Selang beberapa waktu di saat Jiro dan Utar terjepam, saat itu juga telah berlangsung proses penyamaran diri.
Seseorang yang berada di belakang Sadarga dan tengah melakukan penyamaran sebagai pasukan desa, perlahan merubah wujudnya. Kali ini ia ingin merubah wujud menjadi Sadarga.
Wajah asli dari orang yang tengah melakukan penyamaran itu ternyata seorang wanita. Jati diri asli seorang penyamar itu akhirnya terungkap juga. Sebab dalam melakukan penyamaran tak bisa dilakukan dengan begitu saja.
Butuh tahapan tertentu untuk melakukan penyamaran. Setelah menyamar menjadi wujud seseorang, maka si penyamar akan kembali lagi pada wujudnya yang asli, kemudian barulah ia bisa merubah dirinya pada wujud selanjutnya.
Sayangnya Jiro dan Utar tak bisa menyaksikan proses penyamaran itu. Namun untungnya masih ada seseorang dari pasukan desa yang bersembunyi di tempat lain dan tetap memperhatikan gelagat Sadarga dan tiga orang yang sedang bersamanya.
"Apa! Y
Dari atas pohon nampak jelas sekali, sesuatu tak lazim terlihat oleh Utar,"Hah! A-apa itu?" ucapnya dengan mulut terbata."Hei, setelah bercakap, tolong kondisikan mukamu! Memangnya apa yang kau lihat?" tanya Jiro dengan muka datar. Nampaknya ia masih menahan rasa sakit yang teramat sangat. Mungki ia tak nyaman, Karen mimik wajah adiknya itu nampak sedikit mengganggu, mulutnya ternganga seakan sulit untuk dirapatkan.Sepertinya Jiro mengalami luka yang cukup serius. Sakit yang berasal dari luka dalam, tengah ia rasakan.Penyebab luka dalam itu di sebabkan karena posisi mukanya yang berpapasan langsung dengan gelombang energi milik Sadarga. Sehingga dengan gerak refleksnya, sebelah tangan Jiro terluka cukup parah. Pria itu berniat menghindari gelombang energi itu.Namun beda halnya dengan Utar. Pria tersebut bisa dikatakan sedikit beruntung. Posisi tubuhnya terhalangi pohon besar. Sehingga efek dari gelombang energi yang menghampirinya, tiba-ti
Begitu sunyi suasana di hutan saat ini. Keadaannya bagaikan sebuah pulau tak berpenghuni. Semilir hembus angin terdengar bagaikan orang bersiul, sekaligus menjadi pertanda hanya itu saja yang bisa terdengar di tempat ini.Setelah Jiro mencoba membuka matanya, ia melihat air sungai yang jaraknya tak jauh dari tempatnya berdiri."Bagaimana keadaanmu?" tanya Jiro pada adiknya. Pandangannya seakan terpaku ke arah sungai yang tiba-tiba ada itu."Entahlah, ini aneh! Aku tak bisa merasakan apapun saat ini. Walau keadaan tubuhku terpenuhi luka memar," sahut Utar. Pria ini nampaknya sangat terkejut, ia menyisir pandangan ke sekujur badannya.Begitu pun Jiro, ia merasakan hal yang sama dengan adiknya. Bahkan tubuhnya seakan tengah mati rasa."Apa ini ilusi?" celetuk Utar."Bisa saja! Namun jika benar ini semua hanya ilusi, sudah dapat dipastikan yang melakukannya merupakan orang hebat," balas Jiro.Lelaki itu memang pendekar tingkat enam, hampi
Setelah Utar melepaskan tangannya dari tubuh bangkai Dugong, saat itu juga suara menggelegar mirip dengan terompet itu tiba-tiba hilang.Kemudian Utar memandang ke arah langit."Kak, aku baru saja mendapatkan sebuah penjelasan. Dan itu telah memberi tahukan kabar padaku, tentang sesuatu yang sedang terjadi saat ini!" tutur Utar."Maksudmu?" Jiro menolehkan pandangannya seakan memperhatikan sang adik berbicara."Suara menggelegar tadi, merupakan berita gembira untuk kita. Tetapi kita harus bersedia menerimanya," lanjut Utar. Pandangannya kini mengarah pada Jiro."Cepatlah kau katakan semua yang kau tahu. Masalah menerima atau tidak, kita tentukan saja nanti!" sahut Jiro dengan tersenyum tipis.Kemudian Utar menjelaskan berita yang didapatinya dari suara terompet yang menggelegar itu."Kakak, perlu kita ketahui. Bahwa peperangan saat ini merupakan peristiwa masa lalu yang telah terulang kembali.""Hah? Yang benar saja. Sebab seum
