Karel merapikan penampilannya sejenak, sebelum melangkah masuk ke gedung tempat berlangsungnya acara."Pelayan! Sini!" panggil seorang lelaki muda, melambai pada Karel.Merasa dirinya bukan pelayan, Karel mengabaikan panggilan itu. Matanya jelalatan mencari keberadaan Dave dan Joe."Heh, Pelayan! Kamu budek ya? Dari tadi dipanggil, bukannya datang, malah bersikap tak acuh. Kamu mau dipecat?"Karel masih sibuk mencari sosok Dave dan Joe di antara wajah-wajah asing dalam ruangan itu.Bugh!Tiba-tiba sebuah bogem mentah menghantam perutnya, setelah tubuhnya lebih dulu diputar ke belakang.Karel meringis. Mencoba mengontrol rasa sakit di perutnya, lalu menatap nyalang pada lelaki yang menyerangnya."Apa Anda tidak tahu tempat apa ini? Aku tidak mengenal Anda, kenapa Anda menyerangku secara membabi buta?""Sampah! Kamu mengabaikan panggilanku, tapi masih merasa tak bersalah, hah?! Cuma jadi pelayan rendahan saja sombong!"Karel tersenyum miring. "Anda salah paham. Aku bukan pelayan. Aku ju
"Aku tidak tertarik untuk mengenali orang yang tidak penting," sahut Karel, acuh tak acuh.Terus terang, dia belum pernah melihat lelaki itu di rumah Tuan De Groot.Karel berpaling kepada penjaga keamanan. "Apa sekarang aku boleh menempati tempat dudukku?" tanya Karel, masih bersikap sopan pada sang petugas keamanan.Petugas keamanan tersebut menoleh pada lelaki yang mengaku sebagai asisten pribadi Tuan De Groot.Karel dapat melihat bias kebimbangan berpijar dalam bola mata lelaki itu. Di satu sisi, berseberangan dengan orang-orang Tuan De Groot dapat mendatangkan bencana. Di sisi lain, mengabaikan pemegang undangan khusus tersebut juga bukan hal yang baik."Baiklah! Aku akan mengambil keputusan sendiri. Permisi!" tukas Karel, tak ingin menunggu respons dari sang petugas keamanan lebih lama.Namun, baru saja Karel melangkah, tubuhnya limbung. Rupanya, asisten pribadi Tuan De Groot telah menjegal langkahnya.Tak sengaja tangan Karel menarik taplak meja saat dia mencoba untuk berpegang
"T–tidak usah, Tuan. Hanya kotor sedikit. Masih bisa dicuci," tolak si lelaki pemberang.Keberingasannya menghilang begitu melihat betapa lembut perlakuan Dave pada Karel.Seluruh dunia tahu siapa Dave Carter. Dia adalah salah satu tangan kanan penguasa militer yang dilantik hari ini.Sebelah alis Karel terangkat menyaksikan perubahan sikap si pemberang itu berbalik arah hingga seratus delapan puluh derajat."Katakan saja, Tuan! Aku tidak ingin menyimpan rasa bersalah pada Anda," desak Karel.Kalaupun lelaki itu bersikeras menolak, setidaknya ia telah menunjukkan kesungguhannya."Aaah, tidak perlu, Tuan. Sungguh!""Paman, kenapa Paman menolak? Sudah sewajarnya pelayan yang ceroboh itu mengganti kerugian Paman," protes asisten Tuan De Groot. "Di—""J–jangan dengarkan dia, Tuan!" Lelaki pemberang itu membekap mulut keponakannya seraya tersenyum canggung pada Karel."Anda yakin, tidak mau menerima uang ganti rugi dariku?" tanya Karel, memastikan keputusan si pemberang."I–iya, Tuan."Asi
"Jay, Dave!"Hannie mendatangi dua orang yang sedang asyik berbincang di bawah panggung. Pakaian dinas wanita itu telah berganti dengan baju semi formal."Ada apa?" tanya Jay. "Mukamu sangat tidak bersahabat."Hannie mengenyakkan pantat di atas kursi. Bergabung dengan kedua pria lajang itu. "Kalian pembohong! Kalian bilang murid kesayangan ayahku akan datang. Mana?""Ada kok. Dia duduk di barisan paling depan tadi," terang Dave."Sekarang mana? Sudah pulang? Kupastikan kalian akan mendapat hukuman berat jika membiarkan hal itu terjadi!""Siap, Jendral! Itu tidak akan terjadi!""Jay!" Hannie mendelik.Sudah berulang kali ia memperingatkan Jay untuk tidak memanggilnya seperti itu bila tidak sedang menjalankan urusan kedinasan."Maaf, lupa!""Perlu suntikan khusus?" celetuk Dave."Dalam acara seperti ini masih sempat memikirkan suntikan? Ck! Penggila kerja!" semprot Karel dari belakang Dave.Hannie spontan tegak begitu mengenali Karel. Terlebih saat matanya memindai penampilan Karel. Teba
Drrt! Drrt!Gawai di saku celana Karel bergetar. Ia mendorong kursi ke belakang, lalu bangkit "Tunggu sebentar! Jangan ke mana-mana! Kalian berdua berutang penjelasan padaku!"Karel melesat pergi, menghindari suara berisik dari obrolan beberapa kelompok tamu yang tersisa dengan menyingkir ke dekat jendela."Halo, Instruktur Lennon!" Bagaimana kabar Anda?" sapa Karel, melonggarkan kerah baju agar sejuknya semilir angin dapat mengeringkan peluh yang membasahi lehernya.Karel sedikit dihinggapi rasa bersalah. Semenjak tiba di Penna, dia belum sempat menghubungi guru seni bela dirinya itu."Kehidupan orang tua ini semakin membosankan," keluh Instruktur Lennon dari seberang telepon. "Satu per satu kalian menghilang dari hidupku. Yang lebih menyedihkan lagi, kalian seakan telah melupakanku. Aku kesepian."Karel meringis. Ia merasa tertohok dengan sindiran Instruktur Lennon."Bukan seperti itu, Instruktur—""Ya, ya. Kalian sibuk. Benar, kan?" potong Instruktur Lennon. "Aku mengerti. Aku jug
"Dia bisa jaga diri, Hannie. Jangan terlalu berlebihan!" tegur Jay."Oh ya? Jaga diri dengan diam saja saat ditindas dan dipermalukan di depan umum?"Karel menyeringai kecut menerima tatapan tajam dari Dave dan Jay."Kalau kau tahu dia orang yang selama ini diceritakan ayahmu, apa yang akan kau lakukan saat itu? Menghajar mereka semua?" Jay tersenyum menggoda sembari menaikturunkan alisnya pada Hannie.Seketika wajah Hannie merona merah. Ia baru sadar akan keteledorannya, yang secara gamblang memperlihatkan emosi."Kau beruntung sekali, Little Bro!" Dave menepuk pundak Karel. "Hannie hanya mengenalmu dari cerita ayahnya, tapi lihat ... dia tidak terima kau diperlakukan dengan buruk. Ck! Kau memang aneh. Jelas-jelas hidup mapan, tapi lebih memilih jadi anak jalanan yang selalu dihujat dan dipandang sebelah mata. Apa kau tidak lelah?""Itu jalan ninjaku untuk mencapai tujuan. Jangan cemaskan aku!"Karel merasa tidak nyaman terlalu lama duduk dalam satu meja dengan Hannie. Kedudukannya d
Bugh!Secepat kilat Karel menghantam perut lelaki itu dengan kepalan tinju."Aakh!"Lelaki itu meraung dan terbungkuk, kemudian jatuh berlutut di atas lantai.Ulu hatinya nyeri, bagai dihantam bola besi.Uhuk! Uhuk!Lelaki itu memuntahkan seteguk darah."K–kamu ... penipu!" umpat lelaki itu terbata-bata.Tangan kanannya yang teracung tinggi kembali terempas ke lantai untuk menopang tubuh rapuhnya."Kita impas! Kalau aku mau, aku bisa saja mengirimmu ke neraka, tapi aku masih memberimu kesempatan untuk memperbaiki diri. Belajarlah untuk menghargai orang lain dan tidak menilai buku dari sampulnya!" balas Karel, lalu meninggalkan lelaki itu.Dari kaca spion, Karel dapat melihat mulut lelaki itu menganga lebar dengan mata membeliak.Lelaki yang tinggi hati itu pasti syok melihat dirinya masuk ke mobil mewah, bukan naik ke motor butut di sebelahnya.Tin Tiiin!Klakson panjang yang dibunyikan Karel memaksa lelaki itu membanting tubuhnya ke kanan. Jika tidak, ia akan jadi perkedel, dilindas
