Acara menjadi DJ di resepsi pernikahan telah usai. Para tamu telah pulang, menyisakan tempat acara yang berantakan dan tugas para office boy dan girl untuk membersihkannya. Sedang aku masih memasukkan laptop di tas lalu membereskan DJ Player. "Jayka, ini honormu." Matshusima datang sambil menyerahkan amplop coklat padaku. Aku menerimanya dengan binar bahagia. "Terima kasih." "Mungkin aku bisa menjadi manajermu kelak jika sudah terkenal." Ucapnya terkekeh. Aku menghitung jumlahnya dengan uang masih berada di dalam amplop. "Senang bekerja sama denganmu kawan." 15.000 Yen untuk tiga jam manggung perdana. Bukan nominal yang buruk dan harus kusyukuri agar rezekiku dimudahkan esok hari. Setelah beres, aku menggandeng tangan Harumi menuju halte menunggu bus tujuan mall. Sengaja, aku ingin mengajaknya bersenang-senang dulu sebelum kembali ke asrama. "Suka baju itu?" Tunjukku di sebuah etalase stand baju di Miyako City Shopping Mall. Harumi mengangguk senang. "Belilah, aku yang baya
Hari ini, gudang begitu kewalahan mengepak barang-barang produksi yang telah jadi. Ini semua karena permintaan pasar yang membludak menjelang musim dingin. Pabrik tempatku bekerja memproduksi makanan setengah jadi. Seperti Ippudo, Kyoto Udon Noodle, Oyakodon, Roasted Crab Rice, dan Salmon Chazuke. Warga Jepang lebih suka menyeduh mi atau nasi hangat ditengah dinginnya cuaca. Ditemani sake atau minuman penghangat lainnya. Setelah berlelah ria demi mendulang Yen di gudang pabrik makanan instan itu, kami para TKI segera menuju halte lalu beristirahat di asrama. Jangan bertanya lagi bagaimana penampilanku saat bekerja di pabrik, amat sangat jauh berbeda saat manggung di Yokoha Club. Baru saja aku mendudukkan diri di bangku bis bersama teman-teman yang lain, ponselku berbunyi. Aku lupa belum membukanya sejak istirahat tadi siang. Minaki mengirim pesan jika telah berbelanja kebutuhan membuat kue. Juga dengan foto-foto bahan membuat kue yang tidak banyak kumengerti. Astaga.... Belum
"Kamu sudah bangun Jayka?" Minaki mendekatiku dengan kursi rodanya. Sedang aku berusaha duduk sambil mengumpulkan nyawa terakhir di atas ranjangnya. Ternyata beristirahat di ranjang Minaki yang nyaman ini menghilangkan lelah yang mendera ragaku karena pekerjaan di pabrik. Kusingkap selimutnya lalu menurunkan kakiku ke lantai namun tetap duduk di tepi ranjang Minaki. "Kuenya sudah matang. Mau coba sekarang?" Rainbow cake utuh itu sudah ada di meja lengkap dengan pisau dan piring kecilnya. Aku mengangguk karena begitu melihat tampilannya yang meyakinkan membuat perutku lapar seketika. Minaki menuju kue itu dan memotongnya perlahan. Menaruhnya di atas piring kaca dengan sendok kecil di tepi. Lalu menyodorkannya padaku. "Enak?" Tanyanya setelah aku menyuapkan sendok pertama. Aku mengangguk. "Agak terlalu manis. Aku kurang suka manis-manis." "Besok akan aku kurangi takaran gulanya." "Jangan!" Cegahku. Minaki menatapku heran. "Kenapa? Bukannya kamu tidak suka manis?" Aku menggel
