"Terima kasih." Kubelai pipi halusnya yang tertutup make up minimalis. Ini salah satu cara membuat Minaki semakin terlena dan mengikuti arah permainanku. Minaki tersenyum malu karena perbuatanku. Karena perempuan berkebutuhan khusus seperti Minaki mudah sekali diluluhkan hatinya hanya dengan sedikit sentuhan dan perhatian. Mereka adalah kaum lemah yang haus akan kasih sayang. Ini lah saat yang tepat untuk membuatnya makin melayang dan menuruti keinginan Nyonya Tatsuo yang menyuruhku untuk mengembalikan sifat Minaki seperti sedia kala. Agar tidak banyak berdiam diri di kamar. "Kita minum tehnya." Ajakku. Lalu aku mendorong kursi rodanya menuju jendela kaca kamar yang perlahan mulai menghembuskan angin musim dingin. "Jayka?" "Hem?" Aku masih menuangkan teh ke dalam cangkir. "Kenapa kamu tiba-tiba kemari?" Aku menatapnya sekilas lalu meletakkan teko berisi teh. "Ingin saja. Aku bosan di asrama." Lalu berjalan ke arahnya dengan membawa dua cangkir teh hangat. "Terima kas
Orang stres selalu berpikiran pendek, salah satunya memilih mengakhiri hidup sebagai jalan pintas. Bayangannya, setelah mati mereka tidak akan merasakan sakit jiwa raga dan yang memusuhi pun hilang dengan sendirinya. Namun, keputusan bunuh diri bukanlah jawaban terbaik dari segala masalah yang melanda. Bahwa ada kehidupan setelah kematian yang jauh lebih adil timbangannya dan abadi. Aku beranjak dengan segera untuk meraih gunting itu lalu membuangnya asal. "Apa yang kamu lakukan hah?!!!" Pekikku tak kalah keras. Emosi ini tidak bisa kutahan lagi dengan Minaki berderai air mata. Segera kunetralkan emosi yang masih mendominasi otakku untuk menenangkan Minaki. Meski penuh drama, ini adalah bagian dari pekerjaan. Meski rumit, aku harus membuat Minaki tenang dan menerima kekurangannya. Lali bangkit meninggalkan rasa tidak percaya diri. Aku memegang kedua pundaknya sembari berjongkok. "Kamu berkata akan menemaniku minum teh bersama bukan?! Kenapa kamu jadi begini?" Ucapku lembut
Minaki krisis dan kering akan perhatian juga saran. Padahal ia membutuhkan itu untuk bekalnya terjuna ke masyarakat luas. Karena tidak selamanya Minaki akan bergantung pada orang tua. Dia harus belajar mandiri. "Jangan mengatakan kamu cacat. Cita rasa terbak dari sebuah kue berasal dari resep dan pemanggangannya. Ayo bangkit, aku akan membantumu berdiri hingga mandiri." Minaki memelukku dengan entengnya di atas ranjang. Kata orang bed talk bisa menjadi pilihan untuk membicarakan hal penting. Saat berpelukan begini, aku melihat Nyonya Tatsuo tengah mengintip aktivitas berpelukan kami. Tanganku reflek hampir menyingkirkan tubuh Minaki namun beliau malah memberi aba-aba menggunakan tangan agar aku tidak melepaskan pelukan. Beliau menunjukkan gesture terima kasih lalu menutup pintu kamar Minaki. "Minaki, aku harus pulang karena besok harus bekerja." Minaki melepaskan pelukan kami. Lalu aku bergegas turun dari ranjangnya sembari membetulkan baju yang sedikit berantakan. Terpergok be
