang kepala tiga, untuk pertama kalinya seorang lelaki yang bukan keluarga dan orang terdekatnya melihatnya tanpa kacamata, mempertontonkan bentuk asli kedua netranya.‘Oh My God! Manik mata itu sungguh indah luar biasa!’ Dede berseru takjub dalam hati.Malam itu ia telah terpesona dengan kecantikan Amisha tanpa kacamata. Kini, dalam jarak yang begitu dekat ia seakan terbius oleh sepasang iris merah jambu keunguan, menatapnya dengan panca
Amisha masih tegak mematung. Dadanya kian berguncang hebat. Detak jantungnya bagai genderang perang. Sungguh! Kata-kata Zain membawa jiwanya melayang tinggi, meniti angkasa menuju nirwana. Ia tak percaya Zain melamarnya. Ya, lamaran romantis yang diimpikan semua wanita. Meskipun tertunda sekian lama, Amisha masih saja merasakan lututnya gemetar. Saking gugupnya ia mendengar lamaran Zain yang disaksikan puluhan pasang mata.Selang beberapa menit, perlahan tangan kiri Amisha terulur membelai rambut Zain. Pelangi seakan bermunculan di hatinya kala ia menganggukkan kepala, tersenyum manis kepada Zain. Rona pelangi juga memancar dari sepasang netra gelap Zain ketika menyaksikan anggukan kepala Amisha. Senyuman Zain merekah.Tepuk tangan pun membahana disertai senyum bahagia dari puluhan pasang mata yang menjadi saksi lamaran tertunda Zain untuk Amisha.Zain pun bangkit dari berlutut dan spontan memeluk erat tubuh Amisha. Sejenak ia lupa akan keberadaan anak-anak panti yang menyaksikan mere
CEKLEK!Zain menutup pintu ruang kerja Amisha dengan kaki. Tangannya langsung saja menyambar tubuh Amisha yang berada di depannya dan melingkar erat pada pinggang ramping Amisha.Amisha membuang napas kesal. Kedua tangannya jatuh lurus ke samping tubuhnya.“Ini kantor, Tuan Zain Adelino! Sekarang saatnya aku bekerja!” Amisha memberi peringatan keras.Zain hanya tersenyum kecil tanpa berusaha merenggangkan pagutan lengannya dari tubuh istrinya itu. Sebaliknya, ia malah membenamkan wajahnya pada ceruk leher Amisha yang masih berbalut jilbab.“Sebentar saja,” rengek Zain.Matanya tertutup rapat, konsentrasi menyesap aroma wangi yang menguar dari tubuh Amisha.Puncak hidungnya yang menjulang tinggi berdiri pongah, seakan ingin memamerkan pada dunia bahwa tak ada seorang pun yang melebihi ketampanannya, setelah berhasil menaklukkan Amisha Harist.“Jangan bilang kamu ingin memangsaku saat ini!” goda Amisha, menoleh pada Zain dan langsung disambut dengan kecupan ringan pada pipinya.“Oh My G
Pandangan Amisha belum beralih dari Sonny, menanti penjelasan yang tak sepenuhnya ia pahami. Diletakkannya sendok dengan sedikit kasar. Menimbulkan bunyi berdentang. Untung saja meja mereka agak terpisah dari pengunjung lain, sehingga suara dentingan sendok beradu dengan piring tak sampai terdengar ke meja tetangga.“Aku tidak suka berteka-teki,” sergah Amisha dingin.Sonny tersenyum tipis dengan canggung. Ia sangat mengenal ekspresi yang ditunjukkan Amisha. Wanita itu sedang memasang kuda-kuda untuk setiap serangan kata yang akan dilayangkan oleh lawan bicaranya.“Ya … bisa jadi suatu hari nanti yang lalu itu akan menjadi awal dari masa depan,” kata Sonny, berandai-andai sembari tetap memendam angan.Amisha menantang tatapan sendu Sonny. “Tidak usah terlalu tinggi menggantung harap akan masa depan. Nikmati saja saat ini! Karena belum tentu Tuhan masih memberimu kesempatan untuk merasakan hangatnya cahaya mentari esok pagi.”Sonny terdiam. Perkataan Amisha skak mat untuknya. Ia hanya
“Ah, sudahlah! Mungkin aku memang harus ke sana. Setidaknya, pertemuan ini akan memperjelas semuanya.” Amisha akhirnya menyambar tas di atas meja, lalu menghilang dari ruangannya. Tidak butuh waktu lama bagi Amisha untuk tiba di kafe O, tempat janji temunya dengan seseorang yang menghubunginya satu jam yang lalu. Begitu Amisha berdiri di pintu masuk, seorang lelaki melambaikan tangan ke arahnya. Amisha pun berjalan ke meja di mana lelaki itu duduk. Kalau saja siang itu sinar mentari tidak begitu beringas, Amisha akan memilih pojok paling tepi di bagian luar kafe itu. Lebih sejuk. Akan tetapi, menikmati keindahan kubah dengan kaca warna-warni pada langit-langit kafe tersebut tentu tak kalah menyenangkan bila dibandingkan dengan nuansa alam di bagian luarnya. “Silakan duduk!” kata lelaki itu, menarik kursi untuk Amisha. “Terima kasih,” sahut Amisha. Komunikasi di antara mereka terdengar seperti percakapan sepasang robot yang sedang dalam masa uji coba. Amisha mematung kaku, mema
Amisha terjaga dari tidurnya ketika mendengar suara dengungan juicer yang sedang bekerja mengolah mangga. Entah berapa tempat yang didatangi Zain sampai akhirnya dia berhasil mendapat dua buah mangga sebagai stok terakhir dari sebuah kedai buah di pinggir jalan yang buka dua puluh empat jam. Ukurannya pun tidak terlalu besar. Layaknya buah mangga yang didatangkan dari kampung. Namun, Zain tetap bersyukur ia dapat memenuhi keinginan istri tercinta yang tengah mengidam itu. Melihat senyum bahagia menghiasi wajah Amisha adalah kebahagiaan terbesar bagi Zain. Amisha beranjak turun dari sofa bed dan melangkah gontai menuju ruang makan. Sesekali ia masih menguap dan ditutupnya dengan telapak tangan. Melihat Amisha berjalan seperti orang mabuk, Zain menekan tombol off, bergegas menyongsong Amisha, lalu membawanya duduk pada sebuah kursi. Lantaran masih mengantuk, Amisha langsung menempelkan sebelah pipinya pada permukaan meja. Matanya menatap sayu pada Zain yang melanjutkan pekerjaannya.
