pov. Nina"Memalukan! Tingkah laku kamu ini, sungguh bikin aku malu! Dasar istri tak tahu bersyukur! Mau di taruh mana mukaku, Nina!" maki Mas Rio padaku. Sepanjang jalan, di dalam mobil, Mas Rio tak henti-hentinya memaki dan mengumpatku. Sungguh kasar sekali sikapnya padaku kali ini.Aku tahu dirinya sedang marah padaku, tetapi tak bisakah ia menurunkan nada bicaranya itu? Seperti Mas Arman yang tetap lembut saat sedang kesal pada Indah. Lagi-lagi Indah, kenapa aku selalu teringat dsn membandingkan diriku dengannya. Lagian apa hebatnya janda anak satu itu? "Kamu dengar ucapanku tidak, Nina?" sentak Mas Rio kembali. Suaranya kembali naik satu oktaf hingga membuatku terkejut. Kuping ini terasa langsung kebas mendengarnya. "Kok, kamu hanya memarahi aku, Mas? Seharusnya kamu marahin pelayan itu! Dia yang sudah berlaku kurang ajar padaku!" ujarku membela diri. Aku tak terima jika hanya aku yang disalahkan di sini. "Jika kamu langsung bayar, maka pelayan itu tidak akan berkata seperti i
Aku melangkah dengan gontai, menahan sesak di dada. Hatiku begitu sakit, Mas Rio dengan tega meninggalkanku di jalanan begitu saja. Benar-benar lelaki kejam!Semua ini terjadi, berawal dari pertemuanku dengan teman-temanku siang itu.Sebagai genk sosialita. Kami biasa mengadakan arisan setiap minggunya. Saat sedang mengadakan arisan, temanku Sinta yang sok kaya itu. Baru saja mengatakan jika suaminya baru saja membuka pabrik baru, dengan gaya sombongnya membuatku muak."Hay, jenk ... tahu gak sih, aku baru saja di belikan pabrik baru sama suamiku. Katanya sebagai kado ulang tahunku. So sweet banget gak, sih, suamiku itu," ujar Sinta dengan begitu bangganya memamerkan apa yang ia dapat saat itu. Baru kemaren ia memamerkan hadiah gelang emas yang memenuhi setengah lengannya padaku, sekarang pabrik. Memangnya sekaya apa sih ... suaminya itu?"Wah ... hebat suami kamu, ya, Sin. Selain tajir, juga romantis. Jadi iri dech, sama kamu!" puji Ambar. Aku heran wanita satu ini apa tidak masuk
Sudah hampir tiga jam aku berkeliling mencari sebuah alamat yang dengan susah payah aku dapatkan. Kepala ini sudah mulai nyut-nyutan merasakan panasnya terik matahari yang begitu membara di atas kepala. "Apa ini tempatnya?" tanyaku pada diri sendiri seakan tak percaya. Sambil menepikan mobilku. Aku mengedarkan pandangan mataku, menelisik satu-persatu rumah yang ada di lingkungan ini. Begitu kumuh dan sempit dan bau.Aku heran kenapa ada orang yang tahan tinggal di lingkungan yang lebih cocok disebut kandang hewan ketimbang rumah. Kulit halusku terasa gatal. Tanganku pun tak henti-hentinya mengibas-ngibas di depan muka untuk menghalau bau tak sedap yang masuk ke dalam penciumanku. Celakanya aku tak membawa tissue atau sapu tangan saat tiba di tempat ini tadi. Setelah bertanya pada bapak-bapak di ujung gang aku akhirnya tiba di depan sebuah kontrakan yang sangat kecil. Mobil aku tinggal di ujung gang sana. Karena gang ini begitu sempit. Bahkan satu mobil satu tidak dapat melewatinya.