Di tempat Utar dan Jiro saat ini, sudah tak bermunculan lagi gagak dan kelelawar. Melainkan serangga kecil yang beterbangan dan mengganggu pandangan, berangsur keluar dari setiap lubang kecil di tanah tandus."Utar! Sedang apa kau di sana, cepat lari?" tanya Jiro sambil berteriak. Lelaki ini sepertinya mengalami kesulitan berjalan, pandangannya terganggu oleh jutaan belalang yang terbang di sekelilingnya.Kemudian serangga tersebut menyengat Jiro sampai kulitnya melepuh seakan terbakar. Namun di sisi lain nampaknya Utar tak menghiraukan teriakan kakaknya itu, ia hanya menoleh dan kembali menjalankan ritualnya.Ya, saat ini Utar seakan ingin menunjukan jati dirinya sebagai seorang petapa. Pria itu tengah bermeditasi hendak mencari sukma energi yang sejalan dengannya.Ternyata Utar merupakan murid dari seorang petapa sakti. Gurunya itu tak lain merupakan kakek tua yang bernama Tanu, tapi penyamaran sempurna yang dilakukan Tanu telah menjadikan Utar tak bisa
"Hmp. Cukup repot juga menyingkirkan para penyihir itu," gumam Tanu.Sejak kedatangan pasukan Desa dan menyadari ada penyusup, Tanu langsung pergi ke lembah suci. Tempat ini merupakan wilayah para Petapa di masa lalu.Keberadaan lembah itu tak jauh dari hutan gerbang kematian dan bersebelahan dengan Desa Purbawati, hanya saja perlu usaha dulu untuk memasuki lembah suci ini, sebab harus melalui dulu lorong goa yang tertutupi oleh bebatuan dan akar pohon yang begitu kerap.Selain itu, diperlukan juga kemampuan melacak tempat yang sangat akurat. Sebab di sepanjang lorong goa telah diselimuti aura energi yang bisa menipu siapa saja, sehingga jika batu dan akar kerap bisa dilalui maka orang yang tak memiliki kemampuan khusus akan tersesat di dalam lorong goa. Bahkan mereka bisa mati karena udara yang pengap.Lembah suci merupakan alasan utama para penyihir menyerang kerajaan Labodia. Karena di lembah itu terdapat pusaka Sirri atau pusaka rahasia.
Di saat Tanu bersemangat menjalankan misinya dalam membangun sebuah kehidupan baru. Kakek tua itu malah mendapat masalah baru. Ya, saat ini Sadarga nampaknya sangat membenci Tanu. Mungkin ia mengalami konflik batin yang diakibatkan oleh rasa bimbang pendiriannya terhadap Tanu. Saat Sadarga berumur delapan tahun, Tanu pernah menyodorkan prasasti yang berada di balik batu besar. Dalam prasasti itu tertulis pesan supaya manusia mendapatkan ketenangan dalam hidupnya. Diantara pesannya ialah manusia yang mempunyai kebiasaan pemarah dan membunuh, harus segera dijauhi. Setelah Sadarga menghilang dari pandangan, Tanu hanya diam seribu bahasa. Malah, sesekali ia mengusap genangan air mata yang seolah-olah disebabkan karena kepergian Sadarga. Lima belas orang pasukan desa yang berada di dekatnya, tentu saja merasa heran. Mengapa kakek tua itu menangis? "Kek! Siapa anak itu?" tanya Seno. Pria ini merupakan salah satu pasukan des
