Perjalanan cepat kutempuh menggunakan pesawat dari Tokyo menuju Miyazaki hari ini juga. Aku sudah tidak sabar ingin menemui Rinto, lalu mendengarkan semua cerita tentang Minaki menurut versinya. Jika dulu aku begitu jijik bahkan terkesan terpaksa melayani Minaki, kini aku justru seperti lelaki kesetanan jika itu berkaitan dengannya barang secuil saja. Satu tahun bersama Minaki, melewati senang dan duka bersama membuat hatiku terhubung secara tidak langsung dengannya. "Kita langsung ke apartemen Rinto saja." Aku dan manajer baru mendarat di bandar udara Miyazaki. Tidak lupa senantiasa menggunakan masker dan hoodie untuk menutupi wajah dan perawakanku. "Aku belum menghubunginya, Jay. Ponselku baru saja aktif." "Aku sudah menyuruhmu cepat! Aku tidak mau mendengar cerita tentang Minaki setelah pernikahannya digelar! Sekarang hubungi Rinto! Cepat!" Ucapku sedikit tergas karena dibakar api cemburu dan amarah. Manajer menghela nafas lalu menggeleng. "Padahal kamu bisa menghubunginya
"Bantu aku mengacaukan pernikahan Minaki." Ucapku dengan penuh keyakinan. Manajer, Matsushima, dan Rinto menatapku dengan ekspresi tidak habis pikir. Baru datang dan bertemu sudah meminta bantuan yang konyol. "Otakmu bermasalah, Jay?" Tanya Matsushima. Aku menggeleng. "Aku serius, Shima." "Lalu Harumi bagaimana?" Kembali, hanya gelengan kepala yang bisa kusuguhkan. "Aku tidak pernah bertemu dengannya lagi, bahkan kami sudah tidak lagi berhubungan sejak kamu membuka segalanya." Matsushima nampak kelincutan. "Maaf, Jay. Waktu itu Harumi datang dengan tangis dan harapannya yang hampir pupus. Dia kebingungan mencarimu hingga datang padaku." Bagaimanapun apa yang dilakukan Harumi tidak salah karena waktu itu aku sudah begitu lama tidak bisa dihubungi dan hal yang wajar jika ia mencariku. "Aku yang salah, Shima. Aku terjebak dalam permainanku sendiri dan sekarang aku tidak punya banyak waktu untuk menggagalkan pernikahan Minaki." "Apa tujuanmu melakukan itu, Jay?" "Anak. Anak ka
"Minaki menyewakan tempat ini? Tunggu, aku tidak mengerti apa yang kamu katakan." Chef itu kemudian mengajakku dan manajer duduk di bangku pelanggan yang kosong. Tidak sopan rasanya berbicara panjang lebar sembari berdiri. "Kalau boleh tahu, anda ada perlu apa bertanya tentang Nona Minaki?" Andai aku bisa menjawabnya dengan gamblang bahwa dulu kami sepasang suami istri yang terikat pernikahan di bawah tangan. Bahkan aku belum pernah sekalipun mengucap perpisahan tapi dia sendiri yang memutus hubungan kami. "Nona Minaki masih memiliki hutang dengan sahabat saya. Maka dari itu dia ingin menagihnya." Lelaki yang berprofesi sebagai chef itu hanya mengangguki jawaban dari manajerku. Semoga saja dia tidak banyak bertanya tentang maksudku mencari Minaki karena aku sangat penasaran dimana ia dan anakku sekarang berada. "Bisakah anda memberitahu kami tentang stand ini?" Syukurlah aku membawa manajer kemanapun pergiku. Tanpanya bagaimana bisa aku bersilat lidah dengan begitu mudah. "S