Pov. Indah"Mas, hari ini habis dari resto, aku mau mampir dulu ke butik, ya? Aku mau memesan beberapa gaun untuk Naira. Karena sebentar lagi kan, ia ulang tahun," ucapku manis. Tanganku sibuk menari di atas jas Mas Arman, menyimpul dasi di lehernya agar menjadi rapi. Sejak menikah, pria tampan di hadapanku ini seolah kehilangan kemampuannya dalam memasang benda satu ini."Terserah kamu, sayang. Yang penting, nanti siang kamu harus ada di resto, kita makan bareng,""Aku kan perginya sore, Mas. Oh ... ya, kamu mau dimasakkan apa nanti siang?" Setelah memasang dasi Mas Arman dengan rapi, aku beranjak. Mengambil tasku yang ada di atas nakas."Mas mau cah kangkung, sama cumi saos tiram, dan gurame bakar!" jawabnya cepat. Aku tersenyum."Siap bos!" Aku menaikkan satu tanganku ke atas pelipis, bergaya seolah memberi hormat pada komandan militer. Mas Arman terkekeh dan merangkul tanganku, mengajakku keluar. Hari ini kami berangkat kerja tidak menggunakan satu mobil seperti biasa. Karena aku
"Tidak ada! Tidak ada yang aku rencanakan. Aku hanya ingin menebus kesalahanku di masa lalu, itu saja. Aku ingin dekat dengan putriku, walau bagaimanapun aku tetap ayah kandungnya. Walinya yang sah secara hukum dan agama!" jawab Mas Dito tegas.Aku tersentak, Mas Arman pun terdiam, tapi aku melihat kabut kesedihan di matanya. Mungkin perkataan Mas Dito tadi telah menyinggung hati kecilnya. Sebesar apapun cinta yang ia miliki untuk Naira, tidak akan bisa menggantikan posisi Mas Dito selaku ayah kandungnya.Aku semakin bingung harus menanggapi seperti apa, satu sisi suamiku yang tampak tidak suka. Tapi di sisi lain, ada Mas Dito yang ingin menemui putrinya. Apa aku berdosa jika memisahkan seorang ayah kandung dengan anaknya? Walau bagaimanapun, Naira adalah perempuan, Mas Dito adalah walinya yang sah. Nasab itu tak dapat aku pungkiri. Walaupun aku menolak keinginan Mas Dito untuk ia bertemu putrinya, bagaimana suatu saat ia membalasku? Saat
Setelah pertengkaran yang terjadi, aku memutuskan ke rumah Mama. Aku butuh tempat untuk menyendiri. Melepaskan beban yang ada di hati ini. Berada di rumah Mama adalah hal yang paling baik. Aku bukanlah tipe pria yang melampiaskan masalah dengan minum-minuman keras, atau pergi kesebuah tempat yang di penuhi wanita murahan.Mungkin dengan tidur dan sholat dapat membuat hati dan otakku tenang."Loh, Arman. Kapan kamu datang, Nak? Indah Mana?" tanya Mama. Mungkin ia heran, selama aku menikah, aku selalu datang kerumah ini bersama menantu dan cucunya itu. Tapi hari ini berbeda, aku hanya datang sendiri."Indah masih di resto, Ma. Kebetulan Resto sedang ramai," jawabku bohong. Tak apalah ... aku bohong kali ini pada Mama. Lagi pula, tak mungkin aku umbar masalah rumah tanggaku. Walau itu terhadap orang tuaku sendiri."Benarkah? Apa kamu ada masalah dengan Istrimu, Nak?" tanya Mama tepat sasaran. Mem
Setelah mengantar makan siang ke kantor Mas Arman. Aku mengendarai mobilku, langsung pulang ke rumah. Kepalaku tiba-tiba terasa pusing, badanku pun terasa letih. Mungkin karena kurang tidur serta banyak pikiran selama beberapa hari kami bertengkar. Jujur aku sedikit terbebani dengan sikap suamiku yang sedikit cuek padaku akhir-akhir ini. Aku tahu itu bentuk amarah Mas Arman terhadapku dan aku pun mengakui kesalahan itu. Sebagai seorang istri tak seharusnya aku mengambil keputusan sendiri tanpa melibatkan dirinya walaupun itu menyangkut Naira. Mas Arman memang Ayah sambung Naira tetapi kasih sayang yang ia berikan pada putriku itu jauh lebih besar dibandingkan rasa sayang Mas Dito. Lampu merah yang menyala di depanku membuatku kesal. Bahkan dinginnya AC mobil tidak bisa mereda panasnya cuaca hari ini. Udara hari ini yang begitu panas, membuat kepala ini semakin senut-senut.Sambil menunggu lampu merah menyala, aku mengedarkan