Siulanku di dalam kamar mandi begitu nyaring saat mencukur rambut halus di sekitaran dagu. Penampilan seorang DJ tidak boleh mengecewakan dan harus bisa membuat penonton terbius dengan pesonaku sebagai lelaki berkulit coklat. Warna kulit yang tidak lazim ada di Jepang. Karena rata-rata laki-laki dan perempuan di negara ini berkulit putih. Sedang Harumi malah menyukai kulit coklat-ku yang menurutnya sangat macho dan eksotis. Aaah.... siang ini aku akan membawanya menuju tempat resepsi, ia pasti sangat senang begitu juga denganku. Selesai membersihkan diri, aku bergegas memakai setelan terbaik. Dan itu tidak luput dari pantauan Rinto. "Kemarin pulang duluan. Sekarang pergi duluan." Aku menoleh ke arahnya saat tengah mengatur rambut. "Kencan Rin." "Kencan terooosss." Cibirnya lalu duduk di tengah. "Kamu kenapa sih? Galau gara-gara dijodohin sama emak bapak di kampung?" "Ck.... Iyalah Jak. Siapa yang nggak seneng punya cewek kayak Harumi. Cantik, seksi, setia, pinter pula." Aku
Acara menjadi DJ di resepsi pernikahan telah usai. Para tamu telah pulang, menyisakan tempat acara yang berantakan dan tugas para office boy dan girl untuk membersihkannya. Sedang aku masih memasukkan laptop di tas lalu membereskan DJ Player. "Jayka, ini honormu." Matshusima datang sambil menyerahkan amplop coklat padaku. Aku menerimanya dengan binar bahagia. "Terima kasih." "Mungkin aku bisa menjadi manajermu kelak jika sudah terkenal." Ucapnya terkekeh. Aku menghitung jumlahnya dengan uang masih berada di dalam amplop. "Senang bekerja sama denganmu kawan." 15.000 Yen untuk tiga jam manggung perdana. Bukan nominal yang buruk dan harus kusyukuri agar rezekiku dimudahkan esok hari. Setelah beres, aku menggandeng tangan Harumi menuju halte menunggu bus tujuan mall. Sengaja, aku ingin mengajaknya bersenang-senang dulu sebelum kembali ke asrama. "Suka baju itu?" Tunjukku di sebuah etalase stand baju di Miyako City Shopping Mall. Harumi mengangguk senang. "Belilah, aku yang baya
Hari ini, gudang begitu kewalahan mengepak barang-barang produksi yang telah jadi. Ini semua karena permintaan pasar yang membludak menjelang musim dingin. Pabrik tempatku bekerja memproduksi makanan setengah jadi. Seperti Ippudo, Kyoto Udon Noodle, Oyakodon, Roasted Crab Rice, dan Salmon Chazuke. Warga Jepang lebih suka menyeduh mi atau nasi hangat ditengah dinginnya cuaca. Ditemani sake atau minuman penghangat lainnya. Setelah berlelah ria demi mendulang Yen di gudang pabrik makanan instan itu, kami para TKI segera menuju halte lalu beristirahat di asrama. Jangan bertanya lagi bagaimana penampilanku saat bekerja di pabrik, amat sangat jauh berbeda saat manggung di Yokoha Club. Baru saja aku mendudukkan diri di bangku bis bersama teman-teman yang lain, ponselku berbunyi. Aku lupa belum membukanya sejak istirahat tadi siang. Minaki mengirim pesan jika telah berbelanja kebutuhan membuat kue. Juga dengan foto-foto bahan membuat kue yang tidak banyak kumengerti. Astaga.... Belum
"Kamu sudah bangun Jayka?" Minaki mendekatiku dengan kursi rodanya. Sedang aku berusaha duduk sambil mengumpulkan nyawa terakhir di atas ranjangnya. Ternyata beristirahat di ranjang Minaki yang nyaman ini menghilangkan lelah yang mendera ragaku karena pekerjaan di pabrik. Kusingkap selimutnya lalu menurunkan kakiku ke lantai namun tetap duduk di tepi ranjang Minaki. "Kuenya sudah matang. Mau coba sekarang?" Rainbow cake utuh itu sudah ada di meja lengkap dengan pisau dan piring kecilnya. Aku mengangguk karena begitu melihat tampilannya yang meyakinkan membuat perutku lapar seketika. Minaki menuju kue itu dan memotongnya perlahan. Menaruhnya di atas piring kaca dengan sendok kecil di tepi. Lalu menyodorkannya padaku. "Enak?" Tanyanya setelah aku menyuapkan sendok pertama. Aku mengangguk. "Agak terlalu manis. Aku kurang suka manis-manis." "Besok akan aku kurangi takaran gulanya." "Jangan!" Cegahku. Minaki menatapku heran. "Kenapa? Bukannya kamu tidak suka manis?" Aku menggel
