klik bintang 5 nya ya? Dan tinggalkan komentar yang menyemangati Jayka. Makasiiiihhh
Aku hampir pingsan mendengar ucapan Minaki jika kami akan menikah minggu depan. Hal yang tidak pernah kuinginkan sama sekali ditambah sedari pagi aku tidak menyentuh makanan apapun kecuali mengisi perut dengan teh manis saat di rumah Minaki. Setelah acara fitting baju pengantin, kami kembali ke rumah Minaki dengan aku pura-pura tidur. Aku hanya tidak mau berbicara dengan siapapun. Suasana di mobil cukup hening karena Minaki dan Dina sama-sama tidak mengerti bahasa yang mereka gunakan. Begitu lebih baik karena aku membutuhkan keheningan. Sesampainya di rumah Minaki, aku berpamitan pada Minaki untuk istirahat dengan alasan tidak enak badan. Padahal aku sedang menghindarinya. "Rumah mbak Minaki gede ya mas? Bagus pula." Dina sedang memindai isi kamar tamu yang kutempati. Aku tidak menjawab lalu memilih menghubungi manajerku. Dia berkata jika mulai esok jadwal manggungku sudah menunggu. Juga, lebam dan bekas luka di wajah sudah menghilang. "Aku akan kembali bekerja.""Bagaimana pern
"Minum dulu mas." Dina mengangsurkan segelas teh hangat padaku. "Makasih Din." "Mas, makan dikit ya? Jangan nggak makan. Nggak lucu kalau kamu pingsan saat upacara pernikahan." Dina menasehati. Beberapa malam ini, aku bekerja bagai orang kesetanan. Bahkan tugas menjaga Minaki sepenuhnya kuserahkan pada Dina. Karena aku lebih suka menyendiri setelah manggung atau menghabiskan waktu dengan berbicara panjang lebar tanpa arah dengan manajerku. "Nggak Din. Aku minum aja." Dina kembali merapikan pakaian adat Shinto yang kukenakan, Hakama Haori dengan lima jambul namanya. Sedang Dina memakai furisode bermotif sakura yang tampak segar dengan rambut dan riasan yang ditata rapi. "Mas, makasih banyak udah berkorban sejauh ini demi bapak, ibu, aku, dan Dini. Tanpa Mas Jaka, mungkin kami nggak akan bisa sejahterah. Mas Jaka tetaplah kakakku sampai kapanpun." Ucapnya berkaca-kaca. Aku langsung merengkuh tubuhnya. "Jangan mewek, ntar make up-mu luntur." Dina mengangguk dengan menahan tangis.
"Selamat Jayka! Selamat atas pernikahanmu." Ucap Matsushima sembari menepuk punggungku."Apa kamu mengejekku?" Bisikku."Tidak, aku tulus mendoakan kebahagiaanmu dengan Minaki. Sungguh."Aku menghela nafas lalu berganti mendapat ucapan selamat dari manajer dan adikku, Dina.Masih ada satu kegiatan lagi yang diadakan di aula Yanagawa Hanshu. Resepsi pernikahan kami.Aku tidak tahu, kejutan apa lagi yang dibuat Minaki dan ibunya demi momen sakral ini. Segalanya kuikuti dengan hikmat tanpa protes. Mereka sangat bahagia tapi tidak denganku yang selalu saja menunjukkan senyum palsu dengan hati remuk seperti digadam palu.Aku mendorong kursi roda Minaki menuju aula dengan dipayungi seorang gadis kuil. Menggunakan payung suci adat berwarna merah milik kuil. Bentuknya seperti payung era Jepang kuno.Tuan Tatsuo yang biasanya terlihat kaku, nyatanya bisa berbaur akrab dengan manajerku dan Matsushima. Sesekali tawa ringan keluar dari bibir mereka bertiga membicarakan hal yang tidak kuketahui ka
