Aku turun dari bis lalu menuju lobby hotel dengan mengeratkan jaket tebal yang membalut tubuh gagahku. Suhu sedang sangat dingin malam ini karena berada di angka 8 derajat. Itu artinya musim gugur akan segera berakhir dan berpindah ke musim dingin. Sama seperti perjalanan hidupku, yang sebentar lagi akan memasuki babak baru dengan profesi sampingan baru pula. Hotel yang dipesan Minaki adalah hotel berbintang empat dengan lapis kenyamanan dan keamanan yang terjaga. "Silahkan, tuan. Mari ikuti saya." Aku mengikuti petugas hotel. Setelah aku masuk lift sendirian, penjaga menekan angka lantai tujuanku dan mengangguk sopan. "Selamat menikmati malam terbaik anda di hotel kami." Aku sedikit ambigu dengan ucapannya. "Malam terbaik?" Aku mengangkat kedua alis lalu menggeleng. "Dia pikir aku mau begituan?" Setelah pintu lift terbuka, aku melangkah menuju kamar 2502 yang berada di dekat lift. Mengetuk pintunya perlahan, lalu menampilkan Minaki yang lain dari biasanya. Duduk di atas
Banyak yang berucap janji setia namun akhirnya dikhianati, sama sepertiku yang mengkhianati Harumi demi uang Minaki. Lalu mengenai pertanyaan Minaki barusan, aku tidak bisa menjawabnya lagi. Hanya pelukan erat yang bisa kuberikan saat Minaki masih menangis meratapi kesedihannya. Tubuh kurusnya yang berada dalam pelukanku ini cukup memberitahu bahwa sang pemilik raga terlalu larut dalam kesedihan. Hingga tubuhnya kering kurang berisi. Bisa jadi Minaki mengalami stres yang tidak berkesudahan. "Semua orang juga bilang begitu Jayka. Tapi nyatanya itu tidak akan merubah masa depanku jadi lebih baik." Isaknya dalam. "Aku tidak bisa membanggakan siapapun dengan keterbatasan ini. Malah aku membebani keluarga." Imbuhnya. "Itu tidak benar Minaki. Kalau kamu adalah beban mana mungkin orang tuamu datang padaku dengan bersimbah air mata? Membujukku untuk menjadi partnermu." Ia menggeleng lalu tangisnya berubah menjadi isakan. Syukurlah itu artinya Minaki mulai bisa dikendalikan. Buku meng
Aku masih mendekap tubuh ringkih Minaki yang tertidur dengan bersandar di dadaku. Sudah satu jam ia tertidur dengan nyenyak. Wajahnya terlihat begitu damai. Namun aku mulai bergerak tidak nyaman saat kakiku terasa kesemutan. Mau tidak mau aku memindahkan tubuh Minaki perlahan lalu kubaringkan di atas ranjang atau kakiku akan mati rasa. Setelah berhasil memindahkannya dengan baik, aku meregangkan tubuh perlahan tanpa bersuara. Memijat kaki agar kesemutan ini mereda. "Melelahkan sekali mengurusi perempuan baper seperti Minaki. Pakai drama ngantuk segala." Tiba tiba saja jiwa sinisku terhadap Minaki keluar karena tidak sengaja melihat kedua kakinya yang mengecil. "Ck....ganggu pemandangan." Aku beranjak menarik selimut dan menutup kakinya asal. Kuambil ponsel yang bergetar di dalam saku. Begitu melihat nama pengirim pesan itu senyumku mengembang. 'Harumi.' Sambil duduk santai di sofa, aku membalas pesan romantis untuk kekasihku itu. Harumi Cintaku Besok
