FIUH!
“Untung saja tidak ketahuan!” Dede mendesah lega.
Ia tidak dapat membayangkan bagaimana reaksi Amisha andai tadi gadis itu menyaksikan dirinya sedang bekerja. Penyamarannya akan terbongkar. Parahnya lagi, semua usahanya akan berakhir sia-sia.
“Terima kasih, Tuhan!” Dede menengadah, mengucap syukur karena Tuhan masih berpihak kepadanya.
Rumah kediaman Harist dilengkapi dengan sebuah ruang kerja. Ruang di mana Harist tetap bisa menyelesaikan pekerjaan kantornya ketika ia berada di rumah. Ruang itu cukup luas.
Sebuah lemari arsip ukuran besar berdiri gagah, hingga menyentuh plafon di dinding sebelah Timur. Lemari arsip itu dipenuhi puluhan atau bahkan ratusan dokumen yang tertata rapi dalam
Harist, yang tengah asyik mengagumi ketampanan calon menantunya, menyipitkan mata saat melihat kekagetan Dede. Tampaknya Dede tertarik dengan salah satu foto dalam album itu, karena tanpa sadar ia tersenyum simpul setelah keterkejutannya hilang.“Amisha pernah belajar di SD A ya, Om?” tanya Dede seraya menunjukkan kumpulan foto berseragam sekolah dasar kepada Harist.Harist mendekat. Sejenak ia mengamati foto yang diperlihatkan Dede.“Iya, tapi cuma satu semester, kemudian pindah.”Senyuman Dede melebar mendengar jawaban Harist.“Boleh aku minta foto ini, Om?” tanya Dede, dengan tatapan penuh harap.“Tentu saja. Kau boleh mengambil foto mana pun yang kau mau.”Harist memberi kebebasan kepada Dede untuk memilih foto yang diinginkannya.“Terima kasih, Om. Foto ini saja.” Dede melepaskan foto itu dari album.Ia menatap tak berkedip pada sosok gadis kecil berambut pirang keemasan di dalam foto itu. Gadis itu adalah Amisha kecil.Amisha duduk bersandar pada sebatang pohon di hamparan padang
‘Huh? Siapa itu?’Amisha menoleh ke sebelah kiri. Arah dari mana suara bernada lembut menyapanya.Tampak sebuah gazebo berbentuk unik berdiri anggun di sisi kiri fountain. Sebuah kursi taman dengan sandaran berbentuk ekor merak terentang indah, melengkapi keanggunan gazebo itu.Seorang lelaki berpostur tinggi dan gagah berdiri di tepi depan gazebo. Tangan kirinya bersembunyi di belakang tubuhnya, mengingatkan Amisha pada sikap bangsawan zaman kuno. Sangkaan itu diperkuat dengan pakaian kebesaran yang melekat di tubuh lelaki itu. Pakaian itu bergaya era Victoria.Pandangan Amisha terus naik. Lelaki it
Waktu adalah uang!Begitu prinsip seorang pebisnis. Setiap detik menjadi sangat berharga. Harist tak ingin membuang waktu dengan menunda. Entah bagaimana caranya, ia mengurus persiapan pernikahan Amisha dan Dede semudah membalik telapak tangan.Pernikahan Amisha dan Dede berlangsung khidmat di London Central Mosque, dengan menghadirkan duta besar Indonesia untuk Britania Raya sebagai salah satu saksi pernikahan mereka. Selesai pelaksanaan akad nikah di masjid yang sangat indah dan luas itu, keluarga Harist memboyong tamu undangan menuju salah satu hotel terbaik dekat masjid.Atas permintaan Amisha, Harist tidak mengadakan resepsi mewah. Ia hanya mengundang kerabat dekat, sahabat, dan beberapa kolega penting serta tetangga di sekit
“Hah?!”Amisha melongo. Ia mengerti ke mana arah pembicaraan sang mama. Tanpa menjawab pertanyaan mamanya, Amisha beranjak menuju tangga. Kedua tangan mungilnya mengangkat sisi gaunnya yang kepanjangan.Harist mengode Dede dengan gerakan kepala. Claudya cepat tanggap. Ia melingkarkan tangan pada lengan Harist, kemudian berlalu menuju kamar mereka.Dede bergerak cepat menyusul Amisha. Melihat gadis itu kesulitan menaiki tangga karena gaun pengantinnya. Spontan Dede mengangkat tubuh Amisha dalam gendongannya.“Apa yang kamu lakukan? Turunkan aku!” hardik Amisha, kaget bercampur geram. Ia tak menduga Dede akan seberani itu.“Tenanglah! Atau kau akan jatuh menggelinding seperti bola salju.”
