Tanaka berlari di dalam hutan gelap menuju istana Raja Sujana. Roh Panglima memberinya petunjuk atas penerawangannya. Jabali mengikuti mereka dengan terengah-engah.“Apakah aku bisa memanggil kudaku?” tanya Tanaka pada Roh Panglima.“Benar, lebih baik panggil saja kuda berkepala api itu, Tuan,” tambah Jabali yang tampak kelelahan.“Kuda itu hanya bisa dipanggil jika kita berada di alam kita,” jawab Roh Panglima.Tanaka pun pasrah. Jabali tampak kecewa. Saat mereka sudah berlari kian jauh. Mereka pun melihat cahaya yang terang dari balik pepohonan rindang.“Sepertinya kita hampir tiba,” ucap Roh Panglima.Mereka pun berhenti lalu berjalan mengendap menuju hutan yang mulai terang itu. Tanaka menyingkap semak-semak di hadapannya. Saat dia melihat ke arah balik semak-semak itu, matanya terbelalak mendapati Bimala dan para Peri hendak dihukum gantung di sebuah lapangan di depan gerbang istana. Raja Sajuna tampak duduk di singgasananya bersama Putra Mahkotanya, Gontala.Tanaka langsung kelu
Saat Bimala dan pasukan Perinya sudah dibawa ke dalam penjara dan Roh Panglima serta Jabali juga sudah dimasukkan ke dalam penjara, kini Tanaka sendirian di hadapan Raja Sajuna dan Putra Mahkota Gontala. Para Prajuritnya masih mengelilinginya dengan tombak masing-masing.“Siapa yang mencuri batu permata itu?” tanya Tanaka kemudian.“Dia berasal dari negeri Nusantara,” jawab Raja Sajuna.Tanaka terkejut mendengarnya.“Nusantara?”Tiba-tiba dia teringat ayah dan ibu angkatnya. Mereka berasal dari sana. Tanaka pun teringat akan mahkota di dalam gua tempat ayah dan paman-pamannya bersembunyi dahulu. Sa memintanya untuk membawa mahkota itu ke Nusantara agar keturuan Raja asli dapat menjadi raja dan memimpin Nusantara dengan trahnya.“Siapa namanya?” tanya Tanaka lagi.“Dia menyebut dirinya sebagai Pendekar Langit,” jawab Sajuna. “Aku yakin dia membawa batu permata itu ke negeri asalnya.”“Aku akan mencarinya di Nusantara, tapi sebelum itu, izinkan aku menemui Bimala dan bicara dengannya se
Sebuah perahu terdampar di pulau batu itu. Di dalamnya ada seorang lelaki yang tampak lemas dan bisa lagi menggerakkan tubuhnya. Dia berusaha untuk keluar dari dalam perahunya karena tidak ingin ombak laut menarik perahunya kembali ke tengah lautan. Seketika Baluku muncul di hadapannya. Lelaki itu terbelalak ketakutan. Dia tak bisa berbuat apa-apa selain pasrah.“Siapa kau?” tanya Baluku dengan heran.Lelaki itu sulit bicara. Jamur di mulutnya membuat lidah dan langit-langit mulutnya dipenuhi luka. Menelan saja dia tidak bisa bagaimana dia mau bicara.Baluku berpikir lalu mengarahkan tangannya ke tubuh lelaki itu. Seketika tenaga dalam mengalir ke tubuhnya. Kini lelaki itu tampak kuat, dia pun mampu bergerak. Namun saat dia sudah bergerak, dia kembali meraih dayungnya untuk meninggalkan pulau itu. Dia takut dengan Baluku.Baluku geram melihatnya. Dia pun mengarahkan tangannya ke arah lautan hingga ombak besar datang lalu menggulung perahunya hingga kembali terdampar di pulau batu itu.