"Jay..." Desah Minaki setelah ciuman kami terlepas. Entah Minaki yang sudah cantik atau riasan make up-nya yang indah, wajahnya yang berada di depanku ini teramat cantik dan menggemaskan. Aku menatap wajahnya dengan pandangan sayu, alih-alih sudah berkabut gairah. "Ehem...permisi nona. Kita sudah sampai di villa."Interupsi si sopir membuat kami kembali tersadar dari perbuatan memalukan ini. Maklum saja, pengantin baru dan Minaki juga menggodaku. Nakal bukan?!Hari sudah sore, kami keluar mobil masih berpakaian adat. Aku tersenyum geli melihat penampilanku yang mirip seorang ninja yang hanya kurang samurainya saja. Setelah mendudukkan Minaki di kursi roda dengan pakaian adat Shiromuku-nya yang serba putih itu, aku menyuruh sopir membawakan koper kami menuju kamar. Di depan villa, Minaki disambut anak pemilik villa yang sudah dikenal. Mereka sudah berkenalan saat aku disuruh Nyonya Tatsuo membawa Minaki kemari beberapa bulan lalu. "Selamat atas pernikahanmu Minaki."Dengan gegas,
Aku menutup kembali botol berisi cairan penyemangat itu lalu memasukkannya kembali ke saku celana yang teronggok di lantai tepi kolam. Dengan kepulan asap air panas di kolam, membuat wajah Minaki tidak terlihat jelas. Lalu aku mendekatinya perlahan. "Apa yang kamu minum Jay? Kenapa tidak membaginya denganku?"Andai Minaki tahu jika itu adalah cairan yang bisa membuat tubuh bereaksi panas dingin tidak karuan dalam hitungan beberapa menit kemudian. Mungkin ia akan menjelma menjadi gadis super nakal di hadapanku andai meneguknya sedikit. "Anak kecil tidak boleh tahu."Dia menaikkan kedua alisnya. "Aku sudah dewasa. Sudah menikah. Apanya yang anak kecil.""Bagiku kamu masih kecil." Lalu aku bersiul sambil melihat dada atasnya sedikit tidak tertutup air kolam.Kulit putih mulusnya...aah...begitu menggoda.Minaki menyilangkan kedua tangannya di dada. Lalu aku kembali terkekeh. "Begitu saja sudah malu. Bagaimana masuknya."Minaki beringsut malu. "Apa itu dari pendeta kuil?"Aku menggeleng
"Jawab aku Minaki, sayang. Kamu ingin anak berapa?" Tanyaku di sela permainan panas kami dengan aku masih senantiasa berada di atasnya. Minaki meringis, mendesah kecil, dengan tangannya mencengkeram lenganku. Ekpresi natural nikmat bercampur menahan sakit dari pancaran wajahnya malah membuatku makin beringas."Jaaayykaaahh..."Ia seperti kehilangan fokus atas pertanyaanku karena terlalu menikmati penyatuan kami yang sangat ia harapkan selama ini. Ia ingin disayang bahkan dihujani perhatian sebanyak mungkin dariku, lelaki yang sangat ia cintai juga mantan terapisnya. Kini aku mewujudkan keinginannya dengan menjadikannya ratu di dalam hidupku selama anak kami lahir. Aku yakin ia sedang merasa di awan saat ini. "Minaki....Ah....Kamu luar biasa sayang. Mendesah lah untukku."Milikku sangat senang berada di dalam Minaki yang hangat, basah, dan mencengkeram. Ini adalah malam pertama yang indah bagiku. Bukan sekedar penyatuan biasa, melainkan ada sesuatu yang terasa mengikat hati kami den
"Jay, kita baru saja melakukannya. Apa kamu tidak lelah?""Iya, tapi aku mau lagi. Belum tuntas." Ucapku sambil terus menggendong Minaki menuju kamar kami. Rasanya, pelepasan tadi belum cukup untukku. Buktinya, kini aku berhasrat lagi dan sudah terasa menggeliat tegang. Entah karena aku kecanduan dengan tubuh perawan Minaki yang telah sah menjadi istriku, atau aku yang sudah lama tidak bercinta. Ah, bukan! Aku masih ingat di hari terakhir bertemu Harumi seminggu yang lalu, aku bercinta hingga puas bersamanya. "Jay, apa semakin sering berhubungan semakin cepat untukku segera hamil?"Pertanyaan yang Minaki lontarkan berbarengan dengan aku yang baru saja membuka pintu kamar. Setelah memasukkan diri, aku mendorong pintu dengan satu kaki hingga tertutup. Langkahku kembali bersemangat menuju ranjang kami yang masih penuh dengan hiasan bunga mawar merah dengan sprei putih bersih. Dengan hati-hati kurebahkan tubuh istriku lalu dengan sekali tekan, lampu kamar berubah remang-remang."Jay,