Amisha mematung menatap bayangan dirinya di dalam cermin. Ia tak percaya, hanya dalam beberapa hari saja statusnya kini telah berubah menjadi seorang istri. Istri dari Dede. Lelaki yang tak ia ketahui jelas asal usulnya.Amisha telah meminta Gianna untuk menyelidiki latar belakang Dede. Namun, belum membuahkan hasil. Lelaki itu sepertinya memang sengaja menyembunyikan identitas aslinya atau telah bekerja sama dengan berbagai pihak untuk menyimpan rahasianya.“Siapa dia sebenarnya?”Amisha mengempaskan napas panjang. Saat ini ia tidak tahu apakah ia harus bersyukur atas pernikahannya dengan Dede atau justru mengutuknya. Postur tubuh dan wajah tampan Dede mungkin sesuatu yang patut ia syukuri, tapi seorang office boy?
“Apa yang kau lakukan di sini? Keluar!”Bentakan Amisha menyentak Dede tersadar dari bengongnya. Cepat-cepat ia berpaling muka, menghadap dinding sebelah kiri. Sebelah tangannya refleks menggaruk belakang telinga kanannya. Sebuah kebiasaan yang spontan, setiap kali ia merasa gugup atau salah tingkah.“M–maaf! Aku … aku tidak bermaksud untuk mengintip. Aku pikir terjadi sesuatu padamu, karena … sudah satu jam lebih kau tidak keluar dari kamar mandi,” sahut Dede, memberi penjelasan mengapa ia menerobos masuk ke kamar mandi itu.“Apa pun alasanmu, keluar sekarang! Terserah aku mau berapa lama di sini. Ini kamar mandiku!” Amisha benar-benar marah dengan kelancangan Dede.“Baiklah. Aku keluar sekarang!”Dede menggeser posisinya.
Terpaku menatap manik mata merah jambu keunguan milik Amisha, Dede merasa dunia seakan berhenti berputar, dan ia terperangkap dalam labirin rasa yang membingungkan. Semakin lama ia makin tersesat dalam setiap titik keanggunan Amisha. Tak ada celah baginya untuk membebaskan diri selain dari terus melangkah maju, hingga gerak hatinya terhenti di gerbang fantasi liarnya, saat bibir merah ranum Amisha sedikit terbuka lantaran gadis itu meringis, merasakan sakit pada pergelangan tangannya yang dicekal Dede.DEG! DEG! DEG!Dede merasa dadanya seakan mau meledak saking kencangnya detak jantungnya saat itu. Tatkala netranya menusuk tajam ke kedalaman iris mata Amisha. Jemarinya, yang mencengkeram erat pergelangan tangan Amisha, menghantar sengatan arus listrik. Sengatan rasa yang melumpuhkan saraf pikiran normalnya, serta memicu gerak alam bawah sadarnya untuk merapatk
Menyadari kehadiran Amisha di kamar tidur mereka, Dede tersenyum tipis. Ia yakin gadis itu telah melihat bagian tubuhnya yang terbuka hingga berpaling muka, dan ketika dilihatnya Amisha menggeleng kuat, senyumannya makin melebar. Pikiran usil timbul di benaknya.“Kenapa? Kau tergoda?” Tahu-tahu Dede sudah berdiri di samping kanan Amisha, merentangkan sebelah tangannya, bertopang pada daun pintu.Amisha jadi serba salah. Ia ingin secepatnya membuka pintu dan keluar dari kamar itu. Hanya saja, ia tidak memiliki keberanian untuk menurunkan tangan yang menutupi mukanya, apalagi Dede berdiri sangat dekat dengannya.Saking dekatnya, Amisha bahkan dapat mencium wangi sabun dan sampo yang bercampur dengan aroma maskulin, merebak dari tubuh Dede, membuat saraf-saraf sensitifnya menggelinjang sedikit panas. Amisha
