Beberapa saat lalu, keadaan disana masih cukup tenang, hingga ketenangan itu berubah menjadi sesuatu yang cukup menarik untuk di bahas, ya, pria itu tampaknya sangat tertarik dengan kalimat yang di lontarkan oleh muridnya.Saat ini, Heng Juesha yang mendengar kalimat tersebut langsung menuju kearah Ling, dimana pemuda tersebut masih terlihat memegang buku itu ketika Heng Juesha mengambilnya tanpa aba-aba.Dengan mata yang bergerak kearah kiri dan kanan, tampakanya Heng Juesha sedang membaca buku tersebut dengan sangat hati-hati, hingga gerakan tersebut dengan bibir yang mulai terbuka.“En, kau sudah pernah mempelajarinya?” tanya Heng Juesha dengan mata yang berbinar.Ketika mendengar pertanyaan itu dari rekannya, En Jio hanya dapat memberikan reaksi dengan menggaruk kepalanya yang tidak gatal lalu menjawab, “Anu, soal itu aku belum pernah mencobanya!” timpal pria tua itu.Sedangkan pemuda tersebut hanya dapat melirik kearah kanan dan kirinya serta memastikan jika dua orang dewasa yang
Satu hari setelah kepergian Heng Juesha untuk mencari informasi, tampak dua orang pria sedang berlatih, ya, mereka adalah murid dan guru yang kini tengah mempersiapkan hari esok yang cerah.“Meski aku tahu kau sudah cukup kuat sebagai pendekar muda, tapi sebaiknya kita mulai dari awal!” ujar En Jio memastikan.Ling hanya dapat mengangguk satu kali, ketika gurunya berkata demikian, seakan telah mengetahui maksud dari perkataan itu, sehingga ia mulai melakukan gerakan kuda-kuda.Satu demi satu gerakan itu berjalan dengan semestinya, pukulan dan tendangan menjadi gerakan yang cukup indah ketika Ling memperagakannya.Dari sini, En Jio sudah mengetahui kemampuan pemuda itu, sehingga ketika Ling sudah mencapai puncaknya, gurunya menyuruh untuk segera berhenti.“Baiklah, sekarang sudah cukup!” ujarnya kembali.Mendengar kalimat barusan, harusnya pemuda itu dapat menolak, karena merasa jika gerakan yang dia lakukan, belum sepenuhnya selesai, sehingga ia hanya dapat memberikan reaksi dengan me
Gerakan En Jio yang berubah sangat cepat ketika ia melepaskan jurus miliknya, tetapi hal itu bahkan tidak membuat pemuda tersebut berniat untuk berhenti.Melainkan dia juga ikut bergerak dengan melesat kearah En Jio, hingga pada saat yang hampir sama mereka bertemu pada satu titik, dimana saat ini En Jio mengarahkan satu tangannya tepat kearah leher pemuda tersebut.Namun pemuda tersebut tampaknya tidak bergeming sedikitpun, ketika menyadari jika serangan itu bisa jadi akan membunuhnya, meski ia sempat menduga jika gerakan yang di lakukan oleh gurunya itu hanya sebuah latihan.“Gunakan semua kemampuanmu..!” ujar En Jio dengan nada yang tinggi.Tepat ketika ia selesai berucap, tangan pria itu berhasil menyentuh batang leher Ling yang pada saat ini, tengah berusaha untuk melepaskan diri.Jari jemarinya perlahan membuat pemuda itu hampir kesulitan untuk bernafas, sehingga wajahnya memerah seperti udang bakar, hal itu di sebabkan oleh darah yang mulai terkumpul di area kepala.“Cepat laku
Beberapa waktu telah berlalu ketika dua orang guru dan murid itu sedang melakukan latihan, ya, setidaknya itu yang terjadi, meski keadaan itu sudah tidak dapat lagi dikatakan sebuah latihan.Sudah satu hari penuh mereka berlatih, tampaknya Ling sudah dapat mengontrol kekuatan Manggala dimana saat ini mereka tengah beristirahat.Saat ini, tidak ada kata kembali, setidaknya En Jio sudah memperhitungkan hal tersebut dari jauh-jauh hari, ketika ia pergi dan menyerahkan semua kendali kepada Guan Ping.“Aku harap tua bangka itu dapat mengurus desa dengan benar,” keluhnya.Setelah merasa cukup dalam beristirahat dan sedikit mengisi perut mereka dengan makanan, pada akhirnya mereka kembali untuk melatih kekuatan Ling yang baru saja ia kendalikan.“Apa kau sudah siap Ling?” tanya pria tua itu.“Ya, tentu saja Guru!” jawab Ling dengan singkat.“Sekarang, kau bisa merasakannya?” tanya pria tua itu kembali.“Aku rasa iya, tetapi-“ ujarnya, “Aku tidak begitu yakin.”Mendengar hal itu, En Jio hanya
