“Duduklah!” Aland mengucapkan perintah dengan kedipan mata dan anggukan kepala, setelah menarik mundur tempat duduk untuk Amisha.“Terima kasih,” gumam Amisha pelan, ketika Aland sudah duduk di sebelah kanannya.Sesaat Amisha hanya duduk diam, mengamati perilaku gadis-gadis yang duduk semeja dengannya, mempelajari etika makan mereka. Amisha melepaskan sarung tangannya, meletakkan sarung tangan itu di pangkuan. Kemudian, ia membentangkan serbet dengan rapi, menutupi sarung tangan itu.‘Untung aku termasuk fast learner.’ Amisha memuji diri sendiri dalam hati, saat Aland tersenyum tipis, melirik sekilas ke arahnya.Jamuan makan malam itu berakhir tanpa ada insiden yang membuat Amisha mempermalukan diri sendiri.Tubuh Amisha terguncang kala roda kereta melintas di jalan berlubang dan berbatu. Ia mencoba berpegang pada sisi kereta agar tidak jatuh.Semenjak meninggalkan rumah perjamuan itu, Amisha tak bicara sepatah kata pun. Ia diam seribu bahasa. Raut mukanya datar. Tatapannya lurus ke de
Menjelang senja, Dede berlari ke sana kemari mencari Amisha. Kepanikan tampak jelas pada raut mukanya.‘Dia tidak mungkin kabur, ‘kan?’ batin Dede, mencoba menenangkan diri sendiri.Ia telah mencari istri di atas kertasnya itu di setiap ruang yang diketahuinya. Pelayan pun telah ditanyainya. Tak ada yang melihat Amisha setelah kepulangan mereka dari acara resepsi tadi siang.Tubuh Dede telah bermandi peluh karena bolak-balik naik turun tangga, tak terhitung kali, membuat kemeja yang dikenakannya melekat pada kulitnya. Dadanya yang terbuka dan basah oleh keringat makin berkilau tertimpa cahaya lampu.“Di mana dia bersembunyi?” Dede berdiri berkacak pinggang di puncak tangga. Kepalanya berputar liar memandang sekeliling.Harist dan Claudya keluar dari kamar mereka. Letak kamar itu berseberangan dengan kamar Amisha, terhalang oleh ruang kosong dengan pagar pembatas, dan terhubung oleh koridor memutar. Mereka mengernyit dan saling pandang melihat Dede tampak kebingungan, celingak-celinguk
“Tidak!”Amisha mendorong pintu semakin kuat. Ia tidak mengizinkan Dede untuk masuk ke kamar pengungsiannya.“Keluar!” hardik Amisha, ketika Dede melakukan perlawanan, hingga terjadi aksi saling dorong. Badan Dede bahkan sudah terjepit di celah pintu.“Tidak! Aku ingin tahu apa yang kau lakukan di dalam sana!” bantah Dede, bersikeras memaksa masuk.Dede dan Amisha terus saling dorong sekuat tenaga. Tak ada yang mau mengalah. Masing-masing bertahan dengan prinsipnya.Tiba-tiba Amisha berlari kencang menuju Dart Board Game-nya, mencabut semua panah dan menarik lepas sketsa wajah Dede, meremasnya kuat, lalu
“Lepaskan aku, Office boy gila!” erang Amisha marah.Lengan kekar Dede makin kuat membelit pinggangnya. “Apa yang baru saja kau lakukan? Mau memerkosaku?”“Amit-amit! Siapa yang menginginkan lelaki gila sepertimu?” semprot Amisha makin berang, sambil terus berjuang membebaskan diri dari Dede.“Oh ya? Dasar munafik! Kau baru saja mencuri ciuman pertamaku. Masih mau mengelak?”Tatapan tajam Dede menusuk jantung hati Amisha, seakan ingin merobek seluruh jiwa raga gadis itu dan mencerai-beraikannya menjadi cincangan kecil.‘What? Jadi itu ciuman pertama si office boy gila?
