Pada saat itu, Lengkukup segera meninggalkan Lee Nara sendirian dan langsung menuju ke tempat tidurnya, karena merasa sedikit malu dengan tindakannya tersebut.
Namun, belum sempat Lengkukup menutup pintu tempat tidurnya, Lee Nara kembali memekik kepadanya, karena beberapa saat yang lalu, dirinya sempat membuat berantakan tempat itu.Dengan cepat dirinya menutup pintu, dan segera menguncinya dari dalam, sehingga Lee Nara tidak bisa membukanya, meski sudah beberapa kali ia mencoba."Tunggu saja besok pagi!" pekik Lee Nara sembari menghentakkan sebelah kakinya.Tetapi Lengkukup hanya diam membisu, dan tidak memberi respon apapun kepada Lee Nara, terlebih ia tidak ingin jika kepalanya terkena pukulan wanita itu kembali.Dalam keadaan lelah, Lengkukup mengambil sikap duduk bersila untuk melakukan meditasi dan berharap bisa memulihkan tenaga nya, yang sempat berkurang ketika berhadapan dengan seorang wanita beberapa hari yang lalu.Dalam keadaan panik En Jio berusaha menenangkan diri dengan beberapa kali menarik nafas, sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Hal itu dia lakukan, tidak lain karena sedang memikirkan alasan, untuk diberikan kepada Lengkukup yang tengah memergoki tingkah dirinya. Meski tidak sulit baginya untuk mengelak dan memberi alasan yang logis, akan tetapi didepan murid pertamanya itu, tidak mungkin ia lakukan hanya dengan berpura-pura bodoh seolah tidak terjadi apapun. "Leng, ada apa malam-malam begini kau datang kemari?" tanya En Jio lembut sembari menepuk pundak anak kecil itu, berharap ia akan lupad dengan tindakannya barusan. "Maaf karena telah mengganggu kesenangan yang guru lakukan barusan, akan tetapi aku hanya ingin bertanya sesuatu dan aku rasa ini bukan saat yang tepat," jawab Lengkukup menjelaskan. "Tidak perlu meminta maaf, lagipula sudah terlanjur kau mengetahuinya, aku bisa menjelaskan hal itu nanti, sesudah menjawab pertanyaan dir
Tidak membutuhkan waktu yang lama, bahkan dalam beberapa tarikan nafas saja, ia telah sampai di kediaman yang mereka tinggali bersama dengan Lee Nara, tanpa sepengetahuan oleh siapapun.Merasa telah aman, dan menganggap aksinya pada malam hari itu tidak diketahui oleh orang lain, Lengkukup berjalan dengan santai menuju halaman rumah, akan tetapi tiba-tiba ia merasakan sesuatu tengah menatapnya dari kejauhan, sehingga membuat ia menoleh kesegala arah. Namun, yang ia dapati justru beberapa pemuda tengah berjalan kearahnya, bahkan dengan sedikit berlari, seolah tidak ingin melewatkan momen itu. "Rupanya kau yang dibicarakan oleh banyak orang, pendatang baru!" ujar salah seorang pemuda bertubuh tegap dan memiliki wajah yang cukup rupawan. "Maaf! Aku tidak mengenal kalian, sebaiknya kalian pulang kerumah dan beristirahatlah..." timpal Lengkukup. "Besar mulut sekali kau ini, kau tidak tau sedang berhadapan dengan siapa?" tanya pemuda itu. "Aku t
Pada saat itu, Hen Swe sama sekali tidak siap untuk menerima serangan yang sedang mengarah kepadanya, sehingga ia memutuskan untuk menghalau serangan itu dengan tinju besi miliknya. Namun, serangan yang Lengkukup berikan kepadanya tidak pernah ia duga akan sekuat itu, terlebih lagi akan melihat sesuatu yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Sebuah pedang angin melesat dengan cepat kearah nya, sehingga dalam hitungan detik pedang angin itu telah berada didepan mata dan bertepatan dengan datangnya pedang angin yang melaju dengan cepat tersebut, dirinya menangis dengan kedua tangan. "Bertahanlah!" pekik Lengkukup. Merasa jika pemuda itu tidak bisa menahan serangannya, Lengkukup dengan instingnya langsung menyusul keberadaan Hen Swe seraya menarik pemuda itu, lalu menghalau jurus nya sendiri dengan cara melemparkannya kearah atas. Sebuah ledakan diudara terjadi begitu saja dan menimbulkan suara yang keras, sehingga membangunkan banyak or
Beberapa saat yang lalu, mereka telah meninggalkan kediaman Lengkukup serta membiarkan Hen Swe untuk pulang menemui sang nenek ditempat tinggal mereka.Sedangkan mereka berdua, lebih memilih untuk membicarakan tentang kejadian malam hari itu, serta untuk menindaklanjuti rencana mereka kedepannya.En Jio sempat merasa putus asa, karena dirinya menganggap tidak memiliki kemampuan yang lebih untuk diturunkan kepada Lengkukup, selain jurus pedang tingkat tinggi yang dia kuasai, jurus tersebut telah membawa dia pada masa kejayaan ketika menjadi pendekar pengembara bersama kedua rekannya."Aku tidak memiliki hal lain selain jurus tersebut Heng!" ujar En Jio."Bukankah jurus tersebut hanya bisa digunakan dengan pedang pusaka?" tanya Heng Juesha."Benar Heng, pedang biasa tidak akan bisa menahan kekuatan dari jurus tersebut," jawab En Jio. "Pedang penguasa malam milikku sekalipun, bahkan tidak bisa menahan jurus tersebut lebih lama, lantas bagaimana bisa a
Menyadari ada seseorang ditempat itu, En Jio sempat ingin menarik diri dan pergi dari sana, akan tetapi gerakannya sedikit tertahan, karena merasa penasaran dengan kehadiran pria paruh baya itu, yang sempat membuat jantungnya berdebar cukup keras. Dengan kehadiran sosok pria yang berada didepannya, sempat membuat En Jio menduga jika ada maksud tertentu dari kehadarinnya, mengingat tidak ada sesuatu hal yang penting yang akan disampaikan, terlebih kehadirannya pria itu, baru pertama kali ia jumpai ditempat pemandian air panas. Namun, ia sempat mengira jika pria paruh baya itu, sedang memergoki dirinya yang akan melakukan aksi dalam mengintip para wanita yang sedang mandi dikolam Pemandian Air Panas tersebut. "Ada perlu apa kau denganku Guan Ping?" tanya En Jio memastikan. "Tunggu dulu! jangan berfikir jika aku akan merusak acara pribadimu, aku datang kesini hanya untuk memastikan, jika kau tidak akan campur dalam sayembara beberapa hari yang akan d
Setelah kejadian itu, En Jio sempat mengurung diri hingga beberapa hari lamanya, karena menganggap jika ia telah melakukan kesalahan dan hal itu merupakan kali pertama baginyaSetelah beberapa hari ia mengurung diri, dan tidak memperdulikan keadaan sekitarnya, bahkan ia senpat tidak ingat jika satu hari lagi, akan tiba saat hari sayembara dimulai.Kabar itupun ia dapatkan, ketika beberapa penjaga melaporkan keadaan itu, serta meminta En Jio untuk bersiap menyambut tamu yang mereka undang, dengan tujuan memeriahkan acara tahunan tersebut. "Apa persiapannya sudah selesai?" tanya En Jio memastikan. "Kami telah mengurus semuanya tetua, tinggal menunggu kedatangan mereka," jawab penjaga tersebut. Di saat itu, En Jio hanya menanggapi penjaga itu, dengan mengangguk pelan seolah mengerti dengan sikap yang akan ia berikan nanti, ketika para tamu undangan mulai berdatangan kedalam desa mereka. Para tamu yang mereka undang dari acara tersebu
Tidak jauh berbeda dengan pasukan darah besi yang dipimpin oleh Heng Juesha, mereka melakukan latihan hampir setiap hari, hingga tiba saat hari sayembara akan dimulai, mereka melakukan latihan hampir tidak mengenal istirahat. Heng Juesha sedikit berharap, dengan keadaan itu, mereka dapat lebih kuat, sehingga ketika mendapati musuh yang menyerang kembali, mereka dapat mengatasi itu semua tanpa harus mengorbankan nyawa mereka.Kejadian beberapa waktu yang lalu, sempat membuat ketua darah besi itu merasa sangat terpukul, karena beranggapan dirinya tidak mampu membuat kelompoknya menjadi kuat, sehingga harus berkorban nyawa hanya demi melindungi desa. "Ketua Heng, sepertinya mereka sudah sangat kelelahan," ujar Yu Lian membangunkan lamunan Heng Juesha. "Cukup! suruh mereka untuk berhenti," ujar Heng Juesha. "Baik ketua Heng," timpal Yu Lian. Ketika itu, Heng Juesha sempat terkejut dengan suara Yu Lian yang tiba-tiba saja menghampiri dirin
Kejadian itu sempat membuat Hen Swe menelan ludah seraya berdecak, lalu menarik tangannya dengan keras serta menatap Lengkukup dengan dingin. Sedangkan pemuda satunya, yang sempat membela rekannya, malah mengambil sikap dengan mundur beberapa langkah, sembari berlindung terhadap rekannya yang lain. Namun, Hen Swe malah berniat membuat perhitungan dengan muda itu lagi, sembari mengacuhkan keberadaan Lengkukup, akan tetapi belum sempat ia melangkah terlalu jauh, Lengkukup kembali menghadang langkahnya. "Apa urusanmu denganku pendatang baru?" tanya Hen Swe. "Tidak ada, tetapi aku harus menghentikan mu karena kau akan membuat pemuda itu cidera," jawab Lengkukup lantang. "Omong kosong, aku tidak ada urusan denganmu saat ini, minggir!" ujar Hen Swe. "Jangan memaksaku Hen, aku tidak akan segan untuk melawanmu jika kau memaksa," timpal Lengkukup. "Cih, mari kita pergi!" ujar Hen Swe sembari meninggalkan keberadaan Lengkukup. Tiba-
Ling terdiam dalam keheningan, tatapannya masih terpaku pada tempat di mana sosok berjubah putih itu menghilang. Lengkukup dan En Jio berdiri di sisinya, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Namun, pertanyaan yang menggantung di udara tidak segera menemukan jawaban."Siapa dia?" En Jio akhirnya memecah kesunyian, suaranya bergetar lemah. "Penjaga Kuil Tianlong? Aku tidak pernah mendengar tentang sosok seperti itu..."Lengkukup, yang biasanya tenang dan penuh perhitungan, hanya menggelengkan kepala. "Dia muncul tepat saat kita membutuhkannya. Entah siapa atau apa tujuannya, kita sebaiknya bersyukur."Ling menghela napas panjang, tubuhnya masih lelah setelah serangan besar yang hampir menghabisi kekuatannya. "Kita harus segera pergi dari sini. Tempat ini penuh dengan kegelapan, dan aku merasakan sesuatu yang tidak beres."Mereka bertiga mengangkat diri, meskipun tubuh mereka masih t
Sima Yan berdiri tegak di hadapan Ling, Lengkukup, dan En Jio. Aura kegelapan yang memancar dari tubuhnya membuat udara di sekitar mereka terasa berat. Pedangnya yang besar dan hitam berkilauan dengan cahaya merah yang jahat, menandakan kekuatan yang luar biasa.Ling mengepalkan tangannya lebih kuat di sekitar gagang pedangnya. Napasnya terasa berat, dan dadanya bergemuruh dengan adrenalin. Dia tahu ini bukan hanya pertarungan melawan seorang musuh yang kuat, tapi juga perjuangan untuk tetap hidup."Kita tidak bisa membiarkan dia menang!" desis Ling dengan penuh semangat, meski dia tahu dalam hatinya bahwa mereka mungkin tidak akan bertahan dari pertarungan ini.Lengkukup berdiri di sampingnya, menatap dingin ke arah Sima Yan. "Kita bertarung sampai napas terakhir. Tidak ada pilihan lain."En Jio, yang masih terluka, mengangguk dengan susah payah. Meskipun kondisinya jauh dari ideal, dia tahu tidak ada waktu untuk mundur.
