Tanaka yang sudah mendarat di tanah lapangan depan benteng istana itu pun mengeluarkan tenaga dalamnya untuk menyerang Raja Nepis yang tengah meluncur ke arahnya. Sementara Roh Panglima, Jabali, Sakwa, Tasir dan ribuan prajuritnya yang masih hidup itu menunggu di atas kuda-kuda yang mengeluarkan kobaran api itu. Mereka penasaran apakah Tanaka akan berhasil melesatkan tenaga dalamnya pada Raja Nepis itu.Saat Tanaka melesatkan kembali tenaga dalamnya itu ke arah Raja Nepis, rupanya Raja Nepis berhasil menghindarinya dan kini Raja Nepis yang berbalik menyerangnya dengan cahaya birunya, namun Tanaka dengan sigap mampu menghindarinya.Sesaat kemudian, saat Tanaka lengah, tiba-tiba serangan cahaya biru dari tangan Raja Nepis mampu mengenai dada Tanaka hingga Tanaka terpental ke belakang dan semua yang menyaksikan itu tampak terngaga.“Tanakaaa!!!!” teriak Roh Panglima dengan khawatirnya bersama suara tawa Raja Nepis yang terdengar menggema.“Sudah aku bilang! Kau tak bisa mengalahkankuuuu!
Setelah lama menunggu. Raja Sajuna pun berdiri di singgasananya saat mendengar suara angin yang begitu kencang di luar istananya. Para Tetua dan Putra Mahkota yang berada di dalam sana juga heran.“Apa yang terjadi?” tanya Raja Sajuna dengan heran.“Sepertinya ada manusia yang memasuki negeri kita ini, Yang Mulia,” jawab Putra Mahkota.Raja Sajuna mengernyit heran. “Coba kau periksa keluar sana!” perintah Raja Sajuna.“Baik, Yang Mulia.”Putra Mahkota pun akhirnya keluar dari ruangan itu. Saat dia sudah berada di halaman istana, dia terkejut melihat angin puting beliung telihat berputar-putar di arah lautan sana. Seketika terlihat kilat yang menyambar-nyambar di arah laut sana. Dia mendengar banyak penduduk di luar istana tampak berteriak ketakutan mendengarnya.Tak lama kemudian mata Putra Mahkota terbelalak ketika mendapati sosok cahaya putih melesat ke arahnya. Dia pun tidak sempat lagi untuk memerintahkan para prajuritnya untuk bersiap dan berjaga di atas benteng istana.Tak menun
Tanaka yang masih berada di rumah itu tampak kebingungan. Malam di tempat itu hujan masih turun begitu deras di luar sana. Suara kilat terdengar menyambar-nyambar di luar sana.Tiba-tiba Tanaka terkejut melihat seorang perempuan yang tampak tidak bisa tidur di atas kasurnya sambil mengelap air matanya. Perempuan itu tampak gelisah di atas kasurnya. “Kemana suamiku?” ucap perempuan itu. “Kenapa jam segini dia belum pulang juga? Apa dia tidak tahu bahwa aku sangat takut dengan kilat itu?”Tanaka heran harus menyaksikan itu.“Apa batu permata itu membuat aku mati lalu aku menjadi bangsa roh seperti Roh Panglimaku?” tanya Tanaka pada dirinya sendiri. Sesaat kemudian dia berpikir untuk mengajak perempuan itu berbicara. “Hey! Apa kau mendengarku?”Anehnya perempuan itu seperti tidak mendengar suaranya. Tanaka kian panik. Dia khawatir sudah mati gara-gara menelan batu permata itu.Perempuan itu tampak melihat ke pintu kamarnya sambil bergumam.“Tak biasanya dia telat pulang begini. Biasanay
Suaminya mengangguk. Perempuan itu langsung membawa bayi itu ke dalam kamar. Sementara suaminya berjalan dengan hati-hati menuju pintu. Tanaka melihat suaminya itu sedikit mengintip keluar dari celah pintu yang berlobang. Tanaka pun ikut mengintip keluar sana. Dia terkejut ketika melihat seorang Panglima bersama empat prajuritnya datang ke sana. Tanaka tidak pernah melihat Panglima itu di kerajaan yang kini diperintah oleh Ibunya itu. Mungkin dia sekarang sudah mati, pikir Tanaka.Sang Suami itu tampak gusar. Di kepalanya seperti dijatuhi pertanyaan-pertanyaan.“Apakah mereka sudah tahu kalau aku telah menyelamatkan Putra Mahkota itu? Atau ada hal lain yang ingin disampaikan Panglima padaku hingga di dini hari ini mereka datang ke sini?” guman lelaki itu yang terdengar di telinga Tanaka.Akhirnya Sang Suami membukakan pintu. Sang Panglima terlihat berdiri di ambang pintu bersama ke empat prajuritnya. Tanaka pun membiarkan dirinya untuk menyaksikan itu, karena dia yakin ada pesan untu