Setelah keluar dari gerbang pabrik, aku berlari menuju bis yang hampir berjalan. Mengetuk keras pintunya agar dibukakan kembali. Aku menunduk dan mengucapkan terima kasih pada sopir baik hati itu. Pabrik agak ramai karena pesanan meningkat. Walhasil aku pulang setengah jam lebih lama. Tapi itu sama saja dengan menabuh genderang perang dengan Matsushima. Karena aku akan terlambat sampai di club. Jika aku terlambat maka pengunjung akan terlantar tanpa musik RnB andalan Yokoha Club. Matsushima tidak mau itu terjadi karena club itu adalah tanggung jawab besarnya. Juga mata pencaharian satu satunya. Secepat kilat aku mandi dan memakai baju terbaik. Memasukkan make up maskulinku ke dalam tas dan pergi lagi menuju Yokoha Club menggunakan bis. Aku menepuk jidat karena terlambat lima belas menit. Dengan nafas ngos-ngosan aku segera menekan tombol absen. "Sial!! Aku telat." Aku segera menaiki panggung, menghidupkan DJ Player dan mengatur segala sesuatunya. Lalu mengeluarkan flashdisk
Aku tengah menyantap okonomiyaki lezat dengan teman asramaku, Rinto. Asrama ini terdiri dari banyak kamar. Satu kamarnya diisi dua orang TKI, kebetulan aku dan Rinto satu kamar. Rinto cukup mengenal kepribadianku. Dia tahu asal muasal siapa diriku sebenarnya, apa tujuanku merantau hingga ke Jepang, hingga pekerjaan sampinganku sebagai DJ di Yokoha Club. Rinto kerap kumintai pertimbangan mengenai racikan lagu RnB buatanku. Dia juga banyak memberi masukan jika hasil karyaku kurang memuaskan. Maklum, dia handal memetik senar dawai yang ada di kamar. Tak pelak jiwa senimannya tergugah ketika aku memutuskan menjadi DJ. "Pelan-pelan Rin. Nggak ada yang ambil makanan kamu." Rinto tersedak karena terlalu bersemangat melahap okonomiyaki pemberianku. Aku kerap mentraktirnya makan malam sebagai ucapan terima kasih atas saran aransemen yang ia sumbangkan untuk setiap perfomance-ku. "Aku lapar banget Jak." Ucapnya dengan mulut penuh. Aku menggeleng. "Makan tuh dinikmatin Rin, bukan kayak di
Sopir membukakan pintu untuk kami lalu Nyonya Tatsuo duduk di belakang dan aku duduk di bangku depan. Sebelumnya aku melihat balkon kamarku dari bawah. Syukurlah Rinto tidak muncul untuk mengintip. Setidaknya rasa was was ini tidak berlanjut ke hal yang lebih rumit. Meyakinkan Rinto agar tutup mulut bukan hal yang mudah. Sepanjang perjalanan, kami tidak mengobrol apapun. Suasana di dalam mobil sangat canggung dan hening. Lagi-lagi aku teringat dengan 120.000 Yen itu. Aku tidak bisa mengembalikan uang itu sekarang jika Nyonya Tatsuo memintanya sekarang. 'Ya Tuhan, ada apa ini?' Kami sampai di sebuah rumah makan Tonkatsu yang ada di Hongokitakata, dekat Sungai Yamaguchi. Menyajikan menu Ayam Nanban manis dengan saur tar tar yang lezat. Semangkuknya dihargai 400 Yen, atau setara 50 ribu rupiah. "Silahkan dimakan Jayka." Aku yang sudah makan malam pun menatap makanan itu kurang berselera. Tapi demi menghormati Nyonya Tatsuo akhirnya aku memakannya perlahan. Semoga saja perutku masi
"Dari mana aja Jak?" Tanya Rinto setelah aku menggantung jaket di belakang pintu. "Ehm....itu...tadi ada Matsushima." Rinto menaikkan kedua aslinya. "Bukannya yang datang Harumi? Kok jadi Matsushima?" Aiiiissh.... Bagaimana bisa aku melupakan naskah dramaku di awal tadi. Bodoh!!! "Ah... masak aku bilang ada Harumi sih? Enggak kok Rin. Salah denger kali kamu." Kilahku. "Masak sih." Rinto menggaruk tengkuknya. "Perasaan kamu bilang mau keluar sama Harumi kok Jak." Aku buru-buru mengakhiri pembicaraan rawan ini. "Aku tadi sama Matsushima ngobrol panjang lebar. Dia mau buka bisnis baru." Aku sempat mengenalkan Rinto pada Matshusima ketika ia kuajak ke Yokoha Club. "Usaha apaan?" "Ehm.... kuliner." Ide ini tercetus sembarang. Lagi-lagi aku berbohong demi menutupi kebohongan yang telah lalu. "Tidur Rin, udah malam." Putusku agar Rinto tidak makin bertanya-tanya. Aku segera memasukkan diri ke dalam futon hangat dengan memakai kaos kaki tebal khusus tidur. Karena musim dingin
