Kapal layar itupun mengarungi samudera dengan cepat. Tanaka berpegangan ke tiang layar dengan kuat. Angin menyapu rambutnya.“Parak awakku! Kerahkan seluruh kemampuan kalian!” teriak Sang Nahkoda itu. “Kita akan menuju negeri Babatama! Negeri yang hanya bisa dilihat oleh makhluk seperti kita!”“Apa aku tidak bisa melihat negeri itu?!” tanya Tanaka dengan heran. “Kalau aku tidak dapat melihatnya, kenapa aku harus pergi ke negeri itu?!”“Tidak, Tuanku!” jawab Roh Panglima. “Engkau dapat melihat negeri itu dan makhluk di dalamnya. Engkau telah mendapatkan kekuatan dari Baluku. Manusia manapun yang dapat melihat kekuatan dari Baluku, dia akan dapat memilhat sebuah alam yang tidak dapat dilihat oleh manusia biasa!”“Kalau begitu, kenapa Sang Nahkoda bicara begitu?!” tanya Tanaka dengan geram sambil melihat ke arah Sang Nahkoda.Sang Nahkoda itu tampak ketakutan.“Ampun, Tuanku! Tadi aku belum selesai bicara! Aku ingin mengatakan kecuali Tuan Tanaka. Aku ingin mengatakan seperti yang Roh Pa
“Tuan Tanaka! Bagunlah!”Tanaka terbangun saat mendengar teriakan Roh Panglima di luar kamarnya.“Ada apa?” tanya Tanaka lalu duduk dengan mengantuk di sisi kasurnya. Dia masih berada di dalam perut kapal itu.“Sebentar lagi kita akan sampai!” jawab Roh Panglima.Tanaka terkejut mendengar itu. Dia pun bergegas turun dari atas kasur lalu berjalan menuju pintu. Saat berhasil membuka pintu, dia melihat ruangan di dalam perut kapal itu tampak terang terkena sorot matahari dari celah tangga di atas sana.“Apakah kabutnya sudah menghilang?” tanya Tanaka dengan penasaran.“Iya, Tuanku. Sekarang negeri Babatama sudah terlihat di ujung sana. Ayo segera ke atas. Kita akan tiba,” ajak Roh Panglima.Tanaka pun bergegas naik ke atas kapal, diikuti oleh Roh Panglima. Matanya terbelalak ketika melihat di hadapannya tampak daratan luas yang ditumbuhi pohon-pohon raksasa. Mereka bagai seekor semut yang berada di atas daun di pinggir sungai.“Apakah kita mengecil?” tanya Tanaka tak percaya.“Bukan kita
Bimala tampak terbangun di dalam kamarnya. Dia sekilas bermimpi melihat Tanaka diserang makhluk-makhluk raksasa. Sesaat kemudian pelayannya datang dengan heran melihat Tuannya terbangun tengah malam begitu.“Apa ada sesuatu yang bisa hamba bantu, Nona,” tawar pelayannya.Bimala duduk di tepi kasur dengan gelisah.“Tidak,” jawab Bimala.Pelayan itu lalu mengangguk, kemudian pergi dari sana. Bimala tampak memikirkan Tanaka, tanpa Pedang Perak Cahaya Merah itu pasti sangat kesusahan melawan Baluku.“Aku harus membantu Tanaka,” gumam Bimala.Bimala pun akhirnya berkemas dan bersiap pergi dari istana itu. Dia keluar dari kamarnya lalu berpesan pada prajurit penjaga dan pelayan di sana untuk menyampaikan kepada Sang Ratu bahwa dia harus pergi membantu Tanaka. Dia ingin menemui langsung Sang Ratu, namun di tengah malam begitu, itu pasti menganggunya, apalagi Sang Ratu tengah hamil tua. Dia butuh istirahat yang cukup.Akhirnya Bimala memacukan kudanya. Dia kembali ke mata air untuk pergi ke n
