Dengan penasaran tingkat tinggi yang akhirnya mengalahkan rasa was-was, aku melangkah ke nakas begitu punggung Farhan menghilang di balik pintu kamar. Terserahlah. Apa pun isinya akan aku terima. Mencinta itu urusan dua hati. Jika hanya sepihak itu mah namanya bucin. Yang ada aku hanya akan lelah jika berjuang sendiri. Namun setelah sampai di depan meja kecil itu aku kembali tertegun. Benarkah aku telah siap? Ayolah, Yat. Lo suka atau nggak, bukankah hasilnya akan tetap sama? Ya. Aku harus memantapkan hati. Lagipula itu Cuma sebuah amplop. Yang jadi masalah bukan amplop, tapi isinya Esmeralda. Lagi-lagi aku merutuki sikap plin plan ini. “Bismillah.”Meskipun sedikit gemetar akhirnya jemariku menyentuh kertas polos warna coklat muda itu. Tebal. Dahiku mengernyit. Kalau Cuma selembar surat nggak akan setebal ini. Berpikir demikian, aku segera membuka. Mataku membulat sempurna saat menatap apa yang terselip di dalamnya. Aku menarik napas lega. Syukurlah, bukan surat cerai. Tap
Aku meletakkan tas tangan begitu saja di meja rias. Lalu menghempaskan diri di sofa. Capek. Ya tubuh. Ya pikiran. Gagal menguntit pemuda itu membuatku sedikit uring-uringan. “Duh, maaf ya. Gue kurang gesit,” ujar Asti merasa nggak enak. “Gimana caranya mau gesit dengan kendaraan sepadat ini?” ucapku. “Ya setidaknya kan kita gak perlu kehilangan jejak.”“Dahlah. Kecuali kita dan dia sama-sama mengendarai mobil, lo kehilangan jejak, baru itu lelet namanya. Ini dia bisa nyelip, kita kaga. Ya ketinggalan lah,” sahutku terkekeh. “Ya tapi gue niatnya bantu, malah bikin lo bete.”Aku terdiam. Dalam hal ini aku tak bisa pungkiri. Lagipula untuk apa membantah sesuatu yang kenyataannya memang demikian. Munafik namanya. “Etapi setidaknya kita sudah tau di mana dia bekerja. Kita bisa samperin ke sana.”Aku menoleh. Menatap wanita itu sesaat. Lalu kembali terbayang tulisan yang ia tinggalkan pada secarik kertas kemarin. Gaji pertama. Artinya ia orang baru di perusahaan tersebut. Bisa juga b
"K ... ka ... kamu?" ujarku demi melihat Bang Fajar berdiri terpancang hanya dalam jarak kurang lebih lima meter dari tempat mobilku terparkir. Lelaki itu melipat kedua tangan di depan dada. Ada sedikit perasaan tidak enak melihatnya seperti itu. Ia tak menggubris. "Katanya ketemuan di sana aja?" lanjutku. Masih bersikap sebiasa mungkin. Ia bergeming. Wajahnya yang kaku semakin mengeras dengan rahang menajam. Tampak bergerak-gerak karena emosi yang tertahan. Melihatnya seperti itu aku sedikit bergidik. "Bang?" tanyaku lagi karena tak kunjung mendapat jawaban. "Apa maksud ucapan tadi?" tanyanya dingin. Lalu mendekat dengan tatapan tajam. Bagus. Teruslah seperti itu. Jangan salahkan jika rasa ini kian memudar untukmu. Tentu saja kata ini hanya ada dalam pikiran. Realitanya aku menciut. Tanpa sadar aku melangkah mundur. "Jangan main-main, Hayat," gumamnya. Ia mencekal lenganku kuat. Lalu tanpa mengatakan apa pun Bang Fajar menariknya. Melangkah meninggalkan area parkir. Tubu