Kapal Layar itu masih berlayar dengan cepat mengarungi samudera luas menuju Nusantara. Entah akan berapa lama mereka tiba di sana. Tanaka duduk di tepi ranjang di dalam kamar perut kapal itu. Dia membuka buntalan kainnya. Dia keluarkan mahkota emas di dalamnya. Mahkota Emas yang akan diserahkannya pada penerus tahta kerajaan sesungguhnya. Melihat itu, kenangannya bersama Sa kembali teringat. Tak ada ayah angkat yang sebaik Sa. Mendiang ayahnya itu sangat menyayanginya. Bahkan dia hampir tertipu olehnya karena Sa memperlakukannya seperti anak kandungnya sendiri.“Bawa seratus batu lagi ke sini!” tegas Sa pada Tanaka sewaktu dia berumur 10 tahun.Tanaka terbelalak mendengar itu.“Itu sangat banyak, Ayah. Aku tidak sanggup mengumpulkan dan membawa batu sebanyak itu ke sini,” protes Tanaka.“Kau harus berlatih sejak sekarang,” ujar Sa. “Otot-otot tangan dan kakimu harus dilatih dengan itu agar pukulan dan tendangan dari jurus yang ayah ajarkan padamu mampu menopangnya. Ingat, otot-otot ku
Sudah sekian lamanya kapal layar itu mengarungi samudera dengan kecepatan yang tidak biasa. Nahkoda itu terkejut ketika mendapati di jauh sana terdapat puluhan kapal layar asing yang seperti tengah menghadang mereka.“Hentikan kapalnya!” teriak Nahkoda pada awak kapalnya.Awak-awak kapal itu bergegas mengendalikan layar yang terbentang di atas mereka. Sementara Sang Nahkoda kembali membacakan mantaranya agar kapal itu berlayar dengan tenang. Saat Kapal layar itu sudah berlayar dengan tenang, para awak kapal itu menggulung layar di atas mereka hingga kapal layar itu berhenti.Sang Nahkoda bergegas turun untuk membangunkan Tanaka yang istirahat di sebuah kamar di perut kapal itu. Setiba di depan pintu kamar, Sang Nahkoda mengetuk pintu.“Tuan! Tuan!” teriak Sang Nahkoda.Pintu kamar itu terbuka. Tanaka keluar sambil menguap. Dia tampak masih mengantuk. Dia menatap Sang Nahkoda dengan heran.“Apa kita sudah sampai ke Nusantara?” tanya Tanaka dengan herannya.“Sepertinya sudah, Tuan. Namu
Tanaka pun menghentikan kudanya di dekat perkampungan. Dia turun dari kudanya sambil mengelus punggungnya.“Pergilah,” pinta Tanaka.Kuda itu lalu pergi. Setelah kuda itu menghilang dari hadapannya, Tanaka keluar dari dalam hutan itu lalu berjalan ke tengah-tengah kampung. Anak-anak kecil berlarian ketakutan saat melihat wajah Tanaka. Sebagian ada yang menangis lalu langsung memasuki rumah-rumah mereka yang sederhana.Beberapa warga pun langsung memasuki rumah masing-masing ketika mendapati Tanaka. Tampaknya mereka baru itu melihat wajah yang menyeramkan itu.“Silumaaaan!” teriak salah satu warga ketakutan lalu berlari menjauh dari Tanaka. Dia menurunkan rumput untuk pakan ternaknya.Tanaka menggeleng melihatnya. Dia pun melompat lalu berputar-putar di atas lelaki yang berlari itu kemudian mendarat tepat di hadapannya. Lelaki itu terpaksa berhenti dengan wajah takutnya.“Aku bukan siluman,” ucap Tanaka mencoba ramah.“Ta... tapi... wajahmu.... mi... mi... rip... kera!” ucap warga itu