Ketika mereka keluar dari gua, lembah yang dulunya gelap sekarang diterangi cahaya redup matahari yang mulai tenggelam. Udara terasa lebih berat, seolah sesuatu yang jahat menyelimuti mereka dari kejauhan. Langit di atas Gunung Tianfeng mulai berubah menjadi merah darah, pertanda bahwa bahaya semakin dekat.
Suasana di dalam ruangan besar itu mendadak tegang. Pria berjubah hitam yang berdiri di hadapan mereka tampak mengintimidasi, dengan senyum penuh kebencian yang menyiratkan keyakinan mutlak pada kekuatannya. Cahaya dari kristal elemen hijau memantul di zirah hitamnya, mempertegas aura kegelapan yang menyelimuti tubuhnya."Aku adalah pengawal elemen ini," ucap pria itu dengan suara rendah yang bergetar. "Namaku Hei Long, dan kalian tak akan bisa melewati gerbang kehidupan ini."Ling menatap pria itu dengan tajam, mempersiapkan diri. "Kalau begitu, kita tak punya pilihan lain selain melawanmu."Lengkukup dan En Jio mengambil posisi di sebelah Ling. Meskipun mereka tahu bahwa Hei Long adalah lawan yang kuat, mereka tidak punya waktu untuk ragu. Kristal elemen hijau itu adalah kunci untuk melengkapi kekuatan Kitab Dewa Naga, dan mereka harus mendapatkannya, apa pun risikonya."Serahkan saja elemen itu
Malam mulai menyelimuti perbukitan, namun Ling, Lengkukup, dan En Jio terus melangkah. Suasana semakin mencekam saat kabut tipis mulai muncul, menyelimuti jalanan setapak yang semakin sempit. Hutan lebat di kiri dan kanan mereka seolah menjadi dinding kegelapan yang tak tertembus. Hanya suara langkah kaki mereka yang terdengar di tengah keheningan itu."Kita semakin dekat," kata Lengkukup, matanya terus mengawasi setiap gerakan di sekitar. "Aku bisa merasakan kehadiran sesuatu yang tidak biasa di sini."Ling mengangguk setuju. Dari kitab Dewa Naga yang berada dalam genggamannya, ia bisa merasakan energi yang semakin kuat. "Lembah itu tak jauh lagi. Energi dari elemen berikutnya sangat jelas terpancar dari sana."En Jio, yang biasanya penuh semangat, kali ini tampak lebih tenang. "Apa kalian sudah siap? Kalau pasukan hitam benar-benar menunggu di sana, ini akan menjadi pertempuran yang sulit."
Setelah berhasil mengalahkan Pengawal Bayangan dan mengamankan elemen es, Ling, Lengkukup, dan En Jio melanjutkan perjalanan mereka menuju perbukitan yang lebih rendah, meninggalkan puncak es yang mencekam di belakang. Udara di sini lebih hangat, tapi suasana tegang masih melingkupi mereka. Masing-masing terdiam, merenungkan pertempuran yang baru saja mereka lalui.“Kita sekarang memiliki dua elemen,” kata Lengkukup, memecah keheningan. “Tapi musuh kita pasti semakin sadar dengan keberadaan kita.”Ling mengangguk. “Kita harus bergerak cepat. Mereka tidak akan tinggal diam dan membiarkan kita mengambil semua elemen begitu saja.”En Jio, yang biasanya ceria, kali ini terlihat lebih serius. “Kalau mereka sudah mengirim Pengawal Bayangan, berarti kekuatan besar sedang memantau kita. Kita harus siap menghadapi mereka, kapan pun mereka menyerang.”
