"Ya ampun, Nona! Apa yang terjadi dengan kamar ini?" seru Nyonya Beth, kaget dengan kondisi kamar Xela yang seperti kapal pecah.Perlengkapan kosmetik berserakan di lantai. Begitu pula bantal, guling dan selimut.Xela duduk berpangku lutut di atas kasur. Tirai jendela tak satu pun tersibak.Nyonya Beth melangkah dari pintu sambil memunguti satu per satu barang-barang milik Xela yang berhamburan, seperti dihantam badai."Nona kenapa sampai begini?" lirih Nyonya Beth, menaruh tumpukan bantal, guling, dan selimut di ujung ranjang.Naluri keibuannya terenyuh menyaksikan kondisi Xela. Wajah bak barbie gadis itu kusut, dengan kantung mata yang tebal dan hitam.Nyonya Beth menyibak helaian surai halus yang menutupi wajah Xela ke belakang."Saya tahu Anda merasa sedih, Nona, tapi bukan berarti Anda boleh menyakiti diri sendiri.""Apa aku salah, Aunty? Apa sikapku sangat keterlaluan?" racau Xela dengan tatapan kosong. "Kenapa dia pergi tanpa kabar?"Sudah dua minggu lebih Karel tak menampakkan
"Kurang ajar! Siapa yang berani memandikanku, hah?!"Tangan Yuu terangkat dan terentang, disertai dengan mulut yang menganga. Tubuhnya basah kuyup.Master Seribu Wajah tegak bergeming. Lelaki berjenggot itu hanya memejamkan mata. Ia membiarkan titik air yang tersisa di wajahnya jatuh menetes. Menyatu dengan pakaian yang menempel di kulitnya.Akibat dari jurus yang dipraktikkan Karel sungguh dahsyat. Aliran air terjun di depannya pecah dan menebar ke segala arah."Keyakinanmu baru saja dipatahkan, Yuu!" sindir Master Seribu Wajah sambil memeras jenggotnya yang basah."Master!" Karel berseru kaget, melompat turun dari batu saat menyadari sang guru dan Yuu mengawasinya diam-diam. "Maaf, saya tidak tahu Master dan Paman Yuu berdiri di sini.""Tidak apa-apa. Kalau kau menyadari kehadiran kami di sini, mungkin kau tidak akan menyuguhkan tontonan yang sangat menarik," ujar Master Seribu Wajah. Tak ada kemarahan dalam nada suaranya, walaupun dia telah menjadi korban serangan Karel.Karel garu
"Guru, perjalananku hampir mencapai garis finish. Aku telah menemukan anak itu. Oh, bukan, bukan! Bukan aku yang menemukannya, tapi dia yang datang sendiri padaku," adu Master Seribu Wajah pada potret seorang lelaki tua yang terpajang di dinding. "Akan kuwariskan ilmu titipanmu kepadanya. Kuharap, sekarang, Guru bisa beristirahat dengan tenang dan damai.""Kakak! Kakak! Tolooong! Bahaya! Bahaya!"Jeritan Yuu menarik paksa gerak langkah Master Seribu Wajah menuju pintu depan."Ada apa, Yuu? Kenapa kau berteriak dengan panik begitu?""Karel, Kak! Beruang cokelat—""Tenang! Tarik napas dalam-dalam!"Yuu mengikuti instruksi Master Seribu Wajah dengan patuh."Nah, sekarang, beritahu aku apa yang terjadi!""Cepat keluar, Kak!"Alih-alih menjelaskan kepada Master Seribu Wajah mengenai pemicu rasa paniknya, Yuu justru menarik lengan kakak seperguruannya itu menuju halaman."Hah! Apa yang dia lakukan?" Yuu tercengang.Di halaman rumah panggung itu, Karel sedang bercengkerama dengan si beruang