Semburat warna jingga di ufuk Barat mulai memudar seiring matahari yang kian tenggelam. Berganti dengan kilauan cahaya putih yang bermunculan dari gedung, rumah warga, dan lampu jalan. Juga cahaya temaram lampu taman yang terpasang pada tiang di pinggir kolam. Sudah setengah jam sejak diantar Bang Fajar tadi aku masih termangu di depan jendela kamar. Gemericik suara air pada kolam kecil itu sedikit membuat perasaan jadi tenang. Apa yang paling menggigit pada rasa sepi? Adalah saat kau merasa sendiri di tengah keramaian. Sepertinya kalimat ini paling cocok untuk menggambarkan suasana hatiku saat ini. Bagaimana tidak? Aku punya ibu. Punya anak. Juga masih punya suami. Namun aku merasa sendiri. Benar-benar sendiri. Statusku dengan Farhan yang masih ngambang, tidak berarti pernikahan siri kami berakhir.Dan gilanya aku sudah punya calon suami lagi yang akan segera hadir. Hanya menunggu waktu yang tepat. Itu yang ditekankan Bang Fajar tadi saat menurunkanku di depan pintu gerbang. “A
“Kok lo mau jadi muhallil gue?”Farhan tersedak. Ia meraih botol air mineral dan langsung meminumnya beberapa tegukan. “Kenapa?” Ia balik bertanya. “Hanya pen tau alasannya aja.”“Penting ya?” sahutnya kemudian. “Kalau gak keberatan.”Ia berdehem beberapa kali. “Selalu ada alasan untuk sebuah tindakan. Apa pun itu. Namun kadang ada yang lebih penting dari semuanya.”“Apa?” Pemuda itu menatap lekat. “Tujuan.” Fajar menekan kuat ujung batang rokok yang tersisa ke asbak. Belum satu jam duduk di teras rumah, ia nyaris menghabiskan setengah bungkus dari candu itu. Pikirannya kalut. Apalagi penyebabnya kalau bukan perubahan sikap Hayat. Disinyalir ada sesuatu yang disembunyikan wanita itu. Tapi entah apa. Semakin ia pikirkan semakin panas rongga dadanya. Untuk pertama kali sepanjang perkenalan mereka, Hayat bersikap seperti tadi. “Sebaiknya rencana rujuk ini dipikirkan ulang.” Kata yang diucapkan Hayat tadi sore kembali terngiang di kepalanya. Apa yang harus ia pikirkan ul
Motor meluncur dengan kecepatan sedang saat meninggalkan kafe. Farhan menambah kecepatan saat kami telah berada di jalan raya. Dinginnya udara malam terasa kian menusuk hingga ke tulang sumsum. Reflek aku melingkarkan kedua tangan ke perut pemuda itu. Samar ia tersenyum sambil mengusap pelan pipi kiriku yang bertengger di pundaknya. Ada perasaan damai yang menyusup lembut di dalam sini. Dalam situasi seperti ini, aku mencoba tidak terlalu peduli akan perasaan Farhan. Mungkin memang ada kalanya cinta tidak perlu diucapkan. Karena yang lebih penting dari semua itu sikap dan perbuatan, bukan? Apa gunanya kata cinta digaungkan, jika pada kenyataannya malah menyakitkan. Seperti yang berkali-kali dilakukan Bang Fajar. Ingat laki-laki itu, pikiranku kembali menerawang pada banyaknya panggilan tak terjawab tadi. Sejujurnya perasaanku tidak enak. Mengingat sifatnya yang temperamen, mustahil ayah dari anakku itu tidak akan melakukan apa pun. Tanpa sadar aku menarik napas panjang. "Kenapa?