“Waktu Amisha masih kecil, mama kalian bahkan heboh, sampai lapor polisi karena mengira Amisha kabur setelah dimarahi. Eh, ternyata Amisha cuma ngumpet di kamar pengungsiannya.” Harist terkekeh setelah menceritakan kejadian itu, tak peduli pada sorot mata membunuh yang dilayangkan sang istri sebelumnya.“Honey?!” protes Claudya, dengan muka merah. Entah benar-benar marah atau justru tersipu malu.Gianna dan Zain tersenyum geli melihat raut muka Claudya yang bak pengantin baru digoda suaminya.Meski usia mereka sudah di ambang senja, hubungan Harist dan Claudya selalu mesra. Siapa pun yang melihat mereka akan merasa hangat dan damai. Ketularan hangatnya cinta kasih mereka yang tulus terhadap satu sama lain.Enggan rasanya berjauhan dari mereka bila sudah membaur dengan dua sejoli itu. Tak jarang kemesraan mereka menimbulkan rasa iri bagi sebagian anak muda, yang tanpa sengaja menyaksikan bagaimana mereka berinteraksi di tempat umum kala mereka sedang berada di taman, di restoran, atau
Setelah pesta kecil penyambutan orang tua angkatnya selesai dan tamu mereka pulang, Gianna tetap tinggal di rumah Amisha karena diminta Claudya untuk menginap. Celakanya, Gianna memang tak pernah bisa menolak permintaan orang tua angkatnya itu, meskipun sebenarnya ia sangat ingin pulang ke apartemennya sendiri.“Waaah, gila! Lama menghilang, kukira dia melanjutkan kuliah di luar negeri. Eh, ternyata malah ditangkap polisi! Ck!” seru Gianna, mendecak kaget sambil terus menyaksikan berita yang sedang ditontonnya di ruang tengah rumah Amisha.Ia ingat, terakhir kali ia melihat sosok orang yang diberitakan itu adalah saat menghadiri pesta perayaan ulang tahun Adelino Daneswara. Sempat beredar kabar lelaki itu akan melanjutkan study-nya di luar negeri.Haris yang sedang asyik membaca majalah olahraga hanya melirik sekilas mendengar kehebohan Gianna. Bagi Harist, kumpulan artikel dalam majalah itu jauh lebih menarik daripada berita yang ditonton Gianna. Dalam hitungan detik, ia pun kembali
Merahnya darah yang mengaliri wajah cantik Amisha tak lagi membayang jelas. Berubah pias diterpa kekagetan. Kaget menyaksikan berjuta kenangan indah yang terekam dalam setiap helai foto yang baru saja ditemukannya. Tidak hanya foto-fotonya semasa kuliah bersama Gianna dan Sonny, tetapi juga foto-foto menjelang pernikahannya. Bahkan, beberapa foto itu memperlihatkan tubuhnya yang sudah terbalut gaun pengantin.Diiringi detak jantung yang bergemuruh, otak Amisha mereka ulang kejadian empat tahun yang lalu. Saat itu hijaunya hamparan sajadah panjang yang terbentang menutupi lantai masjid tak lagi melukiskan ketenangan dan kedamaian hati. Warna hijau itu telah beralih rupa menjadi kelabu. Menorehkan goresan pilu.Aura keemasan yang semula memancar cerah dari indahnya janur kuning yang jatuh menjuntai dan berayun-ayun dibelai embusan angin perlahan tampak memudar, lalu menghilang tanpa jejak.Kalau saja Amisha tahu bahwa putihnya gaun pengantin yang dikenakannya saat itu tak lagi melambang
Dulu, ketika Amisha masih menyandang status sebagai tunangan Sonny, kehidupannya penuh keceriaan. Hampir setiap hari ia senyum-senyum sendiri membaca serangkaian pesan mesra dari Sonny. Saat itu ia benar-benar bahagia dan berharap kebahagiaan itu tak akan pernah berakhir.Kala itu awal tahun 2016. Pelaksanaan akad nikah yang direncanakan keluarga mereka tinggal menghitung hari. Tak ada yang menyangka jika tepat pada hari yang ditunggu-tunggu itu semua mimpi hidup bahagia yang dimiliki Amisha lenyap tak berbekas.Saat itu Amisha hanya bisa bergeming dengan ekspresi berubah kaku. Senyuman bahagia yang terpancar dari bibirnya beberapa detik sebelumnya seakan direnggut paksa oleh berita buruk tentang ketidakhadiran Sonny di Masjid Istiqlal hari itu.Amisha merasakan dunia tempatnya berpijak amblas seketika. Menariknya masuk ke dalam lapisan kerak bumi terdalam. Membenamkan jiwa raganya dalam kekalutan pikiran yang mengantarnya pada titik nadir sikap pesimis tentang cinta.Cinta Sonny yang