"Apakah berciuman itu rasanya menyenangkan Jayka?" Aku mengambil tisyu dan mengelap jariku yang terkena krim kue. "Biasa saja." Ucapku santai. Minaki nampak berpikir. "Jayka, aku pernah melihatnya di film." Aku memandangnya intens, menunggu ucapan selanjutnya. Sedang Minaki malah menunduk malu. "Kenapa dengan filmnya? Jelek?" Pancingku. Aku tahu ia tengah malu mengakui hal yang bersifat intim padaku. Tapi ini sudah menjadi tugasku untuk membuatnya nyaman berbicara hal intim sekalipun. "Ehm.... Itu...." Dalam perjanjian, Minaki berhak mendapat 'ciuman' dariku. Mungkin ia ingin mendapatkan haknya tapi tidak berani mengatakan terang-terangan. Astaga.... Biasanya, laki-laki yang akan menuntut haknya. Tapi berbeda dengan kasusku ini. "Si itu memangnya kenapa?" Godaku. Minaki malu dan gugup. Tangannya hendak memutar roda kursi rodanya tapi kutahan. Tanpa aba-aba aku menggendongnya ala bridal. Minaki sedikit tersentak lalu tangannya memeluk leherku erat. "Jay.... Jayka! Apa y
Sepulang dari rumah Minaki, aku tidak langsung tidur. Melainkan membuka laptop Minaki yang kutaruh di dalam lemari. Mumpung Rinto sedang telfon orang rumah di balkon kamar. Bagaimanapun aku tidak siap mengatakan rahasia pekerjaan sampinganku sebagai surrogate partner pada Rinto. Sebuah pekerjaan yang mulai umum di Jepang namun masih malu-malu untuk diutarakan. Aku ingin mengecek kembali isi percakapan Minaki dan teman temannya kala membahas tentang diriku di percakapan grup yang terinstall di laptopnya. Setelah tersambung dengan jaringan internet dari ponselku, pemberitahuan pesan masuk dari aplikasi grup kampus yang diikuti Minaki bermunculan. Fukuda : Minaki menghilang? Hitarashi : Mungkin dia patah hati melihat idolanya berciuman dengan seorang gadis. 😝 Fukuda : Minaki, apa kamu patah hati sungguhan? Astaga... Hitarashi : Apa gadis itu kekasih Jayka? Fukuda : Mungkin kekasih sesaatnya. Hitarashi : Sudah kuduga. Tapi dia sangat cantik. Fukuda : Mungkin Jayka sedikit lebi
Pagi yang dingin itu aku terpaksa mandi keramas. Oh ayolah, aku masih sangat ingat ketika mengikuti pengajian remaja masjid saat masih SMA. Bahwa laki laki yang telah mengeluarkan 'cairannya' haruslah mandi besar. Wajib. Dan pagi ini aku melakukannya di tengah musim dingin yang hampir mendekati angka 3 derajat celsius. Mandi air hangat atau air panas adalah solusinya. "Ck.... enak di awal, ribet mandinya." Gerutuku ketika menunggu air dalam wadah mendidih. Kebetulan pemanas air di kamar mandi masih belum sempat kami perbaiki. Aku yang waktu itu berhemat mati matian demi mengirim uang lebih banyak ke kampung halaman demi membeli tanah Bik Sun. "Mandi Jak?" Tanya Rinto dengan mengucek matanya lalu minum air putih di sebelahku. "Hem." Jawabku dengan mengangguk. Dia menatapku heran. "Nggak usah mandi, langsung aja cuci muka." Pasalnya, saat musim dingin di Jepang, warganya jarang mandi karena tidak berkeringat sama sekali. Dan selama tiga tahun disini membuat kebiasaan itu menu
"Aku takut kamu berselingkuh Jayka." Tubuhku menegang seketika. Tebakan Harumi tidaklah salah namun tidaklah benar seratus persen. Aku berkencan dengannya juga dengan Minaki, hanya saja konteks yang dipakai berbeda. Harumi adalah kekasihku, gadis sempurna pilihan hatiku. Sedang Minaki, aku melayaninya demi uang, atas nama profesionalitas. "Jayka?" Harumi mendongak menatapku. Aku menatapnya lekat. "Aku memang berselingkuh." Harumi memandangku tidak percaya. "Selingkuh dengan bayanganmu yang selalu mengikutiku kemanapun aku pergi." Harumi tersenyum bahagia dengan mencubit pinggangku. "Maaf sayang maaf." Ucapku menahan kekehan sambil menahan tangannya yang masih mencubit pinggangku. "Menyebalkan!!" Aku langsung meraih tengkuknya dan menghimpitnya di tembok. Lalu mencium bibirnya lembut hingga Harumi terbuai ikut membalas ciumanku. Tangannya bergerak menangkup rahangku. Ciuman yang saling mengikat perasaan kami menghasilkan lenguhan yang membuat siapa saja terlena jika