Bimala berdiri ketika melihat kedatangan Putra Mahkota Gontala bersama prajuritnya. Para Peri pun heran, mereka ikut berdiri menyambut kedatangan Putra Mahkota itu. Sementara Roh Panglima dan Jabali tampak diam saja. Mereka pikir kedatangan Gontala bersama prajuritnya itu hanya untuk mengingatkan sesuatu saja.“Yang Mulia Raja akan mengeluarkan kalian dari penjara!” ucap Putra Mahkota Gontala.Bimala dan yang lain terkejut mendengar itu.“Maksudmu, Yang Mulia Raja akan membiarkan kami keluar dari negeri ini?” tanya Bimala memastikan.“Tidak!” jawab Putra Mahkota Gontala. “Ayahku akan memberikan kalian tempat tinggal di sekitar istana. Kalian bisa hidup bebas di negeri kami, tapi biar begitu, kalian tetap tidak akan bisa keluar dari negeri ini hingga Pemuda itu datang membawa batu permata milik negeri ini.”Bimala memandang Para Peri di dekatnya.“Apa ada sesuatu dibalik ini semua?” tanya Bimala dengan berbisik pada para Peri itu.Sebelum Peri itu menjawab, Gontala yang mendengarnya la
“Rupanya mahkota itu ada di tanganmu? Darimana kau mendapatkannya? Kami sudah lama mencarinya, bahkan mahkota yang digunakan Raja yang sekarang adalah mahkota palsu,” ucap Saka dengan herannya.“Utusan dari negeri ini yang memintaku untuk menghantarkan mahkota ini padamu,” jawab Tanaka yang tidak ingin menceritakan kisah hidupnya pada Saka. Dia tidak akan mungkin mengisahkannya, karena bagaimana pun kerajaan Nusantara bisa hancur karena ulah ayah kandungnya yang memerangi kerajaan Nusantara lalu mengambil semua kekayaan di sana, yang meminta bantuan Raja Iblis itu. Jika Saka mengetahui semuanya, Putra Mahkota itu pasti akan menganggapnya sebagai musuh. Pemuda itu pasti menyimpan dendam begitu besar kepada kerajaan Manggala tempat Tanaka dibesarkan.“Apa mereka yang memiliki nama samaran Sa, Si, Su dan Se?” tanya Saka.Tanaka terbelalak. Rupanya Putra Mahkota yang terbuang itu mengetahui ayah dan paman-pamannya.“Bagaimana kau bisa tahu?” tanya Tanaka tak percaya.“Sebelum ayah meningg
Bimala dan Pelayan Minun tampak gelisah menantikan Tabib Istana bersama tabib-tabib lain yang sedang membantu Sang Ratu untuk melahirkan itu. Akhirnya hari itu telah tiba. Sang Ratu pun tak bisa lagi menahannya karena waktu kelahiran anak keduanya itu telah tiba.Sementara Bimala dan Pelayan Minun belum mendapat kabar dari Tanaka. Mereka tidak tahu apakah Tanaka sudah berhasil atau belum membunuh Baluku hingga kutukan itu terlepas dan tidak akan dialami oleh bayi yang sedang berusaha dikeluarkan oleh para tabib itu.Tak lama kemudian terdengar suara tangisan bayi. Bimala dan Pelayan Minun tampak haru bercampur was-was. Mereka was-was jikalau bayi itu akan terlahir buruk rupa juga seperti Tanaka.“Oh anakku!” teriak Sang Ratu di dalam sana terlihat menangis haru.Bimala dan Pelayan Minun saling menatap dengan ragu.“Apakah bayi itu juga terlahir buruk rupa?” bisik Pelayan Minun dengan penasaran pada Bimala.“Aku tidak tahu, Bi,” jawab Bimala dengan berbisik juga.“Bimala, Pelayan Setia
Baluku terbelalak ketika pulau yang menjadi tempatnya dikurung para dewa itu sudah dikelilingi kapal-kapal yang berisi pasukan dari Tanaka. Baluku kini berdiri di atas puncak batu karang yang paling tinggi. Matanya kini tertuju pada Tanaka yang berdiri gagah di samping Roh Panglima.“Kami sudah datang, Tuan Guru!” teriak Tanaka.Baluku kian geram mendengarnya.“Panglima dan prajurit-prajurit keparat! Kenapa kalian lebih setia pada muridku dibanding denganku yang sudah membangkitkan kalian dari alam roh hingga bisa hidup seperti manusia lagi?!!! Harusnya kalian berpihak padaku, bukan pada manusia buruk rupa itu!!!” teriak Baluku dengan geramnya.“Bukan kah Yang Mulia membangkitkan kami untuk setia pada Tuan Tanaka? Bukan pada Yang Mulia?” jawab Roh Panglima.Baluku kian geram mendengarnya. Baluku pun mengangkat tangannya. Seketika batu-batu kecil di atas permukaan karang itu terangkat lalu tak lama kemudian batu-batu kecil itu menyalakan api yang tampak panas.Tanaka dan Roh Panglima p