"Sudahlah, tidak usah dibahas. Yang penting kamu ada disini sekarang." Ucapnya bahagia dengan memandangi wajahku. Aku terkekeh malu sendiri dengan tatapan Minaki. Pasalnya, Harumi saja tidak memancarkan kebahagiaan sebesar ini ketika menemuiku. "Mau minum teh seperti yang kamu inginkan?" Tawarnya. "Kamu masih ingat?" Minaki mengangguk. "Masih sangat mengingatnya Jayka." Aku mengangguk paham. "Ingatanmu sangat kuat." "Dan teliti." Aku berdiri dari jongkok satu kaki hendak menuju dapur. Namun Minaki menahan tanganku. "Biar aku saja Jayka, kamu adalah tamu." "Jangan, kamu disini saja." Minaki menggeleng. "Apa kamu berpikir perempuan cacat sepertiku tidak bisa membawa baki berisi teh?" Ohh.... baiklah. Ini pembicaraan yang sangat rawan sekali, jika Minaki sampai tersinggung maka habislah pekerjaanku. "Baiklah nona kecil. Aku sangat percaya padamu." Kemudian kuacak sekilas rambut rapinya. "Jayka!!! Ini hasil pergi ke salon." Ucapnya cemberut. Aku menutup mulut dengan tang
POV MINAKI Satu Tahun Kemudian … Jayka benar-benar menunjukkan keseriusannya padaku selama satu tahun kami menjalani pernikahan kedua ini. Semua terasa indah dan melenakan karena sesungguuhnya hati ini masih lah miliknya meski sedalam apapun kesalahan yang Jayka perbuat. Sungguh cinta sebodoh ini. Hari-hari penuh cinta selalu Jayka tawarkan padaku. Perlakuannya di ranjang juga tidak kalah hebatnya hingga aku diam-diam selalu menginginkannya. Maklum, usia kami masih tergolong pasangan muda. Meski kakiku memiliki keterbatasan, namun aku tidak menjadikan itu sebagai penghalang untuk memuaskannya juga. Aku ingin kami sama-sama menikmati dan bahagia. Satu bulan kemudian setelah pernikahan kami, Jayka membawaku ke Spanyol untuk melakukan pengobatan. Ditemani Mayka, pengasuh, dan manajer Jayka. Kaki yang terkena polio membuatku tidak bisa berdiri dan itu menyebabkan tulang punggungku tertekan dan terasa nyeri. Akhirnya dokter melakukan beberapa tindakan dan aku diwajibkan menjalani ter
POV MINAKI "Aku tidak hamil, Jay," selaku cepat kemudian menunduk. Menatap kedua tanganku yang ia genggam erat. Kemudian Jayka menghela nafas panjang dan menggunakan tangan kanannya untuk menaikkan daguku. Lalu memberiku satu ciuman di bibir. Meski hanya sekilas namun cukup membuatku panas dingin. "Setelah dari Spanyol, kita akan berusaha memberi Mayka adik. Tidak ada protes." Lalu ia kembali mencium bibirku sedikit lebih lama hingga dering ponselnya meminta perhatian. Dengan kedua tangan, aku mendorong dada Jayka agar menyudahi ciuman ini lalu menerima panggilan itu. Panggilan yang berasal dari manajernya. "Halo? Ada apa?" "Semua sudah beres." Jayka tersenyum lalu jemari kirinya mengusap sudut bibirku. "Terima kasih, manajer." Kemudian Jayka menekan tombol merah pada layar ponselnya lalu menghubungi seseorang kembali. Kali ini siapa yang ia hubungi? "Halo, Michiya. Apa kabar?" "Baik, Jay." "Terima kasih sudah mau menerima panggilanku. Sekali lagi, aku minta maaf untuk
