“Apa? Misha dilarikan ke rumah sakit?” Zain berteriak syok saat mendengar kabar tentang Amisha dari Gianna melalui sambungan telepon.Tergabas ia menyambar jas yang tersampir di punggung kursi putar, lalu lari mendua katak, menyusuri koridor menuju lift.“Shit!” Zain memaki kesal, mendapati lift khusus eksekutif itu sedang dipakai.Tak kehilangan akal, Zain berlari kencang menuju lift karyawan. Lagi-lagi ia mengumpat jengkel karena ternyata semua lift karyawan juga sedang berjalan.Tak ingin menunggu lama, Zain berlari menuju tangga darurat. Ia tak peduli berapa anak tangga yang harus ia tempuh untuk bisa sampai ke lantai dasar. Yang ia tahu, ia harus secepatnya tiba di rumah sakit.Zain tak mengacuhkan kemejanya yang basah kuyup oleh keringat, pun seluruh tubuhnya yang bermandi peluh gara-gara berlari kencang menuruni tangga. Dibuangnya jas yang dibawanya ke atas jok di samping kursi kemudi. Ia memasukkan kunci mobil dengan tangan gemetar, menyalakan mesin, lalu tancap gas dengan kece
“Saya, Dok!” Zain yang berdiri di pintu masuk, menyahut cepat.Ia baru saja menyelesaikan urusan administrasi rawat inap Amisha.Dokter perempuan itu tersenyum menyambut kehadiran Zain. “Selamat, Tuan Zain! Anda akan segera menjadi seorang ayah.”Zain cuma bengong seraya melirik Amisha tak berkedip. Ia seakan tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.“Kyaaa … selamat, Misha! Kau akan menjadi ibu!” Gianna berteriak heboh sembari memeluk Amisha.Sama seperti Zain, Amisha juga bengong. Balas menatap Zain tanpa kata. Perasaannya tak menentu. Haruskah ia merasa senang dengan berita kehamilannya?“Tuan Zain! Anda baik-baik saja?” tanya sang dokter, menepuk pelan pundak Zain.Zain terperanjat.“Ah, ya. Saya baik-baik saja,” sahut Zain, gelagapan.“Tolong jaga istri Anda dengan baik! Dia tidak boleh terlalu lelah. Kandungannya masih lemah. Baru berusia lima minggu,” jelas sang dokter, memberi wejangan kepada Zain.“Baik, Dok! Terima kasih!” Zain tak tahu lagi harus mengatakan apa kepa
Langit pagi Jakarta tak begitu indah. Awan kelabu berarak lambat, diembus semilir angin pagi menjelang siang, seakan ingin membagi rata setiap mendung yang disebabkannya.Suasana hati Sonny berbanding terbalik dengan mendungnya cuaca. Ia bersiul kecil mengitari toko bunga segar. Menyentuh dan menghirup aroma wangi dari setiap bunga indah yang menarik hatinya.“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanya gadis penjaga toko bunga itu, tersenyum ramah.“Ah, ya. Saya butuh mawar merah dan tujuh tangkai mawar putih di tengahnya,” jawab Sonny, menyebutkan jenis bunga yang dibutuhkannya.“Baik, Pak. Akan saya siapkan.”Gadis itu bergegas memilih kuntum mawar terindah dari warna yang diinginkan pelanggannya.“Ini, Pak. Sangat indah!”Gadis itu memuji selera Sonny dan menyerahkan buket bunga di tangannya kepada Sonny.“Terima kasih!” Sonny menerima buket bunga pesanannya dengan wajah berbinar cerah.Ia membawa buket bunga itu ke mukanya. Memejamkan mata sembari menikmati kesegaran wangi yang menelusu
