Tidak lama berselang, Heng Juesha tiba di penjara bawah tanah untuk memenuhi panggilan tetua En, dengan diikuti beberapa pasukan darah besi yang menemani dirinya.
Dengan sedikit tergesa-gesa Heng Juesha segera menemui En Jio, guna menanyakan maksud dan tujuan dirinya dipanggil oleh tetua mereka itu.Heng Juesha sempat menebak, jika hal itu pasti berhubungan dengan anak kecil yang sempat ia duga sebagai mata-mata kelompok aliran hitam, karena telah mengetahui anak kecil itu mengusai jurus bintang menembus bulan, milik salah satu ketua kelompok aliran hitam."Aku harap tidak terjadi sesuatu..." gumam Heng Juesha seraya mempercepat langkah.Tidak perlu waktu lama, Heng Juesha telah tiba dilokasi dan melihat En Jio sedang berdiri sambil memijat kepalanya sembari berkeliling kesegala arah.Ia sempat menduga jika ada sesuatu yang buruk sedang terjadi, akan tetapi ia bahkan tidak bisa memastikan hal itu lebih jauh, sebelum dirinya mengetahui senEn Jio hanya bisa tersenyum sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal itu, lalu bersikap dengan santay seraya duduk tidak jauh dari tempat Lengkukup berada.Kala itu, En Jio sedikit memutar otaknya untuk tidak salah bersikap, terlebih ia tidak bisa menebak karakter dari Lengkukup, yang mungkin akan menyebabkan anak kecil itu, menjadi marah atau menuduhnya sebagai orang jahat.Sedangkan untuk bersikap berlebihan, tentu tidak bisa ia lakukan begitu saja, sebelum ia mengetahui sikap yang akan diberikan oleh Lengkukup kepada dirinya. "Maaf mangganggu, aku hanya ingin memastikan keadaanmu..." ujar En Jio. "Tidak perlu meminta maaf paman, aku bahkan jauh lebih baik," timpal Lengkukup seraya meraba dadanya sekali lagi. "Ada apa?" tanya En Jio memastikan. "Tidak apa-apa paman, hanya terasa sedikit sakit..." ujar Lengkukup kemudian terkekeh. "Baiklah, aku sudah membaca surat dari Kencana, gurumu...!" ujar En Jio sembari menggigit bibirnya se
Dengan langkah yang tegas, meski ia telah berumur, pria tua itu berjalan mendekati Lengkukup yang sudah terbaring tidak berdaya. Meski ia merupakan ketua juru obat, akan tetapi dirinya dapat dikatakan setara dengan para Tetua yang lain, termasuk dengan En Jio yang merupakan salah satu Tetua desa Suban Dara. Hal itu dapat ia lakukan, karena dirinya merupakan salah satu orang yang paling berjasa di dalam desa, serta sudah banyak nyawa yang ia selamatkan, karena mengetahui berbagai macam jenis obat-obatan. "Hem, lukanya lumayan parah, dia beruntung bisa bertahan selama ini..." ujar Wu Shing. "Siapa yang bertanggung jawab atas semua ini?" tanya pria tua itu seraya menoleh kearah belakang. Pria tua itu sempat menelisik kearah En Jio, akan tetapi ia kemudian memastikan jika yang menyebabkan luka pada tubuh anak kecil itu ialah Heng Juesha. Wu Shing sempat ingin membuka mulut, akan tetapi belum sempat ia mengatakan sesuatu, tiba-tiba H
Setelah beberapa saat sedikit bertengkar, dengan sesuatu yang sangat tidak penting, pada akhirnya mereka sama-sama mengeluh dengan diikuti sebuah gerakan dari En Jio serta Wu Shing dan juru obat wanita yang ia bawa, untuk keluar dari tempat itu.Sebelumnya, Wu Shing sedikit memastikan jika Lengkukup akan baik-baik saja, setelah menelan obat pemberiannya, dan selama ia pergi untuk mencari obat yang diperlukan, Heng Juesha dia harapkan supaya menjaga Lengkukup dengan baik.Tidak jauh berbeda dengan Lee Nara, ia juga diperintahkan untuk menjaga keberadaan Lengkukup dan menyiapkan segala sesuatunya, ketika Lengkukup sadarkan diri."Wu, kenapa harus aku?" tanya Heng Juesha seraya menatap Wu Shing penuh arti."Heng, jika bukan dirimu, lantas siapa lagi?" ujar Wu Shing seraya mempercepat langkah.Setelah mendengar hal itu, Heng Juesha hanya biasa terdiam, seraya mengangguk pelan, seolah mengerti dengan ucapan dari pria tua itu.Namun, diriny
Pada saat itu, Heng Juesha hanya bisa tersenyum tipis, sebelum akhirnya ia mengangkat alis seolah mengerti dengan ucapan Lee Nara tersebut. Namun, ia sedikit terkejut ketika menyadari Lee Nara bahkan tidak menunjukkan raut wajah ketakutan, ketika melihat Lengkukup yang beberapa saat lalu, sempat membuat dirinya mengeluarkan keringat dingin. Pada akhirnya, Heng Juesha hanya bisa menarik nafas dalam, karena merasa beban berat akan segera menimpa dirinya, terlebih menyangkut keadaan desa, yang mungkin akan segera berubah jika orang-orang mengetahui hal itu. "Cepat atau lambat semua akan terjadi," gumam Heng Juesha. Setelah beberapa saat Heng Juesha kembali melakukan meditasi, sementara Lee Nara melakukan tugasnya sebagai seorang wanita, dari membersihkan tempat itu, serta merawat Lengkukup dan memberikan makan pagi siang dan malam untuk Heng Juesha. Bisa dibilang, tempat itu menyediakan berbagai macam peralatan masak, serta sayur mayur
Lee Nara hanya mengangguk pelan, sebelum ia membalikkan badan dan kembali menemui Lengkukup, untuk segera bersiap pindah dari tempat itu. Setelah beberapa hari berlalu keadaan Lengkukup jauh lebih baik dari pada sebelumnya, sehingga ia bisa melakukan meditasi untuk memulihkan tenaga dalam. Terlebih permata siluman yang tersisa dan sempat berada tangan Tetua En Jio, ia kembalikan kepada Lengkukup, karena merasa Lengkukup akan lebih membutuhkan benda itu ketimbang dirinya. "Leng, apa kau sudah selesai?" tanya Lee Nara memastikan. "Sedikit lagi..." jawab Lengkukup sembari membuka sedikit matanya. "Baiklah, aku akan menunggu," ujar Lee Nara. Ketika itu, Lee Nara hanya bisa duduk sembari memikirkan banyak hal, terutama rasa penasaran dirinya tentang penjara bawah tanah, yang menyimpan begitu banyak misteri. Terlebih, Heng Juesha malah tidak berkata dengan jujur dan berusaha menutupi akan sesuatu, yang tersimpan di dalam penjara
Seketika, suasana menjadi hening karena teriakan Lengkukup dialiri tenaga dalam, sehingga orang yang berada cukup jauhpun dapat mendengarnya dengan jelas. Bahkan Heng Juesha serta En Jio, sempat tertegun karena baru menyadari jika Lengkukup dapat melakukan hal itu, terlebih mereka mengetahui jika yang barusan dilakukan oleh Lengkukup bukan sesuatu yang mudah. Tentu saja En Jio merasa sangat tertarik oleh Lengkukup, karena baru saja melihat sosok anak kecil yang sangat jenius, bahkan bisa dikatakan hal itu merupakan kali pertama baginya. "Heng, kau harus mengalah..." ujar En Jio. "Tentu saja tidak!" jawab Heng Juesha."Jadi kau akan menentangku Heng?" tanya En Jio dengan sedikit menaikkan alis. "Jika memang itu diperlukan aku akan melakukannya..." jawab Heng Juesha. "Tunggu! Apa yang sedang kalian bicarakan?" tanya Lengkukup menyela."Tentu saja dirimu nak..." ucap Heng Juesha. Kala itu, Lengkukup hanya bisa terdiam karen
En Jio sempat memastikan kepada Lengkukup, jika dirinya akan membantu dengan sekuat tenaga, bahkan akan mempertaruhkan nyawanya sendiri jika memang diperlukan.Tidak terkecuali Heng Juesha yang jauh lebih dulu memastikan, jika dirinya akan ikut membantu Lengkukup dalam misi itu, akan tetapi masih banyak hal yang harus dilalui sebelum melakukan itu semua.Terlebih Lengkukup dipastikan belum siap untuk mengemban misi berbahaya itu, mengingat kelompok aliran sangat sulit ditaklukan, terlebih para petinggi nya. "Untuk sekarang kita tidak bisa bertindak gegabah, ingat kau masih harus berlatih..." ujar Heng Juesha memastikan. "Aku setuju, sebaiknya kita menunggu beberapa tahun lagi dan memastikan kau sudah benar-benar siap untuk melakukan hal itu," timpal En Jio. "Aku hargai itu semua paman, tetapi aku tidak mungkin bisa menunggu begitu lama," ujar Lengkukup. "Leng, menaklukkan musuh tidak semudah membalikkan telapak tangan, meski kau sudah memil
Dari arah selatan muncul keributan, yang menyebabkan penduduk desa berteriak historis, terlebih pasukan darah besi yang mulai menjadi waspada sembari menuju kearah sumber keributan. Beberapa orang terlihat sedang terluka, beruntung juru obat serta Wu Shing segera menyelamatkan penduduk yang terluka dengan cepat. Tidak hanya itu, keributan semakin menjadi ketika pasukan darah besi tiba dilokasi, terlebih Wu Shing yang terlihat sedang panik, karena melihat semakin banyak orang yang sedang terluka cukup parah. "Apa yang sedang terjadi?" tanya Heng Juesha. "Aku tidak tahu, tetapi Pasukan mu mengatakan ada penyusup..." jawab Wu Shing. "Penyusup...!" gumam Heng Juesha sembari berlari meninggalkan Wu Shing sendiri. Ketika keributan terjadi, Heng Juesha segera melesat kearah sumber keributan sedang terjadi, disaat itu juga ia sangat terkejut, karena melihat beberapa orang sudah terluka, dan diantaranya terluka cukup parah. Di saat yang hampir sama, ia bertemu
Ling terdiam dalam keheningan, tatapannya masih terpaku pada tempat di mana sosok berjubah putih itu menghilang. Lengkukup dan En Jio berdiri di sisinya, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Namun, pertanyaan yang menggantung di udara tidak segera menemukan jawaban."Siapa dia?" En Jio akhirnya memecah kesunyian, suaranya bergetar lemah. "Penjaga Kuil Tianlong? Aku tidak pernah mendengar tentang sosok seperti itu..."Lengkukup, yang biasanya tenang dan penuh perhitungan, hanya menggelengkan kepala. "Dia muncul tepat saat kita membutuhkannya. Entah siapa atau apa tujuannya, kita sebaiknya bersyukur."Ling menghela napas panjang, tubuhnya masih lelah setelah serangan besar yang hampir menghabisi kekuatannya. "Kita harus segera pergi dari sini. Tempat ini penuh dengan kegelapan, dan aku merasakan sesuatu yang tidak beres."Mereka bertiga mengangkat diri, meskipun tubuh mereka masih t
Sima Yan berdiri tegak di hadapan Ling, Lengkukup, dan En Jio. Aura kegelapan yang memancar dari tubuhnya membuat udara di sekitar mereka terasa berat. Pedangnya yang besar dan hitam berkilauan dengan cahaya merah yang jahat, menandakan kekuatan yang luar biasa.Ling mengepalkan tangannya lebih kuat di sekitar gagang pedangnya. Napasnya terasa berat, dan dadanya bergemuruh dengan adrenalin. Dia tahu ini bukan hanya pertarungan melawan seorang musuh yang kuat, tapi juga perjuangan untuk tetap hidup."Kita tidak bisa membiarkan dia menang!" desis Ling dengan penuh semangat, meski dia tahu dalam hatinya bahwa mereka mungkin tidak akan bertahan dari pertarungan ini.Lengkukup berdiri di sampingnya, menatap dingin ke arah Sima Yan. "Kita bertarung sampai napas terakhir. Tidak ada pilihan lain."En Jio, yang masih terluka, mengangguk dengan susah payah. Meskipun kondisinya jauh dari ideal, dia tahu tidak ada waktu untuk mundur.