Sudah seharian aku di rumah, membuat tubuhku terasa sedikit membaik. Apa lagi aku mengonsumsi pil penambah darah dan vitamin. Hanya saja setelah tubuhku mendingan, kini berganti dengan rasa malas yang mendera. Entahlah, seharian ini aku hanya bermalas-malasan saja di rumah sambil menemani Naira."Assalamualaikum," ucap Mas Arman. Saking malasnya, aku sampai tidak menyadari suamiku yang pulang dan sudah berdiri sebelahku."Waalaikum salam," jawabku. Aku menarik tubuh ini untuk duduk, meraih tangan suamiku untuk menciumnya. "Tumben sudah sore begini, masih malas-malasan di depan tv?" tanya Mas Arman. Tentu saja ia heran, karena aku adalah tipe orang yang anti bermalas-malasan apa lagi sampai seharian. Jika tidak berkutat di dapur resto, pasti aku berkutat di dapur rumah. Bereksperimen dengan aneka bahan makanan yang tersedia. Mungkin itu juga yang menjadi salah satu alasan, atau mungkin penyebab tubuh suamiku yang sispack jadi
pov. NinaAku menatap kebahagiaan dua anak manusia dari balik jendela. Awalnya aku ingin masuk, tapi melihat kebahagian dan keromantisan mereka berdua membuatku mengurungkan niat.Dari balik jendela ini aku melihat gurat-gurat bahagia itu begitu terpancar dari wajah Arman. Tentu saja ia bahagia, penantian panjangnya akan cinta Indah membuahkan hasil serta hadirnya seorang putra diantara mereka. Arman mengecup kening Indah lembut, penuh sayang.Membuat rasa iri ini kembali hadir di kalbu. Andai aku juga bisa seperti itu bersama Mas Rio. Namun sayangnya hanya bisa berandai, karena kenyatannya kini. Suamiku sedang berbahagia bersama istri mudanya. Tak kuat melihat kemesraan yang di tunjukkan mereka berdua, aku memilih pergi. Mungkin aku akan menemui Indah dan bayinya besok saja, setelah hati ini sudah mulai tenang.Jam batu menunjukkan jam sepuluh malam. Namun, lorong rumah sakit ini tampak begitu lenggang, bukan berarti tak ada orang
Perutku mulai terasa pedih, apa lagi efek obat bius yang mulai menghilang. Aku meringis menahan sakit saat jempol ini bergeser saja sakitnya sudah terasa sampai keubun-ubun. Dengan lembut Mas Arman memperbaiki letak bantal yang ada di punggungku. Tiba-tiba bayi yang ada di dalam box menangis kencang. Lengkingannya memekak telinga, Mas Arman meraih bayinya. Mencoba menenangkan.Aku merentangkan tanganku menyambutnya. "Sini, Mas! Mungkin dia haus, aku akan menyusuinya,""Apa kamu baik-baik saja, sayang. Perutnya masih nyeri?" tanyanya khawatir."Gak apa-apa, Mas. Mungkin dengan menyusuinya rasa nyeriku dapat sedikit berkurang. Kasihan dia, pasti sudah lapar," Ragu-ragu Mas Arman menghampiriku, Lalu menyerahkan bayi merah yang sedang menangis itu. Setelah terlebih dahulu mencium pipi anaknya dengan sayang.Aku mengambil alih bayi mungil itu, memasukkan puting susuku ke dalam mulut kecilnya. Mas Arman beralih duduk di seb
Aku memarkirkan taksiku di parkiran khusus rumah sakit. Rumah sakit Citra Medika, rumah sakit bersalin terbaik di kota ini. Aku tidak tahu kenapa aku membuntuti mobil mereka hingga sampai di sini.Perlu waktu yang lama untukku menimbang dan memutuskan untuk turun atau pulang. Aku merasa aku tak punya hak untuk datang ke sini. Tapi di sini lain, hati kecil ini begitu ingin menemuinya di saat-saat seperti ini.Dengan langkah gontai aku masuk kedalam rumah sakit, menanyakan ruangan Indah pada resepsionis. Setelah mendapatkan informasi aku langsung menuju ke tempat yang di beritahukan padaku.Setelah melewati 2 kali belokan dan lorong panjang, akhirnya kau sampai di tempat yang di tunjukan perawat tadi. Dari kejauhan aku melihat Arman dan Nina yang menunggu di depan ruangan. Mata Arman menatap kedatanganku dengan nanar. Ku kuatkan tekad untuk melangkah. Apapun yang terjadi, aku hanya ingin meliat Indah dan bayinya baik-baik saja. Lalu pergi.
