Karel menyambut hantaman Lewis dengan tendangan bertenaga. Walau ia hanya mengerahkan sebagian kecil dari kekuatannya, akibatnya cukup fatal.Lewis terbang sejauh lebih dari sepuluh meter. Punggungnya menghantam batang pohon palem, sebelum akhirnya jatuh tertelungkup di atas bebatuan hias."Aaakh!"Lewis merintih kesakitan. Tulang rusuknya berderak patah.Baru saat itulah ia sadar kenapa Tuan De Groot memercayakan pengawalan putri semata wayangnya kepada Karel.Lelaki bertampang menyeramkan itu tidak hanya menakutkan dari segi penampilan, tetapi juga mengerikan dalam hal kekuatan.Tubuh Lewis berkeringat dingin. Ia terlalu bangga dengan kemampuannya, hanya karena ia menjadi pemimpin dari sebuah perguruan seni bela diri.Hari ini matanya terbuka lebar. Kekuatannya tidak ada seujung kuku dari keahlian Karel.Dia dan anak buahnya terkapar, sementara Karel tak sedikitpun menderita lecet.Jangankan mengalahkan Karel, berhasil menyentuh ujung rambutnya pun tidak.Karel mendekati Lewis dengan
"Maaf, Tuan De Groot! Tidak ada data tentang pemuda bernama Deon itu.""Tidak mungkin!" sanggah Tuan De Groot, tak percaya. "Detektif Harold, apa hukum di kota ini selonggar itu hingga membiarkan penduduk ilegal menikmati hidup dengan bebas?"Dia bahkan memiliki kendaraan bermotor dan bisa melintasi perbatasan daerah. Menurutmu, dari mana dia memperoleh SIM? Tuhan kirim dari langit?!""M–maaf, Tuan De Groot! A–akan kuselidiki lagi! Mohon bersabar!"Lantaran kesal, Tuan De Groot memutus sambungan telepon secara sepihak."Dasar payah! Menyelidiki satu orang saja tidak bisa!"Tuan De Groot termenung. Berpikir dengan serius. Bukankah aneh bila data diri Deon tidak ada dalam catatan pemerintah?Jika dia memang penjahat seperti yang disangka Lewis, tentu nama Deon menjadi urutan teratas dalam DPO.Dilihat dari kemampuan bertarungnya, tidak mungkin keahlian sehebat itu hanya digunakan untuk melakukan tindak kejahatan kelas teri."Jangan-jangan ...."Tuan De Groot tak meneruskan tebakannya. I
"Aku mengerti. Aku mengerti. Aku sangat mengenalmu. Kamu tidak mungkin tega meninggalkanku.""Ayah, Ayah tahu kan betapa aku sangat mencintai Ayah?" Karel menyeka bulir bening di sudut mata ayahnya."Ya. Kita hanya berdua dan selamanya akan saling memiliki." Tuan Jaffan tersenyum. "Kamu pasti telah melewati hari yang berat selama belasan tahun ini. Ayo berbagi cerita sambil minum teh!"Karel dan ayahnya bercengkerama hingga larut malam. Berbagi tangis dan tawa di ujung setiap kisah. Entah jam berapa mereka masuk ke kamar masing-masing.Karel terbangun saat telinganya menangkap suara ribut-ribut di luar rumah.Ia beranjak keluar dari kamar tanpa membasuh muka. Mengintip kejadian di luar rumah dari balik tirai jendela, yang telah robek di beberapa sudut.Tampak empat orang lelaki bertampang sangar berdebat dengan ayahnya."Dia!" Karel menggeram tatkala mengenali salah satu dari mereka.Karel berbalik ke kamar. Berdandan.Di halaman rumah papan itu, Tuan Jaffan mendongkol. Saking jengkeln
