Semua yang terjadi antara aku dan Nina, seolah berlalu begitu saja, amarahku juga sudah hilang entah kemana. Setelah aku pikir-pikir, bodoh sekali aku harus melukai hatiku sendiri hanya untuk hal-hal yang tak bermanfaat.
Mama, Mas Arlan dan Mas Rio, tidak pernah mengungkit-ungkit tentang kejadian itu. Bahkan saat sarapan tadi wajah mereka biasa saja, seolah tak terjadi apa-apa. Entahlah. Namun, bukan berarti, hubunganku dan Nina juga telah membaik. Justru wanita itu sekarang semakin membenciku.Aku memilih duduk di sofa ruang tamu, menemani Naira yang sedang santai menonton kartun kesukaannya. Mas Arman dan Mas Rio asik main catur di taman belakang. Seperti ini lah rutinitas yang kami lakukan di hari minggu. Sekali-sekali jalan jika waktu dan keadaan memungkinkan."Indah, ini Mama buatkan minuman herbal untuk kamu," ujar Mama sambil berjalan menghampiriku dan duduk di sebelahku.Ada segelas minuman di tangannya. Ukuran gelas t"Kamu ya, Nina! Makin tua, bukannya berubah. Malah semakin menjadi-jadi saja kelakuan!" omel Mama. "Nggak! Bukan begitu Ma. Bukan seperti yang Kevin bilang ...," "Maksud kamu Kevin bohong, gitu?" potong Mama cepat, Membuat Nina glagapan."Kevin gak bohong, kok, Oma. Sumpah!" sahut Kevin polos dengan menaikkan dua jarinya di hadapan Mama, membentuk angka v."Kevin! Kamu ya, hih!" Nina menatap Kevin geram, membuat bocah itu beringsut kedalam dekapan neneknya. Mama kembali menjelitkan matanya ke arah Nina. Membuat Nina menelan ludah. Nina memang sedikit takut dengan Mama. Rasanya aku ingin tertawa terpingkal-pingkal, melihat ekspresi wajah Nina yang panik, terlihat sangat lucu. "Mama benar-benar gak suka melihat tingkah kamu yang bar-bar begini, Nina. Bisa gak, mulutmu itu di kontrol sedikit di depan anak-anak! Lihat Kevin, jadi bertanya hal yang tidak pantas untuk anak seusianya!" omel Mama lagi. C
"Supplier baru, sayang? Yang lama kemana?" tanyanya. Wajahku merona mendengar kata 'sayang' yang ia ucapkan padaku. Semenjak kami menikah, Mas Arman memang sering menggunakan kata manis itu untuk memanggilku. Hanya saja, aku masih belum terbiasa mendengarnya."Iya, Mas, yang lama sudah aku stop.""Kenapa?"Aku menghela napas. "Kamu ingatkan tentang pembukuan pengeluaran resto yang tiba-tiba membengkak, itu semua karena bahan-bahan yang dikirimkan ke sini oleh supplier lama, dalam keadaan tidak segar. Hingga membuat stok bahan-bahan cepat sekali busuk. Kalau tetap dipertahankan yang ada, aku rugi," jelasku. Mas Arman manggut-manggut tanda mengerti. Tangannya membuka box styrofoam di sebelah kami. Seketika matanya berbinar seperti baru menemukan harta Karun yng berharga. " Tumben ada kepiting, sayang?" "Iya, rencananya aku mau nambah menu baru dengan bahan kepiting. Memangnya kenapa, Mas?" Aku melihat Mas Arman memilih beberapa ekor kepiting laut yang ukuran besar-besar."Mas mau maka
"Benarkah? Aku tak menyangka jika Mas Arman seperti itu?" ujarku kaget, nyaris syok, membuat Vera terkekeh pelan.Sedangkan suamiku menatap ke arah kami berdua dengan cemberut. Lebih tepatnya, ia malu, karena rahasia yang ia simpan selama ini justru dibongkar secara gamblang oleh mantan istrinya itu.Sekarang kami bertiga duduk di gazebo, Mas Arman tidak jadi pergi ke kantor. Ia justru ikut nimbrung di antara kami berdua. Dari cerita Vera aku mengetahui ternyata pernikahan mereka hanyalah sebuah perjodohan. Antar kedua orang tua. Mereka bercerai secara baik-baik setelah empat bulan menikah, itu pun karena Vera tengah hamil dengan kekasihnya. "Tentu saja, karena memang itu lah kenyataannya! Mbak sih ... yang gak peka," jawab Vera. Ia menyeruput secangkir Milo hangat yang kusajikan untuknya. Hatiku masih belum puas dengan jawaban yang ia berikan."Apa kamu tidak pernah mencintai Mas Arman? Maksudku, kalian pernah dekat dan menikah juga, tidak menutup kemungkian cinta itu bisa hadirkan?