Hop!Master Seribu Wajah mendarat, tepat di hadapan sang penyusup. Mengadang langkah si lelaki bertopi koboi."Apa yang kau lakukan di wilayahku?" tanya sang Master dengan nada dingin. Sorot matanya berkilat garang di bawah pendar rembulan yang mengintip malu-malu dari balik mega."A–ampun, Tuan. S–saya tidak berniat jahat," jawab sang penyusup, merasa gentar beradu tatap dengan pria berjenggot di depannya."Tidak berniat jahat, tapi datang dengan mengendap-endap. Apa itu masuk akal? Katakan yang sebenarnya atau kau pulang hanya tinggal nama!""S–sungguh, Tuan." Lutut lelaki bertopi koboi itu gemetar. "S–saya ... sampai ke sini karena ... karena mengikuti jejak beruang yang lepas dari penangkaran.""Beruang?""I–iya, Tuan. Beruang cokelat tepatnya. S–saya ingin memastikan beruang yang datang bersama keluarga Anda itu adalah hewan peliharaan kami."Rupanya lelaki bertopi koboi itu mengira Karel adalah salah satu keluarga Master Seribu Wajah.Sang Master mengamati ekspresi penyusup ters
Dugh!Joseph bersimpuh di hadapan Karel. Air matanya jatuh menitik."Tolong ... maafkan salah dan dosa ayah saya, Tuan!" lirihnya dengan suara serak dan bergetar. "Sungguh ayah saya sangat tersiksa karena dosanya pada Anda. Begitu pun dengan saya."Karel menoleh pada Master Seribu Wajah. Raut muka bingungnya seakan menuntut penjelasan. Namun, sang guru memasang wajah datar seraya menyesap tehnya secara perlahan."Kita baru saja bertemu untuk yang pertama kali. Lalu, dosa apa yang harus kumaafkan? Aku bahkan tak mengenal ayah Anda," sahut Karel, menjelaskan kebingungannya."Ayah saya berdosa pada Anda. Sangat berdosa. Saya juga. Belasan tahun saya hidup dalam penyesalan dan rasa bersalah. Saya yakin, ayah saya juga tidak tenang di alam sana."Karel tak bisa berkata-kata. Kesalahan apa yang telah dilakukan Joseph dan ayahnya hingga lelaki itu tergugu?"Apa rasa bersalah Anda ada hubungannya dengan Tuan De Groot?" selisik Karel, mencoba mengingat-ingat wajah setiap anak buah Tuan De Groot
"Aku tahu, Halburt. Ini darurat. Aku akan mengutus Joseph untuk menemuimu siang ini. Tolooong ... kali ini saja!"Setelah berpikir sejenak, Halburt mengalah. "Baiklah. Ingat, Ben! Jangan pernah libatkan aku dalam permasalahanmu di kemudian hari!""Iya. Aku janji! Namamu akan tetap bersih."Alhasil, satu butir Pil Separuh Nyawa milik Halburt melayang ke tangan orang lain.Pil langka tersebut merupakan hasil racikannya sendiri. Dia menamai pil tersebut 'Separuh Nyawa' karena memang dampaknya menghilangkan setengah nyawa dari seseorang yang menelannya.Dengan kata lain, siapa pun yang menelan pil itu, maka dia akan berada dalam kondisi setengah mati. Organ vitalnya melemah, bahkan detak jantungnya nyaris tak terdeteksi.Awalnya pil itu diciptakan untuk tujuan mengelabui musuh, tetapi pemakaiannya harus melibatkan kerja sama tim yang solid.Seseorang yang mengonsumsinya membutuhkan orang lain untuk menyelamatkannya. Terlambat sedikit saja, separuh nyawa yang tersisa akan hilang sepenuhnya
"Karel, kuharap kau mau memaafkan kesalahan guruku." Master Seribu Wajah membungkuk pada Karel, mewakili sang guru."Astagfirullah, Master! Apa yang Anda lakukan? Anda tidak perlu merendahkan diri kepadaku." Karel syok, lalu buru-buru menarik pundak sang Master untuk kembali tegak lurus.Namun, sang Master bergeming dalam posisinya. Sekuat apa pun Karel mengerahkan tenaga, tubuh sang Master bagaikan patung batu."Guruku mengalami nasib yang sama dengan sahabatnya—Ben. Dia hidup dalam penyesalan. Terlebih setelah tak seorang pun muridnya berhasil melacak keberadaanmu."Setiap hari guruku menghukum dirinya dengan bekerja tanpa kenal batas waktu. Selama masih ada pasien yang membutuhkan bantuannya, dia akan mengobatinya. Tak peduli walau ia harus menembus hujan badai untuk mendatangi pasiennya di tengah malam buta."Menyerahkan Pil Separuh Nyawa kepada Ben untuk melenyapkanmu adalah dosa terbesar dalam hidupnya."Tolong, biarkan guruku tidur panjang dengan damai, Karel."Orang-orang denga