Matahari mulai meredup dan senja mulai menunjukkan kekuasaannya. Lelah tubuh ini belum juga terbayarkan dengan lembaran rupiah yang memadai. Seharian aku bekerja, baru dua pelanggan yang pakai jasaku. Dari pada melamun, aku putuskan untuk pulang saja."Taksi!" teriak seorang wanita yang berdiri di pinggir jalan. Akhirnya, di penghujung hari aku mendapatkan satu orang pelanggan lagi, lumayan.Aku menghentikan mobilku tepat di depan mobilnya. Sepertinya mobil mereka mogok. Lama aku menunggu, tapi wanita tadi tidak juga masuk kedalam mobil. Kulirik sedikit kebelakang, pantas saja lama. Ternyata mereka berdua tampak kerepotan dengan banyaknya belanjaan di bagasi belakang. Dasar wanita kaya, menghambur-hamburkan uang saja kerjanya. Sangat berbeda dengan, Indahku. Entah mengapa akhir-akhir ini aku merindukan wanita yang telah aku sakiti itu.Sudah lama aku tidak bertemu dengannya, sejak pertemuan terakhir, yang menyebabkan aku kecel
Kata orang pamali berbelanja perlengkapan bayi jika usia kandungan belum memasuki tujuh bulan. Itu sebabnya aku menginjakkan kaki di toko baby shop ini saat usia kandunganku sudah masuk bukan ke-delapan. Walau sebenarnya dari bulan-bulan yang lalu aku sudah tak tahan ingin sekali membeli baju-baju yang lucu untuk bayiku. Namun kata orang tua, walaupun hanya mitos, tidak baik diabaikan, kan?"Indah coba lihat ini? Lucu banget kan, aku suka ini. Ambil ini saja, Ya!" pinta Nina sambil menunjukkan gaun kecil berwarna peach. Ia tampak antusias sekali menemaniku berbelanja perlengkapan bayiku. Karena Mas Arman sedang sibuk jadi dia tidak ikut menemani, hanya aku dan Nina saja yang pergi.Selama beberapa bulan terakhir ini, aku sudah terbiasa bersama Nina saat Mas Arman tak dapat menemaniku.Nina juga sekarang, sudah banyak berubah. Ia jadi sangat penyayang dan perhatian. Membuatku seakan memiliki saudara perempuan saja. Apa lagi, kali i
Pagi-pagi rintik hujan sudah turun deras membasahi bumi. Aku berdiri di dekat jendela, menikmati dinginnya udara pagi. Memikirkan segala masalah yang terjadi. Aku masih berada di rumah Mama. Tidak seperti biasanya, di hari senin kami masih berada di sini. Semua karena keributan tadi malam, membuat kami batal untuk pulang dan melanjutkan menginap di sini.Aku terkejut, saat merasakan sepasang tangan memelukku dari belakang. "Kamu lagi mikirin apa, sayang? Bumil dilarang mikir yang berat-berat! Kasihan sama yang di dalam perut," ujar Mas Arman. Ia mengeratkan pelukannya, meletakkan dagu di atas bahuku. Aku menyenderkan punggungku di dada lebarnya, menghirup wangi sabun yang menguar dari tubuhnya. Harum dan menenangkan. Sejak hamil aku menyukai semua aroma yang keluar dari tubuhnya. Bahkan aroma keringat ia habis pulang kantor yang kata orang asam, justru tercium wangi di Indra penciumanku. "Aku hanya mengingat kejadian semala