Ketika mereka keluar dari gua, lembah yang dulunya gelap sekarang diterangi cahaya redup matahari yang mulai tenggelam. Udara terasa lebih berat, seolah sesuatu yang jahat menyelimuti mereka dari kejauhan. Langit di atas Gunung Tianfeng mulai berubah menjadi merah darah, pertanda bahwa bahaya semakin dekat.
Suasana di dalam ruangan besar itu mendadak tegang. Pria berjubah hitam yang berdiri di hadapan mereka tampak mengintimidasi, dengan senyum penuh kebencian yang menyiratkan keyakinan mutlak pada kekuatannya. Cahaya dari kristal elemen hijau memantul di zirah hitamnya, mempertegas aura kegelapan yang menyelimuti tubuhnya."Aku adalah pengawal elemen ini," ucap pria itu dengan suara rendah yang bergetar. "Namaku Hei Long, dan kalian tak akan bisa melewati gerbang kehidupan ini."Ling menatap pria itu dengan tajam, mempersiapkan diri. "Kalau begitu, kita tak punya pilihan lain selain melawanmu."Lengkukup dan En Jio mengambil posisi di sebelah Ling. Meskipun mereka tahu bahwa Hei Long adalah lawan yang kuat, mereka tidak punya waktu untuk ragu. Kristal elemen hijau itu adalah kunci untuk melengkapi kekuatan Kitab Dewa Naga, dan mereka harus mendapatkannya, apa pun risikonya."Serahkan saja elemen itu
Malam mulai menyelimuti perbukitan, namun Ling, Lengkukup, dan En Jio terus melangkah. Suasana semakin mencekam saat kabut tipis mulai muncul, menyelimuti jalanan setapak yang semakin sempit. Hutan lebat di kiri dan kanan mereka seolah menjadi dinding kegelapan yang tak tertembus. Hanya suara langkah kaki mereka yang terdengar di tengah keheningan itu."Kita semakin dekat," kata Lengkukup, matanya terus mengawasi setiap gerakan di sekitar. "Aku bisa merasakan kehadiran sesuatu yang tidak biasa di sini."Ling mengangguk setuju. Dari kitab Dewa Naga yang berada dalam genggamannya, ia bisa merasakan energi yang semakin kuat. "Lembah itu tak jauh lagi. Energi dari elemen berikutnya sangat jelas terpancar dari sana."En Jio, yang biasanya penuh semangat, kali ini tampak lebih tenang. "Apa kalian sudah siap? Kalau pasukan hitam benar-benar menunggu di sana, ini akan menjadi pertempuran yang sulit."
Setelah berhasil mengalahkan Pengawal Bayangan dan mengamankan elemen es, Ling, Lengkukup, dan En Jio melanjutkan perjalanan mereka menuju perbukitan yang lebih rendah, meninggalkan puncak es yang mencekam di belakang. Udara di sini lebih hangat, tapi suasana tegang masih melingkupi mereka. Masing-masing terdiam, merenungkan pertempuran yang baru saja mereka lalui.“Kita sekarang memiliki dua elemen,” kata Lengkukup, memecah keheningan. “Tapi musuh kita pasti semakin sadar dengan keberadaan kita.”Ling mengangguk. “Kita harus bergerak cepat. Mereka tidak akan tinggal diam dan membiarkan kita mengambil semua elemen begitu saja.”En Jio, yang biasanya ceria, kali ini terlihat lebih serius. “Kalau mereka sudah mengirim Pengawal Bayangan, berarti kekuatan besar sedang memantau kita. Kita harus siap menghadapi mereka, kapan pun mereka menyerang.”