"Nona! Nona! Lihat! Ada lagi!" Nyonya Beth berlari dari teras ke ruang tengah, di mana Xela sedang asyik bergelut dengan tabletnya."Aunty, kelihatannya senang banget," komentar Xela, ikut tersenyum melihat wajah Nyonya Beth yang berseri-seri."Iya, Nona. Kalau Anda senang, saya lebih bahagia.""Lo, kenapa aku?""Sudah deh, Nona. Kita keluar, yuk!" Nyonya Beth menyeret lengan Xela dengan tidak sabar.Orang lain yang menyaksikan interaksi mereka pasti tidak akan percaya jika Nyonya Beth sebenarnya hanyalah pengasuh Xela.Hubungan keduanya sungguh terlihat seperti bibi dan keponakan kandung."Lihat itu!" Nyonya Beth menunjuk buket bunga dan sebuah kotak kecil yang menghuni meja di teras rumah.Sejak menerima buket bunga dan kado berisi boneka Teddy Bear berukuran besar dua minggu yang lalu, tidak ada buket atau paket kejutan yang menghampiri Xela.Dia kembali berubah murung walaupun tetap menjalankan rutinitasnya pergi ke toko.Sekarang, awan mendung di wajahnya berarak pergi, diterpa e
"Bukankah kamu merasa puas setelah berhasil melampiaskan dendammu?" balas Xela, dengan suara yang juga bergetar.Bohong bila ia mengatakan membenci Karel dan tak lagi mencintainya.Karel melepaskan dekapannya, lalu memutar badan Xela."Tatap mataku!" pinta Karel. "Apa kau menemukan kepuasan di sana?"Xela memberanikan diri menantang netra kelam Karel. Yang ia temukan adalah secarik luka dan penyesalan yang mendalam.Entah kenapa Xela merasakan hatinya tersentuh dan tak tega melihat semburat derita yang bersemayam dalam manik mata Karel.Haruskah ia memberi kesempatan kedua kepada Karel?Allah saja Maha Pemaaf. Tidak sepatutnya ia menolak permintaan maaf yang tulus dari Karel.Karel tidak berselingkuh. Lagi pula, lelaki itu memperlakukannya dengan kasar karena ada alasan yang kuat. Andai dia yang berada di posisi Karel, mungkin dia akan melakukan hal yang lebih kejam dari itu.Dia mungkin tidak akan bersedia menyelamatkan mantan mertua yang telah menyiksanya.Berpikir bahwa masih ada ha
"Anda baru saja kembali, Nona. Sekarang, mau pergi lagi. Tidak bisakah tinggal lebih lama?" rayu Bibi Lizzy, berdiri di depan pintu seraya menggenggam erat jemari Xela. Enggan untuk melepaskannya.Xela tersenyum tipis. "Bibi, hanya untuk beberapa hari. Aku akan kembali."Sungguh Xela juga enggan untuk beranjak dari desa nan bebas polusi itu, tapi apa daya, ia tidak ingin mengambil risiko jika nanti yang mencarinya ternyata benar-benar Karel.Ia belum siap untuk bertemu dengan lelaki yang masih mengisi relung hatinya itu. Bukan karena benci, bukan. Dia malu pada diri sendiri.Rasa bencinya pada lelaki itu atas perlakuan kasar yang diterimanya menguap setelah mengetahui kejahatan ayahnya.Rasa sakit yang ia derita sungguh belum seujung kukunya penderitaan Karel.Jiwanya bergetar setiap kali membayangkan Karel disiksa, lalu dibuang ke tengah belantara dalam kondisi sekarat.Belum lagi kejahatan lain yang ditujukan ayahnya untuk Karel dan keluarganya. Bahkan, Karel harus kehilangan saudar