"Jay, ayo bangun lah. Kakak sudah di bawah." Aku menggeliat sembari meluruskan otot-otot di atas ranjang. Tanpa memakai busana aku menyandarkan tubuh di headboard ranjang dengan menutupi kaki hingga perut dengan selimut. "Aku malas bertemu kakakmu yang sialan itu.""Dia itu kakak iparmu Jay.""Apa kamu sudah memaafkan dia karena merebut semua asetmu? Kakak macam apa itu dengan membiarkan adiknya tidak memiliki aset apapun." Cibirku dengan raut wajah tidak suka sama sekali. "Belum. Aku akan memaafkan dia jika mengembalikan asetku.""Lalu mengapa sekarang kita harus menemuinya? Tidak penting untukku, kecuali dia membawa sesuatu yang dikirim oleh ibumu.""Mandi lah dulu baru kita temui dia di bawah."Tanpa berdebat dengan Minaki karena ini baru hari pertama kami menikah, aku melenggang ke kamar mandi dengan menggunakan boxer saja. Ketika akan berganti pakaian, aku lupa dengan pakaianku yang kutinggalkan begitu saja di koper. Belum terbuka mulut ini akan melayangkan perintah pada Mina
POV MINAKI Satu Tahun Kemudian … Jayka benar-benar menunjukkan keseriusannya padaku selama satu tahun kami menjalani pernikahan kedua ini. Semua terasa indah dan melenakan karena sesungguuhnya hati ini masih lah miliknya meski sedalam apapun kesalahan yang Jayka perbuat. Sungguh cinta sebodoh ini. Hari-hari penuh cinta selalu Jayka tawarkan padaku. Perlakuannya di ranjang juga tidak kalah hebatnya hingga aku diam-diam selalu menginginkannya. Maklum, usia kami masih tergolong pasangan muda. Meski kakiku memiliki keterbatasan, namun aku tidak menjadikan itu sebagai penghalang untuk memuaskannya juga. Aku ingin kami sama-sama menikmati dan bahagia. Satu bulan kemudian setelah pernikahan kami, Jayka membawaku ke Spanyol untuk melakukan pengobatan. Ditemani Mayka, pengasuh, dan manajer Jayka. Kaki yang terkena polio membuatku tidak bisa berdiri dan itu menyebabkan tulang punggungku tertekan dan terasa nyeri. Akhirnya dokter melakukan beberapa tindakan dan aku diwajibkan menjalani ter
POV MINAKI "Aku tidak hamil, Jay," selaku cepat kemudian menunduk. Menatap kedua tanganku yang ia genggam erat. Kemudian Jayka menghela nafas panjang dan menggunakan tangan kanannya untuk menaikkan daguku. Lalu memberiku satu ciuman di bibir. Meski hanya sekilas namun cukup membuatku panas dingin. "Setelah dari Spanyol, kita akan berusaha memberi Mayka adik. Tidak ada protes." Lalu ia kembali mencium bibirku sedikit lebih lama hingga dering ponselnya meminta perhatian. Dengan kedua tangan, aku mendorong dada Jayka agar menyudahi ciuman ini lalu menerima panggilan itu. Panggilan yang berasal dari manajernya. "Halo? Ada apa?" "Semua sudah beres." Jayka tersenyum lalu jemari kirinya mengusap sudut bibirku. "Terima kasih, manajer." Kemudian Jayka menekan tombol merah pada layar ponselnya lalu menghubungi seseorang kembali. Kali ini siapa yang ia hubungi? "Halo, Michiya. Apa kabar?" "Baik, Jay." "Terima kasih sudah mau menerima panggilanku. Sekali lagi, aku minta maaf untuk
