Hawa pagi terasa dingin, menyelimuti desa saat Ling dan En Jio memimpin pasukan menuju medan pertempuran. Langit biru yang cerah tampak kontras dengan ketegangan yang menyelimuti hati mereka. Penduduk desa berkumpul, memandangi para prajurit yang bersiap-siap. Semua orang berharap Ling dan timnya bisa mengalahkan kelompok aliran sesat yang telah mengancam kedamaian mereka.Setelah melakukan persiapan yang matang, Ling berdiri di tengah pasukan, merasakan kekuatan baru yang mengalir dalam dirinya. "Kita tidak hanya berjuang untuk diri kita sendiri, tetapi juga untuk desa dan orang-orang yang kita cintai!" teriaknya, suaranya menggema di antara barisan prajurit. "Kita akan menunjukkan kepada mereka bahwa kita tidak akan menyerah! Kita adalah satu kesatuan!"Sorakan semangat menggema, dan Ling merasakan semangat kebersamaan menyelimuti mereka semua. Dia menoleh ke En Jio yang berdiri di sampingnya, mata mereka saling bertemu. "Kita bisa melakukan ini, kan?" tanya En Jio, mengedipkan mata
Setelah pertempuran yang sengit, suara gaduh perlahan mereda, meninggalkan kesunyian yang aneh di medan perang. Ling berdiri di tengah lapangan, napasnya masih terengah-engah, tubuhnya diselimuti keringat dan debu. Di sekelilingnya, rekan-rekannya saling memandang dengan tatapan campur aduk antara kelegaan dan kelelahan. Meskipun mereka telah memenangkan pertempuran ini, Ling tahu bahwa jalan menuju kedamaian masih panjang."Kita berhasil," kata En Jio, menepuk bahu Ling. "Kita berhasil mengalahkan mereka."Ling tersenyum, namun senyum itu teredam oleh kesedihan saat melihat beberapa prajurit yang terluka. "Ya, tapi tidak tanpa pengorbanan. Kita harus membantu mereka yang terluka," jawab Ling, hatinya dipenuhi rasa prihatin.Segera, mereka beranjak menuju area di mana para prajurit yang terluka terbaring. Beberapa prajurit dari kelompok aliran sesat yang menyerah juga tampak terluka, meskipun mereka adalah musuh. Ling dan En Jio bergerak cepat, memberikan pertolongan sebaik mungkin ke
Cahaya pagi yang lembut menyapu hamparan hutan Siluman, menyinari wajah Ling yang masih termenung di bawah naungan pohon besar. Meskipun dia dan rekan-rekannya telah keluar dari hutan, hatinya masih dipenuhi ketegangan. Pertarungan dengan Tong Guan telah usai, namun ancaman yang lebih besar terus membayanginya.Lengkukup, yang berdiri di sampingnya, menatap ke arah cakrawala. "Tong Guan mungkin telah melarikan diri, tapi ini belum berakhir. Kita harus terus waspada," katanya tenang, tetapi matanya memancarkan keseriusan."Aku tahu," jawab Ling. "Kekuatannya masih terasa, tapi lebih dari itu... ada sesuatu yang lebih besar dari ini. Kitab Dewa Naga—aku bisa merasakan getarannya."Lengkukup menoleh, tatapan tajamnya tertuju pada Ling. "Kamu harus hati-hati, Ling. Kitab itu bukanlah pusaka biasa. Kekuatan di dalamnya bisa memakanmu jika kamu tidak siap."Ling menarik napas dalam, mengingat perasaan aneh ketika pertama kali membuka kitab tersebut. "Aku tidak punya pilihan. Jika aku ingin
Ling bergerak dengan cepat, pedangnya menebas ke arah salah satu bayangan yang mendekat. Tebasan anginnya berhasil memotong salah satu bayangan, tapi yang lain terus menyerang tanpa henti. Sesuai dengan ucapannya, ini bukanlah pertempuran biasa."Ini lebih dari sekadar ujian kekuatan," pikir Ling.Pedang Ling berkilat di udara saat ia mengayunkannya ke arah bayangan yang mendekat. Tebasan pertamanya langsung memotong bayangan itu menjadi dua, tetapi seperti asap gelap yang menguap, ia melihat makhluk-makhluk tersebut tidak benar-benar hancur. Bayangan lain segera menggantikannya, menyerang dengan kecepatan yang mustahil."Mereka tidak bisa dihancurkan dengan serangan fisik biasa!" Ling bergumam, keringat mulai membasahi dahinya.Di sekelilingnya, En Jio dan Lengkukup juga sedang sibuk menghadapi serangan bayangan. Lengkukup memutar pedangnya dengan presisi luar biasa, menebas setiap bayangan yang mencoba mendekat, sementara En Jio menggunakan kekuatan sihir untuk menciptakan perisai e
Setelah pertarungan dengan bayangan raksasa, suasana hutan Siluman kembali sunyi. Ling, En Jio, dan Lengkukup berdiri di tengah reruntuhan energi bayangan, napas mereka masih terengah-engah. Tubuh mereka basah oleh keringat, tetapi kemenangan telah mereka raih. Ling menyarungkan pedangnya, tatapannya masih terpaku pada Kitab Dewa Naga yang terselip di balik jubahnya."Kitab ini…," gumam Ling, "rasanya semakin dekat, seolah-olah ada sesuatu yang harus aku pahami dari dalamnya."Lengkukup mengusap keringat di dahinya dan menatap Ling. "Kekuatan itu sungguh luar biasa. Tapi kau harus berhati-hati, Ling. Setiap kekuatan besar membawa tanggung jawab yang besar pula. Jangan sampai kau dikendalikan oleh kekuatan itu."Ling mengangguk, memahami nasihat temannya. "Aku tahu, Leng. Aku juga merasakan hal yang sama. Namun, kita tak punya pilihan selain terus maju."Sementara itu, En Jio yang berdiri di samping mereka masih terdiam. Matanya menyapu sekeliling, memperhatikan hutan yang perlahan-lah
Gianjoyo dan Kirana bisa dikatakan orang yang beruntung saat mereka mendapatkan seorang anak laki-laki yang mereka namai Lengkukup. Dia memiliki bakat seorang pendekar sejak kecil, Lengkukup diberkahi kemampuan mempelajari sesuatu dengan cepat.Kemampuannya itu tentu menjadi daya tarik bagi sebagian orang, tetapi beberapa dari orang itu menaruh kebencian terhadapnya, mereka iri atas pencapaian yang dilakukan Lengkukup. Tepat ketika menginjak usia tujuh tahun, sekte Aur Duri mengadakan sayembara untuk anak muda yang berbakat. Banyak yang berpartisipasi disayembara yang diadakan itu dan Lengkukup menjadi salah satu pesertanya. Lengkukup bukannya menjadi sosok yang membanggakan, tetapi dirinya justru menjadi korban cemoohan dan dianggap curang oleh orang tua anak-anaknya karena Lengkukup dapat dengan mudah mengalahkan musuh-musuhnya. Gianjoyo dan Kirana saat itu melihat Lengkukup dihina bahkan dikucilkan tidak terima atas perlakuan mereka.
“Maafkan atas ketidaksopan kami karena tidak memberi tau tuan terlebih dahulu” sepuh tua berkata dengan kaki sedikit gemetar, dirinya berusaha mencairkan keadaan yang sedikit memanas. “Kami hanya pendatang baru ditempat ini, tolong lepaskan anakku!” Gianjoyo sedikit memelas supaya tidak terjadi keributan yang tidak diinginkan. Sebelumnya sepuh tua juga sudah berpesan supaya hati-hati berbicara dengan Kencana Emas karena karekternya yang mudah tersinggung. “Tidak. Dia sudah memata mataiku sejak tadi.” “Maafkan sekali lagi atas kecerobohan anakku, dia memang sering melihat orang berlatih beladiri, dan tertarik dengan hal baru yang baru dilihatnya” Gianjoyo berusaha meyakinkan Kencana Emas, tetapi tampaknya Kencana Emas masih tidak percaya. “Berbaik hatilah Tuan Kencana Emas, kau hanya perlu melepaskannya dan biarkan situa bangka ini yang mengurusnya.” Sepuh itu sedikit menepuk pundak Kencana Emas berusaha meyakinkanny
Sudah beberapa waktu mereka bertarung, Gamya dan adik seperguruan Jiang sedang melihat pertarugan Kencana Emas. Tampak mereka seperti setara dalam pertarungan, tetapi sebenarnya Kencana bisa dengan mudah mengalahkan Jiang hanya dengan beberapa kali tarikan nafas saja. Kencana sedikit terganggu dengan Gamya yang mampu membuatnya jatuh keposisi berlutut kapan saja. Namun saat ini Gamya hanya melihat dan tidak menunjukkan dirinya ingin ikut campur pertarungan muridnya. Melihat posisi yang menguntungkan itu Jiang berusaha semakin memojokkan Kencana sambil tertawa lantang. Namun Kencana Emas bahkan belum berpindah dari tempat dia berdiri Kencana sedikit berkelit ketika golok Jiang hampir mengenai wajahnya dan secara bersamaan Kencana melancarkan serangan tapak kearah dada Jiang yang menyebabkan benturan yang cukup kuat, serangan itu membuat Jiang mundur beberapa langkah lalu memuntahkan dara segar. “Kuaku