‘Apa lelaki ini bebal ya?’ Amisha melirik Sonny dengan sudut matanya.Sorot matanya tak terbaca. Ia tidak senang Sonny tak mengindahkan perkataannya. Di sisi lain, ia juga penasaran kenapa lelaki itu bersedia menebalkan muka. Jika hanya datang sekadar basa-basi sebagai rekan bisnis, bukankah ia sudah menyelesaikan kewajibannya? Kenapa masih harus duduk menungguinya?Melihat Sonny mengingatkan Amisha pada permintaan Zain. Lelaki itu menginginkan dirinya menjaga jarak dari Sonny.‘Ada apa antara mereka berdua?’ Amisha bertanya-tanya.Saingan bisnis sudah pasti. Dari dulu Prima Company selalu menjadi rival terberat ZA Groups. Dua perusahaan besar itu bersaing dalam berbagai bidang, meskipun ZA Groups lebih unggul dan selalu jadi pemenang.Zain bukan seorang pebisnis yang berpikiran picik. Setahu Amisha, sepanjang kariernya Zain tidak pernah mencampuradukkan masalah pribadi dan bisnis. Lalu, kenapa Zain tiba-tiba berubah? Karena cemburu?Tanpa sadar, Amisha menatap Sonny intens, seakan-aka
“Bi Inah, lihat Nona tidak?” tanya Zain dari bibir tangga.Inah yang sedang sibuk membersihkan meja makan untuk persiapan makan malam, menghentikan kegiatannya dan berpaling pada Zain.“Tidak, Tuan. Nona belum pulang.”“Belum pulang?”Zain merasa aneh Amisha belum tiba di rumah. Saat ia mampir ke kantor Amisha tadi, Gianna mengatakan Amisha pulang lebih awal.“Pergi ke mana dia?” Zain mulai was-was.Amisha baru beberapa hari keluar dari rumah sakit. Kondisi fisiknya belum seratus persen prima. Bagaimana kalau Amisha jatuh pingsan lagi?“Ah, dia selalu saja membuatku khawatir,” gumam Zain pelan.Dikeluarkannya telepon genggam dari saku celana. Mencoba menghubungi Amisha. Namun, hanya suara merdu sang operator yang menyahuti panggilannya dengan kalimat yang sama, “Maaf, nomor yang Anda tuju tidak menjawab.”“Bi, aku pergi keluar. Tolong kunci pintu, ya!” Zain berlari turun, menyambar kunci yang tergantung di dinding, lalu memacu kendaraannya meninggalkan pekarangan rumahnya.Sementara di
Suara gemercik air dari kamar mandi menghadirkan senyuman usil di wajah Zain. Ia mendekati pintu, menempelkan sebelah telinganya di daun pintu kamar mandi itu. Menguping setiap suara yang ditimbulkan oleh gerakan Amisha. Fantasi liarnya mulai mengembara ke mana-mana.“Oh My God! Dia lupa mengunci pintu,” gumam Zain girang ketika tangannya iseng memutar gagang pintu.Diam-diam ia mendorong daun pintu itu secara perlahan, agar tak menimbulkan suara sedikit pun. Dibiarkannya pintu itu tetap terbuka. Toh tidak akan ada orang yang berani masuk ke kamarnya, apalagi sampai masuk ke kamar mandi saat dia dan Amisha sedang di rumah.Ia terpaku menatap Amisha yang sedang berdiri di bawah shower. Tubuh rampingnya hanya terbalut sehelai kain putih tipis dari dada hingga setengah paha. Liukan gemulai Amisha saat membersihkan badan di bawah shower, sungguh sangat menggoda.Refleks Zain membuka kancing piama yang dipakainya satu per satu hingga tak ada lagi yang tersisa. Ia juga membuka celana, menyis
‘Ya Tuhan!’Amisha merasakan sesuatu yang keras menusuk perutnya, kala Zain menarik pinggangnya dan memutar posisi mereka. Kini posisi shower tepat berada di atas kepala Zain.Zain menempelkan busa sabun di tubuhnya ke pipi Amisha. Membuat Amisha mendengkus kesal. Terpaksa ia membilas ulang tubuhnya saat Zain telah menyelesaikan mandinya dan melilitkan handuk di pinggang.SREEET! GREP!Begitu Amisha mematikan aliran air yang mengalir, Zain menarik lepas kain basahan Amisha. Kedua lengan