POV MINAKI Kepulangan Dina ke Indonesia membuatku kehilangan adik sekaligus sahabat terbaik. Meski kami masih saling bertukar kabar melalui pesan singkat, namun aku berharap esok hari dia mau ikut calon besanku kembali menuju Jepang untuk menghadiri upacara pernikahanku dengan Jayka. Masih di lokasi yang sama di Kuil Aoshima, rencana pernikahanku dengan Jayka agar digelar. Segala sesuatunya telah diurus oleh manajer Jayka dan dipastikan kuil tidak akan dibuka untuk umum selama pernikahan kami berlangsung. Tidak banyak yang kami undang mengingat banyaknya pro dan kontra yang terjadi di luar sana. Fans Jayka terutama, ada yang mendukung tapi tidak sedikit yang menghujat hubungan kami dengan melontarkan komentar negatif. Tapi Jayka selalu berkata 'jangan diambil pusing'. Agar tidak membuatku merasa tertekan dan tidak nyaman. Bahkan ia sengaja tidak mengatakan kapan upacara pernikahan kami akan digelar agar tidak ada paparazi yang menguntit. Cukup menyewa fotografer profesional dan me
POV MINAKISepeninggal Sagawa dari villa keluargaku di Ebino, aku mengajak Dina kembali ke Miyazaki. Aku menyarankan dia agar tidur di rumah kedua orang tuaku beberapa hari ke depan untuk membuat hatinya tenang.Dan betapa terkejutnya Jayka ketika melihat Dina telah berada di rumahku esok harinya, karena Jayka fikir Dina sedang menemani Sagawa di Ebino. Untuk masalah patah hati itu, aku sengaja menyembunyikannya dari Jayka. Biarlah Dina sendiri yang mengatakan pada kakaknya itu. Khawatir jika ada kata-kataku yang tidak sesuai dengan apa yang Dina rasakan. "Mas, pesanin aku tiket pulang ke Indonesia," ucap Dina pada Jayka.Wajah sendu dan tidak bersemangat menunjukkan betapa sedih suasana hatinya. Padahal tadi aku sudah mengatakan padanya agar tidak menunjukkan betapa hancur hatinya agar Jayka tidak bertanya-tanya. Jayka yang sedang menyuapi Mayka, akhirnya menoleh ke arah adiknya itu. "Kenapa? Tiga minggu lagi aku dan Minaki mau nikah, Din. Ibu Bapak juga bakal kesini. Kok kamu mal
POV MINAKI "Aku dan Sagawa ... kami sudah ... " "Sudah apa, Dina?" tanyaku semakin penasaran hingga tidak terasa aku meremas tangannya sangat erat. "Kami ... pernah seranjang bersama, Minaki San." *** Usai Dina mengakui hubungannya dengan Sagawa sudah sejauh itu, kepalaku teramat pusing sekali. Aku hanya khawatir Dina hamil dan keluarga Sagawa tidak mau mengakuinya. Berulang kali aku melihat jam di dinding dengan hati kesal karena Sagawa belum kembali juga padahal senja sudah tiada. Dan aku sudah menghabiskan dua cangkir kopi hitam sembari menunggunya. "Kamu kemana, Sagawa?!" geramku dengan jemari mengetuk-ngetuk sandaran tangan di kursi roda. Sengaja, aku menyuruh Dina istirahat agar dia tidak terlihat seperti mayat hidup. Aku paham sekali bagaimana terpukul dirinya menyadari jika mimpi indahnya bersama Sagawa telah usai. Dia harus bangun dan menyadari bahwa Sagawa haruslah kembali ke Tokyo seperti kemauan ibunya. Soal mahkotanya yang telah diambil Sagawa, bukankah mere
POV MINAKI Terpaan angin pantai itu membuat pakaian dan rambutku berkibar-kibar namun kedua mataku tidak lepas menatap Mayka dan Jayka yang sedang bermain pasir dan hewan-hewan kecil di pesisir pantai. "Aku meulis harapan, semoga tidak lagi hidup dengan Jayka." "Minaki!" seru Kak Yamada dengan suara tidak terima. Kedua matanya menatapku dengan sorot emosi lalu aku memberikan senyum terbaik. "Aku belum selesai berucap, Kak." "Ingat Mayka jika kamu menolak Jayka. Anakmu itu akan menjadi korban. Dia akan merasa kosong karena kehilangan sosok ayah dalam dirinya!" "Aku menulis harapan semoga tidak lagi hidup dengan Jayka, bila sekali lagi dia menyelingkuhiku." Kak Yamada menghela nafas panjang lalu berbalik menatap Jayka dan Mayka yang masih bersenang-senang disana. "Jayka sudah berjanji padaku bahkan dia sudah mengganti beberapa aset kekayaannya atas namamu. Demi meyakinkanku dan Papa untuk diberi izin kembali meminangmu." "Benarkah?" *** Pagi-pagi sekali aku teringat dengan ag