Aku seolah disindir ucapannya. Sadar dengan tugasku sebagai seorang surrogate partner, sebuah ide muncul begitu saja demi menyenangkan dan menyemangati Minaki. "Jangan begini, intinya aku ingin meminta maaf. Aku tidak memberi janji palsu, aku bukan laki laki yang pandai mengobral janji." "Sekarang, aku ingin mengajakmu bersenang senang dengan kue yang cantik dan berbau harum ini." Minaki menatapku. Aku berdiri dari jongkok lalu memindahkan kue kering yang sudah dingin dari loyang ke toples. "Mau bantu memasukkannya ke toples?" Minaki mengangguk. Setelah kue selesai dimasukkan dalam toples, aku membuka lemari tempat menyimpan kopi dan teh. "Kamu masih suka kopi pahit Minaki?" Minaki menggeleng. "Aku suka teh." "Barangkali masih suka minum kopi pahit lalu hanya dengan memandangiku saja berubah menjadi kopi manis." Minaki tersenyum tipis lalu ikut membantu menuangkan gula ke dalam cangkir. Dapur rumah Minaki cukup menyenangkan, layaknya dapur rumah orang elit. Dapurnya a
POV MINAKI Satu Tahun Kemudian … Jayka benar-benar menunjukkan keseriusannya padaku selama satu tahun kami menjalani pernikahan kedua ini. Semua terasa indah dan melenakan karena sesungguuhnya hati ini masih lah miliknya meski sedalam apapun kesalahan yang Jayka perbuat. Sungguh cinta sebodoh ini. Hari-hari penuh cinta selalu Jayka tawarkan padaku. Perlakuannya di ranjang juga tidak kalah hebatnya hingga aku diam-diam selalu menginginkannya. Maklum, usia kami masih tergolong pasangan muda. Meski kakiku memiliki keterbatasan, namun aku tidak menjadikan itu sebagai penghalang untuk memuaskannya juga. Aku ingin kami sama-sama menikmati dan bahagia. Satu bulan kemudian setelah pernikahan kami, Jayka membawaku ke Spanyol untuk melakukan pengobatan. Ditemani Mayka, pengasuh, dan manajer Jayka. Kaki yang terkena polio membuatku tidak bisa berdiri dan itu menyebabkan tulang punggungku tertekan dan terasa nyeri. Akhirnya dokter melakukan beberapa tindakan dan aku diwajibkan menjalani ter
POV MINAKI "Aku tidak hamil, Jay," selaku cepat kemudian menunduk. Menatap kedua tanganku yang ia genggam erat. Kemudian Jayka menghela nafas panjang dan menggunakan tangan kanannya untuk menaikkan daguku. Lalu memberiku satu ciuman di bibir. Meski hanya sekilas namun cukup membuatku panas dingin. "Setelah dari Spanyol, kita akan berusaha memberi Mayka adik. Tidak ada protes." Lalu ia kembali mencium bibirku sedikit lebih lama hingga dering ponselnya meminta perhatian. Dengan kedua tangan, aku mendorong dada Jayka agar menyudahi ciuman ini lalu menerima panggilan itu. Panggilan yang berasal dari manajernya. "Halo? Ada apa?" "Semua sudah beres." Jayka tersenyum lalu jemari kirinya mengusap sudut bibirku. "Terima kasih, manajer." Kemudian Jayka menekan tombol merah pada layar ponselnya lalu menghubungi seseorang kembali. Kali ini siapa yang ia hubungi? "Halo, Michiya. Apa kabar?" "Baik, Jay." "Terima kasih sudah mau menerima panggilanku. Sekali lagi, aku minta maaf untuk
