Saat Tanaka tertidur di sebuah rongga gua ditemani Roh Panglima dan Jabali, Tasir diam-diam mengunjungi Sakwa di tempatnya.“Apa Tuan sudah tidur?” tanya Tasir.Sakwa yang sudah berbaring tampak bangkit. Dia heran melihat kedatangan Tasir.“Ada apa?” tanya Sakwa.“Aku ingin bicara soal kedatangan manusia buruk rupa dan dua temannya dari bangsa roh itu,” jawab Tasir.Sakwa tampak tertarik. Dia menggeser tubuhnya lalu duduk di tepi kasur menghadap Tasir.“Memangnya mereka kenapa?”“Apa Tuan tidak curiga pada mereka?” tanya Tasir dengan was-was.“Curiga bagaimana?”“Dia datang bersekutu dengan dua makhluk dari bangsa roh. Apa Tuan tidak melihat itu sebagai sebuah keanehan? Bukan kah di dalam kitab leluhur kita yang terjebak di negeri raksasa ini bahwa mereka datang ke negeri ini untuk mendapatkan kekuatan karena pada saat itu negeri leluhur kita sedang diserang para Iblis dari bangsa roh itu? Namun karena tidak tahu jalan pulang, leluhur kita akhirnya terjebak di sini dan menyisakan kita
Sakwa baru saja memejamkan matanya. Tidurnya terganggu saat mendengar suara langkah kaki yang menuju kediamannya di dalam rongga gua itu. Sakwa pun duduk dan terkejut melihat kedatangan Tanaka, Roh Panglima dan Jabali.“Ini waktu tidur kami,” ucap Sakwa yang merasa terganggu atas kedatangan mereka.“Ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu,” ucap Tanaka sambil berjalan mendekat ke arah Sakwa.Sakwa mundur. Dia seperti takut pada Tanaka. Ini diakibatkan oleh Tasir yang telah mempengaruhi pikirannya. Tasir yang mengatakan untuk berhati-hati pada mereka.“Apa yang ingin kau katakan, katakanlah,” pinta Sakwa.“Kudengar di negeri ini ada buah yang jika kita makan akan membuat tubuh kita berubah menjadi raksa-raksasa hingga sama seperti bangsa Sajuna,” ujar Tanaka.Sakwa terbelalak mendengarnya.“Dari mana kalian tahu?” tanya Sakwa tak percaya.Tanaka menoleh pada Jabali.“Dari dia,” jawab Tanaka.Sakwa semakin curiga dengan bangsa roh itu.“Maksudmu, kau ingin mencoba memakan buah itu?”“
Kapal layar yang dinaiki Bimala tampak bergoyang. Bimala pun berpegangan pada tiang layar dengar erat. Gelombang laut tampak tinggi. Nahkoda dan awak kapal yang mengendalikan kapal layar itu tampak sibuk menggerakkan layar-layar agar kapal tidak terbalik dan selamat dari gelombang yang tinggi.Para Peri yang menemani Bimala kini bernyanyi. Nyaian penenang lautan. Bimala tidak gentar meski kapal yang dinaikinya sudah berkali-kali dimasuki gelombang laut. Di pikirannya hanya segera ingin tiba di negeri tempat Tanaka terjebak.Tak lama kemudian laut tampak agak tenang. Jika ada gelombang pun tidak tampak begitu besar. Bimala dan Para Peri tampak sudah tenang melihat lautan yang mulai bersahabat.“Apakah kita masih jauh?” tanya Bimala pada salah satu Peri yang menemaninya itu.Peri itu menatap ke hadapan, dia melihat ada batas kabut putih yang seolah menjadi dinding raksasa di sepanjang garis batas penglihatan.“Sepertinya tak akan lama lagi,” jawab Peri itu. “Gerbang ke negeri itu sudah
Bimala dan Para Peri itu pun berusaha menghindari kaki-kaki raksasa yang sedang berlari ke arah mereka. Untung saja semuanya cepat menghindar. Rupanya raksasa yang melewati tempat mereka terjatuh itu hendak mengambil seekor burung yang berhasil dipanahnya. Bimala tampak lega melihat itu. Saat Pasukan Raksasa itu pergi menjauhi pohon raksasa itu, Pimpinan Peri berdiri lalu menatap Bimala dengan tenang.“Kita harus segera tiba ke pohon itu,” pinta Pimpinan Peri itu.Bimala pun mengangguk. Pimpinan Peri itu kembali membawa Bimala terbang diikuti pasukan Peri lainnya menuju pohon raksasa yang tidak begitu jauh lagi dari mereka. Saat mereka tiba di sana, Bimala melihat buah besar seperti apel yang merah warnanya.“Apa buah itu yang dapat membuat tubuh kita membesar sebesar raksasa penghuni negeri ini?” tanya Bimala penasaran.“Benar,” jawab Peri itu.Peri itu pun mengajak Bimala dan pasukannya menuju buah yang terjatuh ke atas tanah itu. Buahnya tampak masih segar. Pimpinan Peri langsung m
Tanaka berlari di dalam hutan gelap menuju istana Raja Sujana. Roh Panglima memberinya petunjuk atas penerawangannya. Jabali mengikuti mereka dengan terengah-engah.“Apakah aku bisa memanggil kudaku?” tanya Tanaka pada Roh Panglima.“Benar, lebih baik panggil saja kuda berkepala api itu, Tuan,” tambah Jabali yang tampak kelelahan.“Kuda itu hanya bisa dipanggil jika kita berada di alam kita,” jawab Roh Panglima.Tanaka pun pasrah. Jabali tampak kecewa. Saat mereka sudah berlari kian jauh. Mereka pun melihat cahaya yang terang dari balik pepohonan rindang.“Sepertinya kita hampir tiba,” ucap Roh Panglima.Mereka pun berhenti lalu berjalan mengendap menuju hutan yang mulai terang itu. Tanaka menyingkap semak-semak di hadapannya. Saat dia melihat ke arah balik semak-semak itu, matanya terbelalak mendapati Bimala dan para Peri hendak dihukum gantung di sebuah lapangan di depan gerbang istana. Raja Sajuna tampak duduk di singgasananya bersama Putra Mahkotanya, Gontala.Tanaka langsung kelu
Saat Bimala dan pasukan Perinya sudah dibawa ke dalam penjara dan Roh Panglima serta Jabali juga sudah dimasukkan ke dalam penjara, kini Tanaka sendirian di hadapan Raja Sajuna dan Putra Mahkota Gontala. Para Prajuritnya masih mengelilinginya dengan tombak masing-masing.“Siapa yang mencuri batu permata itu?” tanya Tanaka kemudian.“Dia berasal dari negeri Nusantara,” jawab Raja Sajuna.Tanaka terkejut mendengarnya.“Nusantara?”Tiba-tiba dia teringat ayah dan ibu angkatnya. Mereka berasal dari sana. Tanaka pun teringat akan mahkota di dalam gua tempat ayah dan paman-pamannya bersembunyi dahulu. Sa memintanya untuk membawa mahkota itu ke Nusantara agar keturuan Raja asli dapat menjadi raja dan memimpin Nusantara dengan trahnya.“Siapa namanya?” tanya Tanaka lagi.“Dia menyebut dirinya sebagai Pendekar Langit,” jawab Sajuna. “Aku yakin dia membawa batu permata itu ke negeri asalnya.”“Aku akan mencarinya di Nusantara, tapi sebelum itu, izinkan aku menemui Bimala dan bicara dengannya se
Sebuah perahu terdampar di pulau batu itu. Di dalamnya ada seorang lelaki yang tampak lemas dan bisa lagi menggerakkan tubuhnya. Dia berusaha untuk keluar dari dalam perahunya karena tidak ingin ombak laut menarik perahunya kembali ke tengah lautan. Seketika Baluku muncul di hadapannya. Lelaki itu terbelalak ketakutan. Dia tak bisa berbuat apa-apa selain pasrah.“Siapa kau?” tanya Baluku dengan heran.Lelaki itu sulit bicara. Jamur di mulutnya membuat lidah dan langit-langit mulutnya dipenuhi luka. Menelan saja dia tidak bisa bagaimana dia mau bicara.Baluku berpikir lalu mengarahkan tangannya ke tubuh lelaki itu. Seketika tenaga dalam mengalir ke tubuhnya. Kini lelaki itu tampak kuat, dia pun mampu bergerak. Namun saat dia sudah bergerak, dia kembali meraih dayungnya untuk meninggalkan pulau itu. Dia takut dengan Baluku.Baluku geram melihatnya. Dia pun mengarahkan tangannya ke arah lautan hingga ombak besar datang lalu menggulung perahunya hingga kembali terdampar di pulau batu itu.
Kapal Layar itu masih berlayar dengan cepat mengarungi samudera luas menuju Nusantara. Entah akan berapa lama mereka tiba di sana. Tanaka duduk di tepi ranjang di dalam kamar perut kapal itu. Dia membuka buntalan kainnya. Dia keluarkan mahkota emas di dalamnya. Mahkota Emas yang akan diserahkannya pada penerus tahta kerajaan sesungguhnya. Melihat itu, kenangannya bersama Sa kembali teringat. Tak ada ayah angkat yang sebaik Sa. Mendiang ayahnya itu sangat menyayanginya. Bahkan dia hampir tertipu olehnya karena Sa memperlakukannya seperti anak kandungnya sendiri.“Bawa seratus batu lagi ke sini!” tegas Sa pada Tanaka sewaktu dia berumur 10 tahun.Tanaka terbelalak mendengar itu.“Itu sangat banyak, Ayah. Aku tidak sanggup mengumpulkan dan membawa batu sebanyak itu ke sini,” protes Tanaka.“Kau harus berlatih sejak sekarang,” ujar Sa. “Otot-otot tangan dan kakimu harus dilatih dengan itu agar pukulan dan tendangan dari jurus yang ayah ajarkan padamu mampu menopangnya. Ingat, otot-otot ku
Bimala dan Pelayan Minun tampak gelisah menantikan Tabib Istana bersama tabib-tabib lain yang sedang membantu Sang Ratu untuk melahirkan itu. Akhirnya hari itu telah tiba. Sang Ratu pun tak bisa lagi menahannya karena waktu kelahiran anak keduanya itu telah tiba.Sementara Bimala dan Pelayan Minun belum mendapat kabar dari Tanaka. Mereka tidak tahu apakah Tanaka sudah berhasil atau belum membunuh Baluku hingga kutukan itu terlepas dan tidak akan dialami oleh bayi yang sedang berusaha dikeluarkan oleh para tabib itu.Tak lama kemudian terdengar suara tangisan bayi. Bimala dan Pelayan Minun tampak haru bercampur was-was. Mereka was-was jikalau bayi itu akan terlahir buruk rupa juga seperti Tanaka.“Oh anakku!” teriak Sang Ratu di dalam sana terlihat menangis haru.Bimala dan Pelayan Minun saling menatap dengan ragu.“Apakah bayi itu juga terlahir buruk rupa?” bisik Pelayan Minun dengan penasaran pada Bimala.“Aku tidak tahu, Bi,” jawab Bimala dengan berbisik juga.“Bimala, Pelayan Setia
Baluku terbelalak ketika pulau yang menjadi tempatnya dikurung para dewa itu sudah dikelilingi kapal-kapal yang berisi pasukan dari Tanaka. Baluku kini berdiri di atas puncak batu karang yang paling tinggi. Matanya kini tertuju pada Tanaka yang berdiri gagah di samping Roh Panglima.“Kami sudah datang, Tuan Guru!” teriak Tanaka.Baluku kian geram mendengarnya.“Panglima dan prajurit-prajurit keparat! Kenapa kalian lebih setia pada muridku dibanding denganku yang sudah membangkitkan kalian dari alam roh hingga bisa hidup seperti manusia lagi?!!! Harusnya kalian berpihak padaku, bukan pada manusia buruk rupa itu!!!” teriak Baluku dengan geramnya.“Bukan kah Yang Mulia membangkitkan kami untuk setia pada Tuan Tanaka? Bukan pada Yang Mulia?” jawab Roh Panglima.Baluku kian geram mendengarnya. Baluku pun mengangkat tangannya. Seketika batu-batu kecil di atas permukaan karang itu terangkat lalu tak lama kemudian batu-batu kecil itu menyalakan api yang tampak panas.Tanaka dan Roh Panglima p
Pelayan Minun berteriak memanggil Bimala saat melihat Sang Ratu sedang kesakitan memegangi perutnya yang besar itu. Bimala bergegas datang dengan panik.“Yang Mulia!” ucap Bimala mendekat ke kasurnya. “Yang Mulia kenapa?”“Perutku sakit sekali, Bimala. Aku sepertinya hendak melahirkan.”Bimala dan Pelayang Minun pun panik mendengarnya.“Tolong panggilkan Tabib, Bi,” pinta Bimala dengan panik pada Pelayan Minun.“Baik, Nona.”Pelayan Minun pun bergegas keluar untuk memanggil Tabib. Bimala pun memegangi tangan Sang Ratu untuk menguatkannya.“Tunggu sebentar lagi, Yang Mulia. Sebentar lagi Tabib akan segera datang.”“Tapi bagaimana jika seandainya sekarang anak ini berhasil dilahirkan sementara Tanaka belum berhasil membunuh Baluku? Apakah kutukan itu akan menghilang jika setelah anak ini lahir, Tanaka baru bisa memusnahkan Baluku?” tanya Ratu dengan bingung sambil menahan sakit di perutnya.“Apapun yang terjadi, sekarang pikirkan saja kesehatan Yang Mulia Ratu dan anaknya nanti. Meskipu
“Bagaimana ini bisa terjadi?” tanya Jabali dengan terbelalak tak percaya melihat dirinya, Tanaka, Roh Panglima dan para awak kapal layarnya sedang dibawa terbang berputar mengelilingi tentara mereka yang tengah bertarung di atas lautan itu.“Inilah kemampuanku sekarang, Jabali,” ucap Tanaka.Tanaka pun memandangi Roh Panglima.“Kau hadapai Panglima Setan itu dan aku akan menghadapi murid baru Raja Iblis itu,” perinta Tanaka pada Roh Panglima.“Siap, Tuan Tanaka!”Roh Panglima pun langsung terbang melesat menuju Panglima Setan untuk menyerangnya. Panglima Setan pun terkejut melihat kedatangan Roh Panglima yang tengah melesat ke arahnya itu. Dia pun lansung meninggalkan Karan di atas kapal itu kemudian bertarung dengan Roh Panglima di atas lautan itu dengan jurus meringankan tubuhnya.Sementara Karan di atas kapalnya itu terbelalak ketika mendapati Tanaka kini sudah berada di hadapannya. Karan mundur ke belakang karena ketakutan melihat wajah Tanaka yang menghitam. Dia seperti baru itu
Tiba-tiba awak kapal tampak terbelalak ketika melihat kapal-kapal layar seperti menghadang di hadapan sana.“Tuan, Panglima! Tuan, Panglima!” teriak awak kapal itu.Tanaka dan Roh Panglima yang sedang berada di sisi kapal itu pun menoleh pada awak kapal itu.“Ada apa?” tanya Roh Panglima heran.“Di hadapan sana seperti ada puluhan kapal menghadang, Tuan,” jawab awak kapal itu.Roh Panglima dan Tanaka pun bergegas berjalan ke ujung kapal. Mereka berdua terbelalak melihat kapal-kapal di hadapan.“Tahan layarnya!!!!” teriak Roh Panglima saat melihat pasukan Karan tengah menghadang di hadapan sana dengan sepuluh kapal layar berkarangnya.Seluruh awak kapal Pasukan Tanaka pun mengatur layarnya agar kapal-kapal mereka berhenti berlayar. Saat kapal-kapal pasukan Tanaka berhenti, Tanaka berjalan ke ujung kapal lalu memperhatikan kapal-kapal pasukan Karan itu dengan jelas. Roh Panglima berdiri di sebelahnya.“Apakah benar yang berdiri paling depan di kapal layar terdepan itu murid baru Raja Ba
“Yang Mulia Ratu! Yang Mulia Ratu!” teriak pelayan setianya memasuki ruangan kediamannya. Dia tampak heran tidak melihat ada Ratu di sana.Sesaat kemudian Ratu tampak datang dari belakangnya.“Kau mencariku?” tanya Ratu heran.Pelayan Minun menatap Ratu dengan lega.“Bimala sudah datang, Yang Mulia!” ucap Pelayan Minun dengan lega.Ratu pun sangat senang mendengarnya.“Di mana dia sekarang?”“Dia ada depan gerbang kediamanmu ini, Yang Mulia,” jawab Pelayan Minum.“Suruh dia masuk! Tadi kenapa aku tidak melihatnya,” perintah Ratu.“Baik, Yang Mulia.”Pelayan Minun pun bergegas keluar dari ruangan itu. Ratu pun duduk di tempat duduknya dengan tidak sabar. Dia ingin tahu banyak bagaimana kabar Tanaka darinya. Tak lama kemudian Pelayan Minun datang bersama Bimala. Bimala langsung bersimpuh di hadapannya.“Maafkan aku, Yang Mulia,” ucap Bimala sembari meneteskan air mata. “Aku telah meninggalkan istanamu tidak pamit langsung di hadapanmu.”“Kau tak perlu merasa bersalah, Bimala. Sekarang c