POV MINAKI "Jay, sudahlah. Temui saja pendetanya. Aku menunggu disini saja." Usai mengatakan itu, tanganku perlahan menurunkan tangan Jayka dari lipatan belakang lutut kakiku yang tadi sudah bersiap mengangkat tubuhku ke dalam gendongannya. Kedua mata tajam Jayka menyorotku dengan tatapan sedikit tidak suka namun aku memilih memalingkan wajah. Masalahnya, keseriusannya masih tidak terbaca oleh kata hatiku hingga rasanya perasaan ini masih saja meragu. "Aku mengajakmu ke Kuil Aoshima untuk mendengarkan dari pendeta sendiri kapan tanggal terbaik untuk kita menikah. Apa pesan yang akan pendeta katakan untuk pernikahan kedua kita nantinya, Minaki. Agar keraguan yang ada di hatimu juga hilang." Aku menggigit bibir dengan perasaan bingung tak karuan karena ucapan Jayka. "Sekarang, ayo kita masuk. Kamu mau 'kan?" Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba saja ada suara bisik-bisik dan derap langkah kaki yang tidak biasa di belakangku. Begitu tatapan Jayka mengarah ke belakangku dengan se
POV MINAKI Terowongan berbentuk hati warna merah yang membentang indah dengan beragam gantungan kayu bertuliskan nama para nama pasangan yang ingin hubungannya diberkahi sepanjang pernikahan ketika akan menuju Kuil Aoshima seakan menambah kesan tak kira di dalam hati. Ketika Jayka mendorong kursi rodaku perlahan-lahan, aku segera memejamkan kedua mata lalu membayangkan wajahnya dan Mayka sembari memohon pada para dewa agar hubungan kami dilanggengkan. Kalaupun kami menemui rintangan dalam rumah tangga, semoga baik aku dan Jayka sama-sama diberi kekuatan untuk melewatinya. Juga, semoga tidak ada perselingkuhan diantara kami. Dan aku kuat menghadapi ujian apapun ke depannya setelah Jayka kembali mengambil sumpahnya menjadikanku satu-satunya istri. "Sudah," bisik Jayka ketika aku merasakan kursi rodaku berhenti didorong. Begitu membuka mata, benar saja jika aku sudah usai melewati terowongan berbentuk hati itu. Lalu Jayka kembali mendorong kursi rodaku menuju Chozuya, sebuah batu b
POV MINAKI Niat Jayka untuk menikahiku lagi mendapat beragam tanggapan dari para fans dan netizen. Ada yang memuji kerendahan hatinya karena mau meminang perempuan tidak sempurna sepertiku. Bahkan ada yang menganggap aku menggunakan ancaman untuk membuat Jayka bertekuk lutut. Hasilnya, aku sendiri yang merasa sakit hati karena membaca beragam komentar dan pemberitaan tentang kami. Dan jalan satu-satunya adalah tidak memegang ponsel sama sekali untuk sementara waktu. Kini, aku sudah bersiap dengan pakaian musim semi dan make up natural yang menghiasi wajah. Begitu juga dengan Mayka, sudah terlihat manis dengan pakaian barunya yang dibelikan Jayka hampir satu koper banyaknya. “Kenapa aku begitu cemas, Kak?” tanyaku pada Kak Yamada. “Wajar.” Rencananya hari ini, kami akan pergi ke Kuil Shinto yang ada di Aoshima. Itu adalah Kuil Shinto kuno di pulau kecil yang rimbun dengan patung Dewa Buddha yang indah. Aku masih belum tahu mengapa Jayka memilih kuil itu sebagai tempat pernikahan