"Ada apa ini? Apa kalian tidak sadar sedang berada di mana, hah?!""M–maaf, Tuan. S–saya hanya sedang mencoba menghalangi seorang penyusup."'Cih! Penyusup! Aku datang secara terang-terangan dibilang penyusup,' omel Karel dalam hati.Mengenali suara pria yang baru saja menghardik mereka, Karel berbalik. Ia sedikit membungkuk dengan memegang hampers berisi buah di depan badannya."Apa kabar, Tuan? Maaf, jika kedatanganku membuat Anda tidak nyaman. Aku tidak bermaksud untuk mengganggu," ujar Karel, bersikap ramah. "Aku tak sengaja mendengar Nona Xela dirawat dan akan segera pulang. Jadi, aku menyempatkan diri untuk menyapa."Walau telah memecat Karel dari pekerjaannya, Tuan De Groot tidak bisa membenci mantan sopir dan pengawal pribadi putrinya itu."Menyingkirlah! Deon ingin menemui Xela."Pengawal yang berjaga di pintu ruangan Xela segera menepi. Mereka merasa tidak asing dengan nama yang disebutkan oleh Tuan De Groot.Semenjak direkrut oleh Lewis, mereka sering kali mendengar rekan k
"Tumben mengajakku bertemu! Mulai merasa bosan dengan hidupmu yang monoton?"Bersandar pada bagian depan mobil sport-nya yang seakan menyongsong ombak, Karel tersenyum tipis. Melempas pandang pada deburan ombak yang menggila. Akhir-akhir ini perputaran dan kecepatan cukup tinggi."Bukan itu," sahut Karel, tak menoleh pada sosok Jay yang mengamati wajahnya dengan lekat."Aku belum pernah melihatmu seperti ini. Karel yang aku kenal adalah sosok yang tegas dan cepat mengambil keputusan. Apa yang menyebabkan dirimu tampak, maaf, agak tertekan dan penuh keraguan. Ya ... bisa dikatakan ... terlihat tidak terlalu percaya diri."Jay menunjuk titik kecil yang mengambang pada permukaan air laut. "Lihat ke sana! Kau tak ubahnya seperti potongan sampah plastik itu sekarang, terombang-ambing diempas gelombang kebimbangan.""Matamu masih saja jeli, seperti dulu. Aku lelah." Karel menunduk, menyembunyikan senyuman getir."Aku sudah pernah bilang, bukan? Melakukan sesuatu yang bertentangan dengan jiw
Beberapa kali Karel melakukan CPR, tetapi anak itu belum juga memuntahkan cairan asin yang bersarang pada paru-parunya.Orang tua bocah malang itu semakin panik. Ibunya tak henti menangis, bersandar lemah pada pundak sang suami."Kau hanya akan membunuhnya, Bung! Menjauhlah! Bi—"Nada pongah lelaki yang ditaksir berusia akhir kepala dua itu terhenti ketika jemari kokoh milik Jay mencengkeram pundaknya."Biarkan temanku menyelesaikan tugasnya!" kata Jay.Lelaki itu tertawa mengejek. "Apa? Kau tidak lihat sedari tadi temanmu mencoba memberikam CPR, tapi belum berhasil juga, kan?"Ini bukan saatnya bermain-main dengan nyawa orang, Bung! Tarik temanmu menjauh dan biarkan aku menyelesaikan bagianku!"Apa maksudnya itu? Mana ada pembagian tugas dalam kondisi darurat yang terjadi di luar dugaan begini.Yang ada, siapa cepat dan mampu, itulah yang bergerak memberikan pertolongan pertama. Terlambat sedikit saja akibatnya bisa fatal.Jay mengeritkan gigi. Buang-buang waktu meladeni orang seteng
"Gila! Apa kau baca berita? Kau jadi idola para gadis sejagat maya, Bro!""Masih siang melindur!" ledek Karel. "Kalau lelah, istirahat! Aku tidak pernah memintamu untuk sering lembur."Karel menutup macbook-nya. Duduk bersila di bawah gazebo taman belakang. Bekerja di ruang terbuka lebih nyaman dan segar."Aku serius, Bro!" Kevin ikut duduk lesehan di sebelah Karel. "Lihat! Kau jadi trending topic."Kevin menggulir layar ponselnya. Beberapa detik kemudian, ia bersorai kaget, "Eh, kok tidak ada?""Mana? Bercandamu tidak lucu!" ledek Karel, kembali membuka macbook yang telah ditutupnya.Kevin garuk-garuk kepala. Bingung sendiri. "Tadi ada. Heran! Kok tiba-tiba menghilang ya? Jangan-jangan ...."Kevin menggantung kalimatnya, menatap curiga pada Karel. "Ini ... ulahmu, kan? Hayyyooo ... ngaku!"Karel mengedikkan bahu. "Kau berharap aku jadi idola ya? Mimpi!"Karel meninggalkan Kevin, bersiul kecil sambil memasukkan kedua tangannya ke saku celana. Hal itu membuat Kevin semakin curiga dan ya
Sesaat bola mata Karel bolak-balik menatap Brianna dan Almira silih berganti. Janji pada Aiden harus ditepati, tetapi binar penuh harap yang memancar dari tatapan ibu dan anak itu menumbuhkan perasaan tidak tega dalam diri Karel."Mau ya, Om? Pleaaaase ...." Almira menangkupkan kedua tangan di depan dada, dengan tatapan sayu yang meluluhkan jiwa."Baiklah," putus Karel, mengelus rambut Almira.Setelah menyelesaikan kegiatan berbelanja, ketiganya bertolak menuju sebuah kafe bertema outdoor.Mendekati musim panas, kafe-kafe mulai bersolek. Bersiap diri memanjakan pengunjung dengan kehangatan cahaya matahari langsung.Karel hanya memesan secangkir cappucino dan sepotong roti untuk menemani obrolan santainya dengan Brianna dan Almira."Sampai saat ini, terus terang, aku masih bingung dengan perubahan identitas Anda, Nyonya."Meskipun Sir Collin telah menceritakan garis besar drama kehidupan Brianna, tetap saja Karel tak bisa mengikis habis rasa penasarannya.Brianna melirik Almira, tersen
Karel membolak-balik buku agenda di tangannya sebelum menyimpan benda bersampul hitam itu ke dalam laci dashboard.Sesaat ia menggeleng, lalu menyalakan mesin. Ia harus secepatnya menemui Aiden.Drrrt! Drrrt!Ponsel di saku celana Karel bergetar."Jam berapa sekarang?" tanya Aiden tanpa basa-basi begitu Karel menyalakan bluetooth yang terhubung ke ponselnya."Sorry! Terjadi sesuatu di luar kendaliku. Aku segera ke sana.""Oke. Aku tunggu. Jangan lupa pesananku! Aku tidak mau mati kelaparan," gerutu Aiden. "Itu akan sangat memalukan!""Ck! Sejak kapan kau jadi bawel, huh?"Tuts!Lagi-lagi Aiden memutus sambungan telepon secara sepihak."Ya Tuhan! Lama-lama makin berani si Aiden!" sungut Karel, mulai menginjak pedal gas.Mentari telah bergulir ke Barat ketika Karel memarkirkan kuda besinya di pelataran parkir Sanum Agro."Mana makananku?" tanya Aiden, menadahkan tangan.Lelaki itu sengaja menunggu kedatangan Karel di kantor. Posisi ruang kerja Aiden, yang berada di lantai tiga, menghadap
Tok! Tok!Karel membatalkan niatnya untuk menarik lepas buku adenda usang yang terselip di balik jaketnya."Sebentar!" seru Karel.Tamu yang menggedor pintu terdengar tidak sabar."Aiden?!" Mata Karel membesar ketika mengenali sosok yang berdiri di depan pintu."Aku hampir jamuran menunggumu!" sungut Aiden, merangsek masuk ke ruang tamu tanpa menunggu disilakan."Ops, sorry! Kesehatan ayahku sedang buruk. Aku jadi lupa untuk cepat-cepat ke tempatmu.""Benarkah? Beberapa hari yang lalu ayahmu tak pernah di rumah. Di mana ayahmu sekarang?" Aiden urung mengenyakkan bokong di atas kursi."Ada. Di kamar.""Boleh aku masuk?""Ck! Seperti orang lain saja."Karel menuntun Aiden menuju kamar ayahnya. Setelah mengetuk pintu tiga kali, Karel mendorong daun pintu.Karel memberi kode dengan lemparan dagu agar Aiden langsung masuk ke kamar ayahnya."Selamat malam, Paman!" sapa Aiden, menghampiri Tuan Jaffan yang berusaha bangkit. "Aku baru saja mendengar kabar bahwa Paman sakit. Bagaimana kondisi P
Karel berjalan mondar-mandir di belakang jendela. Sesekali melempar pandang pada kegelapan malam yang menyelimuti sekitar.Dari pembaringan, terdengar dengkuran halus ayahnya yang sudah terlelap.'Telepon, tidak ya?'Berulang kali pertanyaan itu melintas di benak Karel.Setelah menghabiskan waktu hampir lima belas menit terombang-ambing dalam kebimbangan, Karel akhirnya memutuskan untuk menghubungi Brianna."Halo, selamat malam!" sapa Brianna, terdengar ramah dan penuh aura positif."Apa telepon dariku mengganggu Anda, Nyonya?" tanya Karel, sedikit berbasa-basi.Maklum, istri pejabat. Rasanya kurang sopan bila ia langsung pada inti pembicaraan."Oh, tidak. Tidak sama sekali," tukas Brianna. "Ada yang bisa saya bantu, Dokter? Sungguh suatu kejadian langka, Anda secara pribadi berinisiatif menghubungi saya.""Um, bukan jenis bantuan langsung, Nyonya.""Bukan?""Aku ... ingin menanyakan sesuatu.""Silakan!""Begini, Nyonya ... andai ada seseorang yang berniat menjebloskan ibu tiri Anda k
"Bukankah kamu merasa puas setelah berhasil melampiaskan dendammu?" balas Xela, dengan suara yang juga bergetar.Bohong bila ia mengatakan membenci Karel dan tak lagi mencintainya.Karel melepaskan dekapannya, lalu memutar badan Xela."Tatap mataku!" pinta Karel. "Apa kau menemukan kepuasan di sana?"Xela memberanikan diri menantang netra kelam Karel. Yang ia temukan adalah secarik luka dan penyesalan yang mendalam.Entah kenapa Xela merasakan hatinya tersentuh dan tak tega melihat semburat derita yang bersemayam dalam manik mata Karel.Haruskah ia memberi kesempatan kedua kepada Karel?Allah saja Maha Pemaaf. Tidak sepatutnya ia menolak permintaan maaf yang tulus dari Karel.Karel tidak berselingkuh. Lagi pula, lelaki itu memperlakukannya dengan kasar karena ada alasan yang kuat. Andai dia yang berada di posisi Karel, mungkin dia akan melakukan hal yang lebih kejam dari itu.Dia mungkin tidak akan bersedia menyelamatkan mantan mertua yang telah menyiksanya.Berpikir bahwa masih ada ha
"Anda baru saja kembali, Nona. Sekarang, mau pergi lagi. Tidak bisakah tinggal lebih lama?" rayu Bibi Lizzy, berdiri di depan pintu seraya menggenggam erat jemari Xela. Enggan untuk melepaskannya.Xela tersenyum tipis. "Bibi, hanya untuk beberapa hari. Aku akan kembali."Sungguh Xela juga enggan untuk beranjak dari desa nan bebas polusi itu, tapi apa daya, ia tidak ingin mengambil risiko jika nanti yang mencarinya ternyata benar-benar Karel.Ia belum siap untuk bertemu dengan lelaki yang masih mengisi relung hatinya itu. Bukan karena benci, bukan. Dia malu pada diri sendiri.Rasa bencinya pada lelaki itu atas perlakuan kasar yang diterimanya menguap setelah mengetahui kejahatan ayahnya.Rasa sakit yang ia derita sungguh belum seujung kukunya penderitaan Karel.Jiwanya bergetar setiap kali membayangkan Karel disiksa, lalu dibuang ke tengah belantara dalam kondisi sekarat.Belum lagi kejahatan lain yang ditujukan ayahnya untuk Karel dan keluarganya. Bahkan, Karel harus kehilangan saudar
"Bersiaplah untuk menyambut kematian keduamu, Dokter! Ah, tidak, Karel! Panggilan 'Dokter' terlalu mewah untukmu. Cuih!" Lewis meludah jijik."Huh! Coba saja!" tantang Karel seraya mengayunkan rantai di tangan kirinya, melibas anak buah Lewis yang mulai menyerang.Enggan terlalu lama bermain tarik rantai dengan Lewis, Karel membetot kuat. Seketika suara gerincing memekakkan telinga.Di tangan Karel, dua rantai tersebut berubah menjadi senjata sakti yang meliuk di udara bak dua ekor kobra sedang menari.Jerit kesakitan melengking tinggi setiap kali rantai itu berhasil menghantam dan melilit tubuh lawan, lalu membantingnya dengan kuat.Sungguh Karel tak ingin berlama-lama menghabiskan waktu di ruang bawah tanah itu. Ia ingin menyudahi pertarungan tersebut secepatnya.Karel mengamuk seperti orang gila. Tak memberi kesempatan kepada lawan untuk menyentuh tubuhnya.Tas! Tas!Bunyi tebasan yang berpadu dengan gerincing rantai menjadi musik horror bagi Lewis dan anak buahnya. Satu per satu m
"Heh, bangun!"Setengah sadar, Karel merasakan tamparan keras di pipinya, diikuti kalimat makian."Dasar lemah!"Karel berjuang membuka kelopak matanya yang terasa berat. Samar netranya menangkap cahaya temaram."Di mana ini?" lirih Karel dengan suara lemah."Bagus! Akhirnya kau sadar. Aku tidak suka bermain-main saat kau pingsan. Tidak asyik!"Kepingan ingatan Karel telah sepenuhnya menyatu, melukis gambaran peristiwa yang ia alami sebelum tak sadarkan diri.Darahnya seketika mendidih, teringat kecurangan yang dilakukan komplotan Lewis dalam pertarungan.Cuih!Karel meludahi wajah Lewis yang tersenyum mengejek."Pengecut! Kau menjijikkan!""Hahaha ... ya, ya ... terserah apa katamu." Lewis mencengkeram dagu Karel. "Bagiku, kau bodoh! Sama seperti keledai."Keledai terkenal sebagai simbol kebodohan lantaran masuk ke lubang yang sama sampai dua kali.Manusia yang cerdas akan belajar dari kesalahan dan pengalaman pahitnya. Sementara si bijak akan memetik hikmah dari pengalaman orang lai
"Saya telah menemukan jejak istri Anda, Bos.""Katakan!"Netra kelam Karel berbinar penuh harapan. Tak sia-sia ia meminta bantuan Red."Istri Anda terbang ke Belanda. Di—""Terima kasih. Aku akan segera mentransfer bayaranmu," potong Karel, tak butuh penjelasan lebih panjang.Pikirannya hanya tertuju untuk menyusul Xela.Sebuah tas sandang cukup untuk memuat beberapa potong pakaian yang akan dibawanya.Agar lebih cepat tiba di Bandara, Karel memacu motornya.Ckiit!Decit rem membelah sunyi.Sebuah mobil SUV berwarna silver menggunting laju motor Karel, tepat di daerah sawangan."Mau kabur dariku? Dalam mimpi!" hardik suara yang sangat akrab di telinga Karel.Merasa keselamatannya terancam, Karel segera turun dari motor seraya menyingkirkan helm yang melindungi kepalanya."Aku tidak ada urusan denganmu! Kenapa kau selalu menggangguku?" balas Karel dengan nada dingin."Kau, lelaki berengsek yang membuat hidup Xela-ku menderita. Kali ini aku tidak akan mengalah lagi!"Plok! Plok!Karel be
"Di mana istriku?" tanya Karel setelah mempersilakan Herds untuk duduk."Saya tidak tahu," sahut Herds, mulai mengeluarkan sesuatu dari tas kerjanya."Kau ke sini atas perintahnya, 'kan? Tentu berkomunikasi dengannya. Apa masuk akal kau tidak mengetehui keberadaannya?""Saya mengatakan yang sebenarnya, Dokter," timpal Herds, terlihat tak terpengaruh dengan kemarahan Karel. "Nona De Groot memang menemui saya untuk menyerahkan berkas gugatan cerai untuk Anda. Sayangnya, saya tidak berpikir bahwa di saat yang sama, dia juga meninggalkan rumah Anda." Herds menyodorkan berkas perceraian tersebut kepada Karel. "Tolong tanda tangani, Dokter!"Karel memeriksa kelengkapan berkas yang disodorkan oleh Herds. Matanya membelalak melihat fotokopi buku nikah yang terlampir. Seketika ia membanting berkas tersebut ke atas meja, kemudian berlari ke kamar.Karel memeriksa laci nakas dan mengobrak-abrik isinya."Berkas itu ... Ya Tuhan!"Karel mengusap mukanya dengan kasar kala tak lagi menemukan kumpula
"Anda jangan main-main, Nyonya! Xela pergi dengan membawa koper. Ke mana lagi dia pergi bila tidak kembali ke sini?" sergah Karel, mengira Nyonya Beth sengaja merahasiakan keberadaan Xela dari dirinya."Sungguh, Dokter J. Saya tidak bohong," sanggah Nyonya Beth. "Semenjak datang terakhir kali menemui Tuan De Groot, Nona Muda tidak pernah ke sini lagi."Karel menyelami manik mata Nyonya Beth dengan tatapan lekat. Tak ada kebohongan yang ia temukan. Sebaliknya, riak kecemasan terpatri jelas di sana."Lalu, ke mana perginya Xela?" gumam Karel, seakan berbicara pada diri sendiri.Nyonya Beth juga terdiam. Sesaat kemudian ia berkata dengan nada bimbang, "Apa mungkin ... Nona Muda ... pergi membesuk Tuan De Groot?""Huh? Bukankah baru seminggu yang lalu ayah mertuaku keluar dari rumah sakit? Kenapa dia bisa kambuh?""B–bukan itu, Dokter. Kesehatan Tuan De Groot baik-baik saja. Tuan ... Tuan ... ah, saya juga tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi," kata Nyonya Beth, terbata-bata.Karel
"Aaargh!" Karel mendengkus kesal. "Xela tidak ada di rumah Clara. Ke mana dia? Apa mungkin pulang ke rumah ayahnya?"Tak ingin kehilangan jejak Xela, Karel pun memacu motornya menuju kediaman Tuan De Groot.Namun, baru saja turun dari motor, sebuah tendangan membuatnya terjatuh. Motor pun ikut roboh."Berengsek! Masih berani kau menginjakkan kaki di rumah ini!" umpat Lewis.Matanya yang penuh kebencian menyala-nyala terbakar amarah.Karel bangkit seraya menepis debu dan kotoran yang melekat di tubuhnya. Abai akan motor yang masih tergolek."Ini rumah mertuaku. Kapan pun aku bisa datang ke sini.""Banyak bacot!" geram Lewis, kembali menyerang Karel.Karel yang masih kacau memikirkan Xela bereaksi lambat. Tak khayal serangan itu mendarat di dadanya. Seketika ia terjengkang. Untung kerimbunan tanaman hias menahan punggungnya."Jangan pernah bertingkah sok suci di hadapanku!" hardik Lewis. "Aku tahu siapa kau. Di balik nama besarmu, kau hanyalah seekor rubah licik!"Karel menyeringai. "Ba
"Pergi kau dari sini dan jangan pernah kembali lagi!" Karel menyeret kasar lengan Xela, turun dari teras rumah kayu milik ayahnya."Akh!" Xela menjerit kesakitan.Karel mengempaskannya hingga tersungkur ke tanah."Simpan air mata buayamu itu! Aku tidak akan tertipu," sentak Karel dengan nada dingin. "Percuma kau mengarang cerita pada temanmu. Aku tidak akan percaya!"Xela tergugu."Apa salahku padamu?" tanya Xela. Suaranya terdengar parau."Banyak! Dan aku membencimu hingga ke sum-sum tulangku. Enyah!"Tes! Tes!"Aish! Hujan lagi!" gerutu Karel, melindungi kepalanya dari terpaan hujan dengan telapak tangan sambil berlari menuju rumah ayahnya.Ternyata segala luapan emosinya terhadap Xela hanyalah angan dalam lamunan."Sayang sekali kau terlambat, Nak!" kata Tuan Jaffan begitu Karel melangkah masuk setelah melepas kemejanya yang basah dan memerasnya."Dia baru saja pergi," imbuh Tuan Jaffan."Dia? Siapa?" tanya Karel, terbayang siluet sosok wanita yang mirip dengan Xela melangkah kelua