"Takut? Kalian terlalu besar kepala! Aku jadi penasaran sekuat apa capitan kalian." Karel menoleh pada dua orang yang masih mencekal Tuan Jaffan. "Jika memang capitan kalian begitu hebat, lepaskan Tuan Jaffan! Dia bukan lawan yang seimbang untuk kalian."Terpancing emosi karena kata-kata Karel, dua lelaki itu mendorong Tuan Jaffan. Lelaki renta itu terempas ke tanah andai Karel tak melesat menopang punggungnya."Menepilah, Tuan Jaffan! Akan kupastikan mereka tidak berani lagi mengganggu Anda di masa depan."Tuan Jaffan mengangguk. Merasa beruntung karena Penguasa langit mengirim seseorang untuk membantunya."Berhati-hatilah, Nak! Mereka bukan orang baik.""Jangan banyak bacot, Tua Bangka! Akhiri kata sambutan perpisahan di antara kalian!" Si tanpa alis memberi kode kepada Capit Baja untuk segera bertindak."Hiyaaa!"Keduanya serentak menyerang Karel. Mengincar lututnya dengan tendangan mereka yang membentuk formasi gunting.Baru kali ini Karel bertemu lawan yang memiliki tubuh sangat
Karel memandang Jabrik dengan tatapan dingin. "Bukankah kau telah berjanji untuk tidak akan pernah lagi membuat masalah? Apa kau ingin merasakan putaran gasing yang lebih kuat?"Jabrik tersungkur. Suaranya tak begitu jelas ketika dia berkata, "T–tidak, Tuan! Tolong, jangan hukum saya karena bersikap teledor. Saya ... saya ke sini karena terpaksa."Butiran tanah menempel di bibir Jabrik saat ia mengiba. Sebagian bahkan masuk ke mulutnya, tapi ia tak peduli. Asal Karel bersedia mengampuninya, ia tak keberatan memakan butiran tanah itu.Tidak jauh dari Jabrik, si tanpa alis mendadak merasa kecut. Dia terlibat langsung dalam upaya penyelamatan Lewis dan anak buahnya.Kondisi mereka saat itu sangat memprihatinkan.Dia bisa memaklumi jika anak buah Lewis kalah, tapi Lewis? Lelaki yang menjadi pemimpin sebuah perkumpulan seni bela diri itu bukanlah lawan yang lemah.Dia saja belum tentu mampu mengalahkan Lewis jika diadu.Orang yang mampu melumpuhkan Lewis pastilah seseorang dengan kemampuan
Tuan Jaffan masih memegang selang air di tangannya. Mendengar suara Deon yang meniru Karel, hatinya tak rela.Ia memandikan Karel dengan semprotan bertenaga tinggi sambil mengomel, "Kamu pikir, hanya karena kamu telah membantuku mengusir orang-orang jahat itu, kamu bisa seenaknya meniru suara putraku? Jangan mimpi! Aku tidak akan membiarkan itu terjadi!"Karel melindungi wajahnya dengan tangan."Ayah, ini aku, Karel! seru Karel sambil menanggalkan bekas luka buatan yang menempel pada pipi dan pelipisnya."Bohong! Anakku tampan! Jangan berani-beraninya kamu menghina anakku!"Karel membiarkan air dari selang di tangan Tuan Jaffan menyapu bersih polesan make-up. Dia bahkan mengusap wajahnya, membantu membersihkan lebih cepat."Ayah, lihat! Lihat! Ini benaran aku! Karel. Anak Ayah!"Karel menunjukkan wajah kepada Tuan Jaffan meskipun seraya memejamkan mata untuk menghindari terjangan arus air dari selang.Selang di tangan Tuan Jaffan terlepas. Dia tercengang. Maju perlahan, meraba wajah K
"Orang suruhanku gagal menjalankan misi.""Tunggu, tunggu! Apa maksudmu mereka gagal menjalankan misi?""Mereka dirampok sebelum sampai ke tempat tujuan.""Apa?! Jadi, siapa orang-orang yang kuhadapi kemarin malam?"Karel mengingat-ingat komplotan begajul yang mengadang Tuan De Groot.Perlakuan mereka pada Tuan De Groot dan Xela terlihat tidak main-main. Apa mereka yang menyabotase peran orang bayaran Kevin?"Kau benar-benar melawan sekawanan perampok?" Kevin balik bertanya."Iya. Mereka mengikat Tuan De Groot dan sopirnya. Mereka bahkan berniat melecehkan Xela. Untung saja aku tiba tepat waktu.""Astaga! Jangan-jangan mereka juga yang merampok orang suruhanku.""Hah?! Bagaimana kejadiannya?""Aku juga belum tahu persis bagaimana kronologinya. Mereka terlihat masih syok dan belum bisa dimintai keterangan.""Apa cedera mereka parah?""Tidak juga. Hanya luka lebam, tapi mental mereka sedikit terguncang."Karel menghela napas panjang. Ia tak menyangka bahwa rencananya untuk memberikan ke