“Alhamdulillah, akhirnya kamu telah bangun, Sayang.” Itu kata yang pertama aku dengar saat membuka mata. Kata yang membuat aku merasa sangat dicintaiAku mengedarkan pandang. Ruangan serba putih dan senyum semringah Farhan menyambut. Pemuda itu menggenggam jemari tanganku dan menciumnya berkali-kali. Untuk pertama kali aku melihat ia menitikkan air mata. Entah berapa lama aku tenggelam dalam pengaruh obat dan segala tetek bengek peralatan medis ini. “Han?” panggilku pelan. Berusaha untuk bangkit, namun laki-laki itu buru-buru menahan. “Jangan bangun dulu!”“Tapi pegal,” sahutku dengan mata berkaca-kaca. Entahlah. Saat ini rasanya aku ingin menangis. Berbagai perasaan berkecamuk mengingat apa yang terjadi. Kenapa harus seperti ini? Sejak dulu aku bukan seseorang yang suka mencari masalah. Sedapat mungkin, jika mengalah adalah solusi terbaik, maka akan aku lakukan. Tak peduli siapa yang benar dan siapa yang salah. Mungkin sifat yang terlalu pasrah itulah yang dimanfaatkan Bang
“Salah kamu sendiri membiarkan Farhan selalu datang. Coba kamu pikir, wajar gak Fajar marah? Bagaimana kalian bisa rujuk kalau kamu masih tetap bersama Farhan.”Aku menatap Ibu tak percaya, bagaimana bisa dia berpikir seperti itu? Salahkah jika aku merasa ada yang tidak beres dengan Ibu? Setelah segala hal yang aku alami dia bukannya prihatin malah menyalahkan. Bahkan menurut Farhan selama menjagaku di rumah sakit, Ibu terang-terangan menunjukkan rasa tidak sukanya pada pemuda itu. “Justru Ibu yang aneh. Farhan itu suamiku yang sah. Ibu jangan lupa itu.”“Dan kamu jangan lupa juga apa alasan kalian menikah,” sahutnya tajam. Benar-benar tidak bisa dimengerti. “Harusnya Ibu bersyukur Farhan tidak mengikuti pernikahan rekayasa itu.”“Apa maksudnya?” “Dengan apa yang dilakukan Bang Fajar, Ibu masih nanya apa maksudnya? Aku hampir kehilangan nyawa, Bu!” pekikku frustrasi. Wanita itu malah membuang muka. “Ada apa dengan Ibu?” tanyaku pelan. Menatap wanita surgaku itu dengan pandan
Selain sambel goreng ati yang Ibu bilang lauk kesukaan Farhan, ada banyak menu khas masakan Sunda yang tertata di meja. Pepes ikan Mas, empal gepuk, sambel dan tak ketinggalan lalapan. Juga ada nasi tutuk oncom yang lengkap dengan tahu dan tempe goreng. "Ibu mau ngapain masak sebanyak ini?" ujar Farhan begitu ia menghempaskan diri di salah satu kursi meja makan. Ia menatap semua makanan itu dengan tatapan berbinar. Lalu tanpa menunggu lebih lama lagi beberapa menu itu segera berpindah ke piring makannya. "Ibu mah sebenarnya mau marah atuh sama kamu," sahut wanita itu. "Bagaimana bisa kamu nggak ngabarin Ibu kalau kamu mau datang? Untung tadi Liliana nelpon nanyain kamu dah sampai apa belum," sungutnya. "Ooh dia ngabarin Ibu? Dia mau pulang juga kan ya?" Mengabaikan wajah ibunya yang cemberut Farhan malah bertanya. "Tadinya iya, lalu tetiba batal karena ada kerjaan mendadak katanya."Farhan hanya manggut. "Maafkan kami, Bu," ujarku. "Dan maaf juga baru bisa datang," lanjutk
Bab 36 "Akhir pekan depan kita ke Bogor."Ucapan Farhan pagi ini membuatku tersentak. Yang aku tahu saat aku terjaga tengah malam, Farhan sepertinya belum tidur meski matanya terpejam. Dari kelopaknya yang terlihat bergerak-gerak, aku yakin laki-laki itu hanya pura-pura terlelap saat tau aku akan terbangun. Mungkin ia tidak ingin aku mengusiknya. Namun, aku pun tidak ingin bertanya. Bisa jadi Farhan tengah memikirkan bagaimana cara memberitahukan semua pada ibunya. Bagaimana pun, ia butuh privasi. Dan sepertinya tindakanku benar. Buktinya, ia bisa langsung mengambil keputusan begitu terbangun di pagi hari. "Tapi nggak usah ajak Fatih dulu ya?" ujarnya lagi. Aku tersentak mendengar pernyataan yang sekaligus sebuah keputusan itu. Mungkin raut wajahku sedikit berubah karena tidak menduga Farhan akan mengatakan itu. Aku tau sebesar apa rasa sayangnya pada Fatih. Dan aku sama sekali tidak meragukannya. Akan tetapi saat ia tidak punya nyali untuk mengakui keberadaan anak itu di a