“Kalian siapa?” tanya yang paling tinggi dari kelima manusia itu pada Tanaka, Roh Panglima dan Jabali.“Kalian yang siapa?” tanya balik Tanaka. “Kenapa kalian ada di alam ini?”Kelima manusia itu saling menatap dengan bingung. Lalu yang paling tinggi dan paling kurus itu mendekat ke Tanaka.“Namaku, Tasir,” jawabnya. “Kami tersesat di negeri ini sudah sepuluh tahun lamanya dan kami belum menemukan jalan untuk kembali.”Tanaka, Roh Panglima dan Jabali terbelalak mendengarnya.“Apa tujuan kalian ke sini?” tanya Tanaka sekali lagi.Tasir dan keempat temannya kembali saling menatap dengan bingung. Sepertinya mereka tidak ingin menceritakan alasan sesungguhnya mereka terjebak ke sana pada Tanaka.“Jika ingin tahu ceritanya, ikutlah ke markas kami. Di sini tidak aman, kalian akan dimakan binatang raksasa jika mereka melihat,” jawab Tasir.Tanaka pun menoleh pada Roh Panglima.“Bagaimana?” tanya Tanaka.“Kita ikuti saja mereka, Tuanku,” jawab Roh Panglima.Tasir menatap heran ke Roh Panglima
Tanaka menarik tangan Roh Panglima untuk menjauh dari Sakwa. Sakwa terdiam melihatnya. Jabali mengikuti Tanaka dan Roh Panglima yang berjalan menuju pintu gua itu.“Kenapa kau tidak tahu kalau siapapun yang memasuki alam ini tak akan bisa kembali lagi?” tanya Tanaka menahan amarahnya pada Roh Panglima. “Kenapa kau tidak mengetahui soal batu permata itu?”Roh Panglima pun berlutut di hadapan Tanaka. Sementara Jabali tampak bingung. Dia hanya berdiri melihat dua tuannya itu yang tampak akan bertengkar.“Ampun, Tuanku,” ucap Roh Panglima. “Hamba benar-benar tidak tahu akan hal itu, namun hamba akan berusaha sekuat tenaga untuk mengeluarkan kita dari sini. Nyawa hamba akan hamba pertaruhkan untuk, Tuan.”Tanaka menghela napas. Sakwa mendekat ke arah mereka.“Jangan panik,” ucap Sakwa. “Tinggal lah di sini, kami sedang berusaha mencari cara agar bisa kembali ke alam manusia.”Tanaka menoleh pada Sakwa.“Berapa umurmu?” tanya Tanaka.“Aku tidak tahu karena di sini matahari tak pernah tengge
Saat Tanaka tertidur di sebuah rongga gua ditemani Roh Panglima dan Jabali, Tasir diam-diam mengunjungi Sakwa di tempatnya.“Apa Tuan sudah tidur?” tanya Tasir.Sakwa yang sudah berbaring tampak bangkit. Dia heran melihat kedatangan Tasir.“Ada apa?” tanya Sakwa.“Aku ingin bicara soal kedatangan manusia buruk rupa dan dua temannya dari bangsa roh itu,” jawab Tasir.Sakwa tampak tertarik. Dia menggeser tubuhnya lalu duduk di tepi kasur menghadap Tasir.“Memangnya mereka kenapa?”“Apa Tuan tidak curiga pada mereka?” tanya Tasir dengan was-was.“Curiga bagaimana?”“Dia datang bersekutu dengan dua makhluk dari bangsa roh. Apa Tuan tidak melihat itu sebagai sebuah keanehan? Bukan kah di dalam kitab leluhur kita yang terjebak di negeri raksasa ini bahwa mereka datang ke negeri ini untuk mendapatkan kekuatan karena pada saat itu negeri leluhur kita sedang diserang para Iblis dari bangsa roh itu? Namun karena tidak tahu jalan pulang, leluhur kita akhirnya terjebak di sini dan menyisakan kita
Sakwa baru saja memejamkan matanya. Tidurnya terganggu saat mendengar suara langkah kaki yang menuju kediamannya di dalam rongga gua itu. Sakwa pun duduk dan terkejut melihat kedatangan Tanaka, Roh Panglima dan Jabali.“Ini waktu tidur kami,” ucap Sakwa yang merasa terganggu atas kedatangan mereka.“Ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu,” ucap Tanaka sambil berjalan mendekat ke arah Sakwa.Sakwa mundur. Dia seperti takut pada Tanaka. Ini diakibatkan oleh Tasir yang telah mempengaruhi pikirannya. Tasir yang mengatakan untuk berhati-hati pada mereka.“Apa yang ingin kau katakan, katakanlah,” pinta Sakwa.“Kudengar di negeri ini ada buah yang jika kita makan akan membuat tubuh kita berubah menjadi raksa-raksasa hingga sama seperti bangsa Sajuna,” ujar Tanaka.Sakwa terbelalak mendengarnya.“Dari mana kalian tahu?” tanya Sakwa tak percaya.Tanaka menoleh pada Jabali.“Dari dia,” jawab Tanaka.Sakwa semakin curiga dengan bangsa roh itu.“Maksudmu, kau ingin mencoba memakan buah itu?”“