“Mengapa para Iblis itu dikurung oleh Para Dewa?” tanya Tanaka penasaran pada Raja Sajuna.“Dahulu mereka tinggal di bumi yang sama dengan umat manusia,” jawab Raja Sajuna. “Namun karena kebiadapan mereka, akhirnya Maha Dewa menciptakan dunia baru untuk mereka tempati, namun Raja Iblis itu dan anak-anaknya tidak mau ke sana. Kaum-kaumnya yang lain saja yang pindah ke dunia baru itu. Mereka pun membuat huru hara dengan cara memerangi umat manusia, akhirnya Maha Dewa mengutus para dewanya untuk mengurung mereka dan memenjarakan mereka di tempat-tempat khusus di atas muka Bumi ini.”Tanaka mendengarkannya dengan seksama.Raja Sajuna kembali melanjutkan kata-katanya. “Mereka tidak akan bisa keluar dari tempat penjara masing-masing, kecuali ada umat manusia yang membantunya. Kini para dewa itu resah, karena para iblis itu berkali-kali bekerjasama dengan umat manusia, makanya para dewa mengutus umat manusianya untuk membunuh mereka suatu saat nanti, karena hanya umat manusia yang boleh memb
“Kita harus berterima kasih pada Tuan Guru Tanaka karena berkat dia dan orang-orang yang dibawanya lah aku bisa berada di singgasana ini dan kembali menguasai Nusantara ini!” ucap Raja Saka.Semua terdiam mendengarkan. Semua rakyatnya tampak mengerti dan mencoba melupakan dendam itu.“Lagipula, Raja Manggala yang dahulu berkuasa di sana telah tiada,” lanjut Raja Saka. “Dan sekarang ini kerajaan Manggala telah dipimpin oleh seorang ratu, ibunda Tuan Guru Tanaka sendiri. Suatu hari ini kita akan datang ke sana untuk memaafkan kesalahan Raja Manggala terdahulu dan kita akan menjalin persahabatan dengan mereka dan akan bekerjasama di segala bidang.”Para pejabat dan Tetua tampak angguk-angguk setuju.Raja Saka kembali menatap mereka dengan lekat. “Sekarang aku butuh kalian semuanya untuk memakmurkan kembali negeri kita! Kita harus bersama-sama membangun negeri ini dan kita harus bergotong royong untuk kemakmuran bersama. Setiap perbatasan harus dijaga dengan ketat agar tidak ada kerajaan
“Apa yang harus aku lakukan sekarang?” tanya Raja Saka dengan bingung. Bagaimana pun dia adalah raja saat itu. Penasehatnya benar, bahwa dia harus memiliki seorang permaisuri agar rakyatnya bisa tenang karena ada keturunan yang akan meneruskan tahta kerajaannya kelak. Jika dia tidak menikah, Raja Saka khawatir jika terjadi sesuatu hal buruk padanya hingga kerajaan itu kehilangan keturunan yang sah untuk meneruskan tahta di kerajaan itu.“Bagaimana kalau kita ke sana,” jawab Bari.“Kemana?” tanya Raja Saka heran.“Ke tempat orang tua Numi!”Raja Saka tiba-tiba gemetar, namun dia harus berani datang menemuinya, karena dialah satu-satunya perempuan yang dicintainya saat ini. Raja Saka tidak mau menikah dengan gadis yang tidak disukainya. “Memangnya kau tahu rumahnya?”Bari mengangguk. Raja Saka kian panik.“Jangan panik! Numi pasti menerima lamaranmu. Apalagi sekarang dia pasti sudah tahu siapa dirimu. Engkau adalah raja di negeri ini. Siapa yang tidak mau dilamar oleh raja?” bujuk Bari.
