Akibat Finley menyuruh Hana untuk memberitahu pada orang-orang soal butik Sandra, keadaan butik tiap harinya menjadi ramai. Pemandangan orang yang berlalu-lalang di depan butik membuat Olivia mengeratkan tangannya di setir mobil."Kau sudah pastikan untuk membuat kekacauan?" tanyanya pada Tamara. Keduanya berada di dalam mobil, mengawasi keadaan butik Sandra dari seberang jalanan."Sudah, tapi sepertinya teman-temanku salah menerima informasi. Dia membuat kekacauan pada Sandra bukan pada Lily," jelas Tamara yang duduk disampingnya."Mereka mengira Lily adalah perancang gaunnya. Jadi mereka malah membuat kekacauan soal gaun bukannya malah mengacau pada pekerjaan Lily," lanjutnya sambil menghela napas kesal, memikirkan teman-temannya yang begitu bodoh.Olivia mengerutkan keningnya. "Kenapa begitu? Seharusnya hanya dengan melihat, teman-temanmu akan tahu kalau Lily hanyalah tukang bersih-bersih di sana."Tamara membenarkan ucapan Olivia dalam hatinya, lalu mengingat kembali percakapanny
"Sudah dua hari ini kedua kakiku terasa sakit. Sepertinya karena pernah terkena vas bunga saat aku tak sengaja menyampar nya." Lily menundukkan kepalanya, mengelus-elus bagian kakinya yang sakit. Di kulitnya juga terdapat bagian yang memerah.Sejenak Sandra terdiam. Keningnya mengerut dalam lalu bertanya, "Bukankah selama ini kakimu telah mati rasa?" Gerakan tangan Lily terhenti. Dia mendongakkan kepalanya dengan mata membulat. "Apa maksud Tante..."Sandra langsung memegang kedua bahu Lily dengan sumringah. "Mungkin saja terapi yang selama ini kamu lakukan mengalami perubahan, sebaiknya kamu pergi ke rumah Pak Zang untuk menanyakannya."Kedua mata Lily mulai berembun dan menatap kedua kakinya dengan penuh harap. Apakah harapannya akan segera terkabul?Keesokannya, Lily sudah berada di kediaman Zang. "Kedua kakimu memang mengalami perubahan yang baik, tapi kamu harus tetap menjalani terapi akupunktur. Selain itu, kamu harus melatih sendiri otot-otot di kaki yang sudah lama tidak kamu
Mobil Vina belum sampai tepat berada di depan butik karena kerumunan orang telah menghalangi jalannya. Perasaan Lily menjadi was-was dan dadanya berdebar lebih kencang. "Apa yang terjadi?" gumamnya kala melihat banyak orang.Pertanyaannya segera terjawab saat mobil mereka sudah berada di dekat butik.Serempak mereka membelalakkan mata. Butik Sandra mengalami kebakaran hebat!Vina yang panik langsung keluar dan berusaha untuk masuk, namun segera dihalangi oleh petugas. Kemudian dia menghubungi kedua orangtuanya untuk segera datang. Sedang Lily hanya mampu menatap butik milik Sandra yang perlahan-lahan dimakan oleh si jago merah dari jendela mobil tanpa bisa berbuat apa-apa.Ingin rasanya dia keluar dan masuk ke dalam butik untuk menyelamatkan benda-benda berharganya namun dia tidak bisa.Tak terasa kedua tangannya mengepal erat dan mengetuk kaca jendela mobil dengan keras. Dia benci pada dirinya yang tidak bisa berbuat banyak.Kakinya yang lumpuh menghalangi segala keinginannya. Air
Sejenak tubuh Max membeku di tempat. Kenneth tidak melihat ekspresi yang ditampakkan oleh Max karena dia segera beralih pada rekan kerjanya yang mendekat.Ingin rasanya Max menanyakan bagaimana Kenneth tahu soal Lily yang merupakan istrinya namun sepertinya sia-sia, Kenneth sudah menjauh dari hadapannya. Pada saat yang bersamaan, bahu Max di tepuk lembut oleh Olivia. "Kau pasti bosan, bagaimana kalau pulang?" tawarnya.Kening Max mengerut dalam. Mereka baru sampai setengah jam yang lalu namun Olivia malah ingin segera pulang? "Kenapa? Bukankah kau senang mengikuti acara seperti ini?"Senyuman manis terbit di wajahnya. "Aku sudah menemukan apa yang aku sukai." Sekilas, ada tatapan dingin dan tajam saat mengatakannya.Dia baru saja dihubungi oleh suruhannya kalau butik Sandra mengalami kebakaran hebat. Max juga tak ingin berlama-lama berada di tempat yang tidak dia sukai jadi Max menyetujuinya tanpa bertanya lebih lanjut.Sepanjang perjalanan mereka nampak diam. Olivia pun tidak mengg