"Baiklah, Kek! Kami akan melaksanakan semua perintahmu, jika kakek bisa melukai kami. Bagaimana, setuju?" ucap Banyu dengan menyunggingkan bibirnya. "Haha! Bocah gendeng. Jangankan melukai kalian, mengirim ke neraka pun bukan hal sulit bagiku!" "Cwih! Dasar bibir sableng. Apa kalian dengar mulut tajamnya? Rupanya dia ingin bermain-main dengan kita!" ucap Banyu, sambil menatap semua temannya. "Haha, main-main katamu? Main saja yang jauh!" cibir Tanu, kemudian ia membaringkan tubuhnya lalu membelakangi pasukan desa. Melihat tingkah Tanu, tiba-tiba Banyu naik pitam. Pria itu rupanya merasa dilecehkan Tanu. Kemudian watak Banyu yang sedikit agresif, membuat amarahnya jadi lebih mudah terpancing oleh semua orang yang hendak berbicara dengannya,"Baiklah Kek, jangan dulu berhadapan dengan kami semua. Cukup aku saja yang melayani. Dan buat aku terluka semampumu saja!" lanjut Banyu. Berniat menggertak Tanu. Mendengar ucapan Banyu, s
"Matilah kau!" teriak Banyu sembari menghunuskan pedang ke arah Tanu.Melihat aksi Banyu, semua anggota pasukan desa merasa khawatir. Dalam benak mereka terpikir tentang sesuatu yang akan terjadi pada Tanu; Terbunuh oleh Banyu."Bagaimana ini? Mungkin sebaiknya, kamu segera melerai mereka," usul Rida pada Seno. Namun lelaki itu seakan acuh dan lebih memilih menyandarkan diri pada pohon dari pada pergi ke tengah pertempuran Banyu dan Tanu."Hmp, mengapa harus aku?" timpal Seno."Ayolah, dari pada kakek tua itu terbunuh!""Hmp. Tak usah khawatir. Andai saja Banyu mengeluarkan semua kekuatannya. Aku yakin ... tetua itu pasti bisa mengatasinya," sahut Seno yang terlihat lebih santai dari pada pasukan desa lainnya.Rida merupakan anggota satu-satunya pasukan desa dari kaum wanita. Keahliannya di bidang pengobatan telah memikat sesepuh wilayah desa.Kemudian setelah bergabung dengan pasukan desa, Rida diberi tugas khusus. Yaitu mendampingi
"Hei, coba lihat! Bukankah dia utusan dari bumi?""Mungkin saja begitu.""Tapi, aku rasa ada yang tak biasa dengan bumi kali ini. Mengapa saat ini bumi mengutus seorang yang terlihat lemah seperti itu.""Ya, benar juga. Jika demikian maka karisma bumi seakan menjadi pudar.""Hahaha."Dari jarak yang lumayan jauh, terdengar percakapan beberapa orang yang sedang menggunjing. Sepertinya Sadarga belum peka terhadap percakapan tersebut. Karena sebenarnya yang sedang menjadi bahan pembicaraan adalah dirinya, sebagai utusan dari bumi."Apa yang harus aku lakukan? Mengapa tiba-tiba tempat ini menjadi ramai?" gumam Sadarga dalam batinnya. Pandangan lelaki itu terus menyisir setiap penjuru yang mampu dijangkaunya.Suasana di dataran lapang ini begitu riuh, kesunyian seakan lenyap dibuatnya. Bagaikan pesisir pantai yang jernih dan tiba-tiba dipenuhi buih yang teramat banyak. Hiruk pikuk para utusan dari berbagai penjuru alam semesta datang
Setelah sekian lama melakukan perjalanan, akhirnya selesai juga. Sampailah di sebuah permukaan datar penuh debu dan pasir.Jika menengadahkan kepala ke langit, Sadarga bisa melihat puluhan bola berukuran besar. Terkadang Sadarga menyaksikan Kilauan cahaya di bola itu, tapi sisi lainnya berwarna gelap."Paman, jika boleh tahu siapa namamu?" tanya Sadarga sembari mengarahkan pandangan ke atas langit. Lelaki ini memang terbiasa menggunakan sebutan Paman, kepada siapapun yang dianggapnya lebih tua."Hmp, maafkan aku... karena hampir saja lupa memberitahunya. Perkenalkan namaku Brama Rangga Dewata. Tapi terserahmu saja, kau bisa panggil sesukamu," sahut Brama dengan senyuman ramahnya. Simpulan bibir pria itu seperti menyiratkan sifat aslinya."Wah, namamu bagus sekali dan sangat panjang Paman. Mungkin aku akan memanggilmu menggunakan nama depannya saja.""Baiklah nak, terima kasih atas pujiannya. Perlu kamu ketahui kita ini hampir sampai. Jangan s
