Aku masih bersembunyi di balik aksesoris toko sebelah. Namun sayangnya aku tidak bisa mendengar percakapan Minaki dan perempuan itu karena jarak kami terlalu jauh. Kesal rasanya karena tidak bisa mendengar tema obrolan mereka lebih lanjut. Padahal aku ingin sekali tahu apa yang mereka perdebatkan. Minaki masih berbicara dengan raut keras dan tidak mau kalah. Sedang perempuan itu bersedekap dengan sombongnya sambil meladeni ucapan Minaki dengan gaya khasnya yang sangat kukenal. Yeah, dengan gaya yang sangat kukenal baik. Bagaimana tidak, perempuan yang kini berdebat dengan Minaki adalah perempuanku, milikku. Dia Harumi. Gayanya ketika tidak menyukai sesuatu sudah sangat kuhafal di luar kepala. Dia bisa berubah menjadi sangat manis bila menyukai sesuatu dan berubah sangat antipati bila membenci sesuatu. Sekarang pertanyaannya, mengapa Harumi dan Minaki bisa bertemu? Apa yang mereka debatkan hingga terjadi obrolan selama itu? "Aish.... Sial!" Geramku ketika melihat Nyonya dan
Setelah menenangkan Minaki dari perdebatannya dengan Harumi, aku segera menuju Yokoha Club untuk memenuhi kewajibanku disana. Hingga lewat tengah malam, musik yang kuputar dari hasil kerja sama dengan Rinto kemarin menghasilkan kepuasan yang luar biasa di wajah pengunjung. Beberapa perempuan muda mengajakku foto bersama hingga ada yang nekat mencium pipiku. Aku tertawa geli dikelilingi perempuan-perempuan cantik. Beruntung Harumi tidak datang karena tugas kuliah yang menumpuk. Dari kejauhan aku melihat Matsushima sedang sendirian di kursi baru, lalu aku mendatanginya. "Bir Jay?" "Air mineral saja." "Wow... Apa kamu menuju miskin Jay?" Aku meliriknya tajam. "Manajer melarangku minum alkohol. Atau aku akan mendapat cacian jika melanggarnya." Matsushima terkekeh. "Shima, aku ingin bercerita." "Apa? Katakan." Malam itu aku menjelaskan segalanya, tentang Harumi dan Minaki yang ternyata bermusuhan. Bukannya memberi solusi, Matsushima malah meledekku. "Jika aku jadi kamu Jay, a
"Apa baunya harum Jay?" Aku tengah membantu Minaki membuat kue di dapur apartemen selepas menyantap sarapan setengah siang yang ia belikan. "Ya, harum sekali. Kamu mau membuat kue apa?" Tanyaku sambil memecah telur lalu memisahkan antara kuning dan putihnya. Lucu sekali, biasanya aku akan memegang piringan hitam yang ada di DJ player. Tapi kini aku malah memegang telur dan alat pengocok telur. Sejujurnya ini hal baru yang cukup membuat tawaku tidak berhenti sejak tadi. "Kamu kenapa Jay?" Akhirnya aku tertawa lepas sambil memegangi perut. Sedang Minaki menatapku dengan raut bingung. "Aku khawatir kamu kerasukan Jay." "Maaf maaf. Aku merasa lucu." "Apakah aku lupa belum memberi sesaji di dalam apartemen ini? Sepertinya belum. Ah... Aku akan menelfon paman dulu." Aku malah tertawa makin keras ketika Minaki mengangkat ponselnya. Karena kelucuan yang kualami murni karena merasa lucu dengan diriku sendiri. Bukan karena hal gaib yang Minaki pikirkan. "Paman akan datang membaw