Hampir satu bulan telah berlalu, ya, seperti itulah waktu berjalan dengan sangat cepat, saat ini tampak dua orang pria tengah duduk di tepi sungai untuk mencari bahan makanan mereka.Tidak perlu waktu yang lama bagi mereka untuk menemukan sumber makanan yang di cari, ketika Ling menggunakan tenaga dalam miliknya untuk membuat sungai itu mengering dalam beberapa detik sebelum En Jio bergerak dengan cepat dengan menangkap ikan-ikan tersebut.Bam.Dentuman air menghempas permukaan diikuti dengan En Jio melesat keluar dengan membawa ikan yang cukup banyak, ya, setidak nya itu cukup untuk mereka makan sampai malam hari nanti.“Ini sudah cukup!” ujar En Jio.Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, keduanya lantas kembali ketempat peristirahatan yang telah mereka buat selama beberapa waktu lalu dan kini menjadi tempat tinggal mereka sementara waktu.Tampak kepulan asap mengarah tinggi kearah atas ketika mereka membakar daging ikan yang telah didapatkan sebelumnya, saat ini Ling bertuga
Waktu silih berganti, saat ini mereka telah selesai santap malam bersama, akan tetapi belum sempat semua nutrisi yang terkandung dalam makanan tersebut tercerna dengan sempurna, tiba-tiba datang beberapa orang dari arah luar.Dengan sikap yang begitu dingin mereka memasuki tempat itu seolah sudah terbiasa, terlebih dari gelagatnya beberapa orang itu tidak menunjukkan sikap baik dengan memukul meja ketika ia menatap kelompok Heng Juesha.Namun aksinya itu tidak membuat orang-orang bereaksi, sehingga salah satu dari mereka berkata, “Rupanya disini ada sekelompok lalat yang sudah duduk di tempat kita tanpa ada rasa bersalah sedikitpun,” ujarnya.Mendengar suara ribut yang berasal dari tempatnya, pemilik tempat itu segera datang dengan cepat lalu meminta maaf, “Tuan, kami masih ada tempat yang lain, jauh lebih nyaman dari tempat itu,” ujarnya menyarankan.Namun dengan sikap wanita paruh baya itu, malah membuat orang yang barusan datang menjadi marah, dengan kembali memukul meja cukup kera
Kedatangan beberapa orang itu hanya untuk mengantar nyawa ketika mereka bertarung dengan orang yang salah, ya, saat ini kelompok tersebut sudah berhasil di atasi oleh Heng Juesha.Namun dengan kematian beberapa orang itu rupanya menambah pekerjaan bagi mereka, dimana saat ini Yu Lian dan rekannya yang lain tengah sibuk membuat pemakaman untuk orang-orang itu.Tugas itu diberikan langsung oleh Heng Juesha dimana saat ini, pria itu tengah menikmati pemandian air panas yang telah di siapkan sebelumnya oleh pemilik penginapan tersebut.“Tuan pendekar, ini handuknya.” Ujar wanita muda itu lalu bergegar pergi ketika selesai meletakkan sehelai handuk di dekat pria tersebut.Namun belum sempat wanita muda itu pergi dari tempatnya, Heng juesha berkata, “Nona, tunggu!” ujarnya lalu menyuruh wanita itu untuk tetap tinggal disana.Wanita tersebut sempat ingin pergi meninggalkan Heng Juesha, meski pria itu telah memintanya untuk tetap tinggal disana, hal itu terjadi karena ia masih takut dengan so
Yu Lian yang sudah di mabuk kepayang itu pada akhirnya melepaskan tangan wanita tersebut dengan sangat terpaksa, akan tetapi sebelum wanita pergi dari hadapannya ia kemudian berkata, “Nona, tunggu sebentar ada yang ingin aku sampaikan!” ujarnya.Dua pasang mata itu kemudian bertemu pada satu titik pertemuan, dimana saat ini Yu Lian kembali meraih tangan wanita itu dan mengajaknya untuk duduk di salah satu tempat tidak jauh dari mereka berada.Wanita itu hanya dapat menurut terhadap perkataan Yu Lian, seolah pasrah terhadap takdir yang sedang dia alami saat ini, hingga pada akhirnya mereka mulai berbicara empat mata.“Tuan cepat katakan, aku tidak bisa terlalu lama berada di sini, lagi pula-““Nona, aku ingin mengatakan, jika aku...”Namun perkataana Yu Lian tiba-tiba saja berhenti, ketika ia melihat sekelebat bayangan melintas dari balik pepohonan yang berada di depan mereka.Sontak hal tersebut membuat wanita itu merasa ketakutan, lalu mencoba mencari perlindungan dengan menyembunyi