Sabtu pagi, cuaca sangat bersahabat. Angin musim semi berembus sejuk, membelai pucuk dedaunan dan berbisik merdu pada kelopak bunga. Mengiring gerak gemulai ujung-ujung ranting, yang bersanggul mahkota bunga pink cherry blossom.Meninggalkan rumah orang tuanya di Compton Ave, Amisha duduk di sebelah Dede tanpa suara, memandang jauh ke luar jendela. Kalau saja bukan karena permintaan kedua orang tuanya agar menemani office boy gila itu menikmati keindahan Kota London, tak sudi rasanya Amisha membuang waktu, pergi bersamanya.Dede melirik Amisha dengan kerlingan menyimpan geli. Ia tahu gadis itu menemaninya, mengakhiri hari di London sebelum kembali pulang ke tanah air karena terpaksa. Akan tetapi, tetap saja ia merasa bahagia. Sehari bersama Amisha akan sangat berarti bagi dir
Setelah satu jam lebih menghabiskan waktu di Portobello Road Market, Bob membawa Amisha dan Dede menuju Victoria and Albert Museum. Melintasi Kensington Park Road, kurang dari dua puluh menit mereka pun tiba di sana.Mendatangi Victoria and Albert Museum adalah keinginan Dede. Ia tertarik mengunjungi Victoria and Albert Museum karena tempat itu merupakan museum seni dengan koleksi lukisan, perhiasan dan patung yang sudah berusia tiga ribu tahun.Sangat menyenangkan bisa memanjakan mata menyaksikan karya seni luar biasa, seakan kembali ke masa silam. Menjelajahi lagam gaya hidup ribuan tahun lalu melalui peninggalan seni bersejarah yang terpajang di museum itu.Victoria and Albert Museum juga difasilitasi dengan berbagai macam ruang berbau seni. Puas menikmati berbagai koleksi seni yang memanjakan mata, pengunjung bi
“Aah, sayang sekali,” keluh Dede, setelah melihat hasil jepretannya.Dua belas ribu mawar di taman itu belum mekar sempurna. Harus menunggu awal musim panas jika mereka ingin menikmati suasana yang lebih romantis di taman itu bersama si cantik nan menawan, Royal Park Rose dengan warnanya yang unik.“Hidup itu harus banyak bersyukur, jangan kebanyakan ngeluh!” sindir Amisha, berlalu menjauhi Dede.“Huh? Hei! Tunggu!” Dede mengejar Amisha.Puas mengitari taman di bawah sinar mentari yang tidak begitu terik, Amisha dan Dede melangkah memasuki sebuah kafe. Sudah saatnya makan siang, menghentikan nyanyian keroncong yang mulai terdengar dari dalam perut Amisha. Membuat gadis itu tertunduk malu seraya mengelus perut sendiri.Seperti
Setelah perjalanan panjang yang melelahkan, Amisha mendesah lega, akhirnya bisa kembali menjejakkan kaki di tanah air. Meninggalkan Bandara Soekarno-Hatta, Amisha duduk bersandar pada jok mobil. Di luar sana, langit siang terlihat mendung.Terbang di ketinggian dengan oksigen yang lebih tipis, mata Amisha terasa berat. Ia melirik jam di pergelangan tangannya. Paling tidak ia bisa tidur tiga puluh menit sebelum tiba di rumah. Belum lagi kalau terjebak macet. Durasinya bisa lebih lama. Amisha memejamkan mata. Ia tak peduli pada Dede yang duduk di sampingnya.SYUT!Dede refleks mengulurkan tangan kiri, menahan kepala Amisha yang nyaris terantuk kaca jendela karena guncangan kuat. Ia meringis menahan sakit ketika punggung tangannya terbentur keras pada kaca jendela dan terjepit oleh kepala Amisha. Ia menggeser posisi le
Amisha masih tegak mematung. Dadanya kian berguncang hebat. Detak jantungnya bagai genderang perang. Sungguh! Kata-kata Zain membawa jiwanya melayang tinggi, meniti angkasa menuju nirwana. Ia tak percaya Zain melamarnya. Ya, lamaran romantis yang diimpikan semua wanita. Meskipun tertunda sekian lama, Amisha masih saja merasakan lututnya gemetar. Saking gugupnya ia mendengar lamaran Zain yang disaksikan puluhan pasang mata.Selang beberapa menit, perlahan tangan kiri Amisha terulur membelai rambut Zain. Pelangi seakan bermunculan di hatinya kala ia menganggukkan kepala, tersenyum manis kepada Zain. Rona pelangi juga memancar dari sepasang netra gelap Zain ketika menyaksikan anggukan kepala Amisha. Senyuman Zain merekah.Tepuk tangan pun membahana disertai senyum bahagia dari puluhan pasang mata yang menjadi saksi lamaran tertunda Zain untuk Amisha.Zain pun bangkit dari berlutut dan spontan memeluk erat tubuh Amisha. Sejenak ia lupa akan keberadaan anak-anak panti yang menyaksikan mere
