Share

Bab 132: Rahasia Benua Utara

Author: FAISAL FANANI
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Ketika Gema, Roro, dan Jaka mengikuti wanita tua itu melewati hutan yang semakin padat, rasa ingin tahu mereka terus tumbuh. Kekuatan yang mengelilingi tempat ini terasa berbeda, seolah setiap pohon, angin, dan salju memiliki kesadaran tersendiri.

Tanah ini bukan sekadar wilayah yang dingin dan tak berpenghuni; ada sesuatu yang lebih mendalam, sesuatu yang tersembunyi di balik lapisan es dan misteri.

Setelah berjalan beberapa saat, mereka tiba di sebuah lembah tersembunyi yang dikelilingi oleh tebing-tebing es yang tinggi. Di dasar lembah itu, tampak sebuah desa kecil yang dikelilingi oleh cahaya biru samar, seakan terlindungi oleh perisai magis yang tak terlihat.

Rumah-rumah kayu beratap rendah berdiri berjejer, tertutup salju namun tetap kokoh menghadapi dinginnya cuaca. Di depan desa, sebuah api unggun besar me

Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua   Bab 133: Para Penjaga Langit Utara

    Di bawah cahaya rembulan pucat yang tergantung di langit utara, Gema, Roro, dan Jaka duduk di sekitar api unggun bersama wanita tua yang telah membawa mereka ke desa misterius ini. Wajah wanita itu terlihat lebih jelas di balik bayangan api, menunjukkan usia lanjutnya, namun masih ada pancaran kekuatan dan kebijaksanaan yang terpancar dari matanya.Wanita tua itu menatap mereka dengan lembut namun penuh keyakinan. “Nama saya Nyi Larasati,” katanya dengan nada pelan tapi tegas. “Aku adalah salah satu dari para Penjaga Langit Utara. Suku kami, Suku Wanuara, telah tinggal di sini sejak lama, bahkan sebelum peradaban besar pertama di selatan berdiri.”“Suku Wanuara,” gumam Gema, mencoba mencerna nama tersebut. “Jadi kalian adalah para penjaga alam dan roh di benua ini?”

  • Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua   Bab 134: Pelatihan Sang Penjaga Angin

    Angin dingin menyapu lembut Desa Suku Wanuara, menyibakkan daun-daun pepohonan yang sudah memutih oleh embun beku. Gema berdiri di sebuah bukit kecil, memandangi pemandangan luas Benua Utara yang dikelilingi oleh pegunungan dan hutan lebat. Langit tampak pucat, seolah mencerminkan ketenangan yang menutupi kekuatan tersembunyi di balik tanah asing ini.Di sampingnya, Raksayudha berdiri dengan tangan terlipat di dada. Tatapan pria tinggi itu terlihat tegas namun sabar, menunggu Gema memulai latihan. Mereka telah menghabiskan beberapa hari bersama, Raksayudha mengajarinya cara merasakan angin, tidak sekadar sebagai elemen biasa, tetapi sebagai kekuatan hidup yang memiliki jiwa dan pesan."Kau merasakannya, Gema?" tanya Raksayudha dengan suara rendah namun penuh wibawa. "A

  • Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua   Bab 135: Pelatihan Bayangan Srikandi

    Setelah beberapa hari berlatih bersama Raksayudha, Gema merasa kekuatannya perlahan meningkat. Namun, ada sesuatu yang ia rasakan masih belum lengkap. Ia tahu, untuk menguasai kekuatan yang diperlukan agar bisa menghadapi Dewi Sekarwangi dan sekutu-sekutunya, pelatihannya harus lebih dari sekadar memahami angin. Ia butuh penguasaan yang lebih mendalam—bukan hanya pada elemen, tetapi pada dirinya sendiri.Suatu pagi, ketika matahari baru saja mulai menampakkan sinarnya di cakrawala, seorang perempuan tua yang penuh wibawa datang menemuinya di tempat pelatihannya. Dialah Nyai Srikandi, seorang ahli bela diri dan sihir kuno dari Suku Wanuara yang terkenal dengan penguasaannya atas kekuatan bayangan dan taktik siluman. Sosoknya mungkin renta, namun tatapan matanya y

  • Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua   Bab 136: Jaka Tandingan - Naga Hitam