Kapal layar yang dinaiki Bimala tampak bergoyang. Bimala pun berpegangan pada tiang layar dengar erat. Gelombang laut tampak tinggi. Nahkoda dan awak kapal yang mengendalikan kapal layar itu tampak sibuk menggerakkan layar-layar agar kapal tidak terbalik dan selamat dari gelombang yang tinggi.Para Peri yang menemani Bimala kini bernyanyi. Nyaian penenang lautan. Bimala tidak gentar meski kapal yang dinaikinya sudah berkali-kali dimasuki gelombang laut. Di pikirannya hanya segera ingin tiba di negeri tempat Tanaka terjebak.Tak lama kemudian laut tampak agak tenang. Jika ada gelombang pun tidak tampak begitu besar. Bimala dan Para Peri tampak sudah tenang melihat lautan yang mulai bersahabat.“Apakah kita masih jauh?” tanya Bimala pada salah satu Peri yang menemaninya itu.Peri itu menatap ke hadapan, dia melihat ada batas kabut putih yang seolah menjadi dinding raksasa di sepanjang garis batas penglihatan.“Sepertinya tak akan lama lagi,” jawab Peri itu. “Gerbang ke negeri itu sudah
Bimala dan Pelayan Minun tampak gelisah menantikan Tabib Istana bersama tabib-tabib lain yang sedang membantu Sang Ratu untuk melahirkan itu. Akhirnya hari itu telah tiba. Sang Ratu pun tak bisa lagi menahannya karena waktu kelahiran anak keduanya itu telah tiba.Sementara Bimala dan Pelayan Minun belum mendapat kabar dari Tanaka. Mereka tidak tahu apakah Tanaka sudah berhasil atau belum membunuh Baluku hingga kutukan itu terlepas dan tidak akan dialami oleh bayi yang sedang berusaha dikeluarkan oleh para tabib itu.Tak lama kemudian terdengar suara tangisan bayi. Bimala dan Pelayan Minun tampak haru bercampur was-was. Mereka was-was jikalau bayi itu akan terlahir buruk rupa juga seperti Tanaka.“Oh anakku!” teriak Sang Ratu di dalam sana terlihat menangis haru.Bimala dan Pelayan Minun saling menatap dengan ragu.“Apakah bayi itu juga terlahir buruk rupa?” bisik Pelayan Minun dengan penasaran pada Bimala.“Aku tidak tahu, Bi,” jawab Bimala dengan berbisik juga.“Bimala, Pelayan Setia
Baluku terbelalak ketika pulau yang menjadi tempatnya dikurung para dewa itu sudah dikelilingi kapal-kapal yang berisi pasukan dari Tanaka. Baluku kini berdiri di atas puncak batu karang yang paling tinggi. Matanya kini tertuju pada Tanaka yang berdiri gagah di samping Roh Panglima.“Kami sudah datang, Tuan Guru!” teriak Tanaka.Baluku kian geram mendengarnya.“Panglima dan prajurit-prajurit keparat! Kenapa kalian lebih setia pada muridku dibanding denganku yang sudah membangkitkan kalian dari alam roh hingga bisa hidup seperti manusia lagi?!!! Harusnya kalian berpihak padaku, bukan pada manusia buruk rupa itu!!!” teriak Baluku dengan geramnya.“Bukan kah Yang Mulia membangkitkan kami untuk setia pada Tuan Tanaka? Bukan pada Yang Mulia?” jawab Roh Panglima.Baluku kian geram mendengarnya. Baluku pun mengangkat tangannya. Seketika batu-batu kecil di atas permukaan karang itu terangkat lalu tak lama kemudian batu-batu kecil itu menyalakan api yang tampak panas.Tanaka dan Roh Panglima p