Bentakan nyaring Tuan Wills mengundang perhatian para petani yang melintas, hendak membersihkan lahan pertanian mereka setelah panen.Mereka berhenti, tapi tidak ada yang berani mendekat. Mereka hanya tegak di luar pagar. Melayangkan pandangan iba pada Tuan Jaffan.Sesekali mata mereka melirik waspada pada dua pengawal pribadi Tuan Wills.Jika terjadi sesuatu yang buruk, mereka akan segera minggat sebelum dua lelaki beringas itu bertindak atas perintah Tuan Wills.Tuan Wills masih menadahkan tangan pada Tuan Jaffan."Cepaaat! Kau telah membuang waktu berhargaku!""Berapa utang ayahku?" Karel tak sanggup lagi berdiam diri, menyaksikan Tuan Wills menindas ayahnya sesuka hati."Oh, kau anak si tua bangka ini? Kenapa tidak bilang dari tadi?" Tuan Wills mengonfirmasi dengan nada mengejek dan tatapan menghina. Mengamati penampilan Karel dari ujung rambut hingga ke kaki."Sepertinya nasibmu tidak lebih baik dari ayahmu. Apa kau punya uang? Kalau hanya hendak menipuku dengan mengulur waktu, j
"Bukankah kamu merasa puas setelah berhasil melampiaskan dendammu?" balas Xela, dengan suara yang juga bergetar.Bohong bila ia mengatakan membenci Karel dan tak lagi mencintainya.Karel melepaskan dekapannya, lalu memutar badan Xela."Tatap mataku!" pinta Karel. "Apa kau menemukan kepuasan di sana?"Xela memberanikan diri menantang netra kelam Karel. Yang ia temukan adalah secarik luka dan penyesalan yang mendalam.Entah kenapa Xela merasakan hatinya tersentuh dan tak tega melihat semburat derita yang bersemayam dalam manik mata Karel.Haruskah ia memberi kesempatan kedua kepada Karel?Allah saja Maha Pemaaf. Tidak sepatutnya ia menolak permintaan maaf yang tulus dari Karel.Karel tidak berselingkuh. Lagi pula, lelaki itu memperlakukannya dengan kasar karena ada alasan yang kuat. Andai dia yang berada di posisi Karel, mungkin dia akan melakukan hal yang lebih kejam dari itu.Dia mungkin tidak akan bersedia menyelamatkan mantan mertua yang telah menyiksanya.Berpikir bahwa masih ada ha
"Anda baru saja kembali, Nona. Sekarang, mau pergi lagi. Tidak bisakah tinggal lebih lama?" rayu Bibi Lizzy, berdiri di depan pintu seraya menggenggam erat jemari Xela. Enggan untuk melepaskannya.Xela tersenyum tipis. "Bibi, hanya untuk beberapa hari. Aku akan kembali."Sungguh Xela juga enggan untuk beranjak dari desa nan bebas polusi itu, tapi apa daya, ia tidak ingin mengambil risiko jika nanti yang mencarinya ternyata benar-benar Karel.Ia belum siap untuk bertemu dengan lelaki yang masih mengisi relung hatinya itu. Bukan karena benci, bukan. Dia malu pada diri sendiri.Rasa bencinya pada lelaki itu atas perlakuan kasar yang diterimanya menguap setelah mengetahui kejahatan ayahnya.Rasa sakit yang ia derita sungguh belum seujung kukunya penderitaan Karel.Jiwanya bergetar setiap kali membayangkan Karel disiksa, lalu dibuang ke tengah belantara dalam kondisi sekarat.Belum lagi kejahatan lain yang ditujukan ayahnya untuk Karel dan keluarganya. Bahkan, Karel harus kehilangan saudar
