Mada dan Sari berdiri di tengah hutan Pegunungan Kayu Jati, napas mereka masih memburu setelah melewati labirin cermin yang nyaris menyesatkan mereka ke dalam kegelapan tanpa akhir. Mereka telah menemukan petunjuk penting—sepotong ukiran kayu dengan pola yang menyerupai bentuk keris pusaka. Namun, teka-teki itu masih belum sepenuhnya terpecahkan. Sore mulai merayap di langit, menyisakan sinar keemasan yang menembus celah dedaunan jati yang menjulang tinggi. Suasana di hutan itu berbeda dari sebelumnya—lebih sunyi, lebih berat, seolah-olah udara di sekitar mereka menyimpan sesuatu yang tak kasat mata. "Kita harus menemukan jejak berikutnya," kata Sari, suaranya penuh kewaspadaan. Mada mengangguk, lalu mengeluarkan ukiran kayu yang mereka temukan. Saat ia memperhatikannya lebih dekat, ia menyadari sesuatu yang aneh. Ada garis-garis halus yang membentuk peta samar—tapi peta ini bukan hanya sekadar petunjuk lokasi, melainkan sesuatu yang lebih dalam. "Ini bukan hanya peta biasa,"
Matahari telah condong ke barat saat Mada dan Sari berdiri di tengah hutan jati yang kini terasa lebih sunyi dari sebelumnya. Akar-akar besar menjalar di sepanjang tanah, membentuk lorong-lorong alami yang berkelok-kelok ke segala arah. Angin berdesir pelan, membawa aroma kayu yang khas, bercampur dengan kelembapan sisa hujan yang masih menggantung di udara. Mada menatap keris pusaka di tangannya, pantulannya tampak berkilauan meski sinar matahari mulai redup. Ada sesuatu tentang keris ini yang membuatnya merasa aneh—seakan-akan benda itu memiliki nyawanya sendiri. Sari melangkah mendekat. "Kita harus segera mencari jalan keluar sebelum malam tiba," katanya dengan suara pelan, namun tegas. Mada mengangguk, menyimpan keris itu di balik ikat pinggangnya. Mereka mulai berjalan menyusuri jalan setapak di antara pepohonan, tetapi semakin jauh mereka melangkah, semakin mereka merasa bahwa sesuatu sedang mengawasi mereka dari bayangan. "Perasaanmu nggak enak juga?" Sari berbisik. "
Mada dan Sari terdiam, jantung mereka masih berdegup kencang setelah pengalaman mengerikan di lorong cermin. Angin di hutan kayu jati terasa aneh—tidak bergerak, seolah-olah dunia ini tidak sepenuhnya nyata. Hanya desiran samar yang terdengar dari pepohonan tua yang menjulang, mengawasi mereka dalam keheningan. Di depan mereka, kuil tua itu berdiri megah, meskipun sebagian sudah ditelan oleh akar dan lumut. Bangunannya terlihat seperti peninggalan kuno yang telah lama ditinggalkan. Namun, yang paling mengerikan adalah sosok yang berdiri diam di depan kuil. Bayangan itu tidak bergerak, tetapi mereka bisa merasakan tatapannya. Sari menelan ludah. "Siapa itu...?" Mada menggenggam keris pusaka lebih erat, tubuhnya tegang. "Aku nggak tahu... tapi dia seperti menunggu kita." Sosok itu akhirnya bergerak. Dengan langkah lambat, ia berjalan mendekati mereka, suaranya berbisik seperti angin yang lewat di antara pepohonan. "Akhirnya... kalian datang." Mada dan Sari saling berpandan