“Ampun Yang Mulia! Jika kami memiliki kesalahan dan dosa hingga Yang Mulia berkunjung ke tempat sederhana kami ini, kami rela dihukum, Yang Mulia!” ucap ayah Numi yang tampak ketakutan melihat kedatangan Raja Saka yang secara mendadak itu.Begitu pun dengan Numi dan Ibunya, mereka pun memohon-mohon ampun pada Raja Saka. Raja Saka yang melihat itu tampak tidak enak hati dan merasa bersalah.“Berdirilah,” pinta Raja Saka.“Ampun, Yang Mulia. Berdiri di hadapan Raja adalah dosa besar bagi kami yang hanya sebagai rakyat jelata. Itu akan membuat leluhur mengutuk kami. Biarkan kampi bersimpuh begini Yang Mulia.”Numi dan Ibunya pun kembali memohon-mohon ampun pada Raja Saka. Sekarang Raja Saka tampak kebingungan sendiri. Dia pun menatap Panglimanya. Pendekar Penggebrak Bumi itu tampak kebingung. Dia tidak mengerti soal urusan asamara itu. Saat Raja Saja menatap Bari, Bari pun tampak mengangkat kedua bahunya. Sementara para warga di sekitar rumah Numi itu masih tampak berlutut di tempat masi
Bimala dan Pelayan Minun tampak gelisah menantikan Tabib Istana bersama tabib-tabib lain yang sedang membantu Sang Ratu untuk melahirkan itu. Akhirnya hari itu telah tiba. Sang Ratu pun tak bisa lagi menahannya karena waktu kelahiran anak keduanya itu telah tiba.Sementara Bimala dan Pelayan Minun belum mendapat kabar dari Tanaka. Mereka tidak tahu apakah Tanaka sudah berhasil atau belum membunuh Baluku hingga kutukan itu terlepas dan tidak akan dialami oleh bayi yang sedang berusaha dikeluarkan oleh para tabib itu.Tak lama kemudian terdengar suara tangisan bayi. Bimala dan Pelayan Minun tampak haru bercampur was-was. Mereka was-was jikalau bayi itu akan terlahir buruk rupa juga seperti Tanaka.“Oh anakku!” teriak Sang Ratu di dalam sana terlihat menangis haru.Bimala dan Pelayan Minun saling menatap dengan ragu.“Apakah bayi itu juga terlahir buruk rupa?” bisik Pelayan Minun dengan penasaran pada Bimala.“Aku tidak tahu, Bi,” jawab Bimala dengan berbisik juga.“Bimala, Pelayan Setia
Baluku terbelalak ketika pulau yang menjadi tempatnya dikurung para dewa itu sudah dikelilingi kapal-kapal yang berisi pasukan dari Tanaka. Baluku kini berdiri di atas puncak batu karang yang paling tinggi. Matanya kini tertuju pada Tanaka yang berdiri gagah di samping Roh Panglima.“Kami sudah datang, Tuan Guru!” teriak Tanaka.Baluku kian geram mendengarnya.“Panglima dan prajurit-prajurit keparat! Kenapa kalian lebih setia pada muridku dibanding denganku yang sudah membangkitkan kalian dari alam roh hingga bisa hidup seperti manusia lagi?!!! Harusnya kalian berpihak padaku, bukan pada manusia buruk rupa itu!!!” teriak Baluku dengan geramnya.“Bukan kah Yang Mulia membangkitkan kami untuk setia pada Tuan Tanaka? Bukan pada Yang Mulia?” jawab Roh Panglima.Baluku kian geram mendengarnya. Baluku pun mengangkat tangannya. Seketika batu-batu kecil di atas permukaan karang itu terangkat lalu tak lama kemudian batu-batu kecil itu menyalakan api yang tampak panas.Tanaka dan Roh Panglima p