"Bersiaplah untuk menyambut kematian keduamu, Dokter! Ah, tidak, Karel! Panggilan 'Dokter' terlalu mewah untukmu. Cuih!" Lewis meludah jijik."Huh! Coba saja!" tantang Karel seraya mengayunkan rantai di tangan kirinya, melibas anak buah Lewis yang mulai menyerang.Enggan terlalu lama bermain tarik rantai dengan Lewis, Karel membetot kuat. Seketika suara gerincing memekakkan telinga.Di tangan Karel, dua rantai tersebut berubah menjadi senjata sakti yang meliuk di udara bak dua ekor kobra sedang menari.Jerit kesakitan melengking tinggi setiap kali rantai itu berhasil menghantam dan melilit tubuh lawan, lalu membantingnya dengan kuat.Sungguh Karel tak ingin berlama-lama menghabiskan waktu di ruang bawah tanah itu. Ia ingin menyudahi pertarungan tersebut secepatnya.Karel mengamuk seperti orang gila. Tak memberi kesempatan kepada lawan untuk menyentuh tubuhnya.Tas! Tas!Bunyi tebasan yang berpadu dengan gerincing rantai menjadi musik horror bagi Lewis dan anak buahnya. Satu per satu m
"Heh, bangun!"Setengah sadar, Karel merasakan tamparan keras di pipinya, diikuti kalimat makian."Dasar lemah!"Karel berjuang membuka kelopak matanya yang terasa berat. Samar netranya menangkap cahaya temaram."Di mana ini?" lirih Karel dengan suara lemah."Bagus! Akhirnya kau sadar. Aku tidak suka bermain-main saat kau pingsan. Tidak asyik!"Kepingan ingatan Karel telah sepenuhnya menyatu, melukis gambaran peristiwa yang ia alami sebelum tak sadarkan diri.Darahnya seketika mendidih, teringat kecurangan yang dilakukan komplotan Lewis dalam pertarungan.Cuih!Karel meludahi wajah Lewis yang tersenyum mengejek."Pengecut! Kau menjijikkan!""Hahaha ... ya, ya ... terserah apa katamu." Lewis mencengkeram dagu Karel. "Bagiku, kau bodoh! Sama seperti keledai."Keledai terkenal sebagai simbol kebodohan lantaran masuk ke lubang yang sama sampai dua kali.Manusia yang cerdas akan belajar dari kesalahan dan pengalaman pahitnya. Sementara si bijak akan memetik hikmah dari pengalaman orang lai
"Saya telah menemukan jejak istri Anda, Bos.""Katakan!"Netra kelam Karel berbinar penuh harapan. Tak sia-sia ia meminta bantuan Red."Istri Anda terbang ke Belanda. Di—""Terima kasih. Aku akan segera mentransfer bayaranmu," potong Karel, tak butuh penjelasan lebih panjang.Pikirannya hanya tertuju untuk menyusul Xela.Sebuah tas sandang cukup untuk memuat beberapa potong pakaian yang akan dibawanya.Agar lebih cepat tiba di Bandara, Karel memacu motornya.Ckiit!Decit rem membelah sunyi.Sebuah mobil SUV berwarna silver menggunting laju motor Karel, tepat di daerah sawangan."Mau kabur dariku? Dalam mimpi!" hardik suara yang sangat akrab di telinga Karel.Merasa keselamatannya terancam, Karel segera turun dari motor seraya menyingkirkan helm yang melindungi kepalanya."Aku tidak ada urusan denganmu! Kenapa kau selalu menggangguku?" balas Karel dengan nada dingin."Kau, lelaki berengsek yang membuat hidup Xela-ku menderita. Kali ini aku tidak akan mengalah lagi!"Plok! Plok!Karel be
"Di mana istriku?" tanya Karel setelah mempersilakan Herds untuk duduk."Saya tidak tahu," sahut Herds, mulai mengeluarkan sesuatu dari tas kerjanya."Kau ke sini atas perintahnya, 'kan? Tentu berkomunikasi dengannya. Apa masuk akal kau tidak mengetehui keberadaannya?""Saya mengatakan yang sebenarnya, Dokter," timpal Herds, terlihat tak terpengaruh dengan kemarahan Karel. "Nona De Groot memang menemui saya untuk menyerahkan berkas gugatan cerai untuk Anda. Sayangnya, saya tidak berpikir bahwa di saat yang sama, dia juga meninggalkan rumah Anda." Herds menyodorkan berkas perceraian tersebut kepada Karel. "Tolong tanda tangani, Dokter!"Karel memeriksa kelengkapan berkas yang disodorkan oleh Herds. Matanya membelalak melihat fotokopi buku nikah yang terlampir. Seketika ia membanting berkas tersebut ke atas meja, kemudian berlari ke kamar.Karel memeriksa laci nakas dan mengobrak-abrik isinya."Berkas itu ... Ya Tuhan!"Karel mengusap mukanya dengan kasar kala tak lagi menemukan kumpula