Setelah berhasil mendapatkan elemen es dari Puncak Es, Ling, Lengkukup, dan En Jio tidak bisa beristirahat lama. Meski mereka baru saja mengalahkan serigala es yang menjaga elemen tersebut, perasaan cemas tidak pernah benar-benar pergi. Keheningan yang melingkupi pegunungan bersalju seolah menyembunyikan ancaman yang belum terungkap.“Ling,” kata Lengkukup tiba-tiba, matanya tajam menatap ke kejauhan. “Kita sedang diawasi.”Ling yang sedang mengatur napas setelah pertempuran, langsung siaga. Dia mengeluarkan pedangnya dengan gerakan cepat, memfokuskan seluruh indranya untuk mendeteksi ancaman yang disampaikan Lengkukup. Seiring angin dingin yang menusuk, bayangan mulai terlihat di balik kabut tebal.En Jio, yang sebelumnya sedang bercanda untuk menghilangkan ketegangan, kini mengalihkan pandangannya dengan wajah serius. “Sepertinya, penjaga elemen es bukan satu-satunya yang harus kita hadapi.”Dari kabut yang semakin pekat, muncul sosok-sosok berpakaian hitam. Mereka bergerak dengan k
Setelah berhasil mendapatkan elemen api dari Gunung Berapi Hitam, Ling, Lengkukup, dan En Jio tidak memiliki banyak waktu untuk merayakan keberhasilan mereka. Tantangan berikutnya, elemen es, menanti mereka di ujung dunia yang berlawanan, di Puncak Es yang dilapisi salju abadi.“Kita tidak bisa berlama-lama di sini,” ujar Ling, napasnya masih terengah-engah setelah pertarungan yang menegangkan. “Puncak Es jauh, dan kita tidak tahu apa yang menanti kita di sana.”Lengkukup menyetujui, mengangkat elemen api dengan hati-hati. Cahaya merah yang menyala dari elemen itu berdenyut lembut, memberikan rasa hangat yang kontras dengan suhu yang akan mereka hadapi di perjalanan berikutnya.“Kau benar, Ling,” katanya. “Kita harus segera bergerak. Semakin lama kita menunda, semakin besar kemungkinan musuh kita mengetahui keberadaan elemen ini.”En Jio, yang telah berhasil mengalihkan perhatian naga api, berjalan mendekat. Dia tersenyum puas, meskipun wajahnya dipenuhi keringat. “Aku tidak sabar unt
Dengan hati yang penuh semangat dan ketegangan yang meningkat, Ling, Lengkukup, dan En Jio meninggalkan pasar malam. Mereka tahu bahwa perjalanan ini akan menjadi salah satu yang paling menantang yang pernah mereka hadapi. Mereka harus mendapatkan dua elemen yang berlawanan, dan langkah pertama adalah menuju Gunung Berapi Hitam.Di jalan, Ling merenungkan kata-kata lelaki tua itu. Kekuatan tidak hanya datang dari kemampuan fisik, tetapi juga dari keputusan yang mereka buat. Perjalanan ini bukan hanya tentang mencari kunci, tetapi juga tentang menemukan diri mereka sendiri dan menguji batasan mereka.Sesampainya di tepi hutan, mereka berhenti sejenak. Ling bisa merasakan perubahan udara, dari segar menjadi panas dan berbau sulfur. “Kita sudah dekat dengan gunung,” ujarnya.“Kau yakin kita siap menghadapi makhluk yang menjaga elemen api?” Lengkukup bertanya, merasakan ketegangan di udara.“Kita harus percaya satu sama lain,” jawab Ling. “Kita sudah melalui banyak hal bersama. Ini hanya