Setelah mengantar makan siang ke kantor Mas Arman. Aku mengendarai mobilku, langsung pulang ke rumah. Kepalaku tiba-tiba terasa pusing, badanku pun terasa letih. Mungkin karena kurang tidur serta banyak pikiran selama beberapa hari kami bertengkar.
Jujur aku sedikit terbebani dengan sikap suamiku yang sedikit cuek padaku akhir-akhir ini. Aku tahu itu bentuk amarah Mas Arman terhadapku dan aku pun mengakui kesalahan itu. Sebagai seorang istri tak seharusnya aku mengambil keputusan sendiri tanpa melibatkan dirinya walaupun itu menyangkut Naira.Mas Arman memang Ayah sambung Naira tetapi kasih sayang yang ia berikan pada putriku itu jauh lebih besar dibandingkan rasa sayang Mas Dito.Lampu merah yang menyala di depanku membuatku kesal. Bahkan dinginnya AC mobil tidak bisa mereda panasnya cuaca hari ini. Udara hari ini yang begitu panas, membuat kepala ini semakin senut-senut.Sambil menunggu lampu merah menyala, aku mengedarkanSudah seharian aku di rumah, membuat tubuhku terasa sedikit membaik. Apa lagi aku mengonsumsi pil penambah darah dan vitamin. Hanya saja setelah tubuhku mendingan, kini berganti dengan rasa malas yang mendera. Entahlah, seharian ini aku hanya bermalas-malasan saja di rumah sambil menemani Naira."Assalamualaikum," ucap Mas Arman. Saking malasnya, aku sampai tidak menyadari suamiku yang pulang dan sudah berdiri sebelahku."Waalaikum salam," jawabku. Aku menarik tubuh ini untuk duduk, meraih tangan suamiku untuk menciumnya. "Tumben sudah sore begini, masih malas-malasan di depan tv?" tanya Mas Arman. Tentu saja ia heran, karena aku adalah tipe orang yang anti bermalas-malasan apa lagi sampai seharian. Jika tidak berkutat di dapur resto, pasti aku berkutat di dapur rumah. Bereksperimen dengan aneka bahan makanan yang tersedia. Mungkin itu juga yang menjadi salah satu alasan, atau mungkin penyebab tubuh suamiku yang sispack jadi
Sepulang dari kebun binatang aku meminta Mas Arman untuk langsung pulang ke rumah. Aku sudah tak tahan lagi, ingin pulang. Aku juga sudah menelpon Bik Ijah untuk segera masak, agar kami makan siang di rumah saja. Jarak kebun binatang ke rumah yang hanya menempuh waktu setengah jam, aku rasa cukup untuk Bik Ijah untuk menyiapkan menu masakan kesukaan Mas Arman dan Naila. Apa lagi, ada dua orang pelayan yang lain, yang dapat ia mintain bantuan.Untung saja gadis kecilku itu mengerti, jadi ia tidak merengek minta makan ayam tepung di tempat makan kesukaannya itu, KF*C."Sayang, hey ... ayo bangun! Kita sudah sampai rumah," ujar mas Arman. Ia mengusap-usap pipiku lembut. Hingga aku membuka mataku yang masih terasa lengket. Saking kantuknya membuatku tak sadar, jika aku sampai ketiduran selama perjalanan pulang."Sepertinya kamu kecapean banget ya, sayang? Sampai-sampai kamu bisa tidur nyenyak di dalam mobil," ujar Mas Arman lagi.
Semenjak tahu aku hamil, suamiku ini semakin hari semakin membuatku jatuh cinta. Gimana gak jatuh cinta, jika aku selalu dimanja. Membuatku merasa bagaikan seorang ratu di dunia nyata. Betul kata pepatah, wanita akan menjadi ratu jika bertemu pasangan yang tepat.Aku jadi teringat saat masa-masa aku mengandung Naira dulu. Jangankan perlakuan manis atau dimanja bagaikan ratu, malah umpatan dan perlakuan kasar yang aku terima. Hati ini jadi terasa sesak jika mengenang itu semua."Bunda, kok melamun?" ucapan Mas Arman menyadarkan aku. Kami sedang berada di perjalanan menuju rumah Mama, aku tersenyum menatap wajah suamiku yang sedang menyetir mobil. Kulirik putriku yang berada di kursi belakang, Naira tampak sedang asik memainkan boneka yang baru saja dibelikan ayahnya. Sempat terbesit di dalam pikiran ini. Jika anak yang ada dalam kandungan ini lahir, akankah Mas Arman tetap menyayangi Naira seperti ini, atau rasa sayangnya