"Mereka hanya pencuri kecil yang memanfaatkan nama besar Anda, Tuan."Gubraaak!"Kurang ajar!" Tuan De Groot menggebrak meja dengan mata memerah. "Clark, pastikan mereka membusuk di penjara! Gara-gara sifat tamak mereka, Deon hampir saja meninggalkan Xela."Tidak mudah menemukan pengawal pribadi setangguh Karel. Bahkan, kemampuan kepala keamanan di rumahnya pun tak mampu menandingi Karel.Tuan De Groot tidak akan melepaskan para penjahat kelas teri yang berniat mencuri hadiah spesialnya untuk Tuan Jaffan."Kerjakan semua tugasmu dengan cepat, Clark! Aku benci kinerjamu yang lamban," imbuh Tuan De Groot. "Sekadar mencari informasi tentang pencuri kecil itu pun kau membutuhkan waktu berhari-hari.""Maaf, Tuan. Itu karena saya juga menyelidiki hal lain."Tuan De Groot meneleng sinis. "Kau juga bekerja untuk orang lain? Berani sekali kau mengkhianatiku!""B–bukan, Tuan! Saya setia pada Anda, Tuan." Clark menunduk. Ia sadar, telah salah memilih kata."Bohong!""S–sungguh, Tuan. Apa yang sa
"Bukankah kamu merasa puas setelah berhasil melampiaskan dendammu?" balas Xela, dengan suara yang juga bergetar.Bohong bila ia mengatakan membenci Karel dan tak lagi mencintainya.Karel melepaskan dekapannya, lalu memutar badan Xela."Tatap mataku!" pinta Karel. "Apa kau menemukan kepuasan di sana?"Xela memberanikan diri menantang netra kelam Karel. Yang ia temukan adalah secarik luka dan penyesalan yang mendalam.Entah kenapa Xela merasakan hatinya tersentuh dan tak tega melihat semburat derita yang bersemayam dalam manik mata Karel.Haruskah ia memberi kesempatan kedua kepada Karel?Allah saja Maha Pemaaf. Tidak sepatutnya ia menolak permintaan maaf yang tulus dari Karel.Karel tidak berselingkuh. Lagi pula, lelaki itu memperlakukannya dengan kasar karena ada alasan yang kuat. Andai dia yang berada di posisi Karel, mungkin dia akan melakukan hal yang lebih kejam dari itu.Dia mungkin tidak akan bersedia menyelamatkan mantan mertua yang telah menyiksanya.Berpikir bahwa masih ada ha
"Anda baru saja kembali, Nona. Sekarang, mau pergi lagi. Tidak bisakah tinggal lebih lama?" rayu Bibi Lizzy, berdiri di depan pintu seraya menggenggam erat jemari Xela. Enggan untuk melepaskannya.Xela tersenyum tipis. "Bibi, hanya untuk beberapa hari. Aku akan kembali."Sungguh Xela juga enggan untuk beranjak dari desa nan bebas polusi itu, tapi apa daya, ia tidak ingin mengambil risiko jika nanti yang mencarinya ternyata benar-benar Karel.Ia belum siap untuk bertemu dengan lelaki yang masih mengisi relung hatinya itu. Bukan karena benci, bukan. Dia malu pada diri sendiri.Rasa bencinya pada lelaki itu atas perlakuan kasar yang diterimanya menguap setelah mengetahui kejahatan ayahnya.Rasa sakit yang ia derita sungguh belum seujung kukunya penderitaan Karel.Jiwanya bergetar setiap kali membayangkan Karel disiksa, lalu dibuang ke tengah belantara dalam kondisi sekarat.Belum lagi kejahatan lain yang ditujukan ayahnya untuk Karel dan keluarganya. Bahkan, Karel harus kehilangan saudar