    Jaka Tandingan duduk di sebuah batu besar di tengah hutan yang sunyi. Sejak kedatangannya di Suku Wanuara, ia merasa seperti terperangkap dalam pertempuran yang tidak bisa ia menangkan. Meskipun kekuatannya luar biasa di medan tempur, ia merasa bahwa di sini, di benua utara, kehebatannya belum cukup. Ia membutuhkan sesuatu yang lebih dari sekadar kekuatan fisik.Keringat mengalir di dahinya, bukan karena lelah fisik, tetapi karena tekanan yang dirasakannya. Pelatihannya selama ini bersama Gema dan Roro mengajarinya banyak hal, tetapi ada bagian dari dirinya yang tahu bahwa ia harus menempa dirinya lebih jauh.Disuatu pagi cerah, ketika Jaka tengah merenung, seorang pria jangkung dengan pakaian kulit berwarna gelap menghampirinya. Tubuh pria itu kokoh seperti batu karang, namun gerakannya lembut, hampir tak terdengar di antara dedaunan kering yang tersebar di tanah. Tatapan matanya dingin, penuh dengan pengalaman bertarung dan kesunyian. Dialah Ki Rakabumi, seorang pendekar tua yang te

  • Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua   Bab 137: Pendekar Suku Wanuara

    Hari-hari berlalu dengan cepat di benua utara, dan meskipun Jaka Tandingan telah mendapatkan banyak pelajaran berharga dari Ki Rakabumi, ia tahu bahwa pelatihannya belum selesai. Di antara pepohonan rimbun dan udara dingin, Jaka terus melatih kekuatan fisiknya, tetapi ia merasakan ada hal lain yang masih harus ia pelajari. Kali ini, bukan sekadar kekuatan, tetapi pemahaman lebih dalam mengenai seni bertarung yang menggabungkan kekuatan alam dan teknik bela diri khas suku Wanuara.Pada suatu pagi, ketika matahari baru saja memancarkan sinar emasnya di atas cakrawala, seorang pendekar lain dari suku itu datang menemui Jaka. Pendekar itu bernama Ki Sancaka, seorang ahli strategi dan bela diri yang terkenal dengan teknik bertarung yang memanfaatkan energi alam secara lebih halus, berbeda dengan pendekatan kekuatan brutal Rakabumi.Ki Sancaka memiliki penampilan yang jauh lebih ramping dibanding Rakabumi, dengan jubah sederhana dari kulit binatang dan wajah yang penuh ketenangan. Ia mendek

  • Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua   Bab 138: Seni Penyembuhan dan Racun

    Setelah menyaksikan perkembangan pesat Gema dan Jaka dalam pelatihan mereka di benua utara, giliran Roro Kenanga untuk melangkah ke dalam pelatihan yang telah disiapkan oleh para tetua suku Wanuara. Berbeda dengan Gema yang fokus pada elemen alam dan Jaka yang semakin kuat dalam memadukan kekuatan fisik dan elemen angin, Roro dihadapkan dengan tantangan unik yang memanfaatkan bakat alaminya dalam seni penyembuhan serta pengetahuan mendalam tentang racun.Suku Wanuara, yang terkenal dengan pengetahuan mereka tentang herbal, racun, dan energi kehidupan, memiliki ahli terbaik dalam bidang ini. Orang yang akan menjadi mentor Roro adalah seorang tabib sekaligus pendekar legendaris bernama Nyi Gandari, wanita tua yang telah hidup selama ratusan tahun, berkat penguasaannya atas ilmu penyembuhan dan pengendalian racun.Nyi Gandari, dengan rambutnya yang sudah memutih sepenuhnya dan kulitnya yang keriput namun bercahaya sehat, menyambut Roro dengan senyum penuh arti. Mereka bertemu di dalam se

  • Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua   Bab 139: Pendekar Utara - Satriawala

    Setelah menyelesaikan pelatihannya di bawah bimbingan Nyi Gandari, Roro Kenanga merasa tubuh dan pikirannya semakin selaras dengan energi alam. Namun, pelatihan ini masih belum selesai. Terdapat sosok lain di suku Wanuara yang telah menunggu untuk melanjutkan latihannya—Pendekar Satriawala, seorang ahli bela diri yang terkenal dengan teknik rahasianya dalam manipulasi energi chi melalui gerakan halus namun mematikan.Pendekar Satriawala adalah pria bertubuh sedang dengan mata tajam yang mampu menembus jiwa orang yang ditatapnya. Meski perawakannya tak terlalu besar, auranya begitu kuat hingga membuat Roro merasa segan. Dia adalah pendekar yang tidak banyak berbicara, tetapi setiap gerakannya menunjukkan pengalaman bertarung yang tak terhitung.Di pagi yang dingin, Roro berdiri di tengah lapangan latihan terbuka, dihadapkan pada tantangan baru yang akan segera dijalaninya. Kabut tipis menyelimuti sekeliling, namun udara pegunungan yang dingin tidak mampu memadamkan semangatnya. Di depa

  • Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua   Bab 140: Dua Tahun Yang Singkat

    Dua tahun telah berlalu sejak Gema, Jaka, dan Roro tiba di suku Wanuara, dan waktu terasa berjalan tanpa terasa di bawah naungan gunung-gunung tinggi Benua Utara. Di tempat terpencil yang jauh dari hingar bingar dunia, ketiga sahabat ini menjalani hari-hari mereka dalam pelatihan yang tidak henti-hentinya. Bagi mereka, waktu seolah-olah membeku di balik ritme keras pelatihan fisik, mental, dan spiritual yang tiada hentinya. Setiap hari adalah perjuangan untuk menjadi lebih kuat, lebih bijak, dan lebih siap menghadapi takdir yang semakin berat di depan mata.Usia Gema kini menginjak 13 tahun. Tubuhnya yang dulu terlihat canggung dan lincah, kini mulai menunjukkan kekuatan dan ketenangan yang tak biasa untuk anak seusianya. Dengan rambut hitam legam yang tergerai liar, serta mata yang bersinar dengan kebijaksanaan yang didapat dari latihan berat, dia tidak lagi tampak sebagai bocah yang takut menghadapi takdirnya. Gema telah bertransformasi, menjadi seorang pemimpin muda dengan keberani

Latest chapter

  • Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua   Bab 150: Hutan Mistik Es

    Langkah Gema, Roro, dan Jaka semakin pelan ketika mereka memasuki Hutan Mistik Es, sebuah kawasan yang penuh misteri dan bahaya. Suasana di dalam hutan itu begitu sunyi, hanya desau angin dingin yang menghembus di antara pepohonan beku, membuat daun-daun es bergetar pelan. Meski tampak tenang di luar, ada sesuatu yang terasa aneh dan menekan. Ketiganya merasakan kegelisahan yang sama, seolah-olah mereka sedang diawasi oleh sesuatu yang tidak tampak.Hutan itu dipenuhi pepohonan raksasa yang batangnya menjulang tinggi, seluruhnya tertutupi lapisan es yang tebal. Setiap langkah mereka menghasilkan suara renyah dari salju yang terinjak, namun setiap suara kecil itu bergema dengan cara yang aneh, seolah ada gema dari suara lain yang mengikuti di belakang mereka.“Rasanya… seperti kita tidak sendiri di sini,” gumam Roro dengan nada cemas, matanya mengamati sekeliling dengan hati-hati. Tangan halusnya sudah siap meraih jarum-jarum akupunktur, jika ada sesuatu yang tiba-tiba muncul dari bali

  • Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua   Bab 149: Menuju Pegunungan Utara

    Badai salju terus menderu, namun di tengah kegelapan dan dinginnya angin, Gema, Jaka, dan Roro berdiri tegak, memancarkan aura yang berbeda dari sebelumnya. Napas mereka teratur, meski suhu menggigit setiap inci tubuh mereka. Mata Gema menyala dengan kepercayaan diri yang semakin kuat, seolah-olah badai dan makhluk-makhluk es yang menghadang mereka hanyalah ujian kecil yang harus mereka lewati.Di sekitar mereka, Cheetah Es yang tersisa terus bergerak dengan kecepatan luar biasa, mengepung dari segala arah. Namun, kali ini Gema dan kedua kawannya sudah siap. Kekuatan yang telah mereka latih selama dua tahun di benua utara ini akhirnya mencapai puncaknya.“Sudah cukup,” gumam Gema pelan, namun penuh tekad. “Saatnya kita tunjukkan apa yang sebenarnya kita pelajari selama ini.”Jaka mengangguk, menatap musuh-musuh di depan mereka dengan senyuman penuh percaya diri. “Aku sudah menunggu saat ini. Tidak ada lagi yang bisa menghalangi kita.”Roro yang berada di sebelah mereka, meskipun dingi

  • Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua   Bab 148: Melintasi Badai Salju 