kekarnya bergerak cepat, mengangkat tubuh Amisha, setelah menyelimuti tubuh istrinya itu dengan sehelai handuk putih.Amisha yang terkejut kakinya terangkat tiba-tiba dari lantai kamar mandi, kontan menggapai leher Zain, bergelayut cemas, mengira dirinya terpeleset. Mulutnya hanya bisa ternganga saat menyadari bahwa ia berada dalam gendongan suaminya. Matanya berkilat marah pada Zain.Zain melirik Amisha dengan senyuman tertahan. Ekspresi istrinya, dengan bibir yang sedikit terbuka dan bergetar menahan
Zain masih sibuk menata meja ketika Amisha tiba di ruang makan. Kesegaran wangi rempah berpadu lemon semerbak, menyebar memenuhi rongga hidung Zain. Aroma khas Amisha yang membuatnya mencandu untuk selalu berada di dekatnya. Menyembunyikan wajahnya pada ceruk leher jenjang itu seraya menghirup wanginya. Spontan Zain mengitari meja, menarik sebuah kursi agar Amisha bisa duduk.Amisha bolak-balik, keluar masuk dapur dan ruang makan. Mengangkat masakan yang belum terhidang. Beruntung ia punya majikan yang rajin membantu dan tak pernah membiarkan ia bekerja sendiri di hari libur. Membuat ia merasa tak sepenuhnya menjabat sebagai asisten rumah tangga, melainkan menjadi bagian dari keluarga itu.“Bi, nanti jangan lupa siapkan semua keperluan yang akan dibawa, ya?” pinta Zain setelah menyodorkan piring berisi sarapan kepada Amisha.“Sudah siap semua, Tuan. Tinggal dimasukkan ke mobil,” sahut Inah, meletakkan segelas susu di samping piring Amisha.“Oh ya? Terima kasih. Bibi memang bisa diandal
Amisha masih tegak mematung. Dadanya kian berguncang hebat. Detak jantungnya bagai genderang perang. Sungguh! Kata-kata Zain membawa jiwanya melayang tinggi, meniti angkasa menuju nirwana. Ia tak percaya Zain melamarnya. Ya, lamaran romantis yang diimpikan semua wanita. Meskipun tertunda sekian lama, Amisha masih saja merasakan lututnya gemetar. Saking gugupnya ia mendengar lamaran Zain yang disaksikan puluhan pasang mata.Selang beberapa menit, perlahan tangan kiri Amisha terulur membelai rambut Zain. Pelangi seakan bermunculan di hatinya kala ia menganggukkan kepala, tersenyum manis kepada Zain. Rona pelangi juga memancar dari sepasang netra gelap Zain ketika menyaksikan anggukan kepala Amisha. Senyuman Zain merekah.Tepuk tangan pun membahana disertai senyum bahagia dari puluhan pasang mata yang menjadi saksi lamaran tertunda Zain untuk Amisha.Zain pun bangkit dari berlutut dan spontan memeluk erat tubuh Amisha. Sejenak ia lupa akan keberadaan anak-anak panti yang menyaksikan mere
CEKLEK!Zain menutup pintu ruang kerja Amisha dengan kaki. Tangannya langsung saja menyambar tubuh Amisha yang berada di depannya dan melingkar erat pada pinggang ramping Amisha.Amisha membuang napas kesal. Kedua tangannya jatuh lurus ke samping tubuhnya.“Ini kantor, Tuan Zain Adelino! Sekarang saatnya aku bekerja!” Amisha memberi peringatan keras.Zain hanya tersenyum kecil tanpa berusaha merenggangkan pagutan lengannya dari tubuh istrinya itu. Sebaliknya, ia malah membenamkan wajahnya pada ceruk leher Amisha yang masih berbalut jilbab.“Sebentar saja,” rengek Zain.Matanya tertutup rapat, konsentrasi menyesap aroma wangi yang menguar dari tubuh Amisha.Puncak hidungnya yang menjulang tinggi berdiri pongah, seakan ingin memamerkan pada dunia bahwa tak ada seorang pun yang melebihi ketampanannya, setelah berhasil menaklukkan Amisha Harist.“Jangan bilang kamu ingin memangsaku saat ini!” goda Amisha, menoleh pada Zain dan langsung disambut dengan kecupan ringan pada pipinya.“Oh My G