Aku menatap bulan purnama dari atas balkon kamar sambil tersenyum mengingat kejadian itu. Memoriku masih mengingat kejadian masa lalu, kejadian betapa polosnya diriku. Sebuah pelukan hangat dari belakang, membuat aku tersadar dari lamunan. "Apa yang kamu lihat, sayang?" tanya Mas Arman sambil menumpukan dagu di bahuku."Bulan purnama," jawabku singkat. Mas Arman semakin mengeratkan pelukannya."Apa yang menarik dari bulan purnama, itu?" ucap Mas Arman yang membuatku terkekeh."Bentuknya yang indah," jawabku mantap. "Karena memang dari dulu aku sangat menyukai bulan purnama. Ia selalu indah walau di tengah kegelapan," "Tapi kamu lebih indah dari bulan purnama," ujar Mas Arman membuatku kembali terkekeh. Aku memutar tubuhku menghadapnya. Aku mengalungkan kedua tanganku ke lehernya."Jangan pasang wajah yang datar saat sedang merayu, Mas!" Kulihat dahi suamiku berkerut."Aku serius sayang!" ujar Mas Arman menyakinkan."Tapi aku masih penasaran, sayang." ujar Mas Arman lagi. Menarik t
Hari ini aku begitu bahagia, karena saking bahagianya, hingga semua yang aku kerjakan menjadi sempurna. Senyum tak pernah lepas dari bibir ini. Hingga beberapa orang karyawan di resto sampai menggodaku."Cie ... Mbak Indah, seperti orang yang lagi kasmaran saja. Dari tadi senyum-senyum sendiri" ujar Bianca padaku, saat aku sedang menulis laporan keuangan resto di ruang kerjaku. Tentu saja membuatku menjadi malu. Apa lagi yang kutulis saat itu bukanlah laporan keuangan, melainkan ukiran namaku dan Mas Arman, dengan lambang hati dan bunga.Inilah yang dinamakan orang, indahnya berpacaran setelah menikah. Memang sungguh indah. Seindah nama yang tersemat di diri ini.Aku duduk di sebelah kasir menemani Dita, sekalian memantau resto yang sedang ramai, karena memang sedang jam makan siang. Sedangkan Mas Arman tidak datang makan siang di resto hari ini. Sebab, sedang menemani Mama untuk check up di rumah sakit. Gula darah Mama akhir-akhir ini naik."Ayo silahkan! Kalian boleh pesan makanan
Plak!Dengan cepat tangan Nina melayang ke pipi Bianca. Cukup membuatku terkejut bukan main. Melihat apa yang ada di hadapanku saat ini. Pasalnya resto masih ramai, hingga membuat kami menjadi tontonan banyak orang.Bianca memegang pipinya yang memerah, Matanya berkaca-kaca, dengan tatapan nyalang. Ia begitu marah pada Nina. Sedangkan Nina memandang Bianca dengan tatapan menghina.Aku tidak menyangka, Nina akan melakukan itu di depan orang banyak. Aku kembali melihat ke arah Bianca yang menggigit bibir bawahnya dengan erat, seperti sedang menahan gejolak amarah. Memang keterlaluan sekali, Nina!"Apa lihat-lihat! Memang kamu pantas ditampar! Mulutmu itu begitu lancang, dasar pelayan tak tahu diri!" hardik Nina dengan berkacak pinggang. Membuatku semakin jengkel melihatnya.Belum sempat aku membuka mulut untuk menegur Nina. Ternyata, tangan Bianca sudah dengan cepat membalas perlakuan Nina padanya."Arrkhhh ... lepasin! Dasar pelayan tidak tahu diri!" Nina menjerit saat kedua tangan put