Mada berdiri terpaku di tengah hutan kayu jati yang kini terasa begitu asing. Udara malam begitu sunyi, seakan dunia menahan napasnya. Tidak ada hembusan angin, tidak ada suara binatang, bahkan gemerisik dedaunan pun menghilang. Hanya ada dirinya... dan ketiadaan. Matanya menelusuri sekitar, mencari sosok Sari. Tapi yang ia lihat hanyalah bayangan-bayangan panjang dari pohon-pohon jati yang menjulang tinggi, membentuk labirin alami yang mencekam. "Sari..." suaranya bergetar, lebih karena ketakutan daripada kelelahan. Tidak ada jawaban. Ia menggenggam keris pusaka erat-erat. Cahaya yang sebelumnya memancar dari senjata itu kini telah padam. Permukaannya yang tadinya hangat kini dingin, seperti logam mati tanpa kehidupan. Langkahnya perlahan maju, menginjak tanah yang terasa lebih padat dan kering dibanding sebelumnya. Setiap langkah yang ia ambil menggema aneh, seakan ada ruang kosong di bawahnya. Lalu, suara itu datang. “Mada…” Ia menoleh dengan cepat. Tidak ada siap
Langit sore menggantung kelabu saat Mada berlari menyusuri lorong panjang yang terbuat dari akar-akar kayu jati yang membatu. Di belakangnya, suara langkah-langkah mengejar, bergaung seperti bayangan waktu yang menolak dilupakan.Sari tertinggal—atau lebih tepatnya, ditahan oleh versi dirinya yang dikuasai oleh sesuatu. Sesuatu yang lebih tua dari tanah itu sendiri, lebih gelap dari rahasia di balik cermin.Mada berbelok tajam, jantungnya berpacu seirama dengan gemuruh langit yang makin berat. Di hadapannya terbentang sebuah aula luas yang dipenuhi ribuan cermin kecil, menggantung dari langit-langit seperti kelopak kaca yang berbisik. “Tempat ini...” gumamnya, napas tersengal. “...bukan bagian dari dunia nyata.”Suaranya tenggelam oleh bisikan yang keluar dari cermin. Bukan pantulan dirinya, tapi... wajah-wajah. Tua, muda, rusak, menyeringai. Beberapa menangis. Semua mengenalnya. Tapi tak satu pun adalah dirinya. Salah satu cermin pecah dengan sendirinya. Retakannya membentuk pola a
Penjaga Tanah dan DarahSuara langkah itu terdengar berat dan tertahan, seolah tanah di bawahnya dipaksa tunduk. Mada langsung memposisikan dirinya di depan Sari, menggenggam keris dengan dua tangan. Cahayanya semakin redup, tapi terasa hangat—seolah memberi perlindungan samar. “Siap-siap,” bisik Mada. “Aku tak yakin ini makhluk biasa...” Dari balik lorong gelap itu, muncul sesosok tinggi besar. Wajahnya tertutup topeng kayu dengan ukiran sulur akar yang melingkar hingga ke tengkuknya. Kulit tangannya seperti tanah retak yang berlapis debu merah. Tapi yang paling menyeramkan adalah napasnya—dalam, berat, seperti desahan dari lubang kubur yang baru terbuka. Ia membawa tombak besar, terbuat dari tulang dan logam tua. Dan di dadanya, tergantung... potongan-potongan cermin retak. “Penjaga keris itu,” lirih Sari, “dia... seperti gabungan dari cermin dan akar...” Sosok itu membuka mulutnya, suaranya seperti getaran gempa bumi: “Kalian membawa bilah yang tidak ditakdirkan untuk dibang
Tangga batu itu terasa tak berujung, dinding di sisi kanan dan kiri mulai berubah warna menjadi merah tua dengan pola-pola seperti urat darah membeku. Langkah mereka bergema, namun gema itu terdengar aneh... seolah ada yang menirukan suara mereka, dengan nada setengah detik terlambat. Sari mulai merasakan getaran aneh di telapak kakinya. Mada memperlambat langkah, menoleh ke belakang, memastikan tidak ada yang mengikuti. Namun suara langkah itu masih ada. Seperti... gema yang menyamar. “Kau merasakan itu?” bisik Sari. Mada mengangguk. “Ini bukan pantulan suara. Ini... sesuatu yang mencoba menyelaraskan dengan kita.” Akhirnya mereka sampai di sebuah ruang terbuka yang luas. Di tengahnya berdiri sebuah arca besar tanpa wajah—berbentuk manusia, tapi tanpa fitur apa pun. Hanya permukaan halus seperti batu giok yang tergores waktu. Di sekeliling ruangan, terdapat delapan pintu batu, masing-masing dijaga oleh relief kepala makhluk yang berbeda-beda: ada yang berbentuk burung, serigala,
