Ketika itu, Yu Lian yang menghadapi En Jio seorang diri, hampir saja kehilangan nyawa akibat terkena jurus cakar naga yang dilakukan oleh En Jio. Beruntung ia sempat mengatasinya dengan jurus tubuh besi, sehingga dampak yang dia dapat tidak begitu parah, tetapi sayangnya, Yu Liang telah mengorbankan seluruh tenaga dalam yang dia miliki, untuk menghalau satu jurus cakar naga En Jio yang hendak merenggut nyawanya. Namun disaat yang hampir sama, ketika keberuntungan hampir tidak berpihak kepada Yu Lian, disaat itu juga Heng Juesha berdiri diantara dirinya dan En Jio yang hendak menyerang Yu Lian kembali. "Aku akan mengurus sisanya, terimakasih Yu!" ujar ketua darah besi itu. "Ketua Heng... !" sahut Yu Lian Berlinang air mata. Tidak ada kesedihan bagi Yu Lian dari pada itu, karena dia menyadari betapa lemah dirinya, sampai-sampai untuk menahan serangan yang dilakukan oleh En Jio untuk beberapa saat saja, dirinya tidak mampu. Terlebih lagi para juniornya, mereka tidak bisa dibandingk
Mendengar ucapan yang keluar dari mulut En Jio, sempat tidak membuat Heng Juesha merasa tenang, dirinya yang masih merasa kesal, bahkan hendak melampiaskan amarahnya dengan memukuli En Jio kembali. Namun disaat yang sama, En Jio kembali memasang muka yang cukup manis, sehingga membuat Heng Juesha merasa tidak tega untuk melakukannya lagi. Di saat itu juga Heng Juesha mendekati En Jio lalu mengulurkan tangan kearah muka sahabatnya itu, yang membuat En Jio kembali tersenyum tipis seraya meraih tangan Heng Juesha. "Maafkan aku Heng! aku pasti telah mengacaukan semuanya," ujar En Jio. "Apa ada yang terluka?" tanya nya. "Kau bisa melihatnya sendiri nanti, sebaiknya kita menemui mereka," jawab Heng Juesha singkat. Dengan sedikit tertatih, En Jio melangkah dengan sedikit dibantu oleh Heng Juesha, akan tetapi ia tiba-tiba melepaskan tangan sahabatnya itu, lalu meminta untuk dibiarkan berjalan sendiri. Meski awalnya, Heng Juesha tidak berniat untuk melepaskan tangannya, akan tetapi karen
Waktu berlalu begitu cepat, tanpa terasa sinar mentari mulai menyingsing dari upuk Timur, menembus belahan hutan lalu perlahan naik keatas, dengan diikuti kicau burung yang senantiasa menemaninya. Pagi hari didesa Suban Dara terlihat sangat ramai, karena mereka telah mengetahui informasi yang sangat penting, yaitu tentang kekecauan akibat ulah tetua mereka sendiri. Mendengar berita tersebut, membuat penduduk desa berbondong-bondong untuk melihat keadaannya didepan markas darah besi, dari semua orang yang telah menelihat keadaan pasukan darah besi serta En Jio, ada yang beranggapan jika hal itu sudah biasa, akan tetapi ada juga yang menolak dan tidak setuju dengan pendapat yang lain. "Aku masih tidak habis pikir kenapa pria itu bisa menjadi tetua kita!" ujar salah satu orang. "Jaga ucapanmu! meski begitu dia merupakan tetua kita," sahut yang lain. Meski beberapa orang sempat menaruh rasa benci dari sikap En Jio, akan tetapi tidak sedikit yang mendukukungnya dan membenarkan aksi y
Pada saat itu puluhan bahkan ratusan pasang mata tertuju kepada Ling, yang sedang berdiri didepan salah satu lawannya yang berasa dari desa Nahui, Fu yang merupakan salah satu pemenang dengan mengalahkan ketiga lawannya secara berturut-turut. Tetapi hal itu bahkan tidak membuat orang-orang tertarik dengan pemuda itu, melainkan dirinya dianggap sebagai orang yang sedang memamerkan kekuatannya, sehingga membuatnya tidak begitu disukai. Namun berbeda dengan Ling, meski dirinya tidak nampak menggunakan semua kemampuannya, akan tetapi semua orang telah menilai, jika anak kecil itu memiliki kemampuan diluar akal sehat mereka. "Berjuanglah Ling!" pekik beberapa orang hampir bersamaan. Di saat gong berbunyi, yang menandakan partandingan dimulai, disaat itu juga Fu langsung menyerang Ling dengan begitu cepat, bahkan semua mata langsung tertuju kearah yang sama, mengikuti pergerakannya. Namun, serangan yang Fu lakukan tidak begitu berarti ketika Ling dapat menghindarinya dengan cukup mudah