Sejatinya setiap manusia itu tak pernah puas dengan apa yang ia dapat. Dan itu benar adanya. Setidaknya itu yang sekarang sedang aku rasakan. Ketika masalahku dengan Bang Fajar kelar dan Farhan kini telah jadi milikku tanpa harus main kucing-kucingan lagi dengan banyak pihak, masalah lain mendadak jadi ganjalan dalam pikiran. Tentang orang tua Farhan. Ya, meskipun laki-laki itu bilang bahwa pernikahan kami telah mendapat restu dari ibunya, tetap saja aku merasa ada yang salah karena sang bunda yang menolak hadir di saat resepsi. Entah apa alasan wanita itu. Terkadang aku merasa seperti ada sesuatu yang sedang ditutupi Farhan. Mungkinkah sebenarnya restu itu belum ia dapatkan? Aku cukup tau diri untuk tidak berharap banyak bisa diterima tanpa syarat, tapi setidaknya aku punya hak untuk dianggap dan ibu Farhan berhak tau tentang wanita seperti apa yang jadi pendamping hidup putranya. Bukankah seharusnya begitu? Namun untuk mendesak Farhan aku pun merasa tidak tega. Jadi aku
Bulan separuh terlihat menggantung di langit yang temaram. Cahaya kemerahan di ufuk barat mulai tenggelam berganti cahaya lampu gedung-gedung pencakar langit yang seolah melewati batas garis cakrawala. Satu persatu bintang mulai terlihat bermunculan. Malam yang indah. Seindah rasa yang bersemayam di dadaku saat memikirkan Farhan. Setelah banyak hal yang terjadi, akhirnya aku bisa bernapas lega. Kini pernikahan kami bukan hanya telah diakui khalayak, tapi juga telah dicatat oleh pengadilan agama. Bukan lagi kawin muhallil seperti awal kami disatukan. Aku tersentak saat tiba-tiba seseorang mengungkung tubuhku dari belakang. Kedua tangan kekar yang aku sudah tahu siapa pemiliknya itu menggenggam terali pagar pembatas. Aroma shampoo menguar mendera penciuman begitu laki-laki yang memenuhi pikiran itu menyangkutkan dagunya di bahuku. Sementara kedua tangannya berpindah melingkari perutku. "Mikirin apa, Sayang?" bisiknya. "Kamu," sahutku spontan sambil memeluk kedua lengannya. Maksudku
"Gaun itu untuk resepsi kita."Langkahku tertahan. Untuk sesaat hanya tertegun lalu kemudian berbalik. "Bisa jelaskan apa yang sebenarnya terjadi? Jangan biarkan aku seperti orang buta yang kehilangan tongkat. Tidak tau apa pun. Semakin aku raba, semakin aku bingung. Karena selalu saja aku menemukan hal baru yang sama sekali belum aku kenali," ujarku menatap lekat wajah itu. Farhan terkekeh pelan. "Bunda duduk di sini dulu dong!" Ia menepuk sofa di sisinya. Aku cemberut, namun tetap mendekat seperti yang ia minta. "Bagian mana yang membuat Bunda seperti orang buta?" tanyanya setelah aku menghempaskan diri di sampingnya. "Semuanya,” sahutku. Ia menautkan alis. Tak sadarkah dengan bersikap seperti itu membuat ia terlihat kian tampan berkali-kali lipat? "Coba Bunda urutkan, biar aku bisa jelaskan dengan mudah," sahutnya mengulum senyum. Farhan lalu memutar tubuh. Melipat kaki kanannya di sofa hingga posisi duduk laki-laki itu kini menghadapku.Sesaat tatapan kami bertemu. T