Langit sore meredup dengan cepat saat Mada dan Sari mendaki lereng menuju bukit kayu jati. Akar-akar besar menjulur keluar dari tanah, menggeliat seperti urat nadi bumi yang menyimpan ingatan zaman. Kabut mulai turun, tipis namun berbau asing, seperti bau dupa yang dibakar terlalu lama. Langkah kaki mereka nyaris tak bersuara di atas tanah lunak yang ditumbuhi lumut, dan suara jangkrik serta burung malam menyatu menjadi alunan alam yang mencekam. “Akar-akar ini seperti... bernapas,” gumam Sari. Tangannya menyentuh sebatang akar yang hangat, dan ia terdiam sejenak. Mada merunduk. Ia melihat simbol yang terukir samar di kulit akar itu—seperti lukisan purba. Ia mengusapnya perlahan. Seketika, tanah bergetar ringan. “Kau melihatnya?” tanya Mada pelan. Sari mengangguk. Di depan mereka, akar-akar pohon seakan membuka jalan, menggulung ke samping membentuk lorong alami yang menyala lembut dengan cahaya kehijauan. “Mereka mengizinkan kita masuk,” bisik Sari, matanya terbelalak.
Langit sore meredup dengan cepat saat Mada dan Sari mendaki lereng menuju bukit kayu jati. Akar-akar besar menjulur keluar dari tanah, menggeliat seperti urat nadi bumi yang menyimpan ingatan zaman. Kabut mulai turun, tipis namun berbau asing, seperti bau dupa yang dibakar terlalu lama. Langkah kaki mereka nyaris tak bersuara di atas tanah lunak yang ditumbuhi lumut, dan suara jangkrik serta burung malam menyatu menjadi alunan alam yang mencekam. “Akar-akar ini seperti... bernapas,” gumam Sari. Tangannya menyentuh sebatang akar yang hangat, dan ia terdiam sejenak. Mada merunduk. Ia melihat simbol yang terukir samar di kulit akar itu—seperti lukisan purba. Ia mengusapnya perlahan. Seketika, tanah bergetar ringan. “Kau melihatnya?” tanya Mada pelan. Sari mengangguk. Di depan mereka, akar-akar pohon seakan membuka jalan, menggulung ke samping membentuk lorong alami yang menyala lembut dengan cahaya kehijauan. “Mereka mengizinkan kita masuk,” bisik Sari, matanya terbelalak.
Tangga batu itu terasa tak berujung, dinding di sisi kanan dan kiri mulai berubah warna menjadi merah tua dengan pola-pola seperti urat darah membeku. Langkah mereka bergema, namun gema itu terdengar aneh... seolah ada yang menirukan suara mereka, dengan nada setengah detik terlambat. Sari mulai merasakan getaran aneh di telapak kakinya. Mada memperlambat langkah, menoleh ke belakang, memastikan tidak ada yang mengikuti. Namun suara langkah itu masih ada. Seperti... gema yang menyamar. “Kau merasakan itu?” bisik Sari. Mada mengangguk. “Ini bukan pantulan suara. Ini... sesuatu yang mencoba menyelaraskan dengan kita.” Akhirnya mereka sampai di sebuah ruang terbuka yang luas. Di tengahnya berdiri sebuah arca besar tanpa wajah—berbentuk manusia, tapi tanpa fitur apa pun. Hanya permukaan halus seperti batu giok yang tergores waktu. Di sekeliling ruangan, terdapat delapan pintu batu, masing-masing dijaga oleh relief kepala makhluk yang berbeda-beda: ada yang berbentuk burung, serigala,