pov. Nina"Memalukan! Tingkah laku kamu ini, sungguh bikin aku malu! Dasar istri tak tahu bersyukur! Mau di taruh mana mukaku, Nina!" maki Mas Rio padaku. Sepanjang jalan, di dalam mobil, Mas Rio tak henti-hentinya memaki dan mengumpatku. Sungguh kasar sekali sikapnya padaku kali ini.Aku tahu dirinya sedang marah padaku, tetapi tak bisakah ia menurunkan nada bicaranya itu? Seperti Mas Arman yang tetap lembut saat sedang kesal pada Indah. Lagi-lagi Indah, kenapa aku selalu teringat dsn membandingkan diriku dengannya. Lagian apa hebatnya janda anak satu itu? "Kamu dengar ucapanku tidak, Nina?" sentak Mas Rio kembali. Suaranya kembali naik satu oktaf hingga membuatku terkejut. Kuping ini terasa langsung kebas mendengarnya. "Kok, kamu hanya memarahi aku, Mas? Seharusnya kamu marahin pelayan itu! Dia yang sudah berlaku kurang ajar padaku!" ujarku membela diri. Aku tak terima jika hanya aku yang disalahkan di sini. "Jika kamu langsung bayar, maka pelayan itu tidak akan berkata seperti i
Aku melangkah dengan gontai, menahan sesak di dada. Hatiku begitu sakit, Mas Rio dengan tega meninggalkanku di jalanan begitu saja. Benar-benar lelaki kejam!Semua ini terjadi, berawal dari pertemuanku dengan teman-temanku siang itu.Sebagai genk sosialita. Kami biasa mengadakan arisan setiap minggunya. Saat sedang mengadakan arisan, temanku Sinta yang sok kaya itu. Baru saja mengatakan jika suaminya baru saja membuka pabrik baru, dengan gaya sombongnya membuatku muak."Hay, jenk ... tahu gak sih, aku baru saja di belikan pabrik baru sama suamiku. Katanya sebagai kado ulang tahunku. So sweet banget gak, sih, suamiku itu," ujar Sinta dengan begitu bangganya memamerkan apa yang ia dapat saat itu. Baru kemaren ia memamerkan hadiah gelang emas yang memenuhi setengah lengannya padaku, sekarang pabrik. Memangnya sekaya apa sih ... suaminya itu?"Wah ... hebat suami kamu, ya, Sin. Selain tajir, juga romantis. Jadi iri dech, sama kamu!" puji Ambar. Aku heran wanita satu ini apa tidak masuk
pov. NinaAku menatap kebahagiaan dua anak manusia dari balik jendela. Awalnya aku ingin masuk, tapi melihat kebahagian dan keromantisan mereka berdua membuatku mengurungkan niat.Dari balik jendela ini aku melihat gurat-gurat bahagia itu begitu terpancar dari wajah Arman. Tentu saja ia bahagia, penantian panjangnya akan cinta Indah membuahkan hasil serta hadirnya seorang putra diantara mereka. Arman mengecup kening Indah lembut, penuh sayang.Membuat rasa iri ini kembali hadir di kalbu. Andai aku juga bisa seperti itu bersama Mas Rio. Namun sayangnya hanya bisa berandai, karena kenyatannya kini. Suamiku sedang berbahagia bersama istri mudanya. Tak kuat melihat kemesraan yang di tunjukkan mereka berdua, aku memilih pergi. Mungkin aku akan menemui Indah dan bayinya besok saja, setelah hati ini sudah mulai tenang.Jam batu menunjukkan jam sepuluh malam. Namun, lorong rumah sakit ini tampak begitu lenggang, bukan berarti tak ada orang
Perutku mulai terasa pedih, apa lagi efek obat bius yang mulai menghilang. Aku meringis menahan sakit saat jempol ini bergeser saja sakitnya sudah terasa sampai keubun-ubun. Dengan lembut Mas Arman memperbaiki letak bantal yang ada di punggungku. Tiba-tiba bayi yang ada di dalam box menangis kencang. Lengkingannya memekak telinga, Mas Arman meraih bayinya. Mencoba menenangkan.Aku merentangkan tanganku menyambutnya. "Sini, Mas! Mungkin dia haus, aku akan menyusuinya,""Apa kamu baik-baik saja, sayang. Perutnya masih nyeri?" tanyanya khawatir."Gak apa-apa, Mas. Mungkin dengan menyusuinya rasa nyeriku dapat sedikit berkurang. Kasihan dia, pasti sudah lapar," Ragu-ragu Mas Arman menghampiriku, Lalu menyerahkan bayi merah yang sedang menangis itu. Setelah terlebih dahulu mencium pipi anaknya dengan sayang.Aku mengambil alih bayi mungil itu, memasukkan puting susuku ke dalam mulut kecilnya. Mas Arman beralih duduk di seb