    Angin menderu hebat, membawa butiran salju yang terasa seperti ribuan jarum tajam menghantam kulit. Udara yang sedingin es menggigit tubuh mereka, meskipun pakaian tebal dari kulit hewan yang diberikan oleh Suku Wanuara cukup melindungi mereka dari hawa dingin yang menusuk. Pegunungan Utara tampak menjulang di kejauhan, puncaknya seolah menyentuh langit, diselimuti oleh kabut tipis yang menyatu dengan badai salju.Gema, Jaka Tandingan, dan Roro Kenanga melangkah maju dengan susah payah, kaki mereka tenggelam dalam salju setinggi lutut. Napas mereka terlihat dalam bentuk embusan uap di udara dingin. Mata mereka terus waspada, namun badai salju yang semakin deras membuat jarak pandang terbatas. Hanya siluet-siluet gelap dari bebatuan besar dan pohon-pohon kerdil yang terlihat samar di kejauhan."Aku tidak menyangka cuacanya akan seburuk ini," gumam Roro, suaranya hampir tenggelam dalam raungan badai. "Aku bisa merasakan energi dingin ini mengalir langsung ke tulang-tulangku."Jaka, yang

  • Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua   Bab 147: Persiapan dan Perpisahan Terakhir

    Awan di atas desa Suku Wanuara terlihat lebih cerah dari biasanya. Meski udara dingin pegunungan masih menusuk tulang, sinar matahari yang terpantul dari salju memberikan sedikit kehangatan yang aneh. Gema, Jaka Tandingan, dan Roro Kenanga bersiap untuk perjalanan mereka menuju Pegunungan Utara. Mereka tahu bahwa perjalanan ini akan penuh dengan bahaya, tapi tekad mereka sudah bulat.Di sekitar desa, para anggota suku telah berkumpul untuk memberikan penghormatan terakhir kepada ketiga tamu yang telah tinggal bersama mereka selama dua tahun. Di tengah kerumunan, Nyi Gandari berdiri dengan penuh wibawa, ditemani oleh Anggarajaya, Raksayudha, dan beberapa pemimpin suku lainnya.Gema memandang tumpukan perbekalan yang sudah disiapkan untuk mereka. Para tetua suku memberi mereka makanan, pakaian hangat, serta senjata yang bisa berguna untuk bertahan hidup di pegunungan yang keras. Ransel kulit berisi ramuan penghangat tubuh, beberapa buah kering, dan daging kering terikat dengan kuat. Sel

  • Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua   Bab 146: Raden Jayabaya dan Artefak Kuno

    Di tengah dinginnya udara pegunungan utara yang menusuk tulang, Gema terbaring di dalam tendanya, mencoba memejamkan mata. Namun, pikirannya justru melayang ke masa lalu. Ada sesuatu yang tidak bisa ia abaikan, kenangan tentang seseorang yang sangat penting dalam hidupnya—Raden Jayabaya, sang guru, seorang bijak dari Benua Timur yang tak hanya mengajarinya seni bela diri dan sihir, tetapi juga rahasia-rahasia dunia yang tersembunyi.Saat malam semakin larut, Gema semakin sulit untuk tidur. Dia duduk dan mengamati api unggun yang berkedip-kedip di luar tendanya. Pikirannya kembali pada percakapan terakhirnya dengan Raden Jayabaya sebelum dia pergi meninggalkan Benua Timur, sebuah percakapan yang kini terasa semakin relevan."Ada sesuatu yang harus kau cari di masa depan, Gema," Raden Jayabaya pernah berkata sambil menatap langit, matanya tampak jauh memandang ke cakrawala. "Sebuah artefak kuno, tersembunyi di tempat yang tidak mudah dijangkau. Namun jika kau menemukannya, kekuatanmu ak

  • Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua   Bab 145: Sambutan Hangat Kembali ke Desa

    Setelah perburuan yang penuh tantangan melawan para Mammoth Raksasa, Gema, Jaka, dan Roro akhirnya berjalan kembali menuju desa Suku Wanuara. Mereka ditemani oleh Anggarajaya dan beberapa anggota suku lainnya, termasuk para pemburu berpengalaman yang ikut serta dalam perburuan. Matahari terbenam di cakrawala, menciptakan pemandangan langit merah keemasan yang memantulkan sinarnya ke atas hamparan es yang luas. Hembusan angin dingin yang menusuk tulang kini terasa lebih akrab, seolah menjadi sahabat lama bagi mereka yang telah bertahan di lingkungan keras ini.Setelah beberapa jam berjalan, mereka mulai melihat tanda-tanda desa suku di kejauhan. Tenda-tenda besar yang terbuat dari kulit binatang berjajar rapi, asap tipis mengepul dari perapian di tengah desa, dan suara-suara tawa serta obrolan hangat terdengar samar di udara. Ada rasa hangat yang langsung menyelimuti hati mereka begitu desa mulai terlihat. Meskipun mereka adalah pendatang di sini, Suku Wanuara telah menjadi seperti kel

  • Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua   Bab 144: Amukan Mammoth Raksasa

    Fajar menyingsing dengan cahaya keemasan yang terpancar lemah di atas bentangan es Benua Utara, memantulkan kilauan pada permukaan kristal salju yang memutih. Suhu yang beku di bawah nol tidak lagi menjadi musuh bagi Gema, Jaka, dan Roro. Setelah dua tahun beradaptasi dengan lingkungan keras ini, mereka telah belajar untuk tidak hanya bertahan hidup tetapi juga menjadi bagian dari kekuatan alam yang dingin dan ganas ini.Hari ini, perburuan terakhir mereka akan menjadi yang paling menantang. Anggarajaya memimpin kelompok suku Wanuara ke dataran beku yang disebut “Tanah Bersalju Tak Berujung,” di mana gerombolan Mammoth Raksasa berkeliaran. Makhluk-makhluk ini bukan hanya besar, tetapi juga sangat berbahaya dengan taring gading yang mampu menghancurkan benteng dan kulit tebal yang nyaris tak tertembus.“Perburuan hari ini berbeda,” ujar Anggarajaya dengan suara dalam. “Mammoth Raksasa adalah hewan yang langka di benua ini. Mereka kuat, cepat, dan tidak mudah diprediksi. Kalian harus me

  • Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua   Bab 143: Amukan di Tengah Es

    Langit kelabu membentang di atas dataran es yang luas, seolah-olah menutupi dunia dalam selimut dingin abadi. Salju turun dengan lembut, menyelimuti permukaan bumi yang sudah beku, namun di bawah tenangnya lanskap ini, ketegangan menggantung di udara. Anggarajaya, Gema, Jaka, Roro, dan beberapa anggota Suku Wanuara lainnya berkumpul di tepi lembah yang dipenuhi es yang memantulkan cahaya samar dari langit. Hari ini, perburuan mereka bukanlah beruang kutub, melainkan makhluk yang lebih cepat, lebih berbahaya, dan jauh lebih mematikan: sekelompok Cheetah Es."Perburuan ini akan menjadi ujian terakhir kalian," kata Anggarajaya dengan nada tegas, tatapan matanya tajam seperti elang. "Cheetah Es terkenal dengan kecepatannya yang bisa membekukan aliran darah. Satu gigitan dari mereka, dan kau akan mati dalam hitungan detik."Gema mendengar peringatan itu dengan tenang. Di dalam dirinya, ada sesuatu yang terus membara—kekuatan yang telah ia latih selama dua tahun terakhir di Benua Utara ini.

  • Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua   Bab 142: Pertarungan di Tengah Salju

    Es dan salju membentang sejauh mata memandang di dataran beku Benua Utara. Udara dingin menusuk tulang, dan setiap langkah di permukaan putih itu meninggalkan jejak yang cepat terhapus oleh angin kencang. Gema, Jaka, Roro, dan anggota Suku Wanuara kini bergerak di tengah alam liar yang lebih ganas dari sebelumnya. Kali ini, perburuan mereka bukanlah rusa yang damai, melainkan makhluk yang jauh lebih berbahaya: sekelompok beruang kutub besar yang menguasai wilayah ini.Anggarajaya, sang pemimpin perburuan kali ini, memberikan isyarat agar mereka berhenti. Di depan mereka, melalui kabut salju yang berputar, terlihat bayangan besar dari seekor beruang kutub. Ukurannya jauh lebih besar dari beruang biasa, dengan bulu putih tebal yang nyaris menyatu dengan lanskap sekitarnya. Hewan itu sedang merobek bangkai ikan besar di dekat sebuah sungai beku."Kita harus hati-hati," bisik Anggarajaya. "Beruang-beruang ini sangat kuat, dan mereka bergerak dalam kelompok. Kita tidak boleh gegabah."Gema

DMCA.com Protection Status