CEKLEK!Zain menutup pintu ruang kerja Amisha dengan kaki. Tangannya langsung saja menyambar tubuh Amisha yang berada di depannya dan melingkar erat pada pinggang ramping Amisha.Amisha membuang napas kesal. Kedua tangannya jatuh lurus ke samping tubuhnya.“Ini kantor, Tuan Zain Adelino! Sekarang saatnya aku bekerja!” Amisha memberi peringatan keras.Zain hanya tersenyum kecil tanpa berusaha merenggangkan pagutan lengannya dari tubuh istrinya itu. Sebaliknya, ia malah membenamkan wajahnya pada ceruk leher Amisha yang masih berbalut jilbab.“Sebentar saja,” rengek Zain.Matanya tertutup rapat, konsentrasi menyesap aroma wangi yang menguar dari tubuh Amisha.Puncak hidungnya yang menjulang tinggi berdiri pongah, seakan ingin memamerkan pada dunia bahwa tak ada seorang pun yang melebihi ketampanannya, setelah berhasil menaklukkan Amisha Harist.“Jangan bilang kamu ingin memangsaku saat ini!” goda Amisha, menoleh pada Zain dan langsung disambut dengan kecupan ringan pada pipinya.“Oh My G
Pandangan Amisha belum beralih dari Sonny, menanti penjelasan yang tak sepenuhnya ia pahami. Diletakkannya sendok dengan sedikit kasar. Menimbulkan bunyi berdentang. Untung saja meja mereka agak terpisah dari pengunjung lain, sehingga suara dentingan sendok beradu dengan piring tak sampai terdengar ke meja tetangga.“Aku tidak suka berteka-teki,” sergah Amisha dingin.Sonny tersenyum tipis dengan canggung. Ia sangat mengenal ekspresi yang ditunjukkan Amisha. Wanita itu sedang memasang kuda-kuda untuk setiap serangan kata yang akan dilayangkan oleh lawan bicaranya.“Ya … bisa jadi suatu hari nanti yang lalu itu akan menjadi awal dari masa depan,” kata Sonny, berandai-andai sembari tetap memendam angan.Amisha menantang tatapan sendu Sonny. “Tidak usah terlalu tinggi menggantung harap akan masa depan. Nikmati saja saat ini! Karena belum tentu Tuhan masih memberimu kesempatan untuk merasakan hangatnya cahaya mentari esok pagi.”Sonny terdiam. Perkataan Amisha skak mat untuknya. Ia hanya
“Ah, sudahlah! Mungkin aku memang harus ke sana. Setidaknya, pertemuan ini akan memperjelas semuanya.” Amisha akhirnya menyambar tas di atas meja, lalu menghilang dari ruangannya. Tidak butuh waktu lama bagi Amisha untuk tiba di kafe O, tempat janji temunya dengan seseorang yang menghubunginya satu jam yang lalu. Begitu Amisha berdiri di pintu masuk, seorang lelaki melambaikan tangan ke arahnya. Amisha pun berjalan ke meja di mana lelaki itu duduk. Kalau saja siang itu sinar mentari tidak begitu beringas, Amisha akan memilih pojok paling tepi di bagian luar kafe itu. Lebih sejuk. Akan tetapi, menikmati keindahan kubah dengan kaca warna-warni pada langit-langit kafe tersebut tentu tak kalah menyenangkan bila dibandingkan dengan nuansa alam di bagian luarnya. “Silakan duduk!” kata lelaki itu, menarik kursi untuk Amisha. “Terima kasih,” sahut Amisha. Komunikasi di antara mereka terdengar seperti percakapan sepasang robot yang sedang dalam masa uji coba. Amisha mematung kaku, mema
Amisha terjaga dari tidurnya ketika mendengar suara dengungan juicer yang sedang bekerja mengolah mangga. Entah berapa tempat yang didatangi Zain sampai akhirnya dia berhasil mendapat dua buah mangga sebagai stok terakhir dari sebuah kedai buah di pinggir jalan yang buka dua puluh empat jam. Ukurannya pun tidak terlalu besar. Layaknya buah mangga yang didatangkan dari kampung. Namun, Zain tetap bersyukur ia dapat memenuhi keinginan istri tercinta yang tengah mengidam itu. Melihat senyum bahagia menghiasi wajah Amisha adalah kebahagiaan terbesar bagi Zain. Amisha beranjak turun dari sofa bed dan melangkah gontai menuju ruang makan. Sesekali ia masih menguap dan ditutupnya dengan telapak tangan. Melihat Amisha berjalan seperti orang mabuk, Zain menekan tombol off, bergegas menyongsong Amisha, lalu membawanya duduk pada sebuah kursi. Lantaran masih mengantuk, Amisha langsung menempelkan sebelah pipinya pada permukaan meja. Matanya menatap sayu pada Zain yang melanjutkan pekerjaannya.