Ling terdiam dalam keheningan, tatapannya masih terpaku pada tempat di mana sosok berjubah putih itu menghilang. Lengkukup dan En Jio berdiri di sisinya, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Namun, pertanyaan yang menggantung di udara tidak segera menemukan jawaban."Siapa dia?" En Jio akhirnya memecah kesunyian, suaranya bergetar lemah. "Penjaga Kuil Tianlong? Aku tidak pernah mendengar tentang sosok seperti itu..."Lengkukup, yang biasanya tenang dan penuh perhitungan, hanya menggelengkan kepala. "Dia muncul tepat saat kita membutuhkannya. Entah siapa atau apa tujuannya, kita sebaiknya bersyukur."Ling menghela napas panjang, tubuhnya masih lelah setelah serangan besar yang hampir menghabisi kekuatannya. "Kita harus segera pergi dari sini. Tempat ini penuh dengan kegelapan, dan aku merasakan sesuatu yang tidak beres."Mereka bertiga mengangkat diri, meskipun tubuh mereka masih t
Sima Yan berdiri tegak di hadapan Ling, Lengkukup, dan En Jio. Aura kegelapan yang memancar dari tubuhnya membuat udara di sekitar mereka terasa berat. Pedangnya yang besar dan hitam berkilauan dengan cahaya merah yang jahat, menandakan kekuatan yang luar biasa.Ling mengepalkan tangannya lebih kuat di sekitar gagang pedangnya. Napasnya terasa berat, dan dadanya bergemuruh dengan adrenalin. Dia tahu ini bukan hanya pertarungan melawan seorang musuh yang kuat, tapi juga perjuangan untuk tetap hidup."Kita tidak bisa membiarkan dia menang!" desis Ling dengan penuh semangat, meski dia tahu dalam hatinya bahwa mereka mungkin tidak akan bertahan dari pertarungan ini.Lengkukup berdiri di sampingnya, menatap dingin ke arah Sima Yan. "Kita bertarung sampai napas terakhir. Tidak ada pilihan lain."En Jio, yang masih terluka, mengangguk dengan susah payah. Meskipun kondisinya jauh dari ideal, dia tahu tidak ada waktu untuk mundur.
Ketika mereka keluar dari gua, lembah yang dulunya gelap sekarang diterangi cahaya redup matahari yang mulai tenggelam. Udara terasa lebih berat, seolah sesuatu yang jahat menyelimuti mereka dari kejauhan. Langit di atas Gunung Tianfeng mulai berubah menjadi merah darah, pertanda bahwa bahaya semakin dekat.
Suasana di dalam ruangan besar itu mendadak tegang. Pria berjubah hitam yang berdiri di hadapan mereka tampak mengintimidasi, dengan senyum penuh kebencian yang menyiratkan keyakinan mutlak pada kekuatannya. Cahaya dari kristal elemen hijau memantul di zirah hitamnya, mempertegas aura kegelapan yang menyelimuti tubuhnya."Aku adalah pengawal elemen ini," ucap pria itu dengan suara rendah yang bergetar. "Namaku Hei Long, dan kalian tak akan bisa melewati gerbang kehidupan ini."Ling menatap pria itu dengan tajam, mempersiapkan diri. "Kalau begitu, kita tak punya pilihan lain selain melawanmu."Lengkukup dan En Jio mengambil posisi di sebelah Ling. Meskipun mereka tahu bahwa Hei Long adalah lawan yang kuat, mereka tidak punya waktu untuk ragu. Kristal elemen hijau itu adalah kunci untuk melengkapi kekuatan Kitab Dewa Naga, dan mereka harus mendapatkannya, apa pun risikonya."Serahkan saja elemen itu
Malam mulai menyelimuti perbukitan, namun Ling, Lengkukup, dan En Jio terus melangkah. Suasana semakin mencekam saat kabut tipis mulai muncul, menyelimuti jalanan setapak yang semakin sempit. Hutan lebat di kiri dan kanan mereka seolah menjadi dinding kegelapan yang tak tertembus. Hanya suara langkah kaki mereka yang terdengar di tengah keheningan itu."Kita semakin dekat," kata Lengkukup, matanya terus mengawasi setiap gerakan di sekitar. "Aku bisa merasakan kehadiran sesuatu yang tidak biasa di sini."Ling mengangguk setuju. Dari kitab Dewa Naga yang berada dalam genggamannya, ia bisa merasakan energi yang semakin kuat. "Lembah itu tak jauh lagi. Energi dari elemen berikutnya sangat jelas terpancar dari sana."En Jio, yang biasanya penuh semangat, kali ini tampak lebih tenang. "Apa kalian sudah siap? Kalau pasukan hitam benar-benar menunggu di sana, ini akan menjadi pertempuran yang sulit."