POV MINAKI Kepulangan Dina ke Indonesia membuatku kehilangan adik sekaligus sahabat terbaik. Meski kami masih saling bertukar kabar melalui pesan singkat, namun aku berharap esok hari dia mau ikut calon besanku kembali menuju Jepang untuk menghadiri upacara pernikahanku dengan Jayka. Masih di lokasi yang sama di Kuil Aoshima, rencana pernikahanku dengan Jayka agar digelar. Segala sesuatunya telah diurus oleh manajer Jayka dan dipastikan kuil tidak akan dibuka untuk umum selama pernikahan kami berlangsung. Tidak banyak yang kami undang mengingat banyaknya pro dan kontra yang terjadi di luar sana. Fans Jayka terutama, ada yang mendukung tapi tidak sedikit yang menghujat hubungan kami dengan melontarkan komentar negatif. Tapi Jayka selalu berkata 'jangan diambil pusing'. Agar tidak membuatku merasa tertekan dan tidak nyaman. Bahkan ia sengaja tidak mengatakan kapan upacara pernikahan kami akan digelar agar tidak ada paparazi yang menguntit. Cukup menyewa fotografer profesional dan me
POV MINAKISepeninggal Sagawa dari villa keluargaku di Ebino, aku mengajak Dina kembali ke Miyazaki. Aku menyarankan dia agar tidur di rumah kedua orang tuaku beberapa hari ke depan untuk membuat hatinya tenang.Dan betapa terkejutnya Jayka ketika melihat Dina telah berada di rumahku esok harinya, karena Jayka fikir Dina sedang menemani Sagawa di Ebino. Untuk masalah patah hati itu, aku sengaja menyembunyikannya dari Jayka. Biarlah Dina sendiri yang mengatakan pada kakaknya itu. Khawatir jika ada kata-kataku yang tidak sesuai dengan apa yang Dina rasakan. "Mas, pesanin aku tiket pulang ke Indonesia," ucap Dina pada Jayka.Wajah sendu dan tidak bersemangat menunjukkan betapa sedih suasana hatinya. Padahal tadi aku sudah mengatakan padanya agar tidak menunjukkan betapa hancur hatinya agar Jayka tidak bertanya-tanya. Jayka yang sedang menyuapi Mayka, akhirnya menoleh ke arah adiknya itu. "Kenapa? Tiga minggu lagi aku dan Minaki mau nikah, Din. Ibu Bapak juga bakal kesini. Kok kamu mal
POV MINAKI "Aku dan Sagawa ... kami sudah ... " "Sudah apa, Dina?" tanyaku semakin penasaran hingga tidak terasa aku meremas tangannya sangat erat. "Kami ... pernah seranjang bersama, Minaki San." *** Usai Dina mengakui hubungannya dengan Sagawa sudah sejauh itu, kepalaku teramat pusing sekali. Aku hanya khawatir Dina hamil dan keluarga Sagawa tidak mau mengakuinya. Berulang kali aku melihat jam di dinding dengan hati kesal karena Sagawa belum kembali juga padahal senja sudah tiada. Dan aku sudah menghabiskan dua cangkir kopi hitam sembari menunggunya. "Kamu kemana, Sagawa?!" geramku dengan jemari mengetuk-ngetuk sandaran tangan di kursi roda. Sengaja, aku menyuruh Dina istirahat agar dia tidak terlihat seperti mayat hidup. Aku paham sekali bagaimana terpukul dirinya menyadari jika mimpi indahnya bersama Sagawa telah usai. Dia harus bangun dan menyadari bahwa Sagawa haruslah kembali ke Tokyo seperti kemauan ibunya. Soal mahkotanya yang telah diambil Sagawa, bukankah mere
POV MINAKI Terpaan angin pantai itu membuat pakaian dan rambutku berkibar-kibar namun kedua mataku tidak lepas menatap Mayka dan Jayka yang sedang bermain pasir dan hewan-hewan kecil di pesisir pantai. "Aku meulis harapan, semoga tidak lagi hidup dengan Jayka." "Minaki!" seru Kak Yamada dengan suara tidak terima. Kedua matanya menatapku dengan sorot emosi lalu aku memberikan senyum terbaik. "Aku belum selesai berucap, Kak." "Ingat Mayka jika kamu menolak Jayka. Anakmu itu akan menjadi korban. Dia akan merasa kosong karena kehilangan sosok ayah dalam dirinya!" "Aku menulis harapan semoga tidak lagi hidup dengan Jayka, bila sekali lagi dia menyelingkuhiku." Kak Yamada menghela nafas panjang lalu berbalik menatap Jayka dan Mayka yang masih bersenang-senang disana. "Jayka sudah berjanji padaku bahkan dia sudah mengganti beberapa aset kekayaannya atas namamu. Demi meyakinkanku dan Papa untuk diberi izin kembali meminangmu." "Benarkah?" *** Pagi-pagi sekali aku teringat dengan ag