"Apakah berciuman itu rasanya menyenangkan Jayka?" Aku mengambil tisyu dan mengelap jariku yang terkena krim kue. "Biasa saja." Ucapku santai. Minaki nampak berpikir. "Jayka, aku pernah melihatnya di film." Aku memandangnya intens, menunggu ucapan selanjutnya. Sedang Minaki malah menunduk malu. "Kenapa dengan filmnya? Jelek?" Pancingku. Aku tahu ia tengah malu mengakui hal yang bersifat intim padaku. Tapi ini sudah menjadi tugasku untuk membuatnya nyaman berbicara hal intim sekalipun. "Ehm.... Itu...." Dalam perjanjian, Minaki berhak mendapat 'ciuman' dariku. Mungkin ia ingin mendapatkan haknya tapi tidak berani mengatakan terang-terangan. Astaga.... Biasanya, laki-laki yang akan menuntut haknya. Tapi berbeda dengan kasusku ini. "Si itu memangnya kenapa?" Godaku. Minaki malu dan gugup. Tangannya hendak memutar roda kursi rodanya tapi kutahan. Tanpa aba-aba aku menggendongnya ala bridal. Minaki sedikit tersentak lalu tangannya memeluk leherku erat. "Jay.... Jayka! Apa y
POV MINAKI Satu Tahun Kemudian … Jayka benar-benar menunjukkan keseriusannya padaku selama satu tahun kami menjalani pernikahan kedua ini. Semua terasa indah dan melenakan karena sesungguuhnya hati ini masih lah miliknya meski sedalam apapun kesalahan yang Jayka perbuat. Sungguh cinta sebodoh ini. Hari-hari penuh cinta selalu Jayka tawarkan padaku. Perlakuannya di ranjang juga tidak kalah hebatnya hingga aku diam-diam selalu menginginkannya. Maklum, usia kami masih tergolong pasangan muda. Meski kakiku memiliki keterbatasan, namun aku tidak menjadikan itu sebagai penghalang untuk memuaskannya juga. Aku ingin kami sama-sama menikmati dan bahagia. Satu bulan kemudian setelah pernikahan kami, Jayka membawaku ke Spanyol untuk melakukan pengobatan. Ditemani Mayka, pengasuh, dan manajer Jayka. Kaki yang terkena polio membuatku tidak bisa berdiri dan itu menyebabkan tulang punggungku tertekan dan terasa nyeri. Akhirnya dokter melakukan beberapa tindakan dan aku diwajibkan menjalani ter
POV MINAKI "Aku tidak hamil, Jay," selaku cepat kemudian menunduk. Menatap kedua tanganku yang ia genggam erat. Kemudian Jayka menghela nafas panjang dan menggunakan tangan kanannya untuk menaikkan daguku. Lalu memberiku satu ciuman di bibir. Meski hanya sekilas namun cukup membuatku panas dingin. "Setelah dari Spanyol, kita akan berusaha memberi Mayka adik. Tidak ada protes." Lalu ia kembali mencium bibirku sedikit lebih lama hingga dering ponselnya meminta perhatian. Dengan kedua tangan, aku mendorong dada Jayka agar menyudahi ciuman ini lalu menerima panggilan itu. Panggilan yang berasal dari manajernya. "Halo? Ada apa?" "Semua sudah beres." Jayka tersenyum lalu jemari kirinya mengusap sudut bibirku. "Terima kasih, manajer." Kemudian Jayka menekan tombol merah pada layar ponselnya lalu menghubungi seseorang kembali. Kali ini siapa yang ia hubungi? "Halo, Michiya. Apa kabar?" "Baik, Jay." "Terima kasih sudah mau menerima panggilanku. Sekali lagi, aku minta maaf untuk