CEKLEK!Zain menutup pintu ruang kerja Amisha dengan kaki. Tangannya langsung saja menyambar tubuh Amisha yang berada di depannya dan melingkar erat pada pinggang ramping Amisha.Amisha membuang napas kesal. Kedua tangannya jatuh lurus ke samping tubuhnya.“Ini kantor, Tuan Zain Adelino! Sekarang saatnya aku bekerja!” Amisha memberi peringatan keras.Zain hanya tersenyum kecil tanpa berusaha merenggangkan pagutan lengannya dari tubuh istrinya itu. Sebaliknya, ia malah membenamkan wajahnya pada ceruk leher Amisha yang masih berbalut jilbab.“Sebentar saja,” rengek Zain.Matanya tertutup rapat, konsentrasi menyesap aroma wangi yang menguar dari tubuh Amisha.Puncak hidungnya yang menjulang tinggi berdiri pongah, seakan ingin memamerkan pada dunia bahwa tak ada seorang pun yang melebihi ketampanannya, setelah berhasil menaklukkan Amisha Harist.“Jangan bilang kamu ingin memangsaku saat ini!” goda Amisha, menoleh pada Zain dan langsung disambut dengan kecupan ringan pada pipinya.“Oh My G
Pandangan Amisha belum beralih dari Sonny, menanti penjelasan yang tak sepenuhnya ia pahami. Diletakkannya sendok dengan sedikit kasar. Menimbulkan bunyi berdentang. Untung saja meja mereka agak terpisah dari pengunjung lain, sehingga suara dentingan sendok beradu dengan piring tak sampai terdengar ke meja tetangga.“Aku tidak suka berteka-teki,” sergah Amisha dingin.Sonny tersenyum tipis dengan canggung. Ia sangat mengenal ekspresi yang ditunjukkan Amisha. Wanita itu sedang memasang kuda-kuda untuk setiap serangan kata yang akan dilayangkan oleh lawan bicaranya.“Ya … bisa jadi suatu hari nanti yang lalu itu akan menjadi awal dari masa depan,” kata Sonny, berandai-andai sembari tetap memendam angan.Amisha menantang tatapan sendu Sonny. “Tidak usah terlalu tinggi menggantung harap akan masa depan. Nikmati saja saat ini! Karena belum tentu Tuhan masih memberimu kesempatan untuk merasakan hangatnya cahaya mentari esok pagi.”Sonny terdiam. Perkataan Amisha skak mat untuknya. Ia hanya
“Ah, sudahlah! Mungkin aku memang harus ke sana. Setidaknya, pertemuan ini akan memperjelas semuanya.” Amisha akhirnya menyambar tas di atas meja, lalu menghilang dari ruangannya. Tidak butuh waktu lama bagi Amisha untuk tiba di kafe O, tempat janji temunya dengan seseorang yang menghubunginya satu jam yang lalu. Begitu Amisha berdiri di pintu masuk, seorang lelaki melambaikan tangan ke arahnya. Amisha pun berjalan ke meja di mana lelaki itu duduk. Kalau saja siang itu sinar mentari tidak begitu beringas, Amisha akan memilih pojok paling tepi di bagian luar kafe itu. Lebih sejuk. Akan tetapi, menikmati keindahan kubah dengan kaca warna-warni pada langit-langit kafe tersebut tentu tak kalah menyenangkan bila dibandingkan dengan nuansa alam di bagian luarnya. “Silakan duduk!” kata lelaki itu, menarik kursi untuk Amisha. “Terima kasih,” sahut Amisha. Komunikasi di antara mereka terdengar seperti percakapan sepasang robot yang sedang dalam masa uji coba. Amisha mematung kaku, mema