POV MINAKI "Jay, sudahlah. Temui saja pendetanya. Aku menunggu disini saja." Usai mengatakan itu, tanganku perlahan menurunkan tangan Jayka dari lipatan belakang lutut kakiku yang tadi sudah bersiap mengangkat tubuhku ke dalam gendongannya. Kedua mata tajam Jayka menyorotku dengan tatapan sedikit tidak suka namun aku memilih memalingkan wajah. Masalahnya, keseriusannya masih tidak terbaca oleh kata hatiku hingga rasanya perasaan ini masih saja meragu. "Aku mengajakmu ke Kuil Aoshima untuk mendengarkan dari pendeta sendiri kapan tanggal terbaik untuk kita menikah. Apa pesan yang akan pendeta katakan untuk pernikahan kedua kita nantinya, Minaki. Agar keraguan yang ada di hatimu juga hilang." Aku menggigit bibir dengan perasaan bingung tak karuan karena ucapan Jayka. "Sekarang, ayo kita masuk. Kamu mau 'kan?" Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba saja ada suara bisik-bisik dan derap langkah kaki yang tidak biasa di belakangku. Begitu tatapan Jayka mengarah ke belakangku dengan se
POV MINAKI Terowongan berbentuk hati warna merah yang membentang indah dengan beragam gantungan kayu bertuliskan nama para nama pasangan yang ingin hubungannya diberkahi sepanjang pernikahan ketika akan menuju Kuil Aoshima seakan menambah kesan tak kira di dalam hati. Ketika Jayka mendorong kursi rodaku perlahan-lahan, aku segera memejamkan kedua mata lalu membayangkan wajahnya dan Mayka sembari memohon pada para dewa agar hubungan kami dilanggengkan. Kalaupun kami menemui rintangan dalam rumah tangga, semoga baik aku dan Jayka sama-sama diberi kekuatan untuk melewatinya. Juga, semoga tidak ada perselingkuhan diantara kami. Dan aku kuat menghadapi ujian apapun ke depannya setelah Jayka kembali mengambil sumpahnya menjadikanku satu-satunya istri. "Sudah," bisik Jayka ketika aku merasakan kursi rodaku berhenti didorong. Begitu membuka mata, benar saja jika aku sudah usai melewati terowongan berbentuk hati itu. Lalu Jayka kembali mendorong kursi rodaku menuju Chozuya, sebuah batu b
POV MINAKI Niat Jayka untuk menikahiku lagi mendapat beragam tanggapan dari para fans dan netizen. Ada yang memuji kerendahan hatinya karena mau meminang perempuan tidak sempurna sepertiku. Bahkan ada yang menganggap aku menggunakan ancaman untuk membuat Jayka bertekuk lutut. Hasilnya, aku sendiri yang merasa sakit hati karena membaca beragam komentar dan pemberitaan tentang kami. Dan jalan satu-satunya adalah tidak memegang ponsel sama sekali untuk sementara waktu. Kini, aku sudah bersiap dengan pakaian musim semi dan make up natural yang menghiasi wajah. Begitu juga dengan Mayka, sudah terlihat manis dengan pakaian barunya yang dibelikan Jayka hampir satu koper banyaknya. “Kenapa aku begitu cemas, Kak?” tanyaku pada Kak Yamada. “Wajar.” Rencananya hari ini, kami akan pergi ke Kuil Shinto yang ada di Aoshima. Itu adalah Kuil Shinto kuno di pulau kecil yang rimbun dengan patung Dewa Buddha yang indah. Aku masih belum tahu mengapa Jayka memilih kuil itu sebagai tempat pernikahan