“Waktu Amisha masih kecil, mama kalian bahkan heboh, sampai lapor polisi karena mengira Amisha kabur setelah dimarahi. Eh, ternyata Amisha cuma ngumpet di kamar pengungsiannya.” Harist terkekeh setelah menceritakan kejadian itu, tak peduli pada sorot mata membunuh yang dilayangkan sang istri sebelumnya.“Honey?!” protes Claudya, dengan muka merah. Entah benar-benar marah atau justru tersipu malu.Gianna dan Zain tersenyum geli melihat raut muka Claudya yang bak pengantin baru digoda suaminya.Meski usia mereka sudah di ambang senja, hubungan Harist dan Claudya selalu mesra. Siapa pun yang melihat mereka akan merasa hangat dan damai. Ketularan hangatnya cinta kasih mereka yang tulus terhadap satu sama lain.Enggan rasanya berjauhan dari mereka bila sudah membaur dengan dua sejoli itu. Tak jarang kemesraan mereka menimbulkan rasa iri bagi sebagian anak muda, yang tanpa sengaja menyaksikan bagaimana mereka berinteraksi di tempat umum kala mereka sedang berada di taman, di restoran, atau
Setelah pesta kecil penyambutan orang tua angkatnya selesai dan tamu mereka pulang, Gianna tetap tinggal di rumah Amisha karena diminta Claudya untuk menginap. Celakanya, Gianna memang tak pernah bisa menolak permintaan orang tua angkatnya itu, meskipun sebenarnya ia sangat ingin pulang ke apartemennya sendiri.“Waaah, gila! Lama menghilang, kukira dia melanjutkan kuliah di luar negeri. Eh, ternyata malah ditangkap polisi! Ck!” seru Gianna, mendecak kaget sambil terus menyaksikan berita yang sedang ditontonnya di ruang tengah rumah Amisha.Ia ingat, terakhir kali ia melihat sosok orang yang diberitakan itu adalah saat menghadiri pesta perayaan ulang tahun Adelino Daneswara. Sempat beredar kabar lelaki itu akan melanjutkan study-nya di luar negeri.Haris yang sedang asyik membaca majalah olahraga hanya melirik sekilas mendengar kehebohan Gianna. Bagi Harist, kumpulan artikel dalam majalah itu jauh lebih menarik daripada berita yang ditonton Gianna. Dalam hitungan detik, ia pun kembali
Merahnya darah yang mengaliri wajah cantik Amisha tak lagi membayang jelas. Berubah pias diterpa kekagetan. Kaget menyaksikan berjuta kenangan indah yang terekam dalam setiap helai foto yang baru saja ditemukannya. Tidak hanya foto-fotonya semasa kuliah bersama Gianna dan Sonny, tetapi juga foto-foto menjelang pernikahannya. Bahkan, beberapa foto itu memperlihatkan tubuhnya yang sudah terbalut gaun pengantin.Diiringi detak jantung yang bergemuruh, otak Amisha mereka ulang kejadian empat tahun yang lalu. Saat itu hijaunya hamparan sajadah panjang yang terbentang menutupi lantai masjid tak lagi melukiskan ketenangan dan kedamaian hati. Warna hijau itu telah beralih rupa menjadi kelabu. Menorehkan goresan pilu.Aura keemasan yang semula memancar cerah dari indahnya janur kuning yang jatuh menjuntai dan berayun-ayun dibelai embusan angin perlahan tampak memudar, lalu menghilang tanpa jejak.Kalau saja Amisha tahu bahwa putihnya gaun pengantin yang dikenakannya saat itu tak lagi melambang
Dulu, ketika Amisha masih menyandang status sebagai tunangan Sonny, kehidupannya penuh keceriaan. Hampir setiap hari ia senyum-senyum sendiri membaca serangkaian pesan mesra dari Sonny. Saat itu ia benar-benar bahagia dan berharap kebahagiaan itu tak akan pernah berakhir.Kala itu awal tahun 2016. Pelaksanaan akad nikah yang direncanakan keluarga mereka tinggal menghitung hari. Tak ada yang menyangka jika tepat pada hari yang ditunggu-tunggu itu semua mimpi hidup bahagia yang dimiliki Amisha lenyap tak berbekas.Saat itu Amisha hanya bisa bergeming dengan ekspresi berubah kaku. Senyuman bahagia yang terpancar dari bibirnya beberapa detik sebelumnya seakan direnggut paksa oleh berita buruk tentang ketidakhadiran Sonny di Masjid Istiqlal hari itu.Amisha merasakan dunia tempatnya berpijak amblas seketika. Menariknya masuk ke dalam lapisan kerak bumi terdalam. Membenamkan jiwa raganya dalam kekalutan pikiran yang mengantarnya pada titik nadir sikap pesimis tentang cinta.Cinta Sonny yang