"Arrgh!!! Ponsel sialan! Waktu dibutuhin baterai malah habis!" Hampir saja aku melempar ponselku beruntung manajer menahan tanganku. Bila sudah marah aku menjadi tidak bisa mengontrol diri dengan baik. Mau bagaimana lagi waktu yang kumiliki untuk mendapatkan hati Minaki hanya tinggal satu minggu. Ah bukan, enam hari lagi. Dan bisakah aku meyakinkan dia untuk membatalkan pernikahan itu? Sedang dimana Minaki berada saja aku tidak mengetahuinya. "Apa kita tanya saja pada penjaga rumah dimana Minaki berada?""Hal konyol, Jay. Jawabannya pasti tidak tahu.""Kalau begitu kita ke Matsushima sekarang juga!""Aku akan menghubungi dia dulu.""Cepat!""Kamu pikir aku komputer yang langsung tepat tujuan dengan sekali menekan enter?"Aku pun memilih mengalah dari pada membuat manajer tergesa-gesa. Dia sedang berusaha menenangkanku yang menggila dan dengan segala kedewasaannya dia berusaha berpikir jernih. Karena masalah apapun tidak akan selesai hanya mengandalkan amarah. "Shima, bagaimana den
Mendengar Yamada melarangku merindukan Minaki justru membuatku bersedih. Setelah kontrak pernikahan kami usai satu tahun yang lalu, maka berakhir pula tugasku sebagai surrogate sexual partner dan suami baginya. Kami yang biasa bersama kala itu telah menumbuhkan benih-benih cinta dihati yang tidak kusadari sama sekali. Setelah kami berpisah, aku baru mengerti apa itu dicintai dengan tulus. Tapi sayang aku terlalu banyak abai."Maafkan aku, Jay. Kalau ucapanku merusak senyummu." Aku memaksa tersenyum meski nampak kaku. "Aku tahu. Aku merindukan putriku. Bagaimana kabarnya sekarang?""Dia sudah berjalan sendiri. Suka mengacau saat Minaki berada di dapur."Senyumku terpatri alami ketika membayangkan Mayka mengacaukan isi dapur dengan celotehannya yang lucu. Namun aku teringat dengan inti dari tujuanku bertemu Yamada. "Kemarin aku pergi ke stand toko roti Minaki di mall Miyazaki. Tapi sudah tutup dan beralih fungsi menjadi stand makanan ramen. Memangnya ada apa dengan toko rotinya, Yam
Meninggalkan Rinto dan Matsushima di Yokoha Club. Aku, manajer, dan Yamada berada di satu mobil menuju ke suatu tempat dimana Minaki berada. Aku tidak sabar ingin segera bertemu dengan Minaki dan Mayka, hingga tidak sadar keringat dingin membasahi kedua telapak tanganku. Ditambah cuaca diluar mulai dingin akibat musim dingin. Beruntung salju belum waktunya menjamah prefektur Miyazaki. "Aku masih penasaran dengan niatanmu ingin bertemu Minaki dan Mayka." Ucap Yamada sambil fokus mengemudi. Aku yang duduk di sebelahnya, kemudian menatap wajahnya sekilas kemudian kembali menatap jalanan. "Aku... entahlah. Maaf, aku tidak bisa mengatakannya padamu." "Ini sebagai bentuk pertimbangan apakah aku akan melajukan mobil ini ke tempat dimana mereka berada, atau aku justru membawamu hanya berputar-putar di sekitar Miyazaki." Aku menghela nafas perlahan karena dipaksa mengakui perasaanku pada Minaki yang selama ini sengaja kusimpan sendiri. Yamada tahu betapa dulu aku terpaksa menjalani profes
"Sejak kapan Minaki pindah ke Nobeoka!? Jawab aku Yamada!!" Ucapku sedikit membentak. "Jay, pelankan suaramu! Bukan begitu caranya berbicara dengan orang yang sudah mau membantumu menemui Minaki!" Manajer memperingatkanku. Aku tertunduk sambil menetralkan emosi yang selalu memuncak jika berkaitan dengan Minaki. "Maafkan aku Yamada." "Aku tahu. Aku pernah seperti kamu ketika hampir gagal menikah." "Jadi? Sejak kapan Minaki di Nobeoka? Lalu dengan siapa dia disini?" Tatapan Yamada tertuju pada Nobeoka Shoppingusenta yang berada di hadapan kami. "Satu bulan sejak kepergianmu." "Kenapa dia berani jauh dari keluarganya? Apa dia tidak berpikir jika ini akan berbahaya untuknya?!" Yamada hanya menatap mall itu tanpa menjawab. Menungguku hingga selesai berucap. Masih dengan kebingungan dan kekesalan, aku kembali berucap, “Padahal dulu dia nekat pergi ke Kumamoto menggunakan Shinkansen melalui bantuan seorang perempuan yang ia bayar. Tapi sesampainya disana, perempuan itu justru meng