Lambaian tangan Harumi menyadarkanku dari lamunan. Lalu beberapa pasang mata disebelahnya ikut menatapku dengan tatapan tak terduga. Dengan langkah berat aku menghampirinya dengan perasaan penuh tanya. 'Siapa mereka?' Batinku. Setahuku Harumi tidak mengatakan apa-apa ketika mengabariku untuk datang makan malam merayakan ulang tahunku. Tapi mengapa harus ada dua orang paruh baya dan lelaki lebih muda dari Harumi duduk di meja bundar itu? Mungkin tidak sabar dengan langkahku yang lamban, Harumi menghampiriku dengan senyum cantiknya. Bagaimanapun penampilannya malam ini luar biasa memukau. Sangat pantas dibandingkan denganku. Tapi kecantikannya tidak membuat kerisauanku memudar. "Duduk lah Jay." Harumi menempatkanku di sebelah pria paruh baya yang aku belum tahu siapa namanya. Sebagai tanda hormat aku sedikit membungkuk dengan senyum kaku. Ini diluar prediksi dan sangat mengejutkan. Well! Aku sungguh amat sangat tidak menyangka! Harumi memilih duduk di sampingku. Untung saja, an
Tidak ada bir atau minuman beralkohol di dalam kulkas apartemen. Ragaku yang semula sangat lelah kini berubah terjaga karena aku tidak menemukan selir simpanan kaya rayaku, Minaki. Apartemen mewah ini begitu nyaman namun nyatanya tetap saja sunyi jika hanya dihuni seorang diri. Padahal seharusnya ini akan menjadi malam pertama aku dan Minaki menginap di apartemen ini. Bukannya hidup bersama, Minaki malah tidak tidur disini, membiarkanku berkawan dengan kesunyian dan kesepian yang mencekam. Sungguh, aku lebih menyukai Minaki ada disini menemaniku dari pada seperti ini. Aku beralih mengambil segelas kopi hitam buatan pabrikan Indonesia yang diekspor ke Jepang. Sengaja tidak banyak gula demi menjaga bentuk badanku. Cukup pahit tapi tidak sepahit malam ini. Potongan kue ulang tahunku masih ada dan disimpan baik oleh Minaki. Aku mengambil seiris namun tidak habis. "Nggak enak makan sendirian. Dimana kamu Minaki?" Gumamku sambil menumpukan tangan di pagar balkon. Bukannya pusing mem
Aku menatap Minaki tidak percaya jika ia mengetahui pertemuanku dengan Harumi. Lebih tepatnya saat makan malam tadi bersama kedua orang tuanya. "K...kamu? Tahu?" Minaki mengusap air matanya kasar seraya mengangguk. Itu artinya sekelebat kursi roda yang menghilang di balik tembok tadi adalah benar-benar Minaki. Pantas saja firasatku tidak baik-baik saja setelahnya karena dugaanku tidak meleset. Kini, apa yang bisa kulakukan setelah Minaki melihat apa yang terjadi? "Kamu bersama kekasihmu, makan malam bersama. Membahas apa Jayka?" Tanya Yamada dengan senyum kemenangannya. Aku menatapnya sinis penuh amarah ingin sekali menenggelamkannya ke dalam neraka paling bawah. "Diam kamu Yamada!!" "Untuk apa aku diam? Untuk menyembunyikan jati dirimu? Berapa banyak kebohongan yang kamu rangkai untuk menjebak adikku heh?! Dengan ketampananmu? Kegagahanmu? Pesonamu? Oh ayolah Jayka, jangan membodohi gadis lemah seperti adikku dengan penampilanmu itu." Aku bergegas menghampiri Yamada yang terl
"Pergi dari sini bajingan!" Wow! Untuk pertama kalinya aku melihat kilat amarah di mata Minaki begitu jelas. Nafasnya yang sarat akan emosi bergerak naik turun seakan ingin memasukkanku ke dalam galian kubur. "Jangan dekati aku brengsek! Pergi!" Bentaknya sekali lagi sambil menunjuk pintu kamar. Aku menggeleng tanda tidak mau pergi. "Apa lagi yang mau kamu katakan? Semua sudah kamu jawab! Intinya sama, kamu dan Yamada sama! Sama-sama bajingan! Kalian menghisap ketulusanku demi kepentingan kalian sendiri! Kamu tahu Jay, itu teramat menyakitkan." Aku menatapnya lekat. Jelas sekali bulir air matanya berderai karena emosi dan kesedihan yang dialami terlalu dalam untuk perempuan selemah Minaki. Dia berharta namun limpahan kekayaan itu malah membuatnya terluka karena dikelilingi lelaki haus harta seperti kakaknya sendiri dan ...... aku. "Kakakku, Yamada, dia mengincar hartaku dengan alibi aku tidak bisa mengolah asetku sendiri. Tidak tahukah dia jika aku sedang berjuang berdiri di ka