Penjaga Tanah dan DarahSuara langkah itu terdengar berat dan tertahan, seolah tanah di bawahnya dipaksa tunduk. Mada langsung memposisikan dirinya di depan Sari, menggenggam keris dengan dua tangan. Cahayanya semakin redup, tapi terasa hangat—seolah memberi perlindungan samar. “Siap-siap,” bisik Mada. “Aku tak yakin ini makhluk biasa...” Dari balik lorong gelap itu, muncul sesosok tinggi besar. Wajahnya tertutup topeng kayu dengan ukiran sulur akar yang melingkar hingga ke tengkuknya. Kulit tangannya seperti tanah retak yang berlapis debu merah. Tapi yang paling menyeramkan adalah napasnya—dalam, berat, seperti desahan dari lubang kubur yang baru terbuka. Ia membawa tombak besar, terbuat dari tulang dan logam tua. Dan di dadanya, tergantung... potongan-potongan cermin retak. “Penjaga keris itu,” lirih Sari, “dia... seperti gabungan dari cermin dan akar...” Sosok itu membuka mulutnya, suaranya seperti getaran gempa bumi: “Kalian membawa bilah yang tidak ditakdirkan untuk dibang
Langit sore menggantung kelabu saat Mada berlari menyusuri lorong panjang yang terbuat dari akar-akar kayu jati yang membatu. Di belakangnya, suara langkah-langkah mengejar, bergaung seperti bayangan waktu yang menolak dilupakan.Sari tertinggal—atau lebih tepatnya, ditahan oleh versi dirinya yang dikuasai oleh sesuatu. Sesuatu yang lebih tua dari tanah itu sendiri, lebih gelap dari rahasia di balik cermin.Mada berbelok tajam, jantungnya berpacu seirama dengan gemuruh langit yang makin berat. Di hadapannya terbentang sebuah aula luas yang dipenuhi ribuan cermin kecil, menggantung dari langit-langit seperti kelopak kaca yang berbisik. “Tempat ini...” gumamnya, napas tersengal. “...bukan bagian dari dunia nyata.”Suaranya tenggelam oleh bisikan yang keluar dari cermin. Bukan pantulan dirinya, tapi... wajah-wajah. Tua, muda, rusak, menyeringai. Beberapa menangis. Semua mengenalnya. Tapi tak satu pun adalah dirinya. Salah satu cermin pecah dengan sendirinya. Retakannya membentuk pola a
Mada berdiri terpaku di tengah hutan kayu jati yang kini terasa begitu asing. Udara malam begitu sunyi, seakan dunia menahan napasnya. Tidak ada hembusan angin, tidak ada suara binatang, bahkan gemerisik dedaunan pun menghilang. Hanya ada dirinya... dan ketiadaan. Matanya menelusuri sekitar, mencari sosok Sari. Tapi yang ia lihat hanyalah bayangan-bayangan panjang dari pohon-pohon jati yang menjulang tinggi, membentuk labirin alami yang mencekam. "Sari..." suaranya bergetar, lebih karena ketakutan daripada kelelahan. Tidak ada jawaban. Ia menggenggam keris pusaka erat-erat. Cahaya yang sebelumnya memancar dari senjata itu kini telah padam. Permukaannya yang tadinya hangat kini dingin, seperti logam mati tanpa kehidupan. Langkahnya perlahan maju, menginjak tanah yang terasa lebih padat dan kering dibanding sebelumnya. Setiap langkah yang ia ambil menggema aneh, seakan ada ruang kosong di bawahnya. Lalu, suara itu datang. “Mada…” Ia menoleh dengan cepat. Tidak ada siap
Mada dan Sari terdiam, jantung mereka masih berdegup kencang setelah pengalaman mengerikan di lorong cermin. Angin di hutan kayu jati terasa aneh—tidak bergerak, seolah-olah dunia ini tidak sepenuhnya nyata. Hanya desiran samar yang terdengar dari pepohonan tua yang menjulang, mengawasi mereka dalam keheningan. Di depan mereka, kuil tua itu berdiri megah, meskipun sebagian sudah ditelan oleh akar dan lumut. Bangunannya terlihat seperti peninggalan kuno yang telah lama ditinggalkan. Namun, yang paling mengerikan adalah sosok yang berdiri diam di depan kuil. Bayangan itu tidak bergerak, tetapi mereka bisa merasakan tatapannya. Sari menelan ludah. "Siapa itu...?" Mada menggenggam keris pusaka lebih erat, tubuhnya tegang. "Aku nggak tahu... tapi dia seperti menunggu kita." Sosok itu akhirnya bergerak. Dengan langkah lambat, ia berjalan mendekati mereka, suaranya berbisik seperti angin yang lewat di antara pepohonan. "Akhirnya... kalian datang." Mada dan Sari saling berpandan