"Bersiaplah untuk menyambut kematian keduamu, Dokter! Ah, tidak, Karel! Panggilan 'Dokter' terlalu mewah untukmu. Cuih!" Lewis meludah jijik."Huh! Coba saja!" tantang Karel seraya mengayunkan rantai di tangan kirinya, melibas anak buah Lewis yang mulai menyerang.Enggan terlalu lama bermain tarik rantai dengan Lewis, Karel membetot kuat. Seketika suara gerincing memekakkan telinga.Di tangan Karel, dua rantai tersebut berubah menjadi senjata sakti yang meliuk di udara bak dua ekor kobra sedang menari.Jerit kesakitan melengking tinggi setiap kali rantai itu berhasil menghantam dan melilit tubuh lawan, lalu membantingnya dengan kuat.Sungguh Karel tak ingin berlama-lama menghabiskan waktu di ruang bawah tanah itu. Ia ingin menyudahi pertarungan tersebut secepatnya.Karel mengamuk seperti orang gila. Tak memberi kesempatan kepada lawan untuk menyentuh tubuhnya.Tas! Tas!Bunyi tebasan yang berpadu dengan gerincing rantai menjadi musik horror bagi Lewis dan anak buahnya. Satu per satu m
"Heh, bangun!"Setengah sadar, Karel merasakan tamparan keras di pipinya, diikuti kalimat makian."Dasar lemah!"Karel berjuang membuka kelopak matanya yang terasa berat. Samar netranya menangkap cahaya temaram."Di mana ini?" lirih Karel dengan suara lemah."Bagus! Akhirnya kau sadar. Aku tidak suka bermain-main saat kau pingsan. Tidak asyik!"Kepingan ingatan Karel telah sepenuhnya menyatu, melukis gambaran peristiwa yang ia alami sebelum tak sadarkan diri.Darahnya seketika mendidih, teringat kecurangan yang dilakukan komplotan Lewis dalam pertarungan.Cuih!Karel meludahi wajah Lewis yang tersenyum mengejek."Pengecut! Kau menjijikkan!""Hahaha ... ya, ya ... terserah apa katamu." Lewis mencengkeram dagu Karel. "Bagiku, kau bodoh! Sama seperti keledai."Keledai terkenal sebagai simbol kebodohan lantaran masuk ke lubang yang sama sampai dua kali.Manusia yang cerdas akan belajar dari kesalahan dan pengalaman pahitnya. Sementara si bijak akan memetik hikmah dari pengalaman orang lai
"Saya telah menemukan jejak istri Anda, Bos.""Katakan!"Netra kelam Karel berbinar penuh harapan. Tak sia-sia ia meminta bantuan Red."Istri Anda terbang ke Belanda. Di—""Terima kasih. Aku akan segera mentransfer bayaranmu," potong Karel, tak butuh penjelasan lebih panjang.Pikirannya hanya tertuju untuk menyusul Xela.Sebuah tas sandang cukup untuk memuat beberapa potong pakaian yang akan dibawanya.Agar lebih cepat tiba di Bandara, Karel memacu motornya.Ckiit!Decit rem membelah sunyi.Sebuah mobil SUV berwarna silver menggunting laju motor Karel, tepat di daerah sawangan."Mau kabur dariku? Dalam mimpi!" hardik suara yang sangat akrab di telinga Karel.Merasa keselamatannya terancam, Karel segera turun dari motor seraya menyingkirkan helm yang melindungi kepalanya."Aku tidak ada urusan denganmu! Kenapa kau selalu menggangguku?" balas Karel dengan nada dingin."Kau, lelaki berengsek yang membuat hidup Xela-ku menderita. Kali ini aku tidak akan mengalah lagi!"Plok! Plok!Karel be
"Di mana istriku?" tanya Karel setelah mempersilakan Herds untuk duduk."Saya tidak tahu," sahut Herds, mulai mengeluarkan sesuatu dari tas kerjanya."Kau ke sini atas perintahnya, 'kan? Tentu berkomunikasi dengannya. Apa masuk akal kau tidak mengetehui keberadaannya?""Saya mengatakan yang sebenarnya, Dokter," timpal Herds, terlihat tak terpengaruh dengan kemarahan Karel. "Nona De Groot memang menemui saya untuk menyerahkan berkas gugatan cerai untuk Anda. Sayangnya, saya tidak berpikir bahwa di saat yang sama, dia juga meninggalkan rumah Anda." Herds menyodorkan berkas perceraian tersebut kepada Karel. "Tolong tanda tangani, Dokter!"Karel memeriksa kelengkapan berkas yang disodorkan oleh Herds. Matanya membelalak melihat fotokopi buku nikah yang terlampir. Seketika ia membanting berkas tersebut ke atas meja, kemudian berlari ke kamar.Karel memeriksa laci nakas dan mengobrak-abrik isinya."Berkas itu ... Ya Tuhan!"Karel mengusap mukanya dengan kasar kala tak lagi menemukan kumpula