POV MINAKI Kepulangan Dina ke Indonesia membuatku kehilangan adik sekaligus sahabat terbaik. Meski kami masih saling bertukar kabar melalui pesan singkat, namun aku berharap esok hari dia mau ikut calon besanku kembali menuju Jepang untuk menghadiri upacara pernikahanku dengan Jayka. Masih di lokasi yang sama di Kuil Aoshima, rencana pernikahanku dengan Jayka agar digelar. Segala sesuatunya telah diurus oleh manajer Jayka dan dipastikan kuil tidak akan dibuka untuk umum selama pernikahan kami berlangsung. Tidak banyak yang kami undang mengingat banyaknya pro dan kontra yang terjadi di luar sana. Fans Jayka terutama, ada yang mendukung tapi tidak sedikit yang menghujat hubungan kami dengan melontarkan komentar negatif. Tapi Jayka selalu berkata 'jangan diambil pusing'. Agar tidak membuatku merasa tertekan dan tidak nyaman. Bahkan ia sengaja tidak mengatakan kapan upacara pernikahan kami akan digelar agar tidak ada paparazi yang menguntit. Cukup menyewa fotografer profesional dan me
POV MINAKISepeninggal Sagawa dari villa keluargaku di Ebino, aku mengajak Dina kembali ke Miyazaki. Aku menyarankan dia agar tidur di rumah kedua orang tuaku beberapa hari ke depan untuk membuat hatinya tenang.Dan betapa terkejutnya Jayka ketika melihat Dina telah berada di rumahku esok harinya, karena Jayka fikir Dina sedang menemani Sagawa di Ebino. Untuk masalah patah hati itu, aku sengaja menyembunyikannya dari Jayka. Biarlah Dina sendiri yang mengatakan pada kakaknya itu. Khawatir jika ada kata-kataku yang tidak sesuai dengan apa yang Dina rasakan. "Mas, pesanin aku tiket pulang ke Indonesia," ucap Dina pada Jayka.Wajah sendu dan tidak bersemangat menunjukkan betapa sedih suasana hatinya. Padahal tadi aku sudah mengatakan padanya agar tidak menunjukkan betapa hancur hatinya agar Jayka tidak bertanya-tanya. Jayka yang sedang menyuapi Mayka, akhirnya menoleh ke arah adiknya itu. "Kenapa? Tiga minggu lagi aku dan Minaki mau nikah, Din. Ibu Bapak juga bakal kesini. Kok kamu mal
POV MINAKI "Aku dan Sagawa ... kami sudah ... " "Sudah apa, Dina?" tanyaku semakin penasaran hingga tidak terasa aku meremas tangannya sangat erat. "Kami ... pernah seranjang bersama, Minaki San." *** Usai Dina mengakui hubungannya dengan Sagawa sudah sejauh itu, kepalaku teramat pusing sekali. Aku hanya khawatir Dina hamil dan keluarga Sagawa tidak mau mengakuinya. Berulang kali aku melihat jam di dinding dengan hati kesal karena Sagawa belum kembali juga padahal senja sudah tiada. Dan aku sudah menghabiskan dua cangkir kopi hitam sembari menunggunya. "Kamu kemana, Sagawa?!" geramku dengan jemari mengetuk-ngetuk sandaran tangan di kursi roda. Sengaja, aku menyuruh Dina istirahat agar dia tidak terlihat seperti mayat hidup. Aku paham sekali bagaimana terpukul dirinya menyadari jika mimpi indahnya bersama Sagawa telah usai. Dia harus bangun dan menyadari bahwa Sagawa haruslah kembali ke Tokyo seperti kemauan ibunya. Soal mahkotanya yang telah diambil Sagawa, bukankah mere
POV MINAKI Terpaan angin pantai itu membuat pakaian dan rambutku berkibar-kibar namun kedua mataku tidak lepas menatap Mayka dan Jayka yang sedang bermain pasir dan hewan-hewan kecil di pesisir pantai. "Aku meulis harapan, semoga tidak lagi hidup dengan Jayka." "Minaki!" seru Kak Yamada dengan suara tidak terima. Kedua matanya menatapku dengan sorot emosi lalu aku memberikan senyum terbaik. "Aku belum selesai berucap, Kak." "Ingat Mayka jika kamu menolak Jayka. Anakmu itu akan menjadi korban. Dia akan merasa kosong karena kehilangan sosok ayah dalam dirinya!" "Aku menulis harapan semoga tidak lagi hidup dengan Jayka, bila sekali lagi dia menyelingkuhiku." Kak Yamada menghela nafas panjang lalu berbalik menatap Jayka dan Mayka yang masih bersenang-senang disana. "Jayka sudah berjanji padaku bahkan dia sudah mengganti beberapa aset kekayaannya atas namamu. Demi meyakinkanku dan Papa untuk diberi izin kembali meminangmu." "Benarkah?" *** Pagi-pagi sekali aku teringat dengan ag
