Setelah berhasil memperoleh Kitab Dewa Naga, Ling, Lengkukup, dan En Jio keluar dari gua dengan rasa lega yang melanda. Udara di luar gua terasa lebih segar, namun ketegangan belum sepenuhnya hilang. Matahari mulai terbenam, memberikan suasana yang lebih mencekam pada hutan di sekitarnya."Kita berhasil," ucap En Jio dengan nada gembira, "Tapi aku merasakan sesuatu yang aneh sejak kita keluar dari gua."Ling memperhatikan sekeliling. Dia bisa merasakan sesuatu yang mengganggu, seperti ada mata-mata tersembunyi yang mengawasi mereka. "Aku juga merasakannya," jawabnya pelan. "Kita tidak bisa tinggal di sini lebih lama."Lengkukup berjalan di depan, memimpin mereka keluar dari area hutan itu dengan langkah yang hati-hati. Namun, semakin jauh mereka berjalan, semakin pekat kabut yang mengelilingi mereka. Kabut itu tidak biasa, berwarna abu-abu kebiruan, dan terasa dingin menyentuh kulit mereka."Kabut ini tidak wajar," gumam Lengkukup, berhenti sejenak dan mencabut pedangnya. "Ada sesuatu
Serangan dari sosok misterius itu menghantam tanah, memecah bumi dan menimbulkan gelombang energi yang dahsyat. Ling, Lengkukup, dan En Jio harus bertindak cepat untuk menghindari kehancuran yang diakibatkan oleh kekuatan tersebut. Asap dan debu mengepul, menyelimuti seluruh medan pertempuran."Kita tidak bisa menghadapinya dengan sembarangan," ucap Lengkukup dengan napas yang terengah. Pedangnya sudah bersiap di tangannya, namun dia menyadari betapa berbahayanya lawan mereka kali ini.En Jio mulai membacakan mantra, mencoba menyusun pertahanan dengan lingkaran sihir yang dia ciptakan di udara. "Dia bukan lawan biasa," kata En Jio sambil menatap sosok yang perlahan-lahan mendekati mereka dari balik kabut. "Kekuatan yang dia miliki... ini bisa menghancurkan kita jika kita tidak berhati-hati."Ling memusatkan kekuatan Kitab Dewa Naga, membiarkan cahaya dari kitab itu memancar lebih terang. Di bawah cahayanya, sosok misterius itu tampak lebih jelas. Dia mengenakan jubah hitam pekat denga
Setelah pertempuran sengit di bawah cahaya Kitab Dewa Naga, Ling, Lengkukup, dan En Jio bergerak maju dengan langkah mantap. Namun, di balik rasa kemenangan yang mereka rasakan, Ling masih merasakan ketegangan di dalam hatinya. Dia tahu bahwa perjalanan mereka belum usai. Bahaya lebih besar menanti mereka, dan misteri tentang Kitab Dewa Naga semakin mendalam."Kita harus beristirahat sebentar," ucap Lengkukup tiba-tiba, menghentikan langkah mereka di tepi sebuah sungai kecil yang mengalir dengan tenang. "Kita semua kelelahan, dan aku tidak yakin kita bisa menghadapi musuh berikutnya dalam kondisi seperti ini."En Jio mengangguk setuju. "Kau benar. Energi sihirku sudah hampir habis setelah pertempuran tadi. Kita perlu mengisi ulang kekuatan kita sebelum melanjutkan perjalanan."Ling tidak berkata apa-apa, hanya duduk di tepi sungai sambil menatap air yang berkilauan di bawah sinar matahari. Kepalanya dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan tentang Kitab Dewa Naga dan kekuatan misterius yan
Kabut semakin pekat, menyelimuti seluruh hutan dengan aura dingin yang meresap hingga ke tulang. Sosok Tong Guan melangkah maju, senyum liciknya tidak pernah hilang dari wajahnya. Ilusi-ilusi dari masa lalu masih bergerak perlahan, mengelilingi Ling, Lengkukup, dan En Jio, seolah menghisap kekuatan mental mereka."Apa yang harus kita lakukan?" tanya En Jio, keringat dingin menetes di pelipisnya. Meski dia adalah seorang ahli sihir, kekuatan kabut ini terasa sangat mengerikan dan menakutkan."Jangan biarkan dirimu terjebak oleh ilusi mereka," ujar Lengkukup, suaranya keras dan tegas. Dia memegang pedangnya dengan kedua tangan, matanya menatap lurus pada Tong Guan. "Fokus pada kenyataan. Itu satu-satunya cara kita bisa menang."Tong Guan tertawa, suaranya menggema di seluruh hutan. "Kenyataan? Apa itu kenyataan, jika semua yang kau lihat adalah ilusi?" Dia mengangkat tangannya, dan kabut semakin berputar-putar, menciptakan angin kencang yang memutar semua di sekitar mereka. Sosok-sosok
Matahari mulai terbenam, mewarnai langit dengan nuansa merah jingga yang indah. Namun, keindahan ini tidak menghapus rasa cemas yang menyelimuti hati Ling, Lengkukup, dan En Jio. Mereka berjalan menyusuri jalan setapak di dalam hutan, berusaha mencari jalan keluar setelah menghadapi Tong Guan. Meskipun kemenangan mereka terasa manis, ancaman yang ditinggalkan Tong Guan tetap menghantui pikiran mereka."Kita harus segera keluar dari hutan ini," kata En Jio, melangkah cepat di depan. "Setiap detik yang kita habiskan di sini semakin berbahaya."Ling mengangguk setuju. "Aku juga merasakannya. Mungkin kita harus mencari tempat yang lebih aman dan merencanakan langkah berikutnya."Namun, sebelum mereka bisa melanjutkan perjalanan, suara gemuruh mengejutkan mereka. Tanah di bawah kaki mereka bergetar, dan semak-semak di sekitar bergetar hebat. Mereka bertiga saling berpandangan, merasakan sesuatu yang mengancam datang mendekat."Apa itu?" tanya Lengkukup, bersiap dengan pedangnya.Tanpa peri
Malam telah menyelimuti hutan Siluman, dan suara-suara aneh menggema di antara pepohonan. Ling, Lengkukup, dan En Jio duduk di sekitar api unggun kecil, mencoba merencanakan langkah mereka selanjutnya. Dengan cahaya api yang menerangi wajah mereka, suasana terasa sedikit lebih hangat meskipun ancaman masih mengintai."Apa kita punya peta untuk wilayah ini?" tanya Lengkukup, membuka tasnya dan mengeluarkan berbagai dokumen yang ia kumpulkan selama perjalanan mereka.En Jio menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu ke mana kita harus pergi. Tapi kita perlu menemukan seseorang yang bisa memberikan informasi tentang posisi Tong Guan."Ling menatap api, merenungkan kata-kata temannya. "Ada beberapa kelompok yang mungkin bisa membantu kita. Namun, kita harus berhati-hati. Ada kemungkinan Tong Guan sudah mendapatkan informasi tentang kita dan menyiapkan jebakan.""Jadi, kita harus berpura-pura tidak tahu," kata En Jio. "Kita bisa berpura-pura mencari makanan atau barang-barang berharga. Itu bisa
Ling berdiri di tengah medan uji, menghadapi bayangan terburuknya. Suasana menjadi tegang, dan rasa takut merayap ke dalam dirinya saat sosok-sosok menakutkan mulai muncul satu per satu. Dari kegelapan, mereka mulai memperlihatkan bentuk yang samar, seolah berasal dari kedalaman jiwanya yang paling gelap."Apa yang kau inginkan dariku?" Ling bertanya, suaranya bergetar meski dia berusaha keras untuk tetap tenang. Setiap sosok tampak menggoda ketakutannya, berusaha menjerat pikirannya dengan kenangan pahit dan rasa sakit yang telah lama terpendam.Salah satu bayangan menampakkan diri sebagai sosok ibunya, dengan wajah yang lembut namun penuh kesedihan. "Kenapa kau tidak bisa menyelamatkanku, Ling? Kenapa kau membiarkan mereka membunuhku?" Suaranya lembut namun tajam, seolah menusuk jantungnya.Ling menggigit bibirnya, berjuang melawan air mata yang hampir keluar. "Aku berusaha! Aku akan membalas dendam!" Dia mengingat kembali tekadnya untuk mengalahkan penyihir yang bertanggung jawab a
Ling, Lengkukup, dan En Jio berdiri di persimpangan jalan, di mana dua jalan terbentang di depan mereka. Suasana di sekeliling terasa mencekam, seperti alam semesta menanti keputusan yang akan mereka buat. Di satu sisi, jalan yang berkilau dengan cahaya berwarna emas, menjanjikan kekuatan dan kemungkinan menuju Tong Guan, tetapi dengan ancaman yang tidak diketahui. Di sisi lain, jalan yang lebih gelap dan berkelok-kelok, yang menawarkan keamanan, tetapi menjauhkan mereka dari tujuan yang telah mereka tetapkan."Apa yang harus kita lakukan?" tanya En Jio, mengamati kedua jalan tersebut. "Kita sudah menghadapi banyak rintangan. Apakah kita siap untuk mengambil risiko ini?"Ling merasa hatinya bergetar. "Kita tidak bisa mundur sekarang. Kita telah berjuang begitu keras untuk sampai di sini. Jalan yang berkilau mungkin memiliki risiko, tetapi itu mungkin juga membawa kita lebih dekat ke Tong Guan.""Tapi kita harus memikirkan konsekuensinya," Lengkukup menambahkan, menatap jalan yang gela
Ling terdiam dalam keheningan, tatapannya masih terpaku pada tempat di mana sosok berjubah putih itu menghilang. Lengkukup dan En Jio berdiri di sisinya, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Namun, pertanyaan yang menggantung di udara tidak segera menemukan jawaban."Siapa dia?" En Jio akhirnya memecah kesunyian, suaranya bergetar lemah. "Penjaga Kuil Tianlong? Aku tidak pernah mendengar tentang sosok seperti itu..."Lengkukup, yang biasanya tenang dan penuh perhitungan, hanya menggelengkan kepala. "Dia muncul tepat saat kita membutuhkannya. Entah siapa atau apa tujuannya, kita sebaiknya bersyukur."Ling menghela napas panjang, tubuhnya masih lelah setelah serangan besar yang hampir menghabisi kekuatannya. "Kita harus segera pergi dari sini. Tempat ini penuh dengan kegelapan, dan aku merasakan sesuatu yang tidak beres."Mereka bertiga mengangkat diri, meskipun tubuh mereka masih t
Sima Yan berdiri tegak di hadapan Ling, Lengkukup, dan En Jio. Aura kegelapan yang memancar dari tubuhnya membuat udara di sekitar mereka terasa berat. Pedangnya yang besar dan hitam berkilauan dengan cahaya merah yang jahat, menandakan kekuatan yang luar biasa.Ling mengepalkan tangannya lebih kuat di sekitar gagang pedangnya. Napasnya terasa berat, dan dadanya bergemuruh dengan adrenalin. Dia tahu ini bukan hanya pertarungan melawan seorang musuh yang kuat, tapi juga perjuangan untuk tetap hidup."Kita tidak bisa membiarkan dia menang!" desis Ling dengan penuh semangat, meski dia tahu dalam hatinya bahwa mereka mungkin tidak akan bertahan dari pertarungan ini.Lengkukup berdiri di sampingnya, menatap dingin ke arah Sima Yan. "Kita bertarung sampai napas terakhir. Tidak ada pilihan lain."En Jio, yang masih terluka, mengangguk dengan susah payah. Meskipun kondisinya jauh dari ideal, dia tahu tidak ada waktu untuk mundur.
Ketika mereka keluar dari gua, lembah yang dulunya gelap sekarang diterangi cahaya redup matahari yang mulai tenggelam. Udara terasa lebih berat, seolah sesuatu yang jahat menyelimuti mereka dari kejauhan. Langit di atas Gunung Tianfeng mulai berubah menjadi merah darah, pertanda bahwa bahaya semakin dekat.
Suasana di dalam ruangan besar itu mendadak tegang. Pria berjubah hitam yang berdiri di hadapan mereka tampak mengintimidasi, dengan senyum penuh kebencian yang menyiratkan keyakinan mutlak pada kekuatannya. Cahaya dari kristal elemen hijau memantul di zirah hitamnya, mempertegas aura kegelapan yang menyelimuti tubuhnya."Aku adalah pengawal elemen ini," ucap pria itu dengan suara rendah yang bergetar. "Namaku Hei Long, dan kalian tak akan bisa melewati gerbang kehidupan ini."Ling menatap pria itu dengan tajam, mempersiapkan diri. "Kalau begitu, kita tak punya pilihan lain selain melawanmu."Lengkukup dan En Jio mengambil posisi di sebelah Ling. Meskipun mereka tahu bahwa Hei Long adalah lawan yang kuat, mereka tidak punya waktu untuk ragu. Kristal elemen hijau itu adalah kunci untuk melengkapi kekuatan Kitab Dewa Naga, dan mereka harus mendapatkannya, apa pun risikonya."Serahkan saja elemen itu
Malam mulai menyelimuti perbukitan, namun Ling, Lengkukup, dan En Jio terus melangkah. Suasana semakin mencekam saat kabut tipis mulai muncul, menyelimuti jalanan setapak yang semakin sempit. Hutan lebat di kiri dan kanan mereka seolah menjadi dinding kegelapan yang tak tertembus. Hanya suara langkah kaki mereka yang terdengar di tengah keheningan itu."Kita semakin dekat," kata Lengkukup, matanya terus mengawasi setiap gerakan di sekitar. "Aku bisa merasakan kehadiran sesuatu yang tidak biasa di sini."Ling mengangguk setuju. Dari kitab Dewa Naga yang berada dalam genggamannya, ia bisa merasakan energi yang semakin kuat. "Lembah itu tak jauh lagi. Energi dari elemen berikutnya sangat jelas terpancar dari sana."En Jio, yang biasanya penuh semangat, kali ini tampak lebih tenang. "Apa kalian sudah siap? Kalau pasukan hitam benar-benar menunggu di sana, ini akan menjadi pertempuran yang sulit."