"Apa-apaan ini? Kenapa kalian berdua ribut-ribut seperti ini? Dan kamu Rio! Sebagai lelaki, tidak pantas kamu menaikkan tanganmu memukul istrimu seperti ini!" ujar Mas Arman. Ia tampak marah, melihat Mas Rio melayangkan tangan ke arah Nina. Karena selama menikah dengannya, aku tahu betul sifat Mas Arman yang pantang memukul perempuan, walau dalam keadaan marah sekalipun.Mas Arman beralih menatap ke arahku. "Bunda, bawa Naira masuk ke kamar!" perintahnya. Aku mengangguk, menggandeng tangan Naira, mengajaknya masuk ke kamar kami yang ada di lantai atas. Kamar yang biasa kami tempati saat menginap di tempat Mama."Aku tidak bermaksud untuk berlaku kasar padanya, Mas. Hanya saja, dia tidak bisa mengontrol sedikit saja ucapannya! Mulutnya seolah tidak pernah di ajarkan tata Krama! Aku benar-benar hilang sabar menghadapi segala tingkah lakunya." Sayup-sayup masih bisa aku dengar pertengkaran mereka dari balik pintu ini. Suara Mas
"Astagfirullah al'azim, Nina!" teriakku histeris. Kamar yang berantakan. Kasur, bantal serta guling yang tercabik-cabik tak tentu arah dengan isi dakronnya yang bertebaran di lantai. Membuat kamar ini tak ubahnya seperti kapal yang pecah dilanda bom Isra*l.Namun, yang paling mengerikan lagi dari pada itu adalah, tampilan Nina yang begitu berantakan. Rambut acak-acakan. Wajah yang penuh air mata, tegak berdiri menatap kami nanar, dengan sebuah pisau sedang yang biasa dipakai untuk mengupas buah, ada di genggamannya.Sebisa mungkin aku bersikap tenang. Menutupi ketakutanku. Walau jantung terasa mau lompat. Aku sangat takut melihat ia yang tak ubahnya seperti orang gila yang sedang mengamuk. Apalagi aku memang fobia terhadap orang gila."Apa-apaan ini Nina?" ujar Mas Arman. Ia mencoba mendekati Nina. Sedangkan aku, lebih memilih berjalan ke arah Mama yang sedang berdiri ujung ranjang, sambil menangis.Aku merangkul Mama dalam pe
"Cepat katakan, Ayah! Jangan buat bunda penasaran. Ramuan apa?" cercaku. Aku begitu penasaran, dari pada aku tak bisa tidur malam ini. Iya, kan?"Tapi Bunda janji jangan marah, ya! Aku cuma takut Bunda tersinggung.""Iya, cepat katakan, buat istri penasaran itu dosa loh, Yah!" sahutku cepat. Entah dalil dari mana membuat istri penasaran itu dosa'. Bodoh amat lah, yang penting suamiku mau cerita."Bunda, ingat ramuan yang setiap minggu Mama berikan pada, Bunda?" Aku mengangguk, bagaimana aku bisa lupa. Jamu pahit, yang pahitnya mengalahkan pahit Brotowali itu. Belum lagi bau langu Yaang di campur sedikit asam, pokoknya nano-nano rasanya. Aku memegang tenggorokanku sambil bergidik ngeri. Baru membayangkannya saja, rasa pahit itu langsung terasa di tenggorokanku. Namun tiba-tiba aku teringat akan sesuatu."Ehh ... tunggu dulu, Yah. Tumben hari ini, Mama tidak memberi Bunda jamu itu? Biasanya kalau Bunda datang, Mama langsung meny
"Indah! Hey ... Indah! Kenapa kamu melamun?" ujar Dinda."Siapa juga yang melamun, Dinda. Aku lagi malas ngomong. Lihat nih! Mulutku sedang sariawan! Perih kalau dipakai ngomong." Jawabku. Aku menunjuk ke arah pipiku, agar Dinda tahu jika mulutku ini penuh dengan sariawan. Apalagi perempuan ini sedari tadi berceloteh, membahas kakak kelas yang tampan. Dasar perempuan ganjen. Aku dan Dinda sekarang sedang duduk di bangku, di bawah pohon rindang dekat lapangan yang ada di depan kelas kami. Lapangan multifungsi ini berada di tengah, di kelilingi bangunan kelas dua tingkat yang membentuk huruf U. Kelasku berhadapan dengan kelas 2 Ips 2, sedangkan kelas 1 di lantai atas dekat kelas 3."Din," aku mencolek bahu Dinda. Wanita itu sedang asik mengunyah tela-tela balado yang kami beli di kantin tadi."Apa sih, In? Pakai colek-colek segala, kamu pikir aku sabun colek," jawabnya lebay."Itu, kamu lihat perempuan dengan
"Mungkin Mbak Indah benar, aku serakah! Tapi semuanya sudah terjadi, Mbak. Aku janji aku akan bersikap adil terhadap keduanya." jawab Mas Rio. Terdengar meyakinkan, tapi apakah ia mampu menciptakan kata 'adil' itu dalam rumah tangganya? Tanpa ada satu pun yang tersakiti."Berusaha adil seperti apa, Rio? Dengan membawa istri keduamu kerumah ini saja, kamu sudah bersikap tidak adil." timpal Mama tiba-tiba. Aku yakin Mama juga tidak setuju dengan sikap Mas Rio."Ma, Ambar juga menantu Mama. Jadi tidak ada salahnya jika ia datang kerumah ini. Biar Aisyah juga bisa mengenal Oma dari sebelah ayahnya juga." jawab Mas Rio. Entah kenapa, aku jadi hilang respect padanya. Kata-katanya santai tapi begitu menyakitkan. Nina masih tergugu menangis di pelukanku. Ia tak mampu lagi berkata walau sepatah katapun. "Nina mungkin memang salah, tapi yang lebih bersalah lagi itu adalah kamu, Rio! Kamu telah gagal sebagai seorang