Setelah berhasil mengalahkan Pengawal Bayangan dan mengamankan elemen es, Ling, Lengkukup, dan En Jio melanjutkan perjalanan mereka menuju perbukitan yang lebih rendah, meninggalkan puncak es yang mencekam di belakang. Udara di sini lebih hangat, tapi suasana tegang masih melingkupi mereka. Masing-masing terdiam, merenungkan pertempuran yang baru saja mereka lalui.“Kita sekarang memiliki dua elemen,” kata Lengkukup, memecah keheningan. “Tapi musuh kita pasti semakin sadar dengan keberadaan kita.”Ling mengangguk. “Kita harus bergerak cepat. Mereka tidak akan tinggal diam dan membiarkan kita mengambil semua elemen begitu saja.”En Jio, yang biasanya ceria, kali ini terlihat lebih serius. “Kalau mereka sudah mengirim Pengawal Bayangan, berarti kekuatan besar sedang memantau kita. Kita harus siap menghadapi mereka, kapan pun mereka menyerang.”
Setelah berhasil mendapatkan elemen es dari Puncak Es, Ling, Lengkukup, dan En Jio tidak bisa beristirahat lama. Meski mereka baru saja mengalahkan serigala es yang menjaga elemen tersebut, perasaan cemas tidak pernah benar-benar pergi. Keheningan yang melingkupi pegunungan bersalju seolah menyembunyikan ancaman yang belum terungkap.“Ling,” kata Lengkukup tiba-tiba, matanya tajam menatap ke kejauhan. “Kita sedang diawasi.”Ling yang sedang mengatur napas setelah pertempuran, langsung siaga. Dia mengeluarkan pedangnya dengan gerakan cepat, memfokuskan seluruh indranya untuk mendeteksi ancaman yang disampaikan Lengkukup. Seiring angin dingin yang menusuk, bayangan mulai terlihat di balik kabut tebal.En Jio, yang sebelumnya sedang bercanda untuk menghilangkan ketegangan, kini mengalihkan pandangannya dengan wajah serius. “Sepertinya, penjaga elemen es bukan satu-satunya yang harus kita hadapi.”Dari kabut yang semakin pekat, muncul sosok-sosok berpakaian hitam. Mereka bergerak dengan k
Setelah berhasil mendapatkan elemen api dari Gunung Berapi Hitam, Ling, Lengkukup, dan En Jio tidak memiliki banyak waktu untuk merayakan keberhasilan mereka. Tantangan berikutnya, elemen es, menanti mereka di ujung dunia yang berlawanan, di Puncak Es yang dilapisi salju abadi.“Kita tidak bisa berlama-lama di sini,” ujar Ling, napasnya masih terengah-engah setelah pertarungan yang menegangkan. “Puncak Es jauh, dan kita tidak tahu apa yang menanti kita di sana.”Lengkukup menyetujui, mengangkat elemen api dengan hati-hati. Cahaya merah yang menyala dari elemen itu berdenyut lembut, memberikan rasa hangat yang kontras dengan suhu yang akan mereka hadapi di perjalanan berikutnya.“Kau benar, Ling,” katanya. “Kita harus segera bergerak. Semakin lama kita menunda, semakin besar kemungkinan musuh kita mengetahui keberadaan elemen ini.”En Jio, yang telah berhasil mengalihkan perhatian naga api, berjalan mendekat. Dia tersenyum puas, meskipun wajahnya dipenuhi keringat. “Aku tidak sabar unt
Dengan hati yang penuh semangat dan ketegangan yang meningkat, Ling, Lengkukup, dan En Jio meninggalkan pasar malam. Mereka tahu bahwa perjalanan ini akan menjadi salah satu yang paling menantang yang pernah mereka hadapi. Mereka harus mendapatkan dua elemen yang berlawanan, dan langkah pertama adalah menuju Gunung Berapi Hitam.Di jalan, Ling merenungkan kata-kata lelaki tua itu. Kekuatan tidak hanya datang dari kemampuan fisik, tetapi juga dari keputusan yang mereka buat. Perjalanan ini bukan hanya tentang mencari kunci, tetapi juga tentang menemukan diri mereka sendiri dan menguji batasan mereka.Sesampainya di tepi hutan, mereka berhenti sejenak. Ling bisa merasakan perubahan udara, dari segar menjadi panas dan berbau sulfur. “Kita sudah dekat dengan gunung,” ujarnya.“Kau yakin kita siap menghadapi makhluk yang menjaga elemen api?” Lengkukup bertanya, merasakan ketegangan di udara.“Kita harus percaya satu sama lain,” jawab Ling. “Kita sudah melalui banyak hal bersama. Ini hanya