Pelayan Minun berteriak memanggil Bimala saat melihat Sang Ratu sedang kesakitan memegangi perutnya yang besar itu. Bimala bergegas datang dengan panik.“Yang Mulia!” ucap Bimala mendekat ke kasurnya. “Yang Mulia kenapa?”“Perutku sakit sekali, Bimala. Aku sepertinya hendak melahirkan.”Bimala dan Pelayang Minun pun panik mendengarnya.“Tolong panggilkan Tabib, Bi,” pinta Bimala dengan panik pada Pelayan Minun.“Baik, Nona.”Pelayan Minun pun bergegas keluar untuk memanggil Tabib. Bimala pun memegangi tangan Sang Ratu untuk menguatkannya.“Tunggu sebentar lagi, Yang Mulia. Sebentar lagi Tabib akan segera datang.”“Tapi bagaimana jika seandainya sekarang anak ini berhasil dilahirkan sementara Tanaka belum berhasil membunuh Baluku? Apakah kutukan itu akan menghilang jika setelah anak ini lahir, Tanaka baru bisa memusnahkan Baluku?” tanya Ratu dengan bingung sambil menahan sakit di perutnya.“Apapun yang terjadi, sekarang pikirkan saja kesehatan Yang Mulia Ratu dan anaknya nanti. Meskipu
“Bagaimana ini bisa terjadi?” tanya Jabali dengan terbelalak tak percaya melihat dirinya, Tanaka, Roh Panglima dan para awak kapal layarnya sedang dibawa terbang berputar mengelilingi tentara mereka yang tengah bertarung di atas lautan itu.“Inilah kemampuanku sekarang, Jabali,” ucap Tanaka.Tanaka pun memandangi Roh Panglima.“Kau hadapai Panglima Setan itu dan aku akan menghadapi murid baru Raja Iblis itu,” perinta Tanaka pada Roh Panglima.“Siap, Tuan Tanaka!”Roh Panglima pun langsung terbang melesat menuju Panglima Setan untuk menyerangnya. Panglima Setan pun terkejut melihat kedatangan Roh Panglima yang tengah melesat ke arahnya itu. Dia pun lansung meninggalkan Karan di atas kapal itu kemudian bertarung dengan Roh Panglima di atas lautan itu dengan jurus meringankan tubuhnya.Sementara Karan di atas kapalnya itu terbelalak ketika mendapati Tanaka kini sudah berada di hadapannya. Karan mundur ke belakang karena ketakutan melihat wajah Tanaka yang menghitam. Dia seperti baru itu
Tiba-tiba awak kapal tampak terbelalak ketika melihat kapal-kapal layar seperti menghadang di hadapan sana.“Tuan, Panglima! Tuan, Panglima!” teriak awak kapal itu.Tanaka dan Roh Panglima yang sedang berada di sisi kapal itu pun menoleh pada awak kapal itu.“Ada apa?” tanya Roh Panglima heran.“Di hadapan sana seperti ada puluhan kapal menghadang, Tuan,” jawab awak kapal itu.Roh Panglima dan Tanaka pun bergegas berjalan ke ujung kapal. Mereka berdua terbelalak melihat kapal-kapal di hadapan.“Tahan layarnya!!!!” teriak Roh Panglima saat melihat pasukan Karan tengah menghadang di hadapan sana dengan sepuluh kapal layar berkarangnya.Seluruh awak kapal Pasukan Tanaka pun mengatur layarnya agar kapal-kapal mereka berhenti berlayar. Saat kapal-kapal pasukan Tanaka berhenti, Tanaka berjalan ke ujung kapal lalu memperhatikan kapal-kapal pasukan Karan itu dengan jelas. Roh Panglima berdiri di sebelahnya.“Apakah benar yang berdiri paling depan di kapal layar terdepan itu murid baru Raja Ba
“Yang Mulia Ratu! Yang Mulia Ratu!” teriak pelayan setianya memasuki ruangan kediamannya. Dia tampak heran tidak melihat ada Ratu di sana.Sesaat kemudian Ratu tampak datang dari belakangnya.“Kau mencariku?” tanya Ratu heran.Pelayan Minun menatap Ratu dengan lega.“Bimala sudah datang, Yang Mulia!” ucap Pelayan Minun dengan lega.Ratu pun sangat senang mendengarnya.“Di mana dia sekarang?”“Dia ada depan gerbang kediamanmu ini, Yang Mulia,” jawab Pelayan Minum.“Suruh dia masuk! Tadi kenapa aku tidak melihatnya,” perintah Ratu.“Baik, Yang Mulia.”Pelayan Minun pun bergegas keluar dari ruangan itu. Ratu pun duduk di tempat duduknya dengan tidak sabar. Dia ingin tahu banyak bagaimana kabar Tanaka darinya. Tak lama kemudian Pelayan Minun datang bersama Bimala. Bimala langsung bersimpuh di hadapannya.“Maafkan aku, Yang Mulia,” ucap Bimala sembari meneteskan air mata. “Aku telah meninggalkan istanamu tidak pamit langsung di hadapanmu.”“Kau tak perlu merasa bersalah, Bimala. Sekarang c