Sesuatu yang dilihat oleh Sadarga, sungguh membuatnya ingin muntah.Bagaimana tidak?Sebab saat ini terlihat dua orang lelaki dan tiga wanita yang sudah tak berpakaian. Lima orang itu masih memiliki wajah utuh, tapi dari leher hingga bagian kaki sudah tak nampak lazim.Bukan tanpa alasan keadaan lima orang itu menjadi sedemikian rupa. Hal tersebut ternyata diakibatkan ulah dari orang-orang yang mengerumuninya.Ya, lima orang bernasib buruk itu telah menjadi korban keganasan penyembah Pisaca.Karena tak tahan melihat tingkah orang-orang di sekelilingnya, dengan lantang Sadarga berteriak sekeras mungkin."Aaaaaaa!"Tak lama setelah teriakan menggema di ruang istana, pandangan pun berubah menjadi gelap. Sadarga hanya bisa melihat bintik cahaya bermacam warna, bagaikan pemandangan langit malam saat dilihat di atas gunung.Begitu terkejut Sadarga, setelah ia menyadari bahwa dirinya sudah berpindah tempat cepat sekali. Bu
"Tunggu! Ibu mau kemana?" teriak Sadarga setelah melihat Ningrum tiba-tiba pergi dengan cepat.Walaupun Sadarga berteriak sekerasnya dan tengah melakukan berulang kali.Sayang sekali!Ningrum terlihat acuh tak memberikan tanggapan.Begitu tergesa-gesa kepergian Ningrum. Entah apa yang membuatnya melakukan itu? Yang jelas saat ini Sadarga hanya seorang diri saja melayang menunggangi batu di lingkungan istana kerajaan.Ingin rasanya mengikuti sang ibu yang telah pergi meninggalkannya, tapi apa daya Sadarga? Batu yang ia tunggangi tak bisa bergerak sesuai keinginannya. Bahkan batu tersebut malah turun dari atas ketinggian, seakan meminta Sadarga tak menginjakan lagi kaki di atas permukaannya."Aaaaa!"Benar saja.Begitu terkejut Sadarga. Pria itu dibuat kaget oleh batu yang ditumpanginya. Tiba-tiba bongkahan batu itu melakukan putaran cepat, seakan memaksa Sadarga turun.Dari kejadian itu, menyebabkan Sada
Sampai saat ini, Utar terus melanjutkan perjalanannya hingga mencapai perut goa. Di kedalaman tersebut suara hujan deras sudah tak terdengar lagi.Bebatuan tajam yang bisa dirasakan alas kaki pun, sudah tak ditemui lagi. Entah apa yang bisa dilihat jika sepercik cahaya menerangi kegelapan saat ini."Hei, apa kalian baik-baik saja?"Suara Utar yang terpantul dinding goa, terdengar menggema. Entah berapa orang yang masih bersamanya, hanya suara langkah dan hembusan nafas saja yang didengarnya. Tak ada seorangpun yang berbicara saat ini.Mungkin rasa lelah karena perjalanan, menjadikan diam terasa lebih baik dari pada berbicara atau sekedar menggerakkan anggota tubuh."Baiklah, aku rasa di sini tempatnya cukup aman. Jadi, jika kalian ingin beristirahat silahkan saja,"Lelah. Lelah sekali. Sadarga yang merasakan suasana di dalam goa itu seakan tak berdaya lagi. Begitupun semua orang yang bersamanya.Hanya Utar dan Raka yang masih te