Baluku berdiri di hadapan seorang lelaki yang sedang berlutut padanya. Lelaki yang dahulu tidak sengaja terdampar di sana karena perahu yang dia naiki terpaksa pecah tergulung ombak hingga dia terdampar dan diselamatkan Baluku di sana. Dia menatap lelaki itu dengan lekat, dengan wajah tegasnya.“Hari ini kau telah berhasil mendapatkan semua ilmu dariku!” ucap Baluku padanya. “Kau sendiri yang bersedia memilih untuk menjadi muridku daripada mati di tanganku! Aku tidak pernah memaksamu untuk datang ke pulauku ini. Perahumu lah yang karam dan membuatmu terdampar di sini!”“Baik, Guru!” ucap Pemuda yang bernama Karan.“Dan untuk bisa bebas dariku,” lanjut Baluku. “Kau harus mendapatkan Pedang Perak Cahaya Merah itu dari mantan Muridku si Buruk Rupa itu. Aku merasakan pedang itu sudah ada pada dirinya saat ini. Dia tengah berada di negeri Nusantara.”“Baik, Guru,” sahut Karan sekali lagi.Baluku pun menatap sebuah kapal setan yang di atasnya sudah berdiri seorang Panglima Setan, Nakoda dan
Kapal-kapal yang dinaiki Tanaka bersama kaum Sakwa itu pun akhirnya berlabuh di pelabuhan Nusantara. Roh panglima bersama prajuritnya langsung menyambut kedatangan mereka. Bimala sudah tidak sabar lagi untuk segera bertemu dengan Tanaka. Begitu pun Sakwa. Dia ingin meminta maaf pada kaumnya yang telah meninggalkan mereka di negeri raksasa itu.Saat Tanaka dan kaum sakwa itu turun dari kapal layar masing-masing. Bimala langsung berlari menuju Tanaka lalu memeluknya dengan erat.“Apakah kau berhasil mengembalikan batu permata itu pada Yang Mulia Raja Sujana?” tanya Bimala penasaran.“Batu permata itu ternyata untukku, Bimala,” jawab Tanaka.Bimala terkejut mendengarnya. “Untukmu?”“Iya,” jawab Tanaka. “Raja Sajuna menghadiahkannya padaku! Dia tahu aku hendak membunuh Raja Iblis itu. Katanya batu permata itu akan sepadang dengan kekuatan yang dimiliki raja Iblis itu.”Bimala senang mendengarnya. Kini dia semakin tenang karena Tanaka akan memiliki kekuatan lebih untuk melawan Baluku. Dia
“Ampun Yang Mulia! Jika kami memiliki kesalahan dan dosa hingga Yang Mulia berkunjung ke tempat sederhana kami ini, kami rela dihukum, Yang Mulia!” ucap ayah Numi yang tampak ketakutan melihat kedatangan Raja Saka yang secara mendadak itu.Begitu pun dengan Numi dan Ibunya, mereka pun memohon-mohon ampun pada Raja Saka. Raja Saka yang melihat itu tampak tidak enak hati dan merasa bersalah.“Berdirilah,” pinta Raja Saka.“Ampun, Yang Mulia. Berdiri di hadapan Raja adalah dosa besar bagi kami yang hanya sebagai rakyat jelata. Itu akan membuat leluhur mengutuk kami. Biarkan kampi bersimpuh begini Yang Mulia.”Numi dan Ibunya pun kembali memohon-mohon ampun pada Raja Saka. Sekarang Raja Saka tampak kebingungan sendiri. Dia pun menatap Panglimanya. Pendekar Penggebrak Bumi itu tampak kebingung. Dia tidak mengerti soal urusan asamara itu. Saat Raja Saja menatap Bari, Bari pun tampak mengangkat kedua bahunya. Sementara para warga di sekitar rumah Numi itu masih tampak berlutut di tempat masi