Ketika itu Fu hanya bisa terdiam, karena tidak dapat memberikan perlawanan kembali sehingga membuatnya berkeringat dingin. Dengan keadaan itu, dirinya berusaha menolak dan tetap ingin bertarung meski sakit yang teramat sangat, mulai menjalar keseluruh tubuhnya. Sesekali ia menoleh kearah kedua rekannya, Yuwen dan Zixin yang berada diluar arena, bahkan keduanya terlihat begitu tegang ketika melihat keadaan Fu yang terlihat tidak berdaya. "Percuma! pilihanmu hanya ada dua, menyerah atau terluka parah," ujar Ling memastikan. "Sial...!" sahut Fu menyeringai."Andai aku tidak meremehkan nya, mungkin tidak akan seperti ini," gumam nya sembari berdecak. Fu hanya bisa menelan ludah, ketika tidak ada pilihan lain, akan tetapi dirinya bahkan tidak berniat untuk menyerah, sehingga dengan sisa tenaga yang dimiliki, ia berusaha memberikan sebuah serangan dengan taruhan terluka parah. Semua mata tertuju dengan pertarungan itu, bahkan orang yang sempat menaruh benci terhadap Fu, mulai prihatin
Mendapati Yuwen yang telah berada dibagian belakang, membuat dirinya terlambat bereaksi, bahkan untuk menggunakan jurus tubuh besi ia tidak sempat, sehingga membuat Yuwen dengan leluasa menyerangnya.Satu pukulan terarah tepat mengenai bagian wajah, akan tetapi hal itu tidak membuat Hen Swe berhenti untuk mempertahankan posisinya, meski telah beberapa kali mendapat pukulan serta tendangan dari Yuwen. Disaat yang sama, Hen Swe berusaha mengambil jarak dengan pemuda itu, dan berharap dapat memberikan satu pukulan yang cukup berarti, meski ia telah menebak jika disaat itu ia tidak mampu menghadapi Yuwen seorang diri. "Cih! Aku terlalu meremehkannya," gumam Hen Swe. Hen Swe masih tidak habis pikir dengan keadaan itu, meski ia sempat sangat yakin dengan kemampuan yang dimiliki, tetapi ketika mendapat serangan bertubi-tubi dari Yuwen, sementara dirinya tidak dapat membalas, sempat membuat mentalnya menjadi turun. Namun beberapa saat setelah Hen Swe mengambil jarak, Yuwen kembali menatap
Selesai berbicara, keduanya bahkan tidak menahan diri, untuk segera melakukan serangan, dan berusaha untuk memberikan sebuah pukulan maupun tendangan, demi mencapai sebuah kemenangan. Feng Ying yang pada awalnya merasa cukup tenang, kini mulai kewalahan menghadapi Zixin yang terus menekan dirinya, bahkan pemuda itu belum menggunakan jurusnya sama sekali. Namun berbeda dengan Feng Ying, yang telah menggunakan jurus kaki halilintar nya untuk mengatasi pergerakan Zixin, yang begitu cepat. "Jangan senang dulu! Aku bahkan belum serius," ujar Feng Ying memastikan. "Baiklah, tunjukkan kekuatan mu!" sahut Zixin sembari melesat kearah Feng Ying. Mendapat reaksi itu membuat Feng Ying berdecak, sembari menangkis tendangan kaki kanan Zixin yang mengarah tepat menuju wajahnya, akan tetapi belum sempat ia membalas serangan itu, Zixin mencabut pedangnya. Kedua matanya sempat membuka lebar, seolah tidak percaya dengan gerakan itu, sehingga disaat yang sama, Feng Ying memutar tubuhnya diudara la
Belum sempat Zixin mengerti maksud dari ucapan Feng Ying, dirinya sangat terkejut ketika baru menyadari jika kaki kanan Feng Ying yang terlihat patah.Namun disaat yang hampir sama, Guan Ping kembali memekik dengan keras, memanggil muridnya itu, sembari melompat kedalam arena pertandingan.Guan Ping yang terlihat sangat gusar, atas kejadian yang menimpa Feng Ying, malah menyalahkan Zixin dan menuduhnya sebagai pelaku, atas tindakan itu, sehingga menyebabkan cedera yang teramat parah menimpa muridnya."Kau akan menerima akibatnya...!" ucap Guan Ping sembari menunjuk Zixin."Guru hentikan! Ini semua salahku, aku terlalu lemah!" sahut Feng Ying."Tutup mulutmu Feng! Jangan membuatku menyalahkanmu!" timpal Guan Ping.Guan Ping yang saat itu dipenuhi api amarah, menatap Zixin dengan tajam, bermaksud menyerang pemuda itu demi melampiaskan kemarahannya.Namun belum sempat ia bertindak lebih jauh, En Jio menghentikan pergerakan Guan Ping, dengan menghadang langkahnya.Tetapi amarah yang dimil