Aku memarkirkan taksiku di parkiran khusus rumah sakit. Rumah sakit Citra Medika, rumah sakit bersalin terbaik di kota ini. Aku tidak tahu kenapa aku membuntuti mobil mereka hingga sampai di sini.Perlu waktu yang lama untukku menimbang dan memutuskan untuk turun atau pulang. Aku merasa aku tak punya hak untuk datang ke sini. Tapi di sini lain, hati kecil ini begitu ingin menemuinya di saat-saat seperti ini.Dengan langkah gontai aku masuk kedalam rumah sakit, menanyakan ruangan Indah pada resepsionis. Setelah mendapatkan informasi aku langsung menuju ke tempat yang di beritahukan padaku.Setelah melewati 2 kali belokan dan lorong panjang, akhirnya kau sampai di tempat yang di tunjukan perawat tadi. Dari kejauhan aku melihat Arman dan Nina yang menunggu di depan ruangan. Mata Arman menatap kedatanganku dengan nanar. Ku kuatkan tekad untuk melangkah. Apapun yang terjadi, aku hanya ingin meliat Indah dan bayinya baik-baik saja. Lalu pergi.
Matahari mulai meredup dan senja mulai menunjukkan kekuasaannya. Lelah tubuh ini belum juga terbayarkan dengan lembaran rupiah yang memadai. Seharian aku bekerja, baru dua pelanggan yang pakai jasaku. Dari pada melamun, aku putuskan untuk pulang saja."Taksi!" teriak seorang wanita yang berdiri di pinggir jalan. Akhirnya, di penghujung hari aku mendapatkan satu orang pelanggan lagi, lumayan.Aku menghentikan mobilku tepat di depan mobilnya. Sepertinya mobil mereka mogok. Lama aku menunggu, tapi wanita tadi tidak juga masuk kedalam mobil. Kulirik sedikit kebelakang, pantas saja lama. Ternyata mereka berdua tampak kerepotan dengan banyaknya belanjaan di bagasi belakang. Dasar wanita kaya, menghambur-hamburkan uang saja kerjanya. Sangat berbeda dengan, Indahku. Entah mengapa akhir-akhir ini aku merindukan wanita yang telah aku sakiti itu.Sudah lama aku tidak bertemu dengannya, sejak pertemuan terakhir, yang menyebabkan aku kecel
Kata orang pamali berbelanja perlengkapan bayi jika usia kandungan belum memasuki tujuh bulan. Itu sebabnya aku menginjakkan kaki di toko baby shop ini saat usia kandunganku sudah masuk bukan ke-delapan. Walau sebenarnya dari bulan-bulan yang lalu aku sudah tak tahan ingin sekali membeli baju-baju yang lucu untuk bayiku. Namun kata orang tua, walaupun hanya mitos, tidak baik diabaikan, kan?"Indah coba lihat ini? Lucu banget kan, aku suka ini. Ambil ini saja, Ya!" pinta Nina sambil menunjukkan gaun kecil berwarna peach. Ia tampak antusias sekali menemaniku berbelanja perlengkapan bayiku. Karena Mas Arman sedang sibuk jadi dia tidak ikut menemani, hanya aku dan Nina saja yang pergi.Selama beberapa bulan terakhir ini, aku sudah terbiasa bersama Nina saat Mas Arman tak dapat menemaniku.Nina juga sekarang, sudah banyak berubah. Ia jadi sangat penyayang dan perhatian. Membuatku seakan memiliki saudara perempuan saja. Apa lagi, kali i