Pelayan Minun berteriak memanggil Bimala saat melihat Sang Ratu sedang kesakitan memegangi perutnya yang besar itu. Bimala bergegas datang dengan panik.“Yang Mulia!” ucap Bimala mendekat ke kasurnya. “Yang Mulia kenapa?”“Perutku sakit sekali, Bimala. Aku sepertinya hendak melahirkan.”Bimala dan Pelayang Minun pun panik mendengarnya.“Tolong panggilkan Tabib, Bi,” pinta Bimala dengan panik pada Pelayan Minun.“Baik, Nona.”Pelayan Minun pun bergegas keluar untuk memanggil Tabib. Bimala pun memegangi tangan Sang Ratu untuk menguatkannya.“Tunggu sebentar lagi, Yang Mulia. Sebentar lagi Tabib akan segera datang.”“Tapi bagaimana jika seandainya sekarang anak ini berhasil dilahirkan sementara Tanaka belum berhasil membunuh Baluku? Apakah kutukan itu akan menghilang jika setelah anak ini lahir, Tanaka baru bisa memusnahkan Baluku?” tanya Ratu dengan bingung sambil menahan sakit di perutnya.“Apapun yang terjadi, sekarang pikirkan saja kesehatan Yang Mulia Ratu dan anaknya nanti. Meskipu
“Bagaimana ini bisa terjadi?” tanya Jabali dengan terbelalak tak percaya melihat dirinya, Tanaka, Roh Panglima dan para awak kapal layarnya sedang dibawa terbang berputar mengelilingi tentara mereka yang tengah bertarung di atas lautan itu.“Inilah kemampuanku sekarang, Jabali,” ucap Tanaka.Tanaka pun memandangi Roh Panglima.“Kau hadapai Panglima Setan itu dan aku akan menghadapi murid baru Raja Iblis itu,” perinta Tanaka pada Roh Panglima.“Siap, Tuan Tanaka!”Roh Panglima pun langsung terbang melesat menuju Panglima Setan untuk menyerangnya. Panglima Setan pun terkejut melihat kedatangan Roh Panglima yang tengah melesat ke arahnya itu. Dia pun lansung meninggalkan Karan di atas kapal itu kemudian bertarung dengan Roh Panglima di atas lautan itu dengan jurus meringankan tubuhnya.Sementara Karan di atas kapalnya itu terbelalak ketika mendapati Tanaka kini sudah berada di hadapannya. Karan mundur ke belakang karena ketakutan melihat wajah Tanaka yang menghitam. Dia seperti baru itu
Tiba-tiba awak kapal tampak terbelalak ketika melihat kapal-kapal layar seperti menghadang di hadapan sana.“Tuan, Panglima! Tuan, Panglima!” teriak awak kapal itu.Tanaka dan Roh Panglima yang sedang berada di sisi kapal itu pun menoleh pada awak kapal itu.“Ada apa?” tanya Roh Panglima heran.“Di hadapan sana seperti ada puluhan kapal menghadang, Tuan,” jawab awak kapal itu.Roh Panglima dan Tanaka pun bergegas berjalan ke ujung kapal. Mereka berdua terbelalak melihat kapal-kapal di hadapan.“Tahan layarnya!!!!” teriak Roh Panglima saat melihat pasukan Karan tengah menghadang di hadapan sana dengan sepuluh kapal layar berkarangnya.Seluruh awak kapal Pasukan Tanaka pun mengatur layarnya agar kapal-kapal mereka berhenti berlayar. Saat kapal-kapal pasukan Tanaka berhenti, Tanaka berjalan ke ujung kapal lalu memperhatikan kapal-kapal pasukan Karan itu dengan jelas. Roh Panglima berdiri di sebelahnya.“Apakah benar yang berdiri paling depan di kapal layar terdepan itu murid baru Raja Ba
“Yang Mulia Ratu! Yang Mulia Ratu!” teriak pelayan setianya memasuki ruangan kediamannya. Dia tampak heran tidak melihat ada Ratu di sana.Sesaat kemudian Ratu tampak datang dari belakangnya.“Kau mencariku?” tanya Ratu heran.Pelayan Minun menatap Ratu dengan lega.“Bimala sudah datang, Yang Mulia!” ucap Pelayan Minun dengan lega.Ratu pun sangat senang mendengarnya.“Di mana dia sekarang?”“Dia ada depan gerbang kediamanmu ini, Yang Mulia,” jawab Pelayan Minum.“Suruh dia masuk! Tadi kenapa aku tidak melihatnya,” perintah Ratu.“Baik, Yang Mulia.”Pelayan Minun pun bergegas keluar dari ruangan itu. Ratu pun duduk di tempat duduknya dengan tidak sabar. Dia ingin tahu banyak bagaimana kabar Tanaka darinya. Tak lama kemudian Pelayan Minun datang bersama Bimala. Bimala langsung bersimpuh di hadapannya.“Maafkan aku, Yang Mulia,” ucap Bimala sembari meneteskan air mata. “Aku telah meninggalkan istanamu tidak pamit langsung di hadapanmu.”“Kau tak perlu merasa bersalah, Bimala. Sekarang c