"Apa aku masih ada jadwal lain?" Manajerku menggeleng sambil mengecek ponselnya. "Besok kamu diundang perform di club Kamikazhi pukul 9 malam. Kamu mau diantar sopir atau aku kembali menjemputmu?" Hari ini ketika aku mengisi acara undangan, aku meminta bantuan manajer untuk menjemputku sekalian. Alasannya, aku tidak sampai hati menggunakan sopir atau mobil Minaki untuk mobilitasku. Juga, Yosuke begitu mudah untuk diperdaya oleh para tuannya. Aku menyadari, dia hanya seorang sopir dan sudah seharusnya menurut dan patuh pada majikan. Sedang aku, masih memiliki malu untuk tidak memakai fasilitas milik Minaki setelah perdebatan kami beberapa hari yang lalu. Yeah, aku meninggalkannya di rumah orang tuanya seperti yang ia minta. Lalu aku tidur di apartemen sendirian. Andai Rinto mau, aku akan mengajaknya tidur disini bersamaku. Harumi? Entahlah aku tidak memiliki keinginan untuk membawanya tidur di apartemen yang seyogyanya ditiduri olehku dan Minaki. Ah sudahlah, lebih baik Harumi t
POV MINAKI Satu Tahun Kemudian … Jayka benar-benar menunjukkan keseriusannya padaku selama satu tahun kami menjalani pernikahan kedua ini. Semua terasa indah dan melenakan karena sesungguuhnya hati ini masih lah miliknya meski sedalam apapun kesalahan yang Jayka perbuat. Sungguh cinta sebodoh ini. Hari-hari penuh cinta selalu Jayka tawarkan padaku. Perlakuannya di ranjang juga tidak kalah hebatnya hingga aku diam-diam selalu menginginkannya. Maklum, usia kami masih tergolong pasangan muda. Meski kakiku memiliki keterbatasan, namun aku tidak menjadikan itu sebagai penghalang untuk memuaskannya juga. Aku ingin kami sama-sama menikmati dan bahagia. Satu bulan kemudian setelah pernikahan kami, Jayka membawaku ke Spanyol untuk melakukan pengobatan. Ditemani Mayka, pengasuh, dan manajer Jayka. Kaki yang terkena polio membuatku tidak bisa berdiri dan itu menyebabkan tulang punggungku tertekan dan terasa nyeri. Akhirnya dokter melakukan beberapa tindakan dan aku diwajibkan menjalani ter
POV MINAKI "Aku tidak hamil, Jay," selaku cepat kemudian menunduk. Menatap kedua tanganku yang ia genggam erat. Kemudian Jayka menghela nafas panjang dan menggunakan tangan kanannya untuk menaikkan daguku. Lalu memberiku satu ciuman di bibir. Meski hanya sekilas namun cukup membuatku panas dingin. "Setelah dari Spanyol, kita akan berusaha memberi Mayka adik. Tidak ada protes." Lalu ia kembali mencium bibirku sedikit lebih lama hingga dering ponselnya meminta perhatian. Dengan kedua tangan, aku mendorong dada Jayka agar menyudahi ciuman ini lalu menerima panggilan itu. Panggilan yang berasal dari manajernya. "Halo? Ada apa?" "Semua sudah beres." Jayka tersenyum lalu jemari kirinya mengusap sudut bibirku. "Terima kasih, manajer." Kemudian Jayka menekan tombol merah pada layar ponselnya lalu menghubungi seseorang kembali. Kali ini siapa yang ia hubungi? "Halo, Michiya. Apa kabar?" "Baik, Jay." "Terima kasih sudah mau menerima panggilanku. Sekali lagi, aku minta maaf untuk