"Anda jangan main-main, Nyonya! Xela pergi dengan membawa koper. Ke mana lagi dia pergi bila tidak kembali ke sini?" sergah Karel, mengira Nyonya Beth sengaja merahasiakan keberadaan Xela dari dirinya."Sungguh, Dokter J. Saya tidak bohong," sanggah Nyonya Beth. "Semenjak datang terakhir kali menemui Tuan De Groot, Nona Muda tidak pernah ke sini lagi."Karel menyelami manik mata Nyonya Beth dengan tatapan lekat. Tak ada kebohongan yang ia temukan. Sebaliknya, riak kecemasan terpatri jelas di sana."Lalu, ke mana perginya Xela?" gumam Karel, seakan berbicara pada diri sendiri.Nyonya Beth juga terdiam. Sesaat kemudian ia berkata dengan nada bimbang, "Apa mungkin ... Nona Muda ... pergi membesuk Tuan De Groot?""Huh? Bukankah baru seminggu yang lalu ayah mertuaku keluar dari rumah sakit? Kenapa dia bisa kambuh?""B–bukan itu, Dokter. Kesehatan Tuan De Groot baik-baik saja. Tuan ... Tuan ... ah, saya juga tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi," kata Nyonya Beth, terbata-bata.Karel
"Aaargh!" Karel mendengkus kesal. "Xela tidak ada di rumah Clara. Ke mana dia? Apa mungkin pulang ke rumah ayahnya?"Tak ingin kehilangan jejak Xela, Karel pun memacu motornya menuju kediaman Tuan De Groot.Namun, baru saja turun dari motor, sebuah tendangan membuatnya terjatuh. Motor pun ikut roboh."Berengsek! Masih berani kau menginjakkan kaki di rumah ini!" umpat Lewis.Matanya yang penuh kebencian menyala-nyala terbakar amarah.Karel bangkit seraya menepis debu dan kotoran yang melekat di tubuhnya. Abai akan motor yang masih tergolek."Ini rumah mertuaku. Kapan pun aku bisa datang ke sini.""Banyak bacot!" geram Lewis, kembali menyerang Karel.Karel yang masih kacau memikirkan Xela bereaksi lambat. Tak khayal serangan itu mendarat di dadanya. Seketika ia terjengkang. Untung kerimbunan tanaman hias menahan punggungnya."Jangan pernah bertingkah sok suci di hadapanku!" hardik Lewis. "Aku tahu siapa kau. Di balik nama besarmu, kau hanyalah seekor rubah licik!"Karel menyeringai. "Ba
"Pergi kau dari sini dan jangan pernah kembali lagi!" Karel menyeret kasar lengan Xela, turun dari teras rumah kayu milik ayahnya."Akh!" Xela menjerit kesakitan.Karel mengempaskannya hingga tersungkur ke tanah."Simpan air mata buayamu itu! Aku tidak akan tertipu," sentak Karel dengan nada dingin. "Percuma kau mengarang cerita pada temanmu. Aku tidak akan percaya!"Xela tergugu."Apa salahku padamu?" tanya Xela. Suaranya terdengar parau."Banyak! Dan aku membencimu hingga ke sum-sum tulangku. Enyah!"Tes! Tes!"Aish! Hujan lagi!" gerutu Karel, melindungi kepalanya dari terpaan hujan dengan telapak tangan sambil berlari menuju rumah ayahnya.Ternyata segala luapan emosinya terhadap Xela hanyalah angan dalam lamunan."Sayang sekali kau terlambat, Nak!" kata Tuan Jaffan begitu Karel melangkah masuk setelah melepas kemejanya yang basah dan memerasnya."Dia baru saja pergi," imbuh Tuan Jaffan."Dia? Siapa?" tanya Karel, terbayang siluet sosok wanita yang mirip dengan Xela melangkah kelua