Setelah berhasil mendapatkan elemen es dari Puncak Es, Ling, Lengkukup, dan En Jio tidak bisa beristirahat lama. Meski mereka baru saja mengalahkan serigala es yang menjaga elemen tersebut, perasaan cemas tidak pernah benar-benar pergi. Keheningan yang melingkupi pegunungan bersalju seolah menyembunyikan ancaman yang belum terungkap.“Ling,” kata Lengkukup tiba-tiba, matanya tajam menatap ke kejauhan. “Kita sedang diawasi.”Ling yang sedang mengatur napas setelah pertempuran, langsung siaga. Dia mengeluarkan pedangnya dengan gerakan cepat, memfokuskan seluruh indranya untuk mendeteksi ancaman yang disampaikan Lengkukup. Seiring angin dingin yang menusuk, bayangan mulai terlihat di balik kabut tebal.En Jio, yang sebelumnya sedang bercanda untuk menghilangkan ketegangan, kini mengalihkan pandangannya dengan wajah serius. “Sepertinya, penjaga elemen es bukan satu-satunya yang harus kita hadapi.”Dari kabut yang semakin pekat, muncul sosok-sosok berpakaian hitam. Mereka bergerak dengan k
Setelah berhasil mendapatkan elemen api dari Gunung Berapi Hitam, Ling, Lengkukup, dan En Jio tidak memiliki banyak waktu untuk merayakan keberhasilan mereka. Tantangan berikutnya, elemen es, menanti mereka di ujung dunia yang berlawanan, di Puncak Es yang dilapisi salju abadi.“Kita tidak bisa berlama-lama di sini,” ujar Ling, napasnya masih terengah-engah setelah pertarungan yang menegangkan. “Puncak Es jauh, dan kita tidak tahu apa yang menanti kita di sana.”Lengkukup menyetujui, mengangkat elemen api dengan hati-hati. Cahaya merah yang menyala dari elemen itu berdenyut lembut, memberikan rasa hangat yang kontras dengan suhu yang akan mereka hadapi di perjalanan berikutnya.“Kau benar, Ling,” katanya. “Kita harus segera bergerak. Semakin lama kita menunda, semakin besar kemungkinan musuh kita mengetahui keberadaan elemen ini.”En Jio, yang telah berhasil mengalihkan perhatian naga api, berjalan mendekat. Dia tersenyum puas, meskipun wajahnya dipenuhi keringat. “Aku tidak sabar unt
Dengan hati yang penuh semangat dan ketegangan yang meningkat, Ling, Lengkukup, dan En Jio meninggalkan pasar malam. Mereka tahu bahwa perjalanan ini akan menjadi salah satu yang paling menantang yang pernah mereka hadapi. Mereka harus mendapatkan dua elemen yang berlawanan, dan langkah pertama adalah menuju Gunung Berapi Hitam.Di jalan, Ling merenungkan kata-kata lelaki tua itu. Kekuatan tidak hanya datang dari kemampuan fisik, tetapi juga dari keputusan yang mereka buat. Perjalanan ini bukan hanya tentang mencari kunci, tetapi juga tentang menemukan diri mereka sendiri dan menguji batasan mereka.Sesampainya di tepi hutan, mereka berhenti sejenak. Ling bisa merasakan perubahan udara, dari segar menjadi panas dan berbau sulfur. “Kita sudah dekat dengan gunung,” ujarnya.“Kau yakin kita siap menghadapi makhluk yang menjaga elemen api?” Lengkukup bertanya, merasakan ketegangan di udara.“Kita harus percaya satu sama lain,” jawab Ling. “Kita sudah melalui banyak hal bersama. Ini hanya