"Anda jangan main-main, Nyonya! Xela pergi dengan membawa koper. Ke mana lagi dia pergi bila tidak kembali ke sini?" sergah Karel, mengira Nyonya Beth sengaja merahasiakan keberadaan Xela dari dirinya."Sungguh, Dokter J. Saya tidak bohong," sanggah Nyonya Beth. "Semenjak datang terakhir kali menemui Tuan De Groot, Nona Muda tidak pernah ke sini lagi."Karel menyelami manik mata Nyonya Beth dengan tatapan lekat. Tak ada kebohongan yang ia temukan. Sebaliknya, riak kecemasan terpatri jelas di sana."Lalu, ke mana perginya Xela?" gumam Karel, seakan berbicara pada diri sendiri.Nyonya Beth juga terdiam. Sesaat kemudian ia berkata dengan nada bimbang, "Apa mungkin ... Nona Muda ... pergi membesuk Tuan De Groot?""Huh? Bukankah baru seminggu yang lalu ayah mertuaku keluar dari rumah sakit? Kenapa dia bisa kambuh?""B–bukan itu, Dokter. Kesehatan Tuan De Groot baik-baik saja. Tuan ... Tuan ... ah, saya juga tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi," kata Nyonya Beth, terbata-bata.Karel
"Aaargh!" Karel mendengkus kesal. "Xela tidak ada di rumah Clara. Ke mana dia? Apa mungkin pulang ke rumah ayahnya?"Tak ingin kehilangan jejak Xela, Karel pun memacu motornya menuju kediaman Tuan De Groot.Namun, baru saja turun dari motor, sebuah tendangan membuatnya terjatuh. Motor pun ikut roboh."Berengsek! Masih berani kau menginjakkan kaki di rumah ini!" umpat Lewis.Matanya yang penuh kebencian menyala-nyala terbakar amarah.Karel bangkit seraya menepis debu dan kotoran yang melekat di tubuhnya. Abai akan motor yang masih tergolek."Ini rumah mertuaku. Kapan pun aku bisa datang ke sini.""Banyak bacot!" geram Lewis, kembali menyerang Karel.Karel yang masih kacau memikirkan Xela bereaksi lambat. Tak khayal serangan itu mendarat di dadanya. Seketika ia terjengkang. Untung kerimbunan tanaman hias menahan punggungnya."Jangan pernah bertingkah sok suci di hadapanku!" hardik Lewis. "Aku tahu siapa kau. Di balik nama besarmu, kau hanyalah seekor rubah licik!"Karel menyeringai. "Ba
"Pergi kau dari sini dan jangan pernah kembali lagi!" Karel menyeret kasar lengan Xela, turun dari teras rumah kayu milik ayahnya."Akh!" Xela menjerit kesakitan.Karel mengempaskannya hingga tersungkur ke tanah."Simpan air mata buayamu itu! Aku tidak akan tertipu," sentak Karel dengan nada dingin. "Percuma kau mengarang cerita pada temanmu. Aku tidak akan percaya!"Xela tergugu."Apa salahku padamu?" tanya Xela. Suaranya terdengar parau."Banyak! Dan aku membencimu hingga ke sum-sum tulangku. Enyah!"Tes! Tes!"Aish! Hujan lagi!" gerutu Karel, melindungi kepalanya dari terpaan hujan dengan telapak tangan sambil berlari menuju rumah ayahnya.Ternyata segala luapan emosinya terhadap Xela hanyalah angan dalam lamunan."Sayang sekali kau terlambat, Nak!" kata Tuan Jaffan begitu Karel melangkah masuk setelah melepas kemejanya yang basah dan memerasnya."Dia baru saja pergi," imbuh Tuan Jaffan."Dia? Siapa?" tanya Karel, terbayang siluet sosok wanita yang mirip dengan Xela melangkah kelua