POV MINAKI Kepulangan Dina ke Indonesia membuatku kehilangan adik sekaligus sahabat terbaik. Meski kami masih saling bertukar kabar melalui pesan singkat, namun aku berharap esok hari dia mau ikut calon besanku kembali menuju Jepang untuk menghadiri upacara pernikahanku dengan Jayka. Masih di lokasi yang sama di Kuil Aoshima, rencana pernikahanku dengan Jayka agar digelar. Segala sesuatunya telah diurus oleh manajer Jayka dan dipastikan kuil tidak akan dibuka untuk umum selama pernikahan kami berlangsung. Tidak banyak yang kami undang mengingat banyaknya pro dan kontra yang terjadi di luar sana. Fans Jayka terutama, ada yang mendukung tapi tidak sedikit yang menghujat hubungan kami dengan melontarkan komentar negatif. Tapi Jayka selalu berkata 'jangan diambil pusing'. Agar tidak membuatku merasa tertekan dan tidak nyaman. Bahkan ia sengaja tidak mengatakan kapan upacara pernikahan kami akan digelar agar tidak ada paparazi yang menguntit. Cukup menyewa fotografer profesional dan me
POV MINAKISepeninggal Sagawa dari villa keluargaku di Ebino, aku mengajak Dina kembali ke Miyazaki. Aku menyarankan dia agar tidur di rumah kedua orang tuaku beberapa hari ke depan untuk membuat hatinya tenang.Dan betapa terkejutnya Jayka ketika melihat Dina telah berada di rumahku esok harinya, karena Jayka fikir Dina sedang menemani Sagawa di Ebino. Untuk masalah patah hati itu, aku sengaja menyembunyikannya dari Jayka. Biarlah Dina sendiri yang mengatakan pada kakaknya itu. Khawatir jika ada kata-kataku yang tidak sesuai dengan apa yang Dina rasakan. "Mas, pesanin aku tiket pulang ke Indonesia," ucap Dina pada Jayka.Wajah sendu dan tidak bersemangat menunjukkan betapa sedih suasana hatinya. Padahal tadi aku sudah mengatakan padanya agar tidak menunjukkan betapa hancur hatinya agar Jayka tidak bertanya-tanya. Jayka yang sedang menyuapi Mayka, akhirnya menoleh ke arah adiknya itu. "Kenapa? Tiga minggu lagi aku dan Minaki mau nikah, Din. Ibu Bapak juga bakal kesini. Kok kamu mal
POV MINAKI "Aku dan Sagawa ... kami sudah ... " "Sudah apa, Dina?" tanyaku semakin penasaran hingga tidak terasa aku meremas tangannya sangat erat. "Kami ... pernah seranjang bersama, Minaki San." *** Usai Dina mengakui hubungannya dengan Sagawa sudah sejauh itu, kepalaku teramat pusing sekali. Aku hanya khawatir Dina hamil dan keluarga Sagawa tidak mau mengakuinya. Berulang kali aku melihat jam di dinding dengan hati kesal karena Sagawa belum kembali juga padahal senja sudah tiada. Dan aku sudah menghabiskan dua cangkir kopi hitam sembari menunggunya. "Kamu kemana, Sagawa?!" geramku dengan jemari mengetuk-ngetuk sandaran tangan di kursi roda. Sengaja, aku menyuruh Dina istirahat agar dia tidak terlihat seperti mayat hidup. Aku paham sekali bagaimana terpukul dirinya menyadari jika mimpi indahnya bersama Sagawa telah usai. Dia harus bangun dan menyadari bahwa Sagawa haruslah kembali ke Tokyo seperti kemauan ibunya. Soal mahkotanya yang telah diambil Sagawa, bukankah mere
POV MINAKI Terpaan angin pantai itu membuat pakaian dan rambutku berkibar-kibar namun kedua mataku tidak lepas menatap Mayka dan Jayka yang sedang bermain pasir dan hewan-hewan kecil di pesisir pantai. "Aku meulis harapan, semoga tidak lagi hidup dengan Jayka." "Minaki!" seru Kak Yamada dengan suara tidak terima. Kedua matanya menatapku dengan sorot emosi lalu aku memberikan senyum terbaik. "Aku belum selesai berucap, Kak." "Ingat Mayka jika kamu menolak Jayka. Anakmu itu akan menjadi korban. Dia akan merasa kosong karena kehilangan sosok ayah dalam dirinya!" "Aku menulis harapan semoga tidak lagi hidup dengan Jayka, bila sekali lagi dia menyelingkuhiku." Kak Yamada menghela nafas panjang lalu berbalik menatap Jayka dan Mayka yang masih bersenang-senang disana. "Jayka sudah berjanji padaku bahkan dia sudah mengganti beberapa aset kekayaannya atas namamu. Demi meyakinkanku dan Papa untuk diberi izin kembali meminangmu." "Benarkah?" *** Pagi-pagi sekali aku teringat dengan ag