"Tapi, Tuan. Nona Minaki sedang bersama seorang." "Seseorang siapa?" Nampak baby sittter putriku sedang menimang jawaban. Entah karena dia takut mengatakannya padaku atau bingung harus menjawab apa karena kini ia sedang berhadapan denganku, ayah biologis Mayka. "Itu... em... " Mayka yang merengek meminta lepas dari gendonganku pun makin menambah kebingunganku. Walau ini bukan pertama kalinya aku menggendong anak bayi, tetap saja aku tidak terbiasa mengatasi kerewelannya. "Apa sayangku, Mayka. Minta apa? Susu?" Tawarku dengan menimangnya yang tetap merengek ke arah baby sitternya. Sadar jika rengekan Mayka justru membuat para pengunjung mall memperhatikan kami, manajer segera mendatangiku. Beruntung urusannya dengan keluarga anak yang mendorong troli sudah usai. "Ada apa, Jay?" Bisiknya. "Mayka menangis. Aku tidak bisa menenangkannya. Tapi aku masih ingin bersamanya." Manajer melihat sekitar lalu kembali berucap, "Ayo ikut aku." Ia menatap baby sittter putriku. "Kamu juga ikut
POV MINAKI Satu Tahun Kemudian … Jayka benar-benar menunjukkan keseriusannya padaku selama satu tahun kami menjalani pernikahan kedua ini. Semua terasa indah dan melenakan karena sesungguuhnya hati ini masih lah miliknya meski sedalam apapun kesalahan yang Jayka perbuat. Sungguh cinta sebodoh ini. Hari-hari penuh cinta selalu Jayka tawarkan padaku. Perlakuannya di ranjang juga tidak kalah hebatnya hingga aku diam-diam selalu menginginkannya. Maklum, usia kami masih tergolong pasangan muda. Meski kakiku memiliki keterbatasan, namun aku tidak menjadikan itu sebagai penghalang untuk memuaskannya juga. Aku ingin kami sama-sama menikmati dan bahagia. Satu bulan kemudian setelah pernikahan kami, Jayka membawaku ke Spanyol untuk melakukan pengobatan. Ditemani Mayka, pengasuh, dan manajer Jayka. Kaki yang terkena polio membuatku tidak bisa berdiri dan itu menyebabkan tulang punggungku tertekan dan terasa nyeri. Akhirnya dokter melakukan beberapa tindakan dan aku diwajibkan menjalani ter
POV MINAKI "Aku tidak hamil, Jay," selaku cepat kemudian menunduk. Menatap kedua tanganku yang ia genggam erat. Kemudian Jayka menghela nafas panjang dan menggunakan tangan kanannya untuk menaikkan daguku. Lalu memberiku satu ciuman di bibir. Meski hanya sekilas namun cukup membuatku panas dingin. "Setelah dari Spanyol, kita akan berusaha memberi Mayka adik. Tidak ada protes." Lalu ia kembali mencium bibirku sedikit lebih lama hingga dering ponselnya meminta perhatian. Dengan kedua tangan, aku mendorong dada Jayka agar menyudahi ciuman ini lalu menerima panggilan itu. Panggilan yang berasal dari manajernya. "Halo? Ada apa?" "Semua sudah beres." Jayka tersenyum lalu jemari kirinya mengusap sudut bibirku. "Terima kasih, manajer." Kemudian Jayka menekan tombol merah pada layar ponselnya lalu menghubungi seseorang kembali. Kali ini siapa yang ia hubungi? "Halo, Michiya. Apa kabar?" "Baik, Jay." "Terima kasih sudah mau menerima panggilanku. Sekali lagi, aku minta maaf untuk