Setelah sampai di mulut goa, Sadarga merasakan keresahan dalam hatinya. Entah apa yang akan menimpanya kali ini. Namun itulah ungkapan dalam benaknya. Padahal sebelumnya Sadargalah orang paling ceria dan selalu menumbuhkan semangat bertahan hidup.Ya, semangat untuk tetap hidup.Karena sepanjang jalan menuju goa, angin kencang terus berhembus menumbangkan pepohonan hujan deras di iringi petir terus mengguyur membasahi tanah.Dari kejauhan terlihat laju tanah berjalan, terbawa arus air yang begitu kuat. Padahal itu hanyalah sebuah lumpur yang terbawa air dari hulu menuju hilir.Ada beberapa orang dari para pemuda desa Lanangjagat yang gugur melepaskan nyawanya akibat tak tahan lagi menahan gejolak amukan alam tersebut. Sungguh mengenaskan nasib mereka diterpa murka alam raya, yang datang secara tiba-tiba."Paman, sebaiknya kita mencari lagi tempat lain untuk berlindung," usul Sadarga pada Utar."Hei, bicara apa kau ini. Bukankah kamu yang men
Tak terasa tiga hari berlalu begitu saja. Semenjak peristiwa pertempuran Sadarga dan manusia berbulu, kini tak ditemukan lagi kekacauan yang mengganggu kehidupan di istana dan di berbagai wilayah lainnya.Suasana amanpun seakan dirasakan semua orang, termasuk para penduduk desa Lanangjagat yang kini berada di tempat pengungsian sementara.Di pagi hari yang sangat cerah, Sadarga terlihat berjalan dan membawa kayu bakar. Entah dari mana ia? Sebab Sadarga tak ditemani siapapun."Tuan, dari mana kayu bakar ini?" ucap Reni menyambut kedatangan Sadarga. Wanita ini merupakan seseorang yang menaruh simpati pada Sadarga.Ya, beberapa hari terakhir prasangka orang disekeliling Sadarga seakan terbagi. Ada yang menaruh simpati, ada juga yang berburuk sangka."Aku baru saja turun gunung, semalam aku tak bisa tidur. Jadi ku putuskan saja untuk mencari angin segar di malam hari."Sadarga terlihat berjalan terus tanpa melihat wajah Reni, pandangannya
"Ti-tidak. Aku hanya terkesima saja, melihat seranganmu yang begitu cepat. Sampai mengalahkan mahluk itu dengan mudah," kata Utar. Nampaknya ia tak bisa menyembunyikan isi hatinya. Sehingga segala perkataan batinnya diwujudkan dengan kata-kata yang keluar dari mulut.Bukan hanya itu, selain Utar masih banyak juga yang tak sanggup menahan isi hatinya. Begitu juga dengan Raka, si pria paling tangguh dari desa Lanangjagat.Kali ini Sadarga mendapatkan berbagai pujian yang mengangkat derajatnya. Berbeda dengan sebelumnya, disaat orang di sekeliling masih bertanya-tanya dan ragu dengan tingkah yang dilakukan Sadarga.Ya, terkadang Sadarga bertingkah diluar prasangka orang lain. Seperti perkataannya yang nyeleneh, tapi akhirnya orang lain dapat memahami maksud dari perkataan itu.Kemudian selama kebersamaannya dengan puluhan penduduk dari desa Lanangjagat, Sadarga sering kali memerintahkan hal yang tak masuk akal. Namun selang beberapa saat dari per
Setelah Sadarga menggenggam pedang milik Utar, ia bingung harus melakukan apa? Sebab seumur hidupnya Sadarga belum pernah menggunakan benda tajam itu.Semua orang yang melihat Sadarga tentu saja keheranan. Dalam benak mereka bertanya, apakah Sadarga tidak bisa menggunakan pedang? Lalu untuk apa ia meminjamnya?Ya, benar sekali. Sadarga memang belum mempelajari jurus dan seni menggunakan pedang. Namun sesekali ia menemukan keterangan dalam kitab Azura. Pada kitab itu terdapat satu bab husus yang membahas tentang berbagai jurus pedang. Tapi apa gunanya? Karena Sadarga hanya membaca ilmu pedang itu, tanpa mencobanya.Menyadari jika dirinya sedang diperhatikan banyak orang, Sadarga langsung memejamkan mata. Pria itu mencoba mengingat semua tulisan pada kitab Azura, yang membahas tentang ilmu dan seni menggunakan pedang."Jurus pedang angin!" bisik Sadarga sembari memasang kuda-kuda menyerang.Sontak saja, Utar terkejut. Sebab ia melihat Sadarga layakny