Pandangan Amisha belum beralih dari Sonny, menanti penjelasan yang tak sepenuhnya ia pahami. Diletakkannya sendok dengan sedikit kasar. Menimbulkan bunyi berdentang. Untung saja meja mereka agak terpisah dari pengunjung lain, sehingga suara dentingan sendok beradu dengan piring tak sampai terdengar ke meja tetangga.“Aku tidak suka berteka-teki,” sergah Amisha dingin.Sonny tersenyum tipis dengan canggung. Ia sangat mengenal ekspresi yang ditunjukkan Amisha. Wanita itu sedang memasang kuda-kuda untuk setiap serangan kata yang akan dilayangkan oleh lawan bicaranya.“Ya … bisa jadi suatu hari nanti yang lalu itu akan menjadi awal dari masa depan,” kata Sonny, berandai-andai sembari tetap memendam angan.Amisha menantang tatapan sendu Sonny. “Tidak usah terlalu tinggi menggantung harap akan masa depan. Nikmati saja saat ini! Karena belum tentu Tuhan masih memberimu kesempatan untuk merasakan hangatnya cahaya mentari esok pagi.”Sonny terdiam. Perkataan Amisha skak mat untuknya. Ia hanya
“Ah, sudahlah! Mungkin aku memang harus ke sana. Setidaknya, pertemuan ini akan memperjelas semuanya.” Amisha akhirnya menyambar tas di atas meja, lalu menghilang dari ruangannya. Tidak butuh waktu lama bagi Amisha untuk tiba di kafe O, tempat janji temunya dengan seseorang yang menghubunginya satu jam yang lalu. Begitu Amisha berdiri di pintu masuk, seorang lelaki melambaikan tangan ke arahnya. Amisha pun berjalan ke meja di mana lelaki itu duduk. Kalau saja siang itu sinar mentari tidak begitu beringas, Amisha akan memilih pojok paling tepi di bagian luar kafe itu. Lebih sejuk. Akan tetapi, menikmati keindahan kubah dengan kaca warna-warni pada langit-langit kafe tersebut tentu tak kalah menyenangkan bila dibandingkan dengan nuansa alam di bagian luarnya. “Silakan duduk!” kata lelaki itu, menarik kursi untuk Amisha. “Terima kasih,” sahut Amisha. Komunikasi di antara mereka terdengar seperti percakapan sepasang robot yang sedang dalam masa uji coba. Amisha mematung kaku, mema
Amisha terjaga dari tidurnya ketika mendengar suara dengungan juicer yang sedang bekerja mengolah mangga. Entah berapa tempat yang didatangi Zain sampai akhirnya dia berhasil mendapat dua buah mangga sebagai stok terakhir dari sebuah kedai buah di pinggir jalan yang buka dua puluh empat jam. Ukurannya pun tidak terlalu besar. Layaknya buah mangga yang didatangkan dari kampung. Namun, Zain tetap bersyukur ia dapat memenuhi keinginan istri tercinta yang tengah mengidam itu. Melihat senyum bahagia menghiasi wajah Amisha adalah kebahagiaan terbesar bagi Zain. Amisha beranjak turun dari sofa bed dan melangkah gontai menuju ruang makan. Sesekali ia masih menguap dan ditutupnya dengan telapak tangan. Melihat Amisha berjalan seperti orang mabuk, Zain menekan tombol off, bergegas menyongsong Amisha, lalu membawanya duduk pada sebuah kursi. Lantaran masih mengantuk, Amisha langsung menempelkan sebelah pipinya pada permukaan meja. Matanya menatap sayu pada Zain yang melanjutkan pekerjaannya.