Pelayan Minun berteriak memanggil Bimala saat melihat Sang Ratu sedang kesakitan memegangi perutnya yang besar itu. Bimala bergegas datang dengan panik.“Yang Mulia!” ucap Bimala mendekat ke kasurnya. “Yang Mulia kenapa?”“Perutku sakit sekali, Bimala. Aku sepertinya hendak melahirkan.”Bimala dan Pelayang Minun pun panik mendengarnya.“Tolong panggilkan Tabib, Bi,” pinta Bimala dengan panik pada Pelayan Minun.“Baik, Nona.”Pelayan Minun pun bergegas keluar untuk memanggil Tabib. Bimala pun memegangi tangan Sang Ratu untuk menguatkannya.“Tunggu sebentar lagi, Yang Mulia. Sebentar lagi Tabib akan segera datang.”“Tapi bagaimana jika seandainya sekarang anak ini berhasil dilahirkan sementara Tanaka belum berhasil membunuh Baluku? Apakah kutukan itu akan menghilang jika setelah anak ini lahir, Tanaka baru bisa memusnahkan Baluku?” tanya Ratu dengan bingung sambil menahan sakit di perutnya.“Apapun yang terjadi, sekarang pikirkan saja kesehatan Yang Mulia Ratu dan anaknya nanti. Meskipu
“Bagaimana ini bisa terjadi?” tanya Jabali dengan terbelalak tak percaya melihat dirinya, Tanaka, Roh Panglima dan para awak kapal layarnya sedang dibawa terbang berputar mengelilingi tentara mereka yang tengah bertarung di atas lautan itu.“Inilah kemampuanku sekarang, Jabali,” ucap Tanaka.Tanaka pun memandangi Roh Panglima.“Kau hadapai Panglima Setan itu dan aku akan menghadapi murid baru Raja Iblis itu,” perinta Tanaka pada Roh Panglima.“Siap, Tuan Tanaka!”Roh Panglima pun langsung terbang melesat menuju Panglima Setan untuk menyerangnya. Panglima Setan pun terkejut melihat kedatangan Roh Panglima yang tengah melesat ke arahnya itu. Dia pun lansung meninggalkan Karan di atas kapal itu kemudian bertarung dengan Roh Panglima di atas lautan itu dengan jurus meringankan tubuhnya.Sementara Karan di atas kapalnya itu terbelalak ketika mendapati Tanaka kini sudah berada di hadapannya. Karan mundur ke belakang karena ketakutan melihat wajah Tanaka yang menghitam. Dia seperti baru itu
Tiba-tiba awak kapal tampak terbelalak ketika melihat kapal-kapal layar seperti menghadang di hadapan sana.“Tuan, Panglima! Tuan, Panglima!” teriak awak kapal itu.Tanaka dan Roh Panglima yang sedang berada di sisi kapal itu pun menoleh pada awak kapal itu.“Ada apa?” tanya Roh Panglima heran.“Di hadapan sana seperti ada puluhan kapal menghadang, Tuan,” jawab awak kapal itu.Roh Panglima dan Tanaka pun bergegas berjalan ke ujung kapal. Mereka berdua terbelalak melihat kapal-kapal di hadapan.“Tahan layarnya!!!!” teriak Roh Panglima saat melihat pasukan Karan tengah menghadang di hadapan sana dengan sepuluh kapal layar berkarangnya.Seluruh awak kapal Pasukan Tanaka pun mengatur layarnya agar kapal-kapal mereka berhenti berlayar. Saat kapal-kapal pasukan Tanaka berhenti, Tanaka berjalan ke ujung kapal lalu memperhatikan kapal-kapal pasukan Karan itu dengan jelas. Roh Panglima berdiri di sebelahnya.“Apakah benar yang berdiri paling depan di kapal layar terdepan itu murid baru Raja Ba
“Yang Mulia Ratu! Yang Mulia Ratu!” teriak pelayan setianya memasuki ruangan kediamannya. Dia tampak heran tidak melihat ada Ratu di sana.Sesaat kemudian Ratu tampak datang dari belakangnya.“Kau mencariku?” tanya Ratu heran.Pelayan Minun menatap Ratu dengan lega.“Bimala sudah datang, Yang Mulia!” ucap Pelayan Minun dengan lega.Ratu pun sangat senang mendengarnya.“Di mana dia sekarang?”“Dia ada depan gerbang kediamanmu ini, Yang Mulia,” jawab Pelayan Minum.“Suruh dia masuk! Tadi kenapa aku tidak melihatnya,” perintah Ratu.“Baik, Yang Mulia.”Pelayan Minun pun bergegas keluar dari ruangan itu. Ratu pun duduk di tempat duduknya dengan tidak sabar. Dia ingin tahu banyak bagaimana kabar Tanaka darinya. Tak lama kemudian Pelayan Minun datang bersama Bimala. Bimala langsung bersimpuh di hadapannya.“Maafkan aku, Yang Mulia,” ucap Bimala sembari meneteskan air mata. “Aku telah meninggalkan istanamu tidak pamit langsung di hadapanmu.”“Kau tak perlu merasa bersalah, Bimala. Sekarang c