Amisha terjaga dari tidurnya ketika mendengar suara dengungan juicer yang sedang bekerja mengolah mangga. Entah berapa tempat yang didatangi Zain sampai akhirnya dia berhasil mendapat dua buah mangga sebagai stok terakhir dari sebuah kedai buah di pinggir jalan yang buka dua puluh empat jam. Ukurannya pun tidak terlalu besar. Layaknya buah mangga yang didatangkan dari kampung. Namun, Zain tetap bersyukur ia dapat memenuhi keinginan istri tercinta yang tengah mengidam itu. Melihat senyum bahagia menghiasi wajah Amisha adalah kebahagiaan terbesar bagi Zain. Amisha beranjak turun dari sofa bed dan melangkah gontai menuju ruang makan. Sesekali ia masih menguap dan ditutupnya dengan telapak tangan. Melihat Amisha berjalan seperti orang mabuk, Zain menekan tombol off, bergegas menyongsong Amisha, lalu membawanya duduk pada sebuah kursi. Lantaran masih mengantuk, Amisha langsung menempelkan sebelah pipinya pada permukaan meja. Matanya menatap sayu pada Zain yang melanjutkan pekerjaannya.
“Waktu Amisha masih kecil, mama kalian bahkan heboh, sampai lapor polisi karena mengira Amisha kabur setelah dimarahi. Eh, ternyata Amisha cuma ngumpet di kamar pengungsiannya.” Harist terkekeh setelah menceritakan kejadian itu, tak peduli pada sorot mata membunuh yang dilayangkan sang istri sebelumnya.“Honey?!” protes Claudya, dengan muka merah. Entah benar-benar marah atau justru tersipu malu.Gianna dan Zain tersenyum geli melihat raut muka Claudya yang bak pengantin baru digoda suaminya.Meski usia mereka sudah di ambang senja, hubungan Harist dan Claudya selalu mesra. Siapa pun yang melihat mereka akan merasa hangat dan damai. Ketularan hangatnya cinta kasih mereka yang tulus terhadap satu sama lain.Enggan rasanya berjauhan dari mereka bila sudah membaur dengan dua sejoli itu. Tak jarang kemesraan mereka menimbulkan rasa iri bagi sebagian anak muda, yang tanpa sengaja menyaksikan bagaimana mereka berinteraksi di tempat umum kala mereka sedang berada di taman, di restoran, atau
Setelah pesta kecil penyambutan orang tua angkatnya selesai dan tamu mereka pulang, Gianna tetap tinggal di rumah Amisha karena diminta Claudya untuk menginap. Celakanya, Gianna memang tak pernah bisa menolak permintaan orang tua angkatnya itu, meskipun sebenarnya ia sangat ingin pulang ke apartemennya sendiri.“Waaah, gila! Lama menghilang, kukira dia melanjutkan kuliah di luar negeri. Eh, ternyata malah ditangkap polisi! Ck!” seru Gianna, mendecak kaget sambil terus menyaksikan berita yang sedang ditontonnya di ruang tengah rumah Amisha.Ia ingat, terakhir kali ia melihat sosok orang yang diberitakan itu adalah saat menghadiri pesta perayaan ulang tahun Adelino Daneswara. Sempat beredar kabar lelaki itu akan melanjutkan study-nya di luar negeri.Haris yang sedang asyik membaca majalah olahraga hanya melirik sekilas mendengar kehebohan Gianna. Bagi Harist, kumpulan artikel dalam majalah itu jauh lebih menarik daripada berita yang ditonton Gianna. Dalam hitungan detik, ia pun kembali