Baluku berdiri di hadapan seorang lelaki yang sedang berlutut padanya. Lelaki yang dahulu tidak sengaja terdampar di sana karena perahu yang dia naiki terpaksa pecah tergulung ombak hingga dia terdampar dan diselamatkan Baluku di sana. Dia menatap lelaki itu dengan lekat, dengan wajah tegasnya.“Hari ini kau telah berhasil mendapatkan semua ilmu dariku!” ucap Baluku padanya. “Kau sendiri yang bersedia memilih untuk menjadi muridku daripada mati di tanganku! Aku tidak pernah memaksamu untuk datang ke pulauku ini. Perahumu lah yang karam dan membuatmu terdampar di sini!”“Baik, Guru!” ucap Pemuda yang bernama Karan.“Dan untuk bisa bebas dariku,” lanjut Baluku. “Kau harus mendapatkan Pedang Perak Cahaya Merah itu dari mantan Muridku si Buruk Rupa itu. Aku merasakan pedang itu sudah ada pada dirinya saat ini. Dia tengah berada di negeri Nusantara.”“Baik, Guru,” sahut Karan sekali lagi.Baluku pun menatap sebuah kapal setan yang di atasnya sudah berdiri seorang Panglima Setan, Nakoda dan
Kapal-kapal yang dinaiki Tanaka bersama kaum Sakwa itu pun akhirnya berlabuh di pelabuhan Nusantara. Roh panglima bersama prajuritnya langsung menyambut kedatangan mereka. Bimala sudah tidak sabar lagi untuk segera bertemu dengan Tanaka. Begitu pun Sakwa. Dia ingin meminta maaf pada kaumnya yang telah meninggalkan mereka di negeri raksasa itu.Saat Tanaka dan kaum sakwa itu turun dari kapal layar masing-masing. Bimala langsung berlari menuju Tanaka lalu memeluknya dengan erat.“Apakah kau berhasil mengembalikan batu permata itu pada Yang Mulia Raja Sujana?” tanya Bimala penasaran.“Batu permata itu ternyata untukku, Bimala,” jawab Tanaka.Bimala terkejut mendengarnya. “Untukmu?”“Iya,” jawab Tanaka. “Raja Sajuna menghadiahkannya padaku! Dia tahu aku hendak membunuh Raja Iblis itu. Katanya batu permata itu akan sepadang dengan kekuatan yang dimiliki raja Iblis itu.”Bimala senang mendengarnya. Kini dia semakin tenang karena Tanaka akan memiliki kekuatan lebih untuk melawan Baluku. Dia
“Ampun Yang Mulia! Jika kami memiliki kesalahan dan dosa hingga Yang Mulia berkunjung ke tempat sederhana kami ini, kami rela dihukum, Yang Mulia!” ucap ayah Numi yang tampak ketakutan melihat kedatangan Raja Saka yang secara mendadak itu.Begitu pun dengan Numi dan Ibunya, mereka pun memohon-mohon ampun pada Raja Saka. Raja Saka yang melihat itu tampak tidak enak hati dan merasa bersalah.“Berdirilah,” pinta Raja Saka.“Ampun, Yang Mulia. Berdiri di hadapan Raja adalah dosa besar bagi kami yang hanya sebagai rakyat jelata. Itu akan membuat leluhur mengutuk kami. Biarkan kampi bersimpuh begini Yang Mulia.”Numi dan Ibunya pun kembali memohon-mohon ampun pada Raja Saka. Sekarang Raja Saka tampak kebingungan sendiri. Dia pun menatap Panglimanya. Pendekar Penggebrak Bumi itu tampak kebingung. Dia tidak mengerti soal urusan asamara itu. Saat Raja Saja menatap Bari, Bari pun tampak mengangkat kedua bahunya. Sementara para warga di sekitar rumah Numi itu masih tampak berlutut di tempat masi