Baluku berdiri di hadapan seorang lelaki yang sedang berlutut padanya. Lelaki yang dahulu tidak sengaja terdampar di sana karena perahu yang dia naiki terpaksa pecah tergulung ombak hingga dia terdampar dan diselamatkan Baluku di sana. Dia menatap lelaki itu dengan lekat, dengan wajah tegasnya.“Hari ini kau telah berhasil mendapatkan semua ilmu dariku!” ucap Baluku padanya. “Kau sendiri yang bersedia memilih untuk menjadi muridku daripada mati di tanganku! Aku tidak pernah memaksamu untuk datang ke pulauku ini. Perahumu lah yang karam dan membuatmu terdampar di sini!”“Baik, Guru!” ucap Pemuda yang bernama Karan.“Dan untuk bisa bebas dariku,” lanjut Baluku. “Kau harus mendapatkan Pedang Perak Cahaya Merah itu dari mantan Muridku si Buruk Rupa itu. Aku merasakan pedang itu sudah ada pada dirinya saat ini. Dia tengah berada di negeri Nusantara.”“Baik, Guru,” sahut Karan sekali lagi.Baluku pun menatap sebuah kapal setan yang di atasnya sudah berdiri seorang Panglima Setan, Nakoda dan
Kapal-kapal yang dinaiki Tanaka bersama kaum Sakwa itu pun akhirnya berlabuh di pelabuhan Nusantara. Roh panglima bersama prajuritnya langsung menyambut kedatangan mereka. Bimala sudah tidak sabar lagi untuk segera bertemu dengan Tanaka. Begitu pun Sakwa. Dia ingin meminta maaf pada kaumnya yang telah meninggalkan mereka di negeri raksasa itu.Saat Tanaka dan kaum sakwa itu turun dari kapal layar masing-masing. Bimala langsung berlari menuju Tanaka lalu memeluknya dengan erat.“Apakah kau berhasil mengembalikan batu permata itu pada Yang Mulia Raja Sujana?” tanya Bimala penasaran.“Batu permata itu ternyata untukku, Bimala,” jawab Tanaka.Bimala terkejut mendengarnya. “Untukmu?”“Iya,” jawab Tanaka. “Raja Sajuna menghadiahkannya padaku! Dia tahu aku hendak membunuh Raja Iblis itu. Katanya batu permata itu akan sepadang dengan kekuatan yang dimiliki raja Iblis itu.”Bimala senang mendengarnya. Kini dia semakin tenang karena Tanaka akan memiliki kekuatan lebih untuk melawan Baluku. Dia
“Ampun Yang Mulia! Jika kami memiliki kesalahan dan dosa hingga Yang Mulia berkunjung ke tempat sederhana kami ini, kami rela dihukum, Yang Mulia!” ucap ayah Numi yang tampak ketakutan melihat kedatangan Raja Saka yang secara mendadak itu.Begitu pun dengan Numi dan Ibunya, mereka pun memohon-mohon ampun pada Raja Saka. Raja Saka yang melihat itu tampak tidak enak hati dan merasa bersalah.“Berdirilah,” pinta Raja Saka.“Ampun, Yang Mulia. Berdiri di hadapan Raja adalah dosa besar bagi kami yang hanya sebagai rakyat jelata. Itu akan membuat leluhur mengutuk kami. Biarkan kampi bersimpuh begini Yang Mulia.”Numi dan Ibunya pun kembali memohon-mohon ampun pada Raja Saka. Sekarang Raja Saka tampak kebingungan sendiri. Dia pun menatap Panglimanya. Pendekar Penggebrak Bumi itu tampak kebingung. Dia tidak mengerti soal urusan asamara itu. Saat Raja Saja menatap Bari, Bari pun tampak mengangkat kedua bahunya. Sementara para warga di sekitar rumah Numi itu masih tampak berlutut di tempat masi