"Mungkin Mbak Indah benar, aku serakah! Tapi semuanya sudah terjadi, Mbak. Aku janji aku akan bersikap adil terhadap keduanya." jawab Mas Rio. Terdengar meyakinkan, tapi apakah ia mampu menciptakan kata 'adil' itu dalam rumah tangganya? Tanpa ada satu pun yang tersakiti."Berusaha adil seperti apa, Rio? Dengan membawa istri keduamu kerumah ini saja, kamu sudah bersikap tidak adil." timpal Mama tiba-tiba. Aku yakin Mama juga tidak setuju dengan sikap Mas Rio."Ma, Ambar juga menantu Mama. Jadi tidak ada salahnya jika ia datang kerumah ini. Biar Aisyah juga bisa mengenal Oma dari sebelah ayahnya juga." jawab Mas Rio. Entah kenapa, aku jadi hilang respect padanya. Kata-katanya santai tapi begitu menyakitkan. Nina masih tergugu menangis di pelukanku. Ia tak mampu lagi berkata walau sepatah katapun. "Nina mungkin memang salah, tapi yang lebih bersalah lagi itu adalah kamu, Rio! Kamu telah gagal sebagai seorang
"Indah! Hey ... Indah! Kenapa kamu melamun?" ujar Dinda."Siapa juga yang melamun, Dinda. Aku lagi malas ngomong. Lihat nih! Mulutku sedang sariawan! Perih kalau dipakai ngomong." Jawabku. Aku menunjuk ke arah pipiku, agar Dinda tahu jika mulutku ini penuh dengan sariawan. Apalagi perempuan ini sedari tadi berceloteh, membahas kakak kelas yang tampan. Dasar perempuan ganjen. Aku dan Dinda sekarang sedang duduk di bangku, di bawah pohon rindang dekat lapangan yang ada di depan kelas kami. Lapangan multifungsi ini berada di tengah, di kelilingi bangunan kelas dua tingkat yang membentuk huruf U. Kelasku berhadapan dengan kelas 2 Ips 2, sedangkan kelas 1 di lantai atas dekat kelas 3."Din," aku mencolek bahu Dinda. Wanita itu sedang asik mengunyah tela-tela balado yang kami beli di kantin tadi."Apa sih, In? Pakai colek-colek segala, kamu pikir aku sabun colek," jawabnya lebay."Itu, kamu lihat perempuan dengan
"Cepat katakan, Ayah! Jangan buat bunda penasaran. Ramuan apa?" cercaku. Aku begitu penasaran, dari pada aku tak bisa tidur malam ini. Iya, kan?"Tapi Bunda janji jangan marah, ya! Aku cuma takut Bunda tersinggung.""Iya, cepat katakan, buat istri penasaran itu dosa loh, Yah!" sahutku cepat. Entah dalil dari mana membuat istri penasaran itu dosa'. Bodoh amat lah, yang penting suamiku mau cerita."Bunda, ingat ramuan yang setiap minggu Mama berikan pada, Bunda?" Aku mengangguk, bagaimana aku bisa lupa. Jamu pahit, yang pahitnya mengalahkan pahit Brotowali itu. Belum lagi bau langu Yaang di campur sedikit asam, pokoknya nano-nano rasanya. Aku memegang tenggorokanku sambil bergidik ngeri. Baru membayangkannya saja, rasa pahit itu langsung terasa di tenggorokanku. Namun tiba-tiba aku teringat akan sesuatu."Ehh ... tunggu dulu, Yah. Tumben hari ini, Mama tidak memberi Bunda jamu itu? Biasanya kalau Bunda datang, Mama langsung meny