Pov. Nina"Kamu ini bagaimana sih, Mas! Bukannya belain istri, tapi malah nurut omongan kakakmu itu. Patuh banget kamu jadi adik?!" ocehku kesal.Kami masih di dalam mobil, masih dalam perjalanan menuju rumah. Namun, hatiku sudah tak sabar untuk mengomel pada suamiku ini tentang apa yang terjadi tadi."Kamu yang apa-apaan, nyiram Indah pakai minuman segala. Kamu mau mancing keributan, Nin? Jangan kekanak-kanakan, deh. Kamu itu sudah dewasa, sudah jadi seorang Ibu." ujar Mas Rio. Tatapan matanya tetap fokus menatap ke jalan. Aku mencebikkan bibir. Kekanak-kanakan dia bilang?"Mancing keributan bagaimana, Mas? Memang Indahnya aja, tuh, yang sensi sama aku. Dia juga udah ngata-ngatain aku yang tidak-tidak tadi. Kamu aja yang gak denger! Seharusnya kamu itu belain aku," sungutku. Aku berbohong sedikit agar Mas Rio ikut membenci Indah.Mas Rio terlihat melirikku sekilas lalu tersenyum kecut. "Aku yang lebih mengetahui siapa kamu, luar dalam, Nina. Aku juga tahu bagaimana bencinya Istriku in
Seperti biasa, pagi ini aku bangun, mandi dan berdandan rapi. Lalu dengan santai berjalan ke meja makan. Selama menikah aku tinggal di rumah mertua, aku tidak pernah bangun pagi dan menyiapkan sarapan. Untuk apa? Toh ... sudah banyak pelayan di rumah ini. Enaknya punya mertua kaya, ya, gini. Apa-apa tinggal minta dan perintah."Pagi, Ma," sapaku manis pada Ibu mertuaku yang baik. Setelah seminggu menginap di rumah menantu barunya itu, akhirnya Mama pulang juga. Aku menggeser kursi yang ada di antara Mas Rio dan putraku, Kevin. Kevin tampak asik menikmati sarapannya, tanpa memperdulikan aku sebagai Ibunya yang datang."Pagi," jawab Mama singkat. Mertuaku memang seperti itu, ia selalu irit bicara saat bersamaku. Jika tidak penting-penting sekali, maka dia hanya akan diam. Sangat berbeda saat bersama Indah. Membuat hati ini cemburu melihatnya, dan sialnya lagi. Indah justru sudah menjadi menantunya.Aku mengambil nasi goreng, meletakkannya ke piring, menyuapkan nasi ke mulutku sambil m
Tak terasa sudah sebulan waktu berlalu. Itu artinya, sudah sebulan pula aku menyandang status Nyonya Arman Anggara. Sejak menikah dengan Mas Arman, aku memilki rutinitas tambahan setiap akhir pekan; yaitu berkunjung ke rumah Ibu mertua dan makan bersama. Seperti yang aku dan Mas Arman lakukan saat ini. Menjelang makan siang, kami tiba di rumah besar ini. Aku dan Naira turun dari mobil, dan berjalan menuju pintu masuk. Aku jadi teringat kejadian dulu, saat aku menginjakkan kakiku di rumah ini. Beberapa tahun yang lalu, sebagai Indah si penjual gado-gado. Namun kenyatannya sekarang, aku menginjakkan kakiku di rumah ini sebagai menantu tertua Bu Narmi. Aku tidak menyangka jika sekarang, beliau adalah Ibu mertuaku. Rasanya semua itu masih terasa seperti mimpi saja.Tentu saja, kenyataan itu membuatku semakin bahagia. Bu Narmi selain baik juga sangat sayang pada Naira, ia juga tidak pernah membedakan antara Naira dan Kevin. Hingga gadis kecilk
"Kamu berani menamparku, Indah! Lancang sekali kamu!" hardik Nina dengan mata yang mulai memerah menahan amarah. Ia Memegang pipinya yang mungkin sekarang terasa panas. Bahkan terdapat cap lima jariku di pipi putihnya."Ada apa ini, ribut-ribut? Suara kalian terdengar hingga ke dalam." suara Mas Arman terdengar mengagetkan kami. Sontak aku dan Nina menoleh. Dari sudut mata aku melihat Nina mulai memasang wajah sedihnya. Pintar sekali ia memainkan ekspresi wajah, bagaikan seorang aktris saja.Mas Arman datang bersama Mas Rio dan juga Mama. Mereka bertiga melihat ke arah kami dengan tatapan bingung."Mbak, kamu kok tega menampar aku mbak! Aku kan bicara baik-baik, Supaya Naira jangan Nakal sama Kevin. Kasihan anak aku kalau dipukul Naira terus. Lihat Mas, Naira tadi mukul Kevin hingga putraku menangis, aku hanya menegur istrimu, tapi istrimu tidak terima dan menampar aku," ucapnya dengan semua kebohongan yang ia ciptakan.Suara N
Setelah kejadian itu, aku memilih hanya duduk di dalam kamar, duduk di sisi ranjang sambil memandang rumput yang bergoyang dari balik jendela.Entahlah, apa yang merasuki aku saat ini. Mulut ini terasa terkunci. Walau hanya sekedar untuk membela diri. Karena bagiku, berdebat dengan manusia bermuka dua tidak akan selesai. Berdebat dengan orang gila, tidak akan selesai. Jika aku ingin menghadapi orang bermuka dua, maka aku harus lebih bermuka dua lagi daripada dia. Jika aku ingin mengahadapi orang gila, maka aku harus lebih gila lagi daripada dia.Sedangkan aku ... aku tidak mau melakukan itu. Semua itu hanya akan membuatku sakit kepala dan menimbulkan masalah baru."Indah, ada apa denganmu? Kenapa kamu diam saja, saat Mas bertanya, tadi?" ujar Mas Arman di depan pintu kamar yang sedikit terbuka. Rupanya ia menyusulku. Aku menoleh sejenak, lalu menatap ke arah jendela kembali.Telingaku mendengar he
Semua yang terjadi antara aku dan Nina, seolah berlalu begitu saja, amarahku juga sudah hilang entah kemana. Setelah aku pikir-pikir, bodoh sekali aku harus melukai hatiku sendiri hanya untuk hal-hal yang tak bermanfaat.Mama, Mas Arlan dan Mas Rio, tidak pernah mengungkit-ungkit tentang kejadian itu. Bahkan saat sarapan tadi wajah mereka biasa saja, seolah tak terjadi apa-apa. Entahlah. Namun, bukan berarti, hubunganku dan Nina juga telah membaik. Justru wanita itu sekarang semakin membenciku.Aku memilih duduk di sofa ruang tamu, menemani Naira yang sedang santai menonton kartun kesukaannya. Mas Arman dan Mas Rio asik main catur di taman belakang. Seperti ini lah rutinitas yang kami lakukan di hari minggu. Sekali-sekali jalan jika waktu dan keadaan memungkinkan."Indah, ini Mama buatkan minuman herbal untuk kamu," ujar Mama sambil berjalan menghampiriku dan duduk di sebelahku. Ada segelas minuman di tangannya. Ukuran gelas t
"Kamu ya, Nina! Makin tua, bukannya berubah. Malah semakin menjadi-jadi saja kelakuan!" omel Mama. "Nggak! Bukan begitu Ma. Bukan seperti yang Kevin bilang ...," "Maksud kamu Kevin bohong, gitu?" potong Mama cepat, Membuat Nina glagapan."Kevin gak bohong, kok, Oma. Sumpah!" sahut Kevin polos dengan menaikkan dua jarinya di hadapan Mama, membentuk angka v."Kevin! Kamu ya, hih!" Nina menatap Kevin geram, membuat bocah itu beringsut kedalam dekapan neneknya. Mama kembali menjelitkan matanya ke arah Nina. Membuat Nina menelan ludah. Nina memang sedikit takut dengan Mama. Rasanya aku ingin tertawa terpingkal-pingkal, melihat ekspresi wajah Nina yang panik, terlihat sangat lucu. "Mama benar-benar gak suka melihat tingkah kamu yang bar-bar begini, Nina. Bisa gak, mulutmu itu di kontrol sedikit di depan anak-anak! Lihat Kevin, jadi bertanya hal yang tidak pantas untuk anak seusianya!" omel Mama lagi. C
"Supplier baru, sayang? Yang lama kemana?" tanyanya. Wajahku merona mendengar kata 'sayang' yang ia ucapkan padaku. Semenjak kami menikah, Mas Arman memang sering menggunakan kata manis itu untuk memanggilku. Hanya saja, aku masih belum terbiasa mendengarnya."Iya, Mas, yang lama sudah aku stop.""Kenapa?"Aku menghela napas. "Kamu ingatkan tentang pembukuan pengeluaran resto yang tiba-tiba membengkak, itu semua karena bahan-bahan yang dikirimkan ke sini oleh supplier lama, dalam keadaan tidak segar. Hingga membuat stok bahan-bahan cepat sekali busuk. Kalau tetap dipertahankan yang ada, aku rugi," jelasku. Mas Arman manggut-manggut tanda mengerti. Tangannya membuka box styrofoam di sebelah kami. Seketika matanya berbinar seperti baru menemukan harta Karun yng berharga. " Tumben ada kepiting, sayang?" "Iya, rencananya aku mau nambah menu baru dengan bahan kepiting. Memangnya kenapa, Mas?" Aku melihat Mas Arman memilih beberapa ekor kepiting laut yang ukuran besar-besar."Mas mau maka
pov. NinaAku menatap kebahagiaan dua anak manusia dari balik jendela. Awalnya aku ingin masuk, tapi melihat kebahagian dan keromantisan mereka berdua membuatku mengurungkan niat.Dari balik jendela ini aku melihat gurat-gurat bahagia itu begitu terpancar dari wajah Arman. Tentu saja ia bahagia, penantian panjangnya akan cinta Indah membuahkan hasil serta hadirnya seorang putra diantara mereka. Arman mengecup kening Indah lembut, penuh sayang.Membuat rasa iri ini kembali hadir di kalbu. Andai aku juga bisa seperti itu bersama Mas Rio. Namun sayangnya hanya bisa berandai, karena kenyatannya kini. Suamiku sedang berbahagia bersama istri mudanya. Tak kuat melihat kemesraan yang di tunjukkan mereka berdua, aku memilih pergi. Mungkin aku akan menemui Indah dan bayinya besok saja, setelah hati ini sudah mulai tenang.Jam batu menunjukkan jam sepuluh malam. Namun, lorong rumah sakit ini tampak begitu lenggang, bukan berarti tak ada orang
Perutku mulai terasa pedih, apa lagi efek obat bius yang mulai menghilang. Aku meringis menahan sakit saat jempol ini bergeser saja sakitnya sudah terasa sampai keubun-ubun. Dengan lembut Mas Arman memperbaiki letak bantal yang ada di punggungku. Tiba-tiba bayi yang ada di dalam box menangis kencang. Lengkingannya memekak telinga, Mas Arman meraih bayinya. Mencoba menenangkan.Aku merentangkan tanganku menyambutnya. "Sini, Mas! Mungkin dia haus, aku akan menyusuinya,""Apa kamu baik-baik saja, sayang. Perutnya masih nyeri?" tanyanya khawatir."Gak apa-apa, Mas. Mungkin dengan menyusuinya rasa nyeriku dapat sedikit berkurang. Kasihan dia, pasti sudah lapar," Ragu-ragu Mas Arman menghampiriku, Lalu menyerahkan bayi merah yang sedang menangis itu. Setelah terlebih dahulu mencium pipi anaknya dengan sayang.Aku mengambil alih bayi mungil itu, memasukkan puting susuku ke dalam mulut kecilnya. Mas Arman beralih duduk di seb
Aku memarkirkan taksiku di parkiran khusus rumah sakit. Rumah sakit Citra Medika, rumah sakit bersalin terbaik di kota ini. Aku tidak tahu kenapa aku membuntuti mobil mereka hingga sampai di sini.Perlu waktu yang lama untukku menimbang dan memutuskan untuk turun atau pulang. Aku merasa aku tak punya hak untuk datang ke sini. Tapi di sini lain, hati kecil ini begitu ingin menemuinya di saat-saat seperti ini.Dengan langkah gontai aku masuk kedalam rumah sakit, menanyakan ruangan Indah pada resepsionis. Setelah mendapatkan informasi aku langsung menuju ke tempat yang di beritahukan padaku.Setelah melewati 2 kali belokan dan lorong panjang, akhirnya kau sampai di tempat yang di tunjukan perawat tadi. Dari kejauhan aku melihat Arman dan Nina yang menunggu di depan ruangan. Mata Arman menatap kedatanganku dengan nanar. Ku kuatkan tekad untuk melangkah. Apapun yang terjadi, aku hanya ingin meliat Indah dan bayinya baik-baik saja. Lalu pergi.
Matahari mulai meredup dan senja mulai menunjukkan kekuasaannya. Lelah tubuh ini belum juga terbayarkan dengan lembaran rupiah yang memadai. Seharian aku bekerja, baru dua pelanggan yang pakai jasaku. Dari pada melamun, aku putuskan untuk pulang saja."Taksi!" teriak seorang wanita yang berdiri di pinggir jalan. Akhirnya, di penghujung hari aku mendapatkan satu orang pelanggan lagi, lumayan.Aku menghentikan mobilku tepat di depan mobilnya. Sepertinya mobil mereka mogok. Lama aku menunggu, tapi wanita tadi tidak juga masuk kedalam mobil. Kulirik sedikit kebelakang, pantas saja lama. Ternyata mereka berdua tampak kerepotan dengan banyaknya belanjaan di bagasi belakang. Dasar wanita kaya, menghambur-hamburkan uang saja kerjanya. Sangat berbeda dengan, Indahku. Entah mengapa akhir-akhir ini aku merindukan wanita yang telah aku sakiti itu.Sudah lama aku tidak bertemu dengannya, sejak pertemuan terakhir, yang menyebabkan aku kecel
Kata orang pamali berbelanja perlengkapan bayi jika usia kandungan belum memasuki tujuh bulan. Itu sebabnya aku menginjakkan kaki di toko baby shop ini saat usia kandunganku sudah masuk bukan ke-delapan. Walau sebenarnya dari bulan-bulan yang lalu aku sudah tak tahan ingin sekali membeli baju-baju yang lucu untuk bayiku. Namun kata orang tua, walaupun hanya mitos, tidak baik diabaikan, kan?"Indah coba lihat ini? Lucu banget kan, aku suka ini. Ambil ini saja, Ya!" pinta Nina sambil menunjukkan gaun kecil berwarna peach. Ia tampak antusias sekali menemaniku berbelanja perlengkapan bayiku. Karena Mas Arman sedang sibuk jadi dia tidak ikut menemani, hanya aku dan Nina saja yang pergi.Selama beberapa bulan terakhir ini, aku sudah terbiasa bersama Nina saat Mas Arman tak dapat menemaniku.Nina juga sekarang, sudah banyak berubah. Ia jadi sangat penyayang dan perhatian. Membuatku seakan memiliki saudara perempuan saja. Apa lagi, kali i
Pagi-pagi rintik hujan sudah turun deras membasahi bumi. Aku berdiri di dekat jendela, menikmati dinginnya udara pagi. Memikirkan segala masalah yang terjadi. Aku masih berada di rumah Mama. Tidak seperti biasanya, di hari senin kami masih berada di sini. Semua karena keributan tadi malam, membuat kami batal untuk pulang dan melanjutkan menginap di sini.Aku terkejut, saat merasakan sepasang tangan memelukku dari belakang. "Kamu lagi mikirin apa, sayang? Bumil dilarang mikir yang berat-berat! Kasihan sama yang di dalam perut," ujar Mas Arman. Ia mengeratkan pelukannya, meletakkan dagu di atas bahuku. Aku menyenderkan punggungku di dada lebarnya, menghirup wangi sabun yang menguar dari tubuhnya. Harum dan menenangkan. Sejak hamil aku menyukai semua aroma yang keluar dari tubuhnya. Bahkan aroma keringat ia habis pulang kantor yang kata orang asam, justru tercium wangi di Indra penciumanku. "Aku hanya mengingat kejadian semala
"Mungkin Mbak Indah benar, aku serakah! Tapi semuanya sudah terjadi, Mbak. Aku janji aku akan bersikap adil terhadap keduanya." jawab Mas Rio. Terdengar meyakinkan, tapi apakah ia mampu menciptakan kata 'adil' itu dalam rumah tangganya? Tanpa ada satu pun yang tersakiti."Berusaha adil seperti apa, Rio? Dengan membawa istri keduamu kerumah ini saja, kamu sudah bersikap tidak adil." timpal Mama tiba-tiba. Aku yakin Mama juga tidak setuju dengan sikap Mas Rio."Ma, Ambar juga menantu Mama. Jadi tidak ada salahnya jika ia datang kerumah ini. Biar Aisyah juga bisa mengenal Oma dari sebelah ayahnya juga." jawab Mas Rio. Entah kenapa, aku jadi hilang respect padanya. Kata-katanya santai tapi begitu menyakitkan. Nina masih tergugu menangis di pelukanku. Ia tak mampu lagi berkata walau sepatah katapun. "Nina mungkin memang salah, tapi yang lebih bersalah lagi itu adalah kamu, Rio! Kamu telah gagal sebagai seorang
"Indah! Hey ... Indah! Kenapa kamu melamun?" ujar Dinda."Siapa juga yang melamun, Dinda. Aku lagi malas ngomong. Lihat nih! Mulutku sedang sariawan! Perih kalau dipakai ngomong." Jawabku. Aku menunjuk ke arah pipiku, agar Dinda tahu jika mulutku ini penuh dengan sariawan. Apalagi perempuan ini sedari tadi berceloteh, membahas kakak kelas yang tampan. Dasar perempuan ganjen. Aku dan Dinda sekarang sedang duduk di bangku, di bawah pohon rindang dekat lapangan yang ada di depan kelas kami. Lapangan multifungsi ini berada di tengah, di kelilingi bangunan kelas dua tingkat yang membentuk huruf U. Kelasku berhadapan dengan kelas 2 Ips 2, sedangkan kelas 1 di lantai atas dekat kelas 3."Din," aku mencolek bahu Dinda. Wanita itu sedang asik mengunyah tela-tela balado yang kami beli di kantin tadi."Apa sih, In? Pakai colek-colek segala, kamu pikir aku sabun colek," jawabnya lebay."Itu, kamu lihat perempuan dengan
"Cepat katakan, Ayah! Jangan buat bunda penasaran. Ramuan apa?" cercaku. Aku begitu penasaran, dari pada aku tak bisa tidur malam ini. Iya, kan?"Tapi Bunda janji jangan marah, ya! Aku cuma takut Bunda tersinggung.""Iya, cepat katakan, buat istri penasaran itu dosa loh, Yah!" sahutku cepat. Entah dalil dari mana membuat istri penasaran itu dosa'. Bodoh amat lah, yang penting suamiku mau cerita."Bunda, ingat ramuan yang setiap minggu Mama berikan pada, Bunda?" Aku mengangguk, bagaimana aku bisa lupa. Jamu pahit, yang pahitnya mengalahkan pahit Brotowali itu. Belum lagi bau langu Yaang di campur sedikit asam, pokoknya nano-nano rasanya. Aku memegang tenggorokanku sambil bergidik ngeri. Baru membayangkannya saja, rasa pahit itu langsung terasa di tenggorokanku. Namun tiba-tiba aku teringat akan sesuatu."Ehh ... tunggu dulu, Yah. Tumben hari ini, Mama tidak memberi Bunda jamu itu? Biasanya kalau Bunda datang, Mama langsung meny