“Waktu Amisha masih kecil, mama kalian bahkan heboh, sampai lapor polisi karena mengira Amisha kabur setelah dimarahi. Eh, ternyata Amisha cuma ngumpet di kamar pengungsiannya.” Harist terkekeh setelah menceritakan kejadian itu, tak peduli pada sorot mata membunuh yang dilayangkan sang istri sebelumnya.“Honey?!” protes Claudya, dengan muka merah. Entah benar-benar marah atau justru tersipu malu.Gianna dan Zain tersenyum geli melihat raut muka Claudya yang bak pengantin baru digoda suaminya.Meski usia mereka sudah di ambang senja, hubungan Harist dan Claudya selalu mesra. Siapa pun yang melihat mereka akan merasa hangat dan damai. Ketularan hangatnya cinta kasih mereka yang tulus terhadap satu sama lain.Enggan rasanya berjauhan dari mereka bila sudah membaur dengan dua sejoli itu. Tak jarang kemesraan mereka menimbulkan rasa iri bagi sebagian anak muda, yang tanpa sengaja menyaksikan bagaimana mereka berinteraksi di tempat umum kala mereka sedang berada di taman, di restoran, atau
Setelah pesta kecil penyambutan orang tua angkatnya selesai dan tamu mereka pulang, Gianna tetap tinggal di rumah Amisha karena diminta Claudya untuk menginap. Celakanya, Gianna memang tak pernah bisa menolak permintaan orang tua angkatnya itu, meskipun sebenarnya ia sangat ingin pulang ke apartemennya sendiri.“Waaah, gila! Lama menghilang, kukira dia melanjutkan kuliah di luar negeri. Eh, ternyata malah ditangkap polisi! Ck!” seru Gianna, mendecak kaget sambil terus menyaksikan berita yang sedang ditontonnya di ruang tengah rumah Amisha.Ia ingat, terakhir kali ia melihat sosok orang yang diberitakan itu adalah saat menghadiri pesta perayaan ulang tahun Adelino Daneswara. Sempat beredar kabar lelaki itu akan melanjutkan study-nya di luar negeri.Haris yang sedang asyik membaca majalah olahraga hanya melirik sekilas mendengar kehebohan Gianna. Bagi Harist, kumpulan artikel dalam majalah itu jauh lebih menarik daripada berita yang ditonton Gianna. Dalam hitungan detik, ia pun kembali
Merahnya darah yang mengaliri wajah cantik Amisha tak lagi membayang jelas. Berubah pias diterpa kekagetan. Kaget menyaksikan berjuta kenangan indah yang terekam dalam setiap helai foto yang baru saja ditemukannya. Tidak hanya foto-fotonya semasa kuliah bersama Gianna dan Sonny, tetapi juga foto-foto menjelang pernikahannya. Bahkan, beberapa foto itu memperlihatkan tubuhnya yang sudah terbalut gaun pengantin.Diiringi detak jantung yang bergemuruh, otak Amisha mereka ulang kejadian empat tahun yang lalu. Saat itu hijaunya hamparan sajadah panjang yang terbentang menutupi lantai masjid tak lagi melukiskan ketenangan dan kedamaian hati. Warna hijau itu telah beralih rupa menjadi kelabu. Menorehkan goresan pilu.Aura keemasan yang semula memancar cerah dari indahnya janur kuning yang jatuh menjuntai dan berayun-ayun dibelai embusan angin perlahan tampak memudar, lalu menghilang tanpa jejak.Kalau saja Amisha tahu bahwa putihnya gaun pengantin yang dikenakannya saat itu tak lagi melambang
Dulu, ketika Amisha masih menyandang status sebagai tunangan Sonny, kehidupannya penuh keceriaan. Hampir setiap hari ia senyum-senyum sendiri membaca serangkaian pesan mesra dari Sonny. Saat itu ia benar-benar bahagia dan berharap kebahagiaan itu tak akan pernah berakhir.Kala itu awal tahun 2016. Pelaksanaan akad nikah yang direncanakan keluarga mereka tinggal menghitung hari. Tak ada yang menyangka jika tepat pada hari yang ditunggu-tunggu itu semua mimpi hidup bahagia yang dimiliki Amisha lenyap tak berbekas.Saat itu Amisha hanya bisa bergeming dengan ekspresi berubah kaku. Senyuman bahagia yang terpancar dari bibirnya beberapa detik sebelumnya seakan direnggut paksa oleh berita buruk tentang ketidakhadiran Sonny di Masjid Istiqlal hari itu.Amisha merasakan dunia tempatnya berpijak amblas seketika. Menariknya masuk ke dalam lapisan kerak bumi terdalam. Membenamkan jiwa raganya dalam kekalutan pikiran yang mengantarnya pada titik nadir sikap pesimis tentang cinta.Cinta Sonny yang