POV MINAKI Kepulangan Dina ke Indonesia membuatku kehilangan adik sekaligus sahabat terbaik. Meski kami masih saling bertukar kabar melalui pesan singkat, namun aku berharap esok hari dia mau ikut calon besanku kembali menuju Jepang untuk menghadiri upacara pernikahanku dengan Jayka. Masih di lokasi yang sama di Kuil Aoshima, rencana pernikahanku dengan Jayka agar digelar. Segala sesuatunya telah diurus oleh manajer Jayka dan dipastikan kuil tidak akan dibuka untuk umum selama pernikahan kami berlangsung. Tidak banyak yang kami undang mengingat banyaknya pro dan kontra yang terjadi di luar sana. Fans Jayka terutama, ada yang mendukung tapi tidak sedikit yang menghujat hubungan kami dengan melontarkan komentar negatif. Tapi Jayka selalu berkata 'jangan diambil pusing'. Agar tidak membuatku merasa tertekan dan tidak nyaman. Bahkan ia sengaja tidak mengatakan kapan upacara pernikahan kami akan digelar agar tidak ada paparazi yang menguntit. Cukup menyewa fotografer profesional dan me
POV MINAKISepeninggal Sagawa dari villa keluargaku di Ebino, aku mengajak Dina kembali ke Miyazaki. Aku menyarankan dia agar tidur di rumah kedua orang tuaku beberapa hari ke depan untuk membuat hatinya tenang.Dan betapa terkejutnya Jayka ketika melihat Dina telah berada di rumahku esok harinya, karena Jayka fikir Dina sedang menemani Sagawa di Ebino. Untuk masalah patah hati itu, aku sengaja menyembunyikannya dari Jayka. Biarlah Dina sendiri yang mengatakan pada kakaknya itu. Khawatir jika ada kata-kataku yang tidak sesuai dengan apa yang Dina rasakan. "Mas, pesanin aku tiket pulang ke Indonesia," ucap Dina pada Jayka.Wajah sendu dan tidak bersemangat menunjukkan betapa sedih suasana hatinya. Padahal tadi aku sudah mengatakan padanya agar tidak menunjukkan betapa hancur hatinya agar Jayka tidak bertanya-tanya. Jayka yang sedang menyuapi Mayka, akhirnya menoleh ke arah adiknya itu. "Kenapa? Tiga minggu lagi aku dan Minaki mau nikah, Din. Ibu Bapak juga bakal kesini. Kok kamu mal
POV MINAKI "Aku dan Sagawa ... kami sudah ... " "Sudah apa, Dina?" tanyaku semakin penasaran hingga tidak terasa aku meremas tangannya sangat erat. "Kami ... pernah seranjang bersama, Minaki San." *** Usai Dina mengakui hubungannya dengan Sagawa sudah sejauh itu, kepalaku teramat pusing sekali. Aku hanya khawatir Dina hamil dan keluarga Sagawa tidak mau mengakuinya. Berulang kali aku melihat jam di dinding dengan hati kesal karena Sagawa belum kembali juga padahal senja sudah tiada. Dan aku sudah menghabiskan dua cangkir kopi hitam sembari menunggunya. "Kamu kemana, Sagawa?!" geramku dengan jemari mengetuk-ngetuk sandaran tangan di kursi roda. Sengaja, aku menyuruh Dina istirahat agar dia tidak terlihat seperti mayat hidup. Aku paham sekali bagaimana terpukul dirinya menyadari jika mimpi indahnya bersama Sagawa telah usai. Dia harus bangun dan menyadari bahwa Sagawa haruslah kembali ke Tokyo seperti kemauan ibunya. Soal mahkotanya yang telah diambil Sagawa, bukankah mere
POV MINAKI Terpaan angin pantai itu membuat pakaian dan rambutku berkibar-kibar namun kedua mataku tidak lepas menatap Mayka dan Jayka yang sedang bermain pasir dan hewan-hewan kecil di pesisir pantai. "Aku meulis harapan, semoga tidak lagi hidup dengan Jayka." "Minaki!" seru Kak Yamada dengan suara tidak terima. Kedua matanya menatapku dengan sorot emosi lalu aku memberikan senyum terbaik. "Aku belum selesai berucap, Kak." "Ingat Mayka jika kamu menolak Jayka. Anakmu itu akan menjadi korban. Dia akan merasa kosong karena kehilangan sosok ayah dalam dirinya!" "Aku menulis harapan semoga tidak lagi hidup dengan Jayka, bila sekali lagi dia menyelingkuhiku." Kak Yamada menghela nafas panjang lalu berbalik menatap Jayka dan Mayka yang masih bersenang-senang disana. "Jayka sudah berjanji padaku bahkan dia sudah mengganti beberapa aset kekayaannya atas namamu. Demi meyakinkanku dan Papa untuk diberi izin kembali meminangmu." "Benarkah?" *** Pagi-pagi sekali aku teringat dengan ag