Ling terdiam dalam keheningan, tatapannya masih terpaku pada tempat di mana sosok berjubah putih itu menghilang. Lengkukup dan En Jio berdiri di sisinya, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Namun, pertanyaan yang menggantung di udara tidak segera menemukan jawaban."Siapa dia?" En Jio akhirnya memecah kesunyian, suaranya bergetar lemah. "Penjaga Kuil Tianlong? Aku tidak pernah mendengar tentang sosok seperti itu..."Lengkukup, yang biasanya tenang dan penuh perhitungan, hanya menggelengkan kepala. "Dia muncul tepat saat kita membutuhkannya. Entah siapa atau apa tujuannya, kita sebaiknya bersyukur."Ling menghela napas panjang, tubuhnya masih lelah setelah serangan besar yang hampir menghabisi kekuatannya. "Kita harus segera pergi dari sini. Tempat ini penuh dengan kegelapan, dan aku merasakan sesuatu yang tidak beres."Mereka bertiga mengangkat diri, meskipun tubuh mereka masih t
Sima Yan berdiri tegak di hadapan Ling, Lengkukup, dan En Jio. Aura kegelapan yang memancar dari tubuhnya membuat udara di sekitar mereka terasa berat. Pedangnya yang besar dan hitam berkilauan dengan cahaya merah yang jahat, menandakan kekuatan yang luar biasa.Ling mengepalkan tangannya lebih kuat di sekitar gagang pedangnya. Napasnya terasa berat, dan dadanya bergemuruh dengan adrenalin. Dia tahu ini bukan hanya pertarungan melawan seorang musuh yang kuat, tapi juga perjuangan untuk tetap hidup."Kita tidak bisa membiarkan dia menang!" desis Ling dengan penuh semangat, meski dia tahu dalam hatinya bahwa mereka mungkin tidak akan bertahan dari pertarungan ini.Lengkukup berdiri di sampingnya, menatap dingin ke arah Sima Yan. "Kita bertarung sampai napas terakhir. Tidak ada pilihan lain."En Jio, yang masih terluka, mengangguk dengan susah payah. Meskipun kondisinya jauh dari ideal, dia tahu tidak ada waktu untuk mundur.
Ketika mereka keluar dari gua, lembah yang dulunya gelap sekarang diterangi cahaya redup matahari yang mulai tenggelam. Udara terasa lebih berat, seolah sesuatu yang jahat menyelimuti mereka dari kejauhan. Langit di atas Gunung Tianfeng mulai berubah menjadi merah darah, pertanda bahwa bahaya semakin dekat.
Suasana di dalam ruangan besar itu mendadak tegang. Pria berjubah hitam yang berdiri di hadapan mereka tampak mengintimidasi, dengan senyum penuh kebencian yang menyiratkan keyakinan mutlak pada kekuatannya. Cahaya dari kristal elemen hijau memantul di zirah hitamnya, mempertegas aura kegelapan yang menyelimuti tubuhnya."Aku adalah pengawal elemen ini," ucap pria itu dengan suara rendah yang bergetar. "Namaku Hei Long, dan kalian tak akan bisa melewati gerbang kehidupan ini."Ling menatap pria itu dengan tajam, mempersiapkan diri. "Kalau begitu, kita tak punya pilihan lain selain melawanmu."Lengkukup dan En Jio mengambil posisi di sebelah Ling. Meskipun mereka tahu bahwa Hei Long adalah lawan yang kuat, mereka tidak punya waktu untuk ragu. Kristal elemen hijau itu adalah kunci untuk melengkapi kekuatan Kitab Dewa Naga, dan mereka harus mendapatkannya, apa pun risikonya."Serahkan saja elemen itu
Malam mulai menyelimuti perbukitan, namun Ling, Lengkukup, dan En Jio terus melangkah. Suasana semakin mencekam saat kabut tipis mulai muncul, menyelimuti jalanan setapak yang semakin sempit. Hutan lebat di kiri dan kanan mereka seolah menjadi dinding kegelapan yang tak tertembus. Hanya suara langkah kaki mereka yang terdengar di tengah keheningan itu."Kita semakin dekat," kata Lengkukup, matanya terus mengawasi setiap gerakan di sekitar. "Aku bisa merasakan kehadiran sesuatu yang tidak biasa di sini."Ling mengangguk setuju. Dari kitab Dewa Naga yang berada dalam genggamannya, ia bisa merasakan energi yang semakin kuat. "Lembah itu tak jauh lagi. Energi dari elemen berikutnya sangat jelas terpancar dari sana."En Jio, yang biasanya penuh semangat, kali ini tampak lebih tenang. "Apa kalian sudah siap? Kalau pasukan hitam benar-benar menunggu di sana, ini akan menjadi pertempuran yang sulit."