Pagi-pagi rintik hujan sudah turun deras membasahi bumi. Aku berdiri di dekat jendela, menikmati dinginnya udara pagi. Memikirkan segala masalah yang terjadi. Aku masih berada di rumah Mama. Tidak seperti biasanya, di hari senin kami masih berada di sini. Semua karena keributan tadi malam, membuat kami batal untuk pulang dan melanjutkan menginap di sini.Aku terkejut, saat merasakan sepasang tangan memelukku dari belakang. "Kamu lagi mikirin apa, sayang? Bumil dilarang mikir yang berat-berat! Kasihan sama yang di dalam perut," ujar Mas Arman. Ia mengeratkan pelukannya, meletakkan dagu di atas bahuku. Aku menyenderkan punggungku di dada lebarnya, menghirup wangi sabun yang menguar dari tubuhnya. Harum dan menenangkan. Sejak hamil aku menyukai semua aroma yang keluar dari tubuhnya. Bahkan aroma keringat ia habis pulang kantor yang kata orang asam, justru tercium wangi di Indra penciumanku. "Aku hanya mengingat kejadian semala
"Mungkin Mbak Indah benar, aku serakah! Tapi semuanya sudah terjadi, Mbak. Aku janji aku akan bersikap adil terhadap keduanya." jawab Mas Rio. Terdengar meyakinkan, tapi apakah ia mampu menciptakan kata 'adil' itu dalam rumah tangganya? Tanpa ada satu pun yang tersakiti."Berusaha adil seperti apa, Rio? Dengan membawa istri keduamu kerumah ini saja, kamu sudah bersikap tidak adil." timpal Mama tiba-tiba. Aku yakin Mama juga tidak setuju dengan sikap Mas Rio."Ma, Ambar juga menantu Mama. Jadi tidak ada salahnya jika ia datang kerumah ini. Biar Aisyah juga bisa mengenal Oma dari sebelah ayahnya juga." jawab Mas Rio. Entah kenapa, aku jadi hilang respect padanya. Kata-katanya santai tapi begitu menyakitkan. Nina masih tergugu menangis di pelukanku. Ia tak mampu lagi berkata walau sepatah katapun. "Nina mungkin memang salah, tapi yang lebih bersalah lagi itu adalah kamu, Rio! Kamu telah gagal sebagai seorang
"Indah! Hey ... Indah! Kenapa kamu melamun?" ujar Dinda."Siapa juga yang melamun, Dinda. Aku lagi malas ngomong. Lihat nih! Mulutku sedang sariawan! Perih kalau dipakai ngomong." Jawabku. Aku menunjuk ke arah pipiku, agar Dinda tahu jika mulutku ini penuh dengan sariawan. Apalagi perempuan ini sedari tadi berceloteh, membahas kakak kelas yang tampan. Dasar perempuan ganjen. Aku dan Dinda sekarang sedang duduk di bangku, di bawah pohon rindang dekat lapangan yang ada di depan kelas kami. Lapangan multifungsi ini berada di tengah, di kelilingi bangunan kelas dua tingkat yang membentuk huruf U. Kelasku berhadapan dengan kelas 2 Ips 2, sedangkan kelas 1 di lantai atas dekat kelas 3."Din," aku mencolek bahu Dinda. Wanita itu sedang asik mengunyah tela-tela balado yang kami beli di kantin tadi."Apa sih, In? Pakai colek-colek segala, kamu pikir aku sabun colek," jawabnya lebay."Itu, kamu lihat perempuan dengan
"Cepat katakan, Ayah! Jangan buat bunda penasaran. Ramuan apa?" cercaku. Aku begitu penasaran, dari pada aku tak bisa tidur malam ini. Iya, kan?"Tapi Bunda janji jangan marah, ya! Aku cuma takut Bunda tersinggung.""Iya, cepat katakan, buat istri penasaran itu dosa loh, Yah!" sahutku cepat. Entah dalil dari mana membuat istri penasaran itu dosa'. Bodoh amat lah, yang penting suamiku mau cerita."Bunda, ingat ramuan yang setiap minggu Mama berikan pada, Bunda?" Aku mengangguk, bagaimana aku bisa lupa. Jamu pahit, yang pahitnya mengalahkan pahit Brotowali itu. Belum lagi bau langu Yaang di campur sedikit asam, pokoknya nano-nano rasanya. Aku memegang tenggorokanku sambil bergidik ngeri. Baru membayangkannya saja, rasa pahit itu langsung terasa di tenggorokanku. Namun tiba-tiba aku teringat akan sesuatu."Ehh ... tunggu dulu, Yah. Tumben hari ini, Mama tidak memberi Bunda jamu itu? Biasanya kalau Bunda datang, Mama langsung meny