POV MINAKI "Jay, sudahlah. Temui saja pendetanya. Aku menunggu disini saja." Usai mengatakan itu, tanganku perlahan menurunkan tangan Jayka dari lipatan belakang lutut kakiku yang tadi sudah bersiap mengangkat tubuhku ke dalam gendongannya. Kedua mata tajam Jayka menyorotku dengan tatapan sedikit tidak suka namun aku memilih memalingkan wajah. Masalahnya, keseriusannya masih tidak terbaca oleh kata hatiku hingga rasanya perasaan ini masih saja meragu. "Aku mengajakmu ke Kuil Aoshima untuk mendengarkan dari pendeta sendiri kapan tanggal terbaik untuk kita menikah. Apa pesan yang akan pendeta katakan untuk pernikahan kedua kita nantinya, Minaki. Agar keraguan yang ada di hatimu juga hilang." Aku menggigit bibir dengan perasaan bingung tak karuan karena ucapan Jayka. "Sekarang, ayo kita masuk. Kamu mau 'kan?" Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba saja ada suara bisik-bisik dan derap langkah kaki yang tidak biasa di belakangku. Begitu tatapan Jayka mengarah ke belakangku dengan se
POV MINAKI Terowongan berbentuk hati warna merah yang membentang indah dengan beragam gantungan kayu bertuliskan nama para nama pasangan yang ingin hubungannya diberkahi sepanjang pernikahan ketika akan menuju Kuil Aoshima seakan menambah kesan tak kira di dalam hati. Ketika Jayka mendorong kursi rodaku perlahan-lahan, aku segera memejamkan kedua mata lalu membayangkan wajahnya dan Mayka sembari memohon pada para dewa agar hubungan kami dilanggengkan. Kalaupun kami menemui rintangan dalam rumah tangga, semoga baik aku dan Jayka sama-sama diberi kekuatan untuk melewatinya. Juga, semoga tidak ada perselingkuhan diantara kami. Dan aku kuat menghadapi ujian apapun ke depannya setelah Jayka kembali mengambil sumpahnya menjadikanku satu-satunya istri. "Sudah," bisik Jayka ketika aku merasakan kursi rodaku berhenti didorong. Begitu membuka mata, benar saja jika aku sudah usai melewati terowongan berbentuk hati itu. Lalu Jayka kembali mendorong kursi rodaku menuju Chozuya, sebuah batu b
POV MINAKI Niat Jayka untuk menikahiku lagi mendapat beragam tanggapan dari para fans dan netizen. Ada yang memuji kerendahan hatinya karena mau meminang perempuan tidak sempurna sepertiku. Bahkan ada yang menganggap aku menggunakan ancaman untuk membuat Jayka bertekuk lutut. Hasilnya, aku sendiri yang merasa sakit hati karena membaca beragam komentar dan pemberitaan tentang kami. Dan jalan satu-satunya adalah tidak memegang ponsel sama sekali untuk sementara waktu. Kini, aku sudah bersiap dengan pakaian musim semi dan make up natural yang menghiasi wajah. Begitu juga dengan Mayka, sudah terlihat manis dengan pakaian barunya yang dibelikan Jayka hampir satu koper banyaknya. “Kenapa aku begitu cemas, Kak?” tanyaku pada Kak Yamada. “Wajar.” Rencananya hari ini, kami akan pergi ke Kuil Shinto yang ada di Aoshima. Itu adalah Kuil Shinto kuno di pulau kecil yang rimbun dengan patung Dewa Buddha yang indah. Aku masih belum tahu mengapa Jayka memilih kuil itu sebagai tempat pernikahan