POV MINAKI "Jay, sudahlah. Temui saja pendetanya. Aku menunggu disini saja." Usai mengatakan itu, tanganku perlahan menurunkan tangan Jayka dari lipatan belakang lutut kakiku yang tadi sudah bersiap mengangkat tubuhku ke dalam gendongannya. Kedua mata tajam Jayka menyorotku dengan tatapan sedikit tidak suka namun aku memilih memalingkan wajah. Masalahnya, keseriusannya masih tidak terbaca oleh kata hatiku hingga rasanya perasaan ini masih saja meragu. "Aku mengajakmu ke Kuil Aoshima untuk mendengarkan dari pendeta sendiri kapan tanggal terbaik untuk kita menikah. Apa pesan yang akan pendeta katakan untuk pernikahan kedua kita nantinya, Minaki. Agar keraguan yang ada di hatimu juga hilang." Aku menggigit bibir dengan perasaan bingung tak karuan karena ucapan Jayka. "Sekarang, ayo kita masuk. Kamu mau 'kan?" Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba saja ada suara bisik-bisik dan derap langkah kaki yang tidak biasa di belakangku. Begitu tatapan Jayka mengarah ke belakangku dengan se
POV MINAKI Terowongan berbentuk hati warna merah yang membentang indah dengan beragam gantungan kayu bertuliskan nama para nama pasangan yang ingin hubungannya diberkahi sepanjang pernikahan ketika akan menuju Kuil Aoshima seakan menambah kesan tak kira di dalam hati. Ketika Jayka mendorong kursi rodaku perlahan-lahan, aku segera memejamkan kedua mata lalu membayangkan wajahnya dan Mayka sembari memohon pada para dewa agar hubungan kami dilanggengkan. Kalaupun kami menemui rintangan dalam rumah tangga, semoga baik aku dan Jayka sama-sama diberi kekuatan untuk melewatinya. Juga, semoga tidak ada perselingkuhan diantara kami. Dan aku kuat menghadapi ujian apapun ke depannya setelah Jayka kembali mengambil sumpahnya menjadikanku satu-satunya istri. "Sudah," bisik Jayka ketika aku merasakan kursi rodaku berhenti didorong. Begitu membuka mata, benar saja jika aku sudah usai melewati terowongan berbentuk hati itu. Lalu Jayka kembali mendorong kursi rodaku menuju Chozuya, sebuah batu b
POV MINAKI Niat Jayka untuk menikahiku lagi mendapat beragam tanggapan dari para fans dan netizen. Ada yang memuji kerendahan hatinya karena mau meminang perempuan tidak sempurna sepertiku. Bahkan ada yang menganggap aku menggunakan ancaman untuk membuat Jayka bertekuk lutut. Hasilnya, aku sendiri yang merasa sakit hati karena membaca beragam komentar dan pemberitaan tentang kami. Dan jalan satu-satunya adalah tidak memegang ponsel sama sekali untuk sementara waktu. Kini, aku sudah bersiap dengan pakaian musim semi dan make up natural yang menghiasi wajah. Begitu juga dengan Mayka, sudah terlihat manis dengan pakaian barunya yang dibelikan Jayka hampir satu koper banyaknya. “Kenapa aku begitu cemas, Kak?” tanyaku pada Kak Yamada. “Wajar.” Rencananya hari ini, kami akan pergi ke Kuil Shinto yang ada di Aoshima. Itu adalah Kuil Shinto kuno di pulau kecil yang rimbun dengan patung Dewa Buddha yang indah. Aku masih belum tahu mengapa Jayka memilih kuil itu sebagai tempat pernikahan