Tangan Lily memegang erat ponselnya dengan kedua mata yang memerah. "Apa katamu?"Suara tawa yang lirih langsung terdengar dari seberang sana. "Aku tanya, apa kau suka dengan hasil karyaku?" Olivia memang bertanya dengan tenang namun seketika mampu membuat seluruh tubuh Lily bergetar hebat. Air matanya mulai menetes dan bibirnya gemetar saat berucap, "Kamu... apa sebenarnya salahku sampai kau tega melakukan ini padaku?""Tentu saja karena kau adalah istrinya Max." Perkataan yang terdengar enteng itu seperti pisau yang menusuk jantungnya. "Hanya karena itu?" Olivia tidak bersuara selama beberapa saat.Lalu dia kembali menjawab, "Tentu saja. Awalnya aku berpikir kalau kau adalah wanita yang lemah, jadi aku hanya membuat sentilan remeh dengan menyuruh pelayan untuk mengabaikan mu. Tapi melihatmu yang terus-menerus diperhatikan oleh Max bahkan saat kau sudah meminta cerai, sepertinya aku harus membuat sentilan yang lebih keras."Mata Lily dipenuhi kemarahan meski air matanya terlihat t
Beberapa hari kemudian.Belakangan Max memiliki pekerjaan yang begitu banyak dan tidak bisa dia tunda. Sehari setelah melihat keadaan Lily yang baik-baik saja setelah insiden kebakaran butik, Max berencana ingin bertemu dengannya.Namun egonya yang tinggi menghalangi dirinya untuk melakukan negosiasi dengan Lily. Max tetap ingin Lily yang datang sendiri dan menelan kembali keinginannya untuk bercerai.Jadi Max hanya menunggu sambil menyelesaikan pekerjaan di kantornya yang telah menumpuk.Tetapi sampai sekarang Lily tidak kunjung datang apalagi berlutut di hadapannya dengan tatapan memohon. Besok adalah hari terakhir dari yang dijanjikan oleh Lily padanya. Max memilih bersabar dan menunggu hari esok untuk menyaksikan keteguhan Lily untuk meminta cerai.Hari esok yang dinantikan telah datang.Max menunggu di ruang tengah dengan pakaian kasual. Dia pura-pura fokus menatap ponsel dengan duduk santai di atas sofa, namun sebenarnya pikirannya melayang.Apakah Lily benar-benar bisa membawa
Lily segera meninggalkan Max yang masih terdiam di ruang tengah dengan susah payah. Saat dia berada di depan pintu, Vina segera berdiri dan membantu Lily untuk berjalan."Bagaimana? Dia setuju kan?" bisik Vina sembari membantu Lily berjalan.Sudut bibir Lily terangkat satu. "Harusnya sih setuju." Meski terlihat baik-baik saja, tapi sorot mata Lily terlihat sedih. Dalam benaknya masih terngiang-ngiang soal ucapan Max barusan. Lily tidak menyangka jika Max akan berpikir negatif soal dirinya.Tapi Lily berusaha keras mengusir perasaan sedih itu karena bagaimanapun sebentar lagi dia akan berpisah dari Max. Cobaannya saat meminta cerai dari Max begitu berat, dia bahkan harus melihat orang-orang disekitarnya menderita karena dirinya. "Vina, ada yang ingin ku katakan padamu," ujar Lily saat mereka sudah berada di dalam mobil."Ya?" Vina segera menatap ke arah Lily dengan bertanya-tanya.Bibir Lily sudah terbuka namun tetap ada rasa keraguan dalam hatinya. "Umm.. tidak apa-apa."Kening Vin
Di kediaman Kenneth, Wina yang tengah makan malam bersama Kenneth tiba-tiba meraih tangan Kenneth dan berkata, "Aku sudah mencari tahu soal anak itu. Menurutku kau tidak perlu mengganggunya lagi karena hidupnya sudah sengsara."Kenneth meletakkan sendok dan garpu nya lalu menatap Wina dengan mengerutkan keningnya. "Apa yang kau maksud itu putri dari Darrel?"Wina menganggukkan kepalanya. Beberapa hari setelah menyelidiki sendiri soal Lily Orlantha, perasaannya menjadi galau. Rasa empatinya lebih mendominasi dibanding rasa benci yang selama ini bersemayam di dalam hati. Berbeda dengan Kenneth yang cenderung bisa bertindak dengan logika dan kejam jika soal balas dendam."Hidupnya telah mengalami banyak ujian, tidak perlu lagi kita menambah sengsara."Kenneth mendengus kesal. Dia tahu persis ujian seperti apa yang dimaksud oleh Wina. "Itu lebih pantas disebut sebagai karma dibandingkan ujian."Wina mengelus punggung tangan Kenneth dengan jari jemarinya. "Makany
"Adik, Nona?" Kedua alis si sopir saling menyatu. "Kayaknya gak ada siapapun yang keluar lewat sini, Nona. Dari tadi saya duduk di kursi teras ini kok."Pikiran Lily langsung kacau. Arsan bukanlah anak yang suka keluar dan bertemu dengan orang. Kalau sampai Arsan panik dan tantrum di jalan, itu bisa membahayakan dirinya sendiri. Apalagi jalanan sangat ramai oleh kendaraan pribadi.Lily memutuskan untuk mengecek seluruh isi rumah sekali lagi. Setelahnya dia baru sadar kalau Arsan keluar melalui pintu belakang, tepatnya yang menjadi penghubung antara teras belakang dengan dapur. "Kemana kamu, Arsan?" gumam Lily penuh khawatir.Karena Lily tidak tahu harus mencari dimana, Lily mengajak sang sopir untuk mencