Zain duduk bertopang dagu dengan sebelah sambil mengetuk-ngetukkan pena di atas meja kerjanya. Keningnya kusut, seperti lipatan kertas untuk alas racun nyamuk bakar. Tampaknya ia tengah memikirkan masalah yang sangat pelik.Memori otaknya menayangkan ulang slide suasana rapat dewan direksi yang diadakan secara dadakan pagi ini. Pro dan kontra di ruang rapat itu sungguh mengganggu pikirannya.“Presdir Zain, kami harap Anda bisa memberi penjelasan tentang permasalahan ini,” ujar salah satu pemegang saham tertinggi.Zain, yang saat itu sedikit mengantuk karena begadang menemani ayahnya di rumah sakit semalaman, belum mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya.“Iya, Pak Presdir. Gara-gara masalah ini harga saham ZA Groups merosot tajam,” timpal pemegang saham lainnya.Melihat Zain belum bereaksi dan tampak bingung, Yoshi berbisik di telinganya, memperlihatkan sebuah artikel dan tayangan video yang beredar luas di jagat maya melalui ipad, dengan judul besar ‘Skandal BOS ZA Groups dan Pewar
“Aku sudah bilang, aku hanya menikahi wanita yang kucintai, Nyonya. Aku tidak akan pernah bertanggung jawab terhadap perbuatan yang tidak aku lakukan. Silakan pulang dan tanya anak Anda, siapa yang telah menghabiskan malam bersamanya.”Zain ikut berdiri, menatap tajam pada Anggara dan istrinya bergiliran.Anggara makin bergidik. Ia mengutuk kebodohannya sendiri. Seharusnya, sebelum ia dan istrinya melabrak Zain, terlebih dahulu ia mencari bukti yang valid melalui CCTV kamar hotel tempat anak gadis mereka menginap. Bagaimana kalau ternyata rekaman CCTV itu sekarang sudah berada di tangan Zain?“Ayo! Jangan buang waktu lagi!” hardik Anggara pada istrinya, menyeret paksa wanita itu keluar dari ruang kerja Zain.Jika benar anak gadisnya yang bersalah, ia tidak tahu harus ke mana menyembunyikan mukanya. Semua media pasti akan menyorot kegagalannya sebagai seorang ayah. Bagaimana bisa ia memegang kepercayaan menduduki jabatan tertinggi di perusahaan bila memimpin seorang anak gadis saja ia g
Di sebuah rumah kosong di pinggiran Jakarta, sesosok tubuh duduk dengan bersilang kaki di atas sebuah kursi kayu. Sebelah tangannya berada di atas paha, sementara lengan yang lain terentang lurus di atas meja kayu sembari mengetuk-ngetukkan ujung jari pada permukaan meja itu, mengeluarkan bunyi berdetak pelan.Tatapan matanya tertuju pada pintu masuk yang mulai reyot. Tak ada perabotan lain di ruangan itu selain meja dan kursi kayu yang sedang diduduki oleh sosok misterius tersebut. Seluruh tubuhnya terbalut pakaian serba hitam dengan topeng dan topi ala tentara Jepang, yang diselipkan ke dalam kerah jaket, seakan sengaja menyembunyikan dirinya agar tak dikenali oleh orang lain.Beberapa lelaki bertubuh tegap, dengan otot-otot yang terpahat jelas pada lengan dan menembus baju kaus tipis yang mereka kenakan, berdiri gagah di belakang dan di samping sosok yang sedang duduk itu. Sepertinya mereka tengah menunggu sesuatu atau seseorang.Benar saja. Tidak lama kemudian, seorang lelaki berta
“Oh My God! Sangat menjijikkan!”Pipi Zain menggembung seperti pipi seekor katak. Perutnya mendadak terasa mual, melihat adegan panas tanpa sensor yang ditayangkan dalam video itu. Hanya sedikit blur pada senjata ajaib sang pemeran utama.Cepat-cepat Zain mengoper kembali ipad itu kepada Yoshi, lalu bergegas mengecek pergerakan harga saham.“Wow! Luar biasa!” serunya, setengah tak percaya.Harga saham perusahaannya yang sempat anjlok gara-gara skandal itu kembali melesat naik.“Ck!” Zain mendecak.Betapa cepatnya jangkauan sebuah berita di dunia maya memengaruhi kehidupan seseorang.Ia memang telah berhasil memblokir penayangan lanjut dan menyebaran berita skandal yang mencoreng namanya. Namun, ia tak menyangka lenyapnya berita itu akan diiringi dengan kemunculan berita yang berisi sebuah pengakuan dan permintaan maaf, sekaligus memulihkan nama baiknya.“Siapa dalang di balik semua ini?” tanya Zain, bergumam pelan.“Kali ini, aku yakin sekali pasti Nona Amisha yang telah melakukannya,