POV MINAKI "Jay, sudahlah. Temui saja pendetanya. Aku menunggu disini saja." Usai mengatakan itu, tanganku perlahan menurunkan tangan Jayka dari lipatan belakang lutut kakiku yang tadi sudah bersiap mengangkat tubuhku ke dalam gendongannya. Kedua mata tajam Jayka menyorotku dengan tatapan sedikit tidak suka namun aku memilih memalingkan wajah. Masalahnya, keseriusannya masih tidak terbaca oleh kata hatiku hingga rasanya perasaan ini masih saja meragu. "Aku mengajakmu ke Kuil Aoshima untuk mendengarkan dari pendeta sendiri kapan tanggal terbaik untuk kita menikah. Apa pesan yang akan pendeta katakan untuk pernikahan kedua kita nantinya, Minaki. Agar keraguan yang ada di hatimu juga hilang." Aku menggigit bibir dengan perasaan bingung tak karuan karena ucapan Jayka. "Sekarang, ayo kita masuk. Kamu mau 'kan?" Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba saja ada suara bisik-bisik dan derap langkah kaki yang tidak biasa di belakangku. Begitu tatapan Jayka mengarah ke belakangku dengan se
POV MINAKI Terowongan berbentuk hati warna merah yang membentang indah dengan beragam gantungan kayu bertuliskan nama para nama pasangan yang ingin hubungannya diberkahi sepanjang pernikahan ketika akan menuju Kuil Aoshima seakan menambah kesan tak kira di dalam hati. Ketika Jayka mendorong kursi rodaku perlahan-lahan, aku segera memejamkan kedua mata lalu membayangkan wajahnya dan Mayka sembari memohon pada para dewa agar hubungan kami dilanggengkan. Kalaupun kami menemui rintangan dalam rumah tangga, semoga baik aku dan Jayka sama-sama diberi kekuatan untuk melewatinya. Juga, semoga tidak ada perselingkuhan diantara kami. Dan aku kuat menghadapi ujian apapun ke depannya setelah Jayka kembali mengambil sumpahnya menjadikanku satu-satunya istri. "Sudah," bisik Jayka ketika aku merasakan kursi rodaku berhenti didorong. Begitu membuka mata, benar saja jika aku sudah usai melewati terowongan berbentuk hati itu. Lalu Jayka kembali mendorong kursi rodaku menuju Chozuya, sebuah batu b
POV MINAKI Niat Jayka untuk menikahiku lagi mendapat beragam tanggapan dari para fans dan netizen. Ada yang memuji kerendahan hatinya karena mau meminang perempuan tidak sempurna sepertiku. Bahkan ada yang menganggap aku menggunakan ancaman untuk membuat Jayka bertekuk lutut. Hasilnya, aku sendiri yang merasa sakit hati karena membaca beragam komentar dan pemberitaan tentang kami. Dan jalan satu-satunya adalah tidak memegang ponsel sama sekali untuk sementara waktu. Kini, aku sudah bersiap dengan pakaian musim semi dan make up natural yang menghiasi wajah. Begitu juga dengan Mayka, sudah terlihat manis dengan pakaian barunya yang dibelikan Jayka hampir satu koper banyaknya. “Kenapa aku begitu cemas, Kak?” tanyaku pada Kak Yamada. “Wajar.” Rencananya hari ini, kami akan pergi ke Kuil Shinto yang ada di Aoshima. Itu adalah Kuil Shinto kuno di pulau kecil yang rimbun dengan patung Dewa Buddha yang indah. Aku masih belum tahu mengapa Jayka memilih kuil itu sebagai tempat pernikahan