"Bersiaplah untuk menyambut kematian keduamu, Dokter! Ah, tidak, Karel! Panggilan 'Dokter' terlalu mewah untukmu. Cuih!" Lewis meludah jijik."Huh! Coba saja!" tantang Karel seraya mengayunkan rantai di tangan kirinya, melibas anak buah Lewis yang mulai menyerang.Enggan terlalu lama bermain tarik rantai dengan Lewis, Karel membetot kuat. Seketika suara gerincing memekakkan telinga.Di tangan Karel, dua rantai tersebut berubah menjadi senjata sakti yang meliuk di udara bak dua ekor kobra sedang menari.Jerit kesakitan melengking tinggi setiap kali rantai itu berhasil menghantam dan melilit tubuh lawan, lalu membantingnya dengan kuat.Sungguh Karel tak ingin berlama-lama menghabiskan waktu di ruang bawah tanah itu. Ia ingin menyudahi pertarungan tersebut secepatnya.Karel mengamuk seperti orang gila. Tak memberi kesempatan kepada lawan untuk menyentuh tubuhnya.Tas! Tas!Bunyi tebasan yang berpadu dengan gerincing rantai menjadi musik horror bagi Lewis dan anak buahnya. Satu per satu m
"Heh, bangun!"Setengah sadar, Karel merasakan tamparan keras di pipinya, diikuti kalimat makian."Dasar lemah!"Karel berjuang membuka kelopak matanya yang terasa berat. Samar netranya menangkap cahaya temaram."Di mana ini?" lirih Karel dengan suara lemah."Bagus! Akhirnya kau sadar. Aku tidak suka bermain-main saat kau pingsan. Tidak asyik!"Kepingan ingatan Karel telah sepenuhnya menyatu, melukis gambaran peristiwa yang ia alami sebelum tak sadarkan diri.Darahnya seketika mendidih, teringat kecurangan yang dilakukan komplotan Lewis dalam pertarungan.Cuih!Karel meludahi wajah Lewis yang tersenyum mengejek."Pengecut! Kau menjijikkan!""Hahaha ... ya, ya ... terserah apa katamu." Lewis mencengkeram dagu Karel. "Bagiku, kau bodoh! Sama seperti keledai."Keledai terkenal sebagai simbol kebodohan lantaran masuk ke lubang yang sama sampai dua kali.Manusia yang cerdas akan belajar dari kesalahan dan pengalaman pahitnya. Sementara si bijak akan memetik hikmah dari pengalaman orang lai
"Saya telah menemukan jejak istri Anda, Bos.""Katakan!"Netra kelam Karel berbinar penuh harapan. Tak sia-sia ia meminta bantuan Red."Istri Anda terbang ke Belanda. Di—""Terima kasih. Aku akan segera mentransfer bayaranmu," potong Karel, tak butuh penjelasan lebih panjang.Pikirannya hanya tertuju untuk menyusul Xela.Sebuah tas sandang cukup untuk memuat beberapa potong pakaian yang akan dibawanya.Agar lebih cepat tiba di Bandara, Karel memacu motornya.Ckiit!Decit rem membelah sunyi.Sebuah mobil SUV berwarna silver menggunting laju motor Karel, tepat di daerah sawangan."Mau kabur dariku? Dalam mimpi!" hardik suara yang sangat akrab di telinga Karel.Merasa keselamatannya terancam, Karel segera turun dari motor seraya menyingkirkan helm yang melindungi kepalanya."Aku tidak ada urusan denganmu! Kenapa kau selalu menggangguku?" balas Karel dengan nada dingin."Kau, lelaki berengsek yang membuat hidup Xela-ku menderita. Kali ini aku tidak akan mengalah lagi!"Plok! Plok!Karel be
"Di mana istriku?" tanya Karel setelah mempersilakan Herds untuk duduk."Saya tidak tahu," sahut Herds, mulai mengeluarkan sesuatu dari tas kerjanya."Kau ke sini atas perintahnya, 'kan? Tentu berkomunikasi dengannya. Apa masuk akal kau tidak mengetehui keberadaannya?""Saya mengatakan yang sebenarnya, Dokter," timpal Herds, terlihat tak terpengaruh dengan kemarahan Karel. "Nona De Groot memang menemui saya untuk menyerahkan berkas gugatan cerai untuk Anda. Sayangnya, saya tidak berpikir bahwa di saat yang sama, dia juga meninggalkan rumah Anda." Herds menyodorkan berkas perceraian tersebut kepada Karel. "Tolong tanda tangani, Dokter!"Karel memeriksa kelengkapan berkas yang disodorkan oleh Herds. Matanya membelalak melihat fotokopi buku nikah yang terlampir. Seketika ia membanting berkas tersebut ke atas meja, kemudian berlari ke kamar.Karel memeriksa laci nakas dan mengobrak-abrik isinya."Berkas itu ... Ya Tuhan!"Karel mengusap mukanya dengan kasar kala tak lagi menemukan kumpula