Setelah berhasil mengalahkan Pengawal Bayangan dan mengamankan elemen es, Ling, Lengkukup, dan En Jio melanjutkan perjalanan mereka menuju perbukitan yang lebih rendah, meninggalkan puncak es yang mencekam di belakang. Udara di sini lebih hangat, tapi suasana tegang masih melingkupi mereka. Masing-masing terdiam, merenungkan pertempuran yang baru saja mereka lalui.“Kita sekarang memiliki dua elemen,” kata Lengkukup, memecah keheningan. “Tapi musuh kita pasti semakin sadar dengan keberadaan kita.”Ling mengangguk. “Kita harus bergerak cepat. Mereka tidak akan tinggal diam dan membiarkan kita mengambil semua elemen begitu saja.”En Jio, yang biasanya ceria, kali ini terlihat lebih serius. “Kalau mereka sudah mengirim Pengawal Bayangan, berarti kekuatan besar sedang memantau kita. Kita harus siap menghadapi mereka, kapan pun mereka menyerang.”
Setelah berhasil mendapatkan elemen es dari Puncak Es, Ling, Lengkukup, dan En Jio tidak bisa beristirahat lama. Meski mereka baru saja mengalahkan serigala es yang menjaga elemen tersebut, perasaan cemas tidak pernah benar-benar pergi. Keheningan yang melingkupi pegunungan bersalju seolah menyembunyikan ancaman yang belum terungkap.“Ling,” kata Lengkukup tiba-tiba, matanya tajam menatap ke kejauhan. “Kita sedang diawasi.”Ling yang sedang mengatur napas setelah pertempuran, langsung siaga. Dia mengeluarkan pedangnya dengan gerakan cepat, memfokuskan seluruh indranya untuk mendeteksi ancaman yang disampaikan Lengkukup. Seiring angin dingin yang menusuk, bayangan mulai terlihat di balik kabut tebal.En Jio, yang sebelumnya sedang bercanda untuk menghilangkan ketegangan, kini mengalihkan pandangannya dengan wajah serius. “Sepertinya, penjaga elemen es bukan satu-satunya yang harus kita hadapi.”Dari kabut yang semakin pekat, muncul sosok-sosok berpakaian hitam. Mereka bergerak dengan k
Setelah berhasil mendapatkan elemen api dari Gunung Berapi Hitam, Ling, Lengkukup, dan En Jio tidak memiliki banyak waktu untuk merayakan keberhasilan mereka. Tantangan berikutnya, elemen es, menanti mereka di ujung dunia yang berlawanan, di Puncak Es yang dilapisi salju abadi.“Kita tidak bisa berlama-lama di sini,” ujar Ling, napasnya masih terengah-engah setelah pertarungan yang menegangkan. “Puncak Es jauh, dan kita tidak tahu apa yang menanti kita di sana.”Lengkukup menyetujui, mengangkat elemen api dengan hati-hati. Cahaya merah yang menyala dari elemen itu berdenyut lembut, memberikan rasa hangat yang kontras dengan suhu yang akan mereka hadapi di perjalanan berikutnya.“Kau benar, Ling,” katanya. “Kita harus segera bergerak. Semakin lama kita menunda, semakin besar kemungkinan musuh kita mengetahui keberadaan elemen ini.”En Jio, yang telah berhasil mengalihkan perhatian naga api, berjalan mendekat. Dia tersenyum puas, meskipun wajahnya dipenuhi keringat. “Aku tidak sabar unt
Dengan hati yang penuh semangat dan ketegangan yang meningkat, Ling, Lengkukup, dan En Jio meninggalkan pasar malam. Mereka tahu bahwa perjalanan ini akan menjadi salah satu yang paling menantang yang pernah mereka hadapi. Mereka harus mendapatkan dua elemen yang berlawanan, dan langkah pertama adalah menuju Gunung Berapi Hitam.Di jalan, Ling merenungkan kata-kata lelaki tua itu. Kekuatan tidak hanya datang dari kemampuan fisik, tetapi juga dari keputusan yang mereka buat. Perjalanan ini bukan hanya tentang mencari kunci, tetapi juga tentang menemukan diri mereka sendiri dan menguji batasan mereka.Sesampainya di tepi hutan, mereka berhenti sejenak. Ling bisa merasakan perubahan udara, dari segar menjadi panas dan berbau sulfur. “Kita sudah dekat dengan gunung,” ujarnya.“Kau yakin kita siap menghadapi makhluk yang menjaga elemen api?” Lengkukup bertanya, merasakan ketegangan di udara.“Kita harus percaya satu sama lain,” jawab Ling. “Kita sudah melalui banyak hal bersama. Ini hanya