Matahari telah condong ke barat saat Mada dan Sari berdiri di tengah hutan jati yang kini terasa lebih sunyi dari sebelumnya. Akar-akar besar menjalar di sepanjang tanah, membentuk lorong-lorong alami yang berkelok-kelok ke segala arah. Angin berdesir pelan, membawa aroma kayu yang khas, bercampur dengan kelembapan sisa hujan yang masih menggantung di udara. Mada menatap keris pusaka di tangannya, pantulannya tampak berkilauan meski sinar matahari mulai redup. Ada sesuatu tentang keris ini yang membuatnya merasa aneh—seakan-akan benda itu memiliki nyawanya sendiri. Sari melangkah mendekat. "Kita harus segera mencari jalan keluar sebelum malam tiba," katanya dengan suara pelan, namun tegas. Mada mengangguk, menyimpan keris itu di balik ikat pinggangnya. Mereka mulai berjalan menyusuri jalan setapak di antara pepohonan, tetapi semakin jauh mereka melangkah, semakin mereka merasa bahwa sesuatu sedang mengawasi mereka dari bayangan. "Perasaanmu nggak enak juga?" Sari berbisik. "
Mada dan Sari berdiri di tengah hutan Pegunungan Kayu Jati, napas mereka masih memburu setelah melewati labirin cermin yang nyaris menyesatkan mereka ke dalam kegelapan tanpa akhir. Mereka telah menemukan petunjuk penting—sepotong ukiran kayu dengan pola yang menyerupai bentuk keris pusaka. Namun, teka-teki itu masih belum sepenuhnya terpecahkan. Sore mulai merayap di langit, menyisakan sinar keemasan yang menembus celah dedaunan jati yang menjulang tinggi. Suasana di hutan itu berbeda dari sebelumnya—lebih sunyi, lebih berat, seolah-olah udara di sekitar mereka menyimpan sesuatu yang tak kasat mata. "Kita harus menemukan jejak berikutnya," kata Sari, suaranya penuh kewaspadaan. Mada mengangguk, lalu mengeluarkan ukiran kayu yang mereka temukan. Saat ia memperhatikannya lebih dekat, ia menyadari sesuatu yang aneh. Ada garis-garis halus yang membentuk peta samar—tapi peta ini bukan hanya sekadar petunjuk lokasi, melainkan sesuatu yang lebih dalam. "Ini bukan hanya peta biasa,"
Lorong di balik pintu rahasia itu gelap dan dingin. Mada dan Sari menyalakan obor mereka, cahaya api berkedip-kedip di dinding batu yang kini tampak lebih halus dibanding lorong sebelumnya. Ada ukiran samar di sepanjang dinding, namun banyak yang sudah aus oleh waktu.Mereka melangkah dengan hati-hati, suara langkah mereka menggema di ruang sempit itu. Di kejauhan, terdengar suara gemuruh pelan, seolah sesuatu sedang bergerak.“Aku punya firasat buruk,” bisik Sari.Mada menegang, tangannya masih menggenggam erat keris pusaka. Ia tidak bisa mengabaikan fakta bahwa setiap kali mereka semakin dekat ke pusat misteri ini, ancaman pun semakin terasa nyata.Lalu, langkah mereka terhenti ketika lorong di depan bercabang menjadi tiga. Tidak ada tanda atau petunjuk yang jelas seperti sebelumnya. Ketiga jalur itu tampak identik, sama-sama gelap dan berkelok.“Kita pilih yang mana?” tanya Sari, suaranya nyaris berbisik.Mada mengangkat kerisnya, berharap cahayanya bisa memberi petunjuk seperti se