Setelah berhasil mengalahkan Pengawal Bayangan dan mengamankan elemen es, Ling, Lengkukup, dan En Jio melanjutkan perjalanan mereka menuju perbukitan yang lebih rendah, meninggalkan puncak es yang mencekam di belakang. Udara di sini lebih hangat, tapi suasana tegang masih melingkupi mereka. Masing-masing terdiam, merenungkan pertempuran yang baru saja mereka lalui.“Kita sekarang memiliki dua elemen,” kata Lengkukup, memecah keheningan. “Tapi musuh kita pasti semakin sadar dengan keberadaan kita.”Ling mengangguk. “Kita harus bergerak cepat. Mereka tidak akan tinggal diam dan membiarkan kita mengambil semua elemen begitu saja.”En Jio, yang biasanya ceria, kali ini terlihat lebih serius. “Kalau mereka sudah mengirim Pengawal Bayangan, berarti kekuatan besar sedang memantau kita. Kita harus siap menghadapi mereka, kapan pun mereka menyerang.”
Setelah berhasil mendapatkan elemen es dari Puncak Es, Ling, Lengkukup, dan En Jio tidak bisa beristirahat lama. Meski mereka baru saja mengalahkan serigala es yang menjaga elemen tersebut, perasaan cemas tidak pernah benar-benar pergi. Keheningan yang melingkupi pegunungan bersalju seolah menyembunyikan ancaman yang belum terungkap.“Ling,” kata Lengkukup tiba-tiba, matanya tajam menatap ke kejauhan. “Kita sedang diawasi.”Ling yang sedang mengatur napas setelah pertempuran, langsung siaga. Dia mengeluarkan pedangnya dengan gerakan cepat, memfokuskan seluruh indranya untuk mendeteksi ancaman yang disampaikan Lengkukup. Seiring angin dingin yang menusuk, bayangan mulai terlihat di balik kabut tebal.En Jio, yang sebelumnya sedang bercanda untuk menghilangkan ketegangan, kini mengalihkan pandangannya dengan wajah serius. “Sepertinya, penjaga elemen es bukan satu-satunya yang harus kita hadapi.”Dari kabut yang semakin pekat, muncul sosok-sosok berpakaian hitam. Mereka bergerak dengan k
Setelah berhasil mendapatkan elemen api dari Gunung Berapi Hitam, Ling, Lengkukup, dan En Jio tidak memiliki banyak waktu untuk merayakan keberhasilan mereka. Tantangan berikutnya, elemen es, menanti mereka di ujung dunia yang berlawanan, di Puncak Es yang dilapisi salju abadi.“Kita tidak bisa berlama-lama di sini,” ujar Ling, napasnya masih terengah-engah setelah pertarungan yang menegangkan. “Puncak Es jauh, dan kita tidak tahu apa yang menanti kita di sana.”Lengkukup menyetujui, mengangkat elemen api dengan hati-hati. Cahaya merah yang menyala dari elemen itu berdenyut lembut, memberikan rasa hangat yang kontras dengan suhu yang akan mereka hadapi di perjalanan berikutnya.“Kau benar, Ling,” katanya. “Kita harus segera bergerak. Semakin lama kita menunda, semakin besar kemungkinan musuh kita mengetahui keberadaan elemen ini.”En Jio, yang telah berhasil mengalihkan perhatian naga api, berjalan mendekat. Dia tersenyum puas, meskipun wajahnya dipenuhi keringat. “Aku tidak sabar unt
Dengan hati yang penuh semangat dan ketegangan yang meningkat, Ling, Lengkukup, dan En Jio meninggalkan pasar malam. Mereka tahu bahwa perjalanan ini akan menjadi salah satu yang paling menantang yang pernah mereka hadapi. Mereka harus mendapatkan dua elemen yang berlawanan, dan langkah pertama adalah menuju Gunung Berapi Hitam.Di jalan, Ling merenungkan kata-kata lelaki tua itu. Kekuatan tidak hanya datang dari kemampuan fisik, tetapi juga dari keputusan yang mereka buat. Perjalanan ini bukan hanya tentang mencari kunci, tetapi juga tentang menemukan diri mereka sendiri dan menguji batasan mereka.Sesampainya di tepi hutan, mereka berhenti sejenak. Ling bisa merasakan perubahan udara, dari segar menjadi panas dan berbau sulfur. “Kita sudah dekat dengan gunung,” ujarnya.“Kau yakin kita siap menghadapi makhluk yang menjaga elemen api?” Lengkukup bertanya, merasakan ketegangan di udara.“Kita harus percaya satu sama lain,” jawab Ling. “Kita sudah melalui banyak hal bersama. Ini hanya