"Anda jangan main-main, Nyonya! Xela pergi dengan membawa koper. Ke mana lagi dia pergi bila tidak kembali ke sini?" sergah Karel, mengira Nyonya Beth sengaja merahasiakan keberadaan Xela dari dirinya."Sungguh, Dokter J. Saya tidak bohong," sanggah Nyonya Beth. "Semenjak datang terakhir kali menemui Tuan De Groot, Nona Muda tidak pernah ke sini lagi."Karel menyelami manik mata Nyonya Beth dengan tatapan lekat. Tak ada kebohongan yang ia temukan. Sebaliknya, riak kecemasan terpatri jelas di sana."Lalu, ke mana perginya Xela?" gumam Karel, seakan berbicara pada diri sendiri.Nyonya Beth juga terdiam. Sesaat kemudian ia berkata dengan nada bimbang, "Apa mungkin ... Nona Muda ... pergi membesuk Tuan De Groot?""Huh? Bukankah baru seminggu yang lalu ayah mertuaku keluar dari rumah sakit? Kenapa dia bisa kambuh?""B–bukan itu, Dokter. Kesehatan Tuan De Groot baik-baik saja. Tuan ... Tuan ... ah, saya juga tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi," kata Nyonya Beth, terbata-bata.Karel
"Aaargh!" Karel mendengkus kesal. "Xela tidak ada di rumah Clara. Ke mana dia? Apa mungkin pulang ke rumah ayahnya?"Tak ingin kehilangan jejak Xela, Karel pun memacu motornya menuju kediaman Tuan De Groot.Namun, baru saja turun dari motor, sebuah tendangan membuatnya terjatuh. Motor pun ikut roboh."Berengsek! Masih berani kau menginjakkan kaki di rumah ini!" umpat Lewis.Matanya yang penuh kebencian menyala-nyala terbakar amarah.Karel bangkit seraya menepis debu dan kotoran yang melekat di tubuhnya. Abai akan motor yang masih tergolek."Ini rumah mertuaku. Kapan pun aku bisa datang ke sini.""Banyak bacot!" geram Lewis, kembali menyerang Karel.Karel yang masih kacau memikirkan Xela bereaksi lambat. Tak khayal serangan itu mendarat di dadanya. Seketika ia terjengkang. Untung kerimbunan tanaman hias menahan punggungnya."Jangan pernah bertingkah sok suci di hadapanku!" hardik Lewis. "Aku tahu siapa kau. Di balik nama besarmu, kau hanyalah seekor rubah licik!"Karel menyeringai. "Ba
"Pergi kau dari sini dan jangan pernah kembali lagi!" Karel menyeret kasar lengan Xela, turun dari teras rumah kayu milik ayahnya."Akh!" Xela menjerit kesakitan.Karel mengempaskannya hingga tersungkur ke tanah."Simpan air mata buayamu itu! Aku tidak akan tertipu," sentak Karel dengan nada dingin. "Percuma kau mengarang cerita pada temanmu. Aku tidak akan percaya!"Xela tergugu."Apa salahku padamu?" tanya Xela. Suaranya terdengar parau."Banyak! Dan aku membencimu hingga ke sum-sum tulangku. Enyah!"Tes! Tes!"Aish! Hujan lagi!" gerutu Karel, melindungi kepalanya dari terpaan hujan dengan telapak tangan sambil berlari menuju rumah ayahnya.Ternyata segala luapan emosinya terhadap Xela hanyalah angan dalam lamunan."Sayang sekali kau terlambat, Nak!" kata Tuan Jaffan begitu Karel melangkah masuk setelah melepas kemejanya yang basah dan memerasnya."Dia baru saja pergi," imbuh Tuan Jaffan."Dia? Siapa?" tanya Karel, terbayang siluet sosok wanita yang mirip dengan Xela melangkah kelua