Baluku berdiri di hadapan seorang lelaki yang sedang berlutut padanya. Lelaki yang dahulu tidak sengaja terdampar di sana karena perahu yang dia naiki terpaksa pecah tergulung ombak hingga dia terdampar dan diselamatkan Baluku di sana. Dia menatap lelaki itu dengan lekat, dengan wajah tegasnya.“Hari ini kau telah berhasil mendapatkan semua ilmu dariku!” ucap Baluku padanya. “Kau sendiri yang bersedia memilih untuk menjadi muridku daripada mati di tanganku! Aku tidak pernah memaksamu untuk datang ke pulauku ini. Perahumu lah yang karam dan membuatmu terdampar di sini!”“Baik, Guru!” ucap Pemuda yang bernama Karan.“Dan untuk bisa bebas dariku,” lanjut Baluku. “Kau harus mendapatkan Pedang Perak Cahaya Merah itu dari mantan Muridku si Buruk Rupa itu. Aku merasakan pedang itu sudah ada pada dirinya saat ini. Dia tengah berada di negeri Nusantara.”“Baik, Guru,” sahut Karan sekali lagi.Baluku pun menatap sebuah kapal setan yang di atasnya sudah berdiri seorang Panglima Setan, Nakoda dan
Kapal-kapal yang dinaiki Tanaka bersama kaum Sakwa itu pun akhirnya berlabuh di pelabuhan Nusantara. Roh panglima bersama prajuritnya langsung menyambut kedatangan mereka. Bimala sudah tidak sabar lagi untuk segera bertemu dengan Tanaka. Begitu pun Sakwa. Dia ingin meminta maaf pada kaumnya yang telah meninggalkan mereka di negeri raksasa itu.Saat Tanaka dan kaum sakwa itu turun dari kapal layar masing-masing. Bimala langsung berlari menuju Tanaka lalu memeluknya dengan erat.“Apakah kau berhasil mengembalikan batu permata itu pada Yang Mulia Raja Sujana?” tanya Bimala penasaran.“Batu permata itu ternyata untukku, Bimala,” jawab Tanaka.Bimala terkejut mendengarnya. “Untukmu?”“Iya,” jawab Tanaka. “Raja Sajuna menghadiahkannya padaku! Dia tahu aku hendak membunuh Raja Iblis itu. Katanya batu permata itu akan sepadang dengan kekuatan yang dimiliki raja Iblis itu.”Bimala senang mendengarnya. Kini dia semakin tenang karena Tanaka akan memiliki kekuatan lebih untuk melawan Baluku. Dia
“Ampun Yang Mulia! Jika kami memiliki kesalahan dan dosa hingga Yang Mulia berkunjung ke tempat sederhana kami ini, kami rela dihukum, Yang Mulia!” ucap ayah Numi yang tampak ketakutan melihat kedatangan Raja Saka yang secara mendadak itu.Begitu pun dengan Numi dan Ibunya, mereka pun memohon-mohon ampun pada Raja Saka. Raja Saka yang melihat itu tampak tidak enak hati dan merasa bersalah.“Berdirilah,” pinta Raja Saka.“Ampun, Yang Mulia. Berdiri di hadapan Raja adalah dosa besar bagi kami yang hanya sebagai rakyat jelata. Itu akan membuat leluhur mengutuk kami. Biarkan kampi bersimpuh begini Yang Mulia.”Numi dan Ibunya pun kembali memohon-mohon ampun pada Raja Saka. Sekarang Raja Saka tampak kebingungan sendiri. Dia pun menatap Panglimanya. Pendekar Penggebrak Bumi itu tampak kebingung. Dia tidak mengerti soal urusan asamara itu. Saat Raja Saja menatap Bari, Bari pun tampak mengangkat kedua bahunya. Sementara para warga di sekitar rumah Numi itu masih tampak berlutut di tempat masi