POV MINAKI Kepulangan Dina ke Indonesia membuatku kehilangan adik sekaligus sahabat terbaik. Meski kami masih saling bertukar kabar melalui pesan singkat, namun aku berharap esok hari dia mau ikut calon besanku kembali menuju Jepang untuk menghadiri upacara pernikahanku dengan Jayka. Masih di lokasi yang sama di Kuil Aoshima, rencana pernikahanku dengan Jayka agar digelar. Segala sesuatunya telah diurus oleh manajer Jayka dan dipastikan kuil tidak akan dibuka untuk umum selama pernikahan kami berlangsung. Tidak banyak yang kami undang mengingat banyaknya pro dan kontra yang terjadi di luar sana. Fans Jayka terutama, ada yang mendukung tapi tidak sedikit yang menghujat hubungan kami dengan melontarkan komentar negatif. Tapi Jayka selalu berkata 'jangan diambil pusing'. Agar tidak membuatku merasa tertekan dan tidak nyaman. Bahkan ia sengaja tidak mengatakan kapan upacara pernikahan kami akan digelar agar tidak ada paparazi yang menguntit. Cukup menyewa fotografer profesional dan me
POV MINAKISepeninggal Sagawa dari villa keluargaku di Ebino, aku mengajak Dina kembali ke Miyazaki. Aku menyarankan dia agar tidur di rumah kedua orang tuaku beberapa hari ke depan untuk membuat hatinya tenang.Dan betapa terkejutnya Jayka ketika melihat Dina telah berada di rumahku esok harinya, karena Jayka fikir Dina sedang menemani Sagawa di Ebino. Untuk masalah patah hati itu, aku sengaja menyembunyikannya dari Jayka. Biarlah Dina sendiri yang mengatakan pada kakaknya itu. Khawatir jika ada kata-kataku yang tidak sesuai dengan apa yang Dina rasakan. "Mas, pesanin aku tiket pulang ke Indonesia," ucap Dina pada Jayka.Wajah sendu dan tidak bersemangat menunjukkan betapa sedih suasana hatinya. Padahal tadi aku sudah mengatakan padanya agar tidak menunjukkan betapa hancur hatinya agar Jayka tidak bertanya-tanya. Jayka yang sedang menyuapi Mayka, akhirnya menoleh ke arah adiknya itu. "Kenapa? Tiga minggu lagi aku dan Minaki mau nikah, Din. Ibu Bapak juga bakal kesini. Kok kamu mal
POV MINAKI "Aku dan Sagawa ... kami sudah ... " "Sudah apa, Dina?" tanyaku semakin penasaran hingga tidak terasa aku meremas tangannya sangat erat. "Kami ... pernah seranjang bersama, Minaki San." *** Usai Dina mengakui hubungannya dengan Sagawa sudah sejauh itu, kepalaku teramat pusing sekali. Aku hanya khawatir Dina hamil dan keluarga Sagawa tidak mau mengakuinya. Berulang kali aku melihat jam di dinding dengan hati kesal karena Sagawa belum kembali juga padahal senja sudah tiada. Dan aku sudah menghabiskan dua cangkir kopi hitam sembari menunggunya. "Kamu kemana, Sagawa?!" geramku dengan jemari mengetuk-ngetuk sandaran tangan di kursi roda. Sengaja, aku menyuruh Dina istirahat agar dia tidak terlihat seperti mayat hidup. Aku paham sekali bagaimana terpukul dirinya menyadari jika mimpi indahnya bersama Sagawa telah usai. Dia harus bangun dan menyadari bahwa Sagawa haruslah kembali ke Tokyo seperti kemauan ibunya. Soal mahkotanya yang telah diambil Sagawa, bukankah mere
POV MINAKI Terpaan angin pantai itu membuat pakaian dan rambutku berkibar-kibar namun kedua mataku tidak lepas menatap Mayka dan Jayka yang sedang bermain pasir dan hewan-hewan kecil di pesisir pantai. "Aku meulis harapan, semoga tidak lagi hidup dengan Jayka." "Minaki!" seru Kak Yamada dengan suara tidak terima. Kedua matanya menatapku dengan sorot emosi lalu aku memberikan senyum terbaik. "Aku belum selesai berucap, Kak." "Ingat Mayka jika kamu menolak Jayka. Anakmu itu akan menjadi korban. Dia akan merasa kosong karena kehilangan sosok ayah dalam dirinya!" "Aku menulis harapan semoga tidak lagi hidup dengan Jayka, bila sekali lagi dia menyelingkuhiku." Kak Yamada menghela nafas panjang lalu berbalik menatap Jayka dan Mayka yang masih bersenang-senang disana. "Jayka sudah berjanji padaku bahkan dia sudah mengganti beberapa aset kekayaannya atas namamu. Demi meyakinkanku dan Papa untuk diberi izin kembali meminangmu." "Benarkah?" *** Pagi-pagi sekali aku teringat dengan ag
POV MINAKI "Jay, sudahlah. Temui saja pendetanya. Aku menunggu disini saja." Usai mengatakan itu, tanganku perlahan menurunkan tangan Jayka dari lipatan belakang lutut kakiku yang tadi sudah bersiap mengangkat tubuhku ke dalam gendongannya. Kedua mata tajam Jayka menyorotku dengan tatapan sedikit tidak suka namun aku memilih memalingkan wajah. Masalahnya, keseriusannya masih tidak terbaca oleh kata hatiku hingga rasanya perasaan ini masih saja meragu. "Aku mengajakmu ke Kuil Aoshima untuk mendengarkan dari pendeta sendiri kapan tanggal terbaik untuk kita menikah. Apa pesan yang akan pendeta katakan untuk pernikahan kedua kita nantinya, Minaki. Agar keraguan yang ada di hatimu juga hilang." Aku menggigit bibir dengan perasaan bingung tak karuan karena ucapan Jayka. "Sekarang, ayo kita masuk. Kamu mau 'kan?" Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba saja ada suara bisik-bisik dan derap langkah kaki yang tidak biasa di belakangku. Begitu tatapan Jayka mengarah ke belakangku dengan se
POV MINAKI Terowongan berbentuk hati warna merah yang membentang indah dengan beragam gantungan kayu bertuliskan nama para nama pasangan yang ingin hubungannya diberkahi sepanjang pernikahan ketika akan menuju Kuil Aoshima seakan menambah kesan tak kira di dalam hati. Ketika Jayka mendorong kursi rodaku perlahan-lahan, aku segera memejamkan kedua mata lalu membayangkan wajahnya dan Mayka sembari memohon pada para dewa agar hubungan kami dilanggengkan. Kalaupun kami menemui rintangan dalam rumah tangga, semoga baik aku dan Jayka sama-sama diberi kekuatan untuk melewatinya. Juga, semoga tidak ada perselingkuhan diantara kami. Dan aku kuat menghadapi ujian apapun ke depannya setelah Jayka kembali mengambil sumpahnya menjadikanku satu-satunya istri. "Sudah," bisik Jayka ketika aku merasakan kursi rodaku berhenti didorong. Begitu membuka mata, benar saja jika aku sudah usai melewati terowongan berbentuk hati itu. Lalu Jayka kembali mendorong kursi rodaku menuju Chozuya, sebuah batu b
POV MINAKI Niat Jayka untuk menikahiku lagi mendapat beragam tanggapan dari para fans dan netizen. Ada yang memuji kerendahan hatinya karena mau meminang perempuan tidak sempurna sepertiku. Bahkan ada yang menganggap aku menggunakan ancaman untuk membuat Jayka bertekuk lutut. Hasilnya, aku sendiri yang merasa sakit hati karena membaca beragam komentar dan pemberitaan tentang kami. Dan jalan satu-satunya adalah tidak memegang ponsel sama sekali untuk sementara waktu. Kini, aku sudah bersiap dengan pakaian musim semi dan make up natural yang menghiasi wajah. Begitu juga dengan Mayka, sudah terlihat manis dengan pakaian barunya yang dibelikan Jayka hampir satu koper banyaknya. “Kenapa aku begitu cemas, Kak?” tanyaku pada Kak Yamada. “Wajar.” Rencananya hari ini, kami akan pergi ke Kuil Shinto yang ada di Aoshima. Itu adalah Kuil Shinto kuno di pulau kecil yang rimbun dengan patung Dewa Buddha yang indah. Aku masih belum tahu mengapa Jayka memilih kuil itu sebagai tempat pernikahan