Merahnya darah yang mengaliri wajah cantik Amisha tak lagi membayang jelas. Berubah pias diterpa kekagetan. Kaget menyaksikan berjuta kenangan indah yang terekam dalam setiap helai foto yang baru saja ditemukannya. Tidak hanya foto-fotonya semasa kuliah bersama Gianna dan Sonny, tetapi juga foto-foto menjelang pernikahannya. Bahkan, beberapa foto itu memperlihatkan tubuhnya yang sudah terbalut gaun pengantin.Diiringi detak jantung yang bergemuruh, otak Amisha mereka ulang kejadian empat tahun yang lalu. Saat itu hijaunya hamparan sajadah panjang yang terbentang menutupi lantai masjid tak lagi melukiskan ketenangan dan kedamaian hati. Warna hijau itu telah beralih rupa menjadi kelabu. Menorehkan goresan pilu.Aura keemasan yang semula memancar cerah dari indahnya janur kuning yang jatuh menjuntai dan berayun-ayun dibelai embusan angin perlahan tampak memudar, lalu menghilang tanpa jejak.Kalau saja Amisha tahu bahwa putihnya gaun pengantin yang dikenakannya saat itu tak lagi melambang
Dulu, ketika Amisha masih menyandang status sebagai tunangan Sonny, kehidupannya penuh keceriaan. Hampir setiap hari ia senyum-senyum sendiri membaca serangkaian pesan mesra dari Sonny. Saat itu ia benar-benar bahagia dan berharap kebahagiaan itu tak akan pernah berakhir.Kala itu awal tahun 2016. Pelaksanaan akad nikah yang direncanakan keluarga mereka tinggal menghitung hari. Tak ada yang menyangka jika tepat pada hari yang ditunggu-tunggu itu semua mimpi hidup bahagia yang dimiliki Amisha lenyap tak berbekas.Saat itu Amisha hanya bisa bergeming dengan ekspresi berubah kaku. Senyuman bahagia yang terpancar dari bibirnya beberapa detik sebelumnya seakan direnggut paksa oleh berita buruk tentang ketidakhadiran Sonny di Masjid Istiqlal hari itu.Amisha merasakan dunia tempatnya berpijak amblas seketika. Menariknya masuk ke dalam lapisan kerak bumi terdalam. Membenamkan jiwa raganya dalam kekalutan pikiran yang mengantarnya pada titik nadir sikap pesimis tentang cinta.Cinta Sonny yang
“Aku ….” Gianna menoleh canggung pada Sonny. “Aku … mau minta maaf.”“Maaf? Untuk apa?”Sonny mengernyit heran. Seingatnya, tak ada masalah antara dirinya dan Gianna, lalu kenapa tiba-tiba gadis itu minta maaf padanya?“Aku … aku minta maaf karena selama ini telah salah paham padamu,” kata Gianna, sedikit terbata dan suara bergetar. Dadanya tiba-tiba saja berdebar kencang.Cepat-cepat ia membuang muka ke tengah kolam ketika Sonny menatap intens kepadanya. Mungkin lelaki itu kaget atau bahkan tak percaya Gianna akan meminta maaf padanya.“Salah paham? Tentang apa?” kejar Sonny.Ia benar-benar tidak mengerti kesalahpahaman apa yang dibicarakan Gianna.Gianna mengembuskan napas kencang sebelum menjawab pertanyaan Sonny, seolah-olah ia ingin mengisi paru-parunya yang hampa udara dengan oksigen sebanyak-banyaknya.“Selama ini, kukira kau sengaja mangkir dari pernikahan karena melarikan diri bersama wanita lain,” aku Gianna berterus terang dengan kepala tertunduk.Sungguh ia tak berani mena