“Ini benar-benar memalukan!” bentak Anggara pada anak gadisnya, yang duduk menundukkan kepala di atas sofa ruang tengah rumah mewahnya.Lelaki itu melempar koran sore ke tubuh Maisie.“Di mana kau letakkan akal sehatmu, hah? Apa kau tidak memikirkan akibat dari perbuatanmu itu?”Anggara berkacak pinggang, mengalihkan pandangannya dari Maisie.Dadanya siap meledak, memuntahkan segenap amarah yang sedari pagi berusaha ditahannya. Ia sungguh kesal dan kecewa dengan sikap anak gadisnya itu. Istrinya yang duduk di sisi Maisie tak berani berkutik.“Ayo, jelaskan kenapa kau bisa melakukan hal serendah itu!”Anggara mengempaskan pantat dengan kasar di atas single sofa. Berharap amarahnya
“Kalau itu berhubungan dengan skandalmu, sorry, Mai … aku tidak bisa membantumu,” sahut tegas lelaki di seberang telepon.Taksa adalah teman akrab Maisie sejak dari bangku kuliah. Mereka sudah seperti sendok dan garpu yang selalu bersama, meskipun terkadang perselisihan kecil kerap mewarnai persahabatan mereka. Maisie sangat berharap lelaki itu akan bersedia menolongnya, keluar dari masalah yang saat ini sedang membelit lehernya.“Kumohon, Taksa. Kau satu-satunya teman baikku,” lirih Maisie, semakin putus asa.“Maaf, Mai. Aku benar-benar tidak bisa. Aku tidak mau terlibat dalam hal yang memalukan.” Selesai berkata begitu, Taksa menutup panggilan telepon.Berulang kali Maisie mencoba menghubungi Taksa kembali. Namun, panggilan teleponnya tak lagi tersambung. Sepertinya Ta
Gerimis jatuh satu-satu, mengiring malam yang kian kelam. Langit terlihat gelap tanpa pendar cahaya rembulan. Bintang pun bersembunyi di balik mega mendung yang makin menghitam.Zain beranjak turun dari ranjang dengan gerakan perlahan. Ia sangat berhati-hati. Jangan sampai gerakannya membangunkan Amisha yang baru saja terlelap. Matanya belum jua mau terpejam, meski jarum jam telah menunjukkan pukul sebelas lewat.Semenjak meninggalkan rumah Gianna hampir pukul sepuluh tadi, kepala Zain terus dipenuhi sejuta tanya tentang kasus yang menimpanya. Berulang kali ia memancing informasi dari Amisha, tetapi tak satu pun kalimat pengakuan meluncur dari mulut Amisha.Jangankan pengakuan secara gamblang, sedikit clue yang menyerempet ke arah itu pun tak ada. Amisha lebih memilih memejamkan mata daripada berbicara dengannya. Ap
FIUH!“Untunglah dia cuma minum,” bisik Zain penuh syukur, karena aksinya tidak ketahuan oleh Amisha.Aroma ikan panggang menyeret langkah Amisha untuk segera turun ke ruang makan. Wangi lezatnya cita rasa ikan itu seakan mengalahkan semerbak harum parfum yang ia semprotkan ke tubuhnya. Entah kenapa, semakin hari indra penciuman Amisha makin sensitif saja terhadap aroma ikan. Ia bahkan dapat menghidu baunya dari jarak puluhan meter.Tak sabar ingin mencicipi olahan ikan hasil kreasi Zain, Amisha melangkah cepat menuruni tangga. Ia menelan saliva saat matanya merekam pemandangan aneka hidangan ikan, yang sudah tertata rapi di atas meja.Zain tersenyum hangat menyambut kehadiran Amisha. Ia sengaja masak banyak pagi itu untuk dibawa ke rumah sakit, membesuk ayahnya.
Amisha masih tegak mematung. Dadanya kian berguncang hebat. Detak jantungnya bagai genderang perang. Sungguh! Kata-kata Zain membawa jiwanya melayang tinggi, meniti angkasa menuju nirwana. Ia tak percaya Zain melamarnya. Ya, lamaran romantis yang diimpikan semua wanita. Meskipun tertunda sekian lama, Amisha masih saja merasakan lututnya gemetar. Saking gugupnya ia mendengar lamaran Zain yang disaksikan puluhan pasang mata.Selang beberapa menit, perlahan tangan kiri Amisha terulur membelai rambut Zain. Pelangi seakan bermunculan di hatinya kala ia menganggukkan kepala, tersenyum manis kepada Zain. Rona pelangi juga memancar dari sepasang netra gelap Zain ketika menyaksikan anggukan kepala Amisha. Senyuman Zain merekah.Tepuk tangan pun membahana disertai senyum bahagia dari puluhan pasang mata yang menjadi saksi lamaran tertunda Zain untuk Amisha.Zain pun bangkit dari berlutut dan spontan memeluk erat tubuh Amisha. Sejenak ia lupa akan keberadaan anak-anak panti yang menyaksikan mere
CEKLEK!Zain menutup pintu ruang kerja Amisha dengan kaki. Tangannya langsung saja menyambar tubuh Amisha yang berada di depannya dan melingkar erat pada pinggang ramping Amisha.Amisha membuang napas kesal. Kedua tangannya jatuh lurus ke samping tubuhnya.“Ini kantor, Tuan Zain Adelino! Sekarang saatnya aku bekerja!” Amisha memberi peringatan keras.Zain hanya tersenyum kecil tanpa berusaha merenggangkan pagutan lengannya dari tubuh istrinya itu. Sebaliknya, ia malah membenamkan wajahnya pada ceruk leher Amisha yang masih berbalut jilbab.“Sebentar saja,” rengek Zain.Matanya tertutup rapat, konsentrasi menyesap aroma wangi yang menguar dari tubuh Amisha.Puncak hidungnya yang menjulang tinggi berdiri pongah, seakan ingin memamerkan pada dunia bahwa tak ada seorang pun yang melebihi ketampanannya, setelah berhasil menaklukkan Amisha Harist.“Jangan bilang kamu ingin memangsaku saat ini!” goda Amisha, menoleh pada Zain dan langsung disambut dengan kecupan ringan pada pipinya.“Oh My G
Pandangan Amisha belum beralih dari Sonny, menanti penjelasan yang tak sepenuhnya ia pahami. Diletakkannya sendok dengan sedikit kasar. Menimbulkan bunyi berdentang. Untung saja meja mereka agak terpisah dari pengunjung lain, sehingga suara dentingan sendok beradu dengan piring tak sampai terdengar ke meja tetangga.“Aku tidak suka berteka-teki,” sergah Amisha dingin.Sonny tersenyum tipis dengan canggung. Ia sangat mengenal ekspresi yang ditunjukkan Amisha. Wanita itu sedang memasang kuda-kuda untuk setiap serangan kata yang akan dilayangkan oleh lawan bicaranya.“Ya … bisa jadi suatu hari nanti yang lalu itu akan menjadi awal dari masa depan,” kata Sonny, berandai-andai sembari tetap memendam angan.Amisha menantang tatapan sendu Sonny. “Tidak usah terlalu tinggi menggantung harap akan masa depan. Nikmati saja saat ini! Karena belum tentu Tuhan masih memberimu kesempatan untuk merasakan hangatnya cahaya mentari esok pagi.”Sonny terdiam. Perkataan Amisha skak mat untuknya. Ia hanya
“Ah, sudahlah! Mungkin aku memang harus ke sana. Setidaknya, pertemuan ini akan memperjelas semuanya.” Amisha akhirnya menyambar tas di atas meja, lalu menghilang dari ruangannya. Tidak butuh waktu lama bagi Amisha untuk tiba di kafe O, tempat janji temunya dengan seseorang yang menghubunginya satu jam yang lalu. Begitu Amisha berdiri di pintu masuk, seorang lelaki melambaikan tangan ke arahnya. Amisha pun berjalan ke meja di mana lelaki itu duduk. Kalau saja siang itu sinar mentari tidak begitu beringas, Amisha akan memilih pojok paling tepi di bagian luar kafe itu. Lebih sejuk. Akan tetapi, menikmati keindahan kubah dengan kaca warna-warni pada langit-langit kafe tersebut tentu tak kalah menyenangkan bila dibandingkan dengan nuansa alam di bagian luarnya. “Silakan duduk!” kata lelaki itu, menarik kursi untuk Amisha. “Terima kasih,” sahut Amisha. Komunikasi di antara mereka terdengar seperti percakapan sepasang robot yang sedang dalam masa uji coba. Amisha mematung kaku, mema
Amisha terjaga dari tidurnya ketika mendengar suara dengungan juicer yang sedang bekerja mengolah mangga. Entah berapa tempat yang didatangi Zain sampai akhirnya dia berhasil mendapat dua buah mangga sebagai stok terakhir dari sebuah kedai buah di pinggir jalan yang buka dua puluh empat jam. Ukurannya pun tidak terlalu besar. Layaknya buah mangga yang didatangkan dari kampung. Namun, Zain tetap bersyukur ia dapat memenuhi keinginan istri tercinta yang tengah mengidam itu. Melihat senyum bahagia menghiasi wajah Amisha adalah kebahagiaan terbesar bagi Zain. Amisha beranjak turun dari sofa bed dan melangkah gontai menuju ruang makan. Sesekali ia masih menguap dan ditutupnya dengan telapak tangan. Melihat Amisha berjalan seperti orang mabuk, Zain menekan tombol off, bergegas menyongsong Amisha, lalu membawanya duduk pada sebuah kursi. Lantaran masih mengantuk, Amisha langsung menempelkan sebelah pipinya pada permukaan meja. Matanya menatap sayu pada Zain yang melanjutkan pekerjaannya.
“Waktu Amisha masih kecil, mama kalian bahkan heboh, sampai lapor polisi karena mengira Amisha kabur setelah dimarahi. Eh, ternyata Amisha cuma ngumpet di kamar pengungsiannya.” Harist terkekeh setelah menceritakan kejadian itu, tak peduli pada sorot mata membunuh yang dilayangkan sang istri sebelumnya.“Honey?!” protes Claudya, dengan muka merah. Entah benar-benar marah atau justru tersipu malu.Gianna dan Zain tersenyum geli melihat raut muka Claudya yang bak pengantin baru digoda suaminya.Meski usia mereka sudah di ambang senja, hubungan Harist dan Claudya selalu mesra. Siapa pun yang melihat mereka akan merasa hangat dan damai. Ketularan hangatnya cinta kasih mereka yang tulus terhadap satu sama lain.Enggan rasanya berjauhan dari mereka bila sudah membaur dengan dua sejoli itu. Tak jarang kemesraan mereka menimbulkan rasa iri bagi sebagian anak muda, yang tanpa sengaja menyaksikan bagaimana mereka berinteraksi di tempat umum kala mereka sedang berada di taman, di restoran, atau
Setelah pesta kecil penyambutan orang tua angkatnya selesai dan tamu mereka pulang, Gianna tetap tinggal di rumah Amisha karena diminta Claudya untuk menginap. Celakanya, Gianna memang tak pernah bisa menolak permintaan orang tua angkatnya itu, meskipun sebenarnya ia sangat ingin pulang ke apartemennya sendiri.“Waaah, gila! Lama menghilang, kukira dia melanjutkan kuliah di luar negeri. Eh, ternyata malah ditangkap polisi! Ck!” seru Gianna, mendecak kaget sambil terus menyaksikan berita yang sedang ditontonnya di ruang tengah rumah Amisha.Ia ingat, terakhir kali ia melihat sosok orang yang diberitakan itu adalah saat menghadiri pesta perayaan ulang tahun Adelino Daneswara. Sempat beredar kabar lelaki itu akan melanjutkan study-nya di luar negeri.Haris yang sedang asyik membaca majalah olahraga hanya melirik sekilas mendengar kehebohan Gianna. Bagi Harist, kumpulan artikel dalam majalah itu jauh lebih menarik daripada berita yang ditonton Gianna. Dalam hitungan detik, ia pun kembali
Merahnya darah yang mengaliri wajah cantik Amisha tak lagi membayang jelas. Berubah pias diterpa kekagetan. Kaget menyaksikan berjuta kenangan indah yang terekam dalam setiap helai foto yang baru saja ditemukannya. Tidak hanya foto-fotonya semasa kuliah bersama Gianna dan Sonny, tetapi juga foto-foto menjelang pernikahannya. Bahkan, beberapa foto itu memperlihatkan tubuhnya yang sudah terbalut gaun pengantin.Diiringi detak jantung yang bergemuruh, otak Amisha mereka ulang kejadian empat tahun yang lalu. Saat itu hijaunya hamparan sajadah panjang yang terbentang menutupi lantai masjid tak lagi melukiskan ketenangan dan kedamaian hati. Warna hijau itu telah beralih rupa menjadi kelabu. Menorehkan goresan pilu.Aura keemasan yang semula memancar cerah dari indahnya janur kuning yang jatuh menjuntai dan berayun-ayun dibelai embusan angin perlahan tampak memudar, lalu menghilang tanpa jejak.Kalau saja Amisha tahu bahwa putihnya gaun pengantin yang dikenakannya saat itu tak lagi melambang
Dulu, ketika Amisha masih menyandang status sebagai tunangan Sonny, kehidupannya penuh keceriaan. Hampir setiap hari ia senyum-senyum sendiri membaca serangkaian pesan mesra dari Sonny. Saat itu ia benar-benar bahagia dan berharap kebahagiaan itu tak akan pernah berakhir.Kala itu awal tahun 2016. Pelaksanaan akad nikah yang direncanakan keluarga mereka tinggal menghitung hari. Tak ada yang menyangka jika tepat pada hari yang ditunggu-tunggu itu semua mimpi hidup bahagia yang dimiliki Amisha lenyap tak berbekas.Saat itu Amisha hanya bisa bergeming dengan ekspresi berubah kaku. Senyuman bahagia yang terpancar dari bibirnya beberapa detik sebelumnya seakan direnggut paksa oleh berita buruk tentang ketidakhadiran Sonny di Masjid Istiqlal hari itu.Amisha merasakan dunia tempatnya berpijak amblas seketika. Menariknya masuk ke dalam lapisan kerak bumi terdalam. Membenamkan jiwa raganya dalam kekalutan pikiran yang mengantarnya pada titik nadir sikap pesimis tentang cinta.Cinta Sonny yang