Cobaan apa lagi ini? Hatiku teriris melihat tatapan itu. Luisya ponakanku. Darah yang mengalir di tubuh kami sama. Jika ia terluka, aku pasti akan merasakan sakit yang sama. Namun sikap yang ditunjukkan Luisya membuat aku lupa akan hal itu. Dia bertindak menjadi seseorang yang paling benar. Menghakimi tanpa melihat dari dua sisi. Aku menghempaskan tubuh di jok belakang begitu pintu mobil tertutup rapat. “Sesuai aplikasi ya, Bu?”Ucapan sang driver hanya aku jawab dengan anggukan. Setelahnya aku memejamkan mata. Mencoba meredam emosi yang masih di ubun-ubun. “Tante itu gak pantas buat Mas Farhan.” Kata-kata yang keluar sinis dari bibir Luisya sungguh membuat sesak. Aku sama sekali tidak menyangka, gadis yang biasanya begitu manis bisa setidak punya etika itu saat bicara dengan orang yang notabene wajib dia hormati. “Tante sadar umur dong, perbedaan usia kalian lima tahun. Mas Farhan itu layak mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik dan lebih cantik dari Tante.”“Maksudnya? Sia
“Han,” panggilku pelan sambil membelakangi laki-laki itu. Meringkuk di bawah selimut dengan pikiran yang masih berkecamuk. Apa yang baru saja terjadi bukan sebagai suatu jaminan bahwa hubungan kami akan kembali membaik. Bisa saja kan Farhan hanya tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Andai itu benar, betapa menyakitkannya takdirku. Jujur, sebelum ini aku bisa merasakan ketulusan Farhan. Ia telah membuktikannya, baik padaku maupun pada Fatih. Dia menyayangi kami bahkan lebih daripada Bang Fajar sendiri. Entahlah kalau itu hanya perasaanku saja. Apalagi di satu sisi ia sangat tertutup. Ikatan pernikahan seperti apa namanya jika sang istri tidak mengenal asal usul suaminya sendiri? Katakanlah tadinya pernikahan kami hanya untuk sebuah kepentingan, nyatanya takdir membuat kami bersatu lebih lama. Siapa yang bisa menolak ketentuan-Nya? “Hmmm,” sahut Farhan di belakang punggungku. Hanya gumaman. Sesaat keraguan menyelimuti. Pantaskah aku membicarakan keresahan ini di saat suasana
Sudah hari ketiga Farhan pergi dari rumah. Tepatnya aku yang mengusir. Sepertinya sikapku benar-benar membuat laki-laki muda itu terluka. Wajar. Siapapun dalam posisinya pasti akan sakit hati diperlakukan sedemikian rupa. Berharap dia yang akan memulai chat duluan agaknya hanya sesuatu yang sia-sia. Ada rasa rindu yang mendesak di dalam sini, namun terhalang gengsi. Bagaimana mungkin aku harus menjilat ludah sendiri? Seorang Hayat tidak akan melakukannya. Tapi kalau didiami, maka aku akan benar-benar kehilangan dia. Sanggupkah? “Ahhh.” Aku menggeram dalam sesal. Tak seharusnya aku terpancing dengan omongan Lilyana. Kalau pun ada masalah bukankah sebaiknya dibicarakan? Bukannya malah mengambil keputusan sepihak yang nyatanya tidak saja melukai Farhan, tapi juga diri sendiri. Sayangnya nasi sudah menjadi bubur. Mengedepankan emosi dalam menghadapi permasalahan membuat segalanya jadi berantakan. Duh, Hayat, kenapa lo tidak belajar dari hubungan lo dengan Bang Fajar? Adakah ma
“Lo kenal tante gue?” Luisya menyela ketika melihat kami saling menatap bingung. Gadis itu mengempaskan pinggulnya di bibir ranjang. Ia menatap kami berdua bergantian. “Tante?” Lilyana malah tak kalah bingung. “Iya, adik bungsu bokap. Kenapa?” Gadis itu membetulkan duduknya. Kali ini ia bersila di atas ranjang. Sesaat Lilyana hanya tertegun. Perlahan gadis itu ikut mengempaskan pinggul di bibir ranjang, di depan Luisya. “Lha, kok bisa kebetulan gini ya?” gumamnya pelan. Seperti pada diri sendiri. “Apanya yang kebetulan,” sahutku berbarengan dengan Luisya. Aku bangkit dari tidur. Menyandarkan tubuh pada kepala ranjang. Ditatap sedemikian rupa, gadis itu membuang muka. Jengah. “Ah nggak.” Ia cepat-cepat menggeleng. “Kalau kalian ...?” Aku sengaja menggantung ucapan, menanti penjelasan. Menatap mereka berdua bergantian. “Lily teman kuliah aku, Tan,” sahut Luisya. “Ooh.” Hanya kalimat itu yang keluar dari bibirku. “Btw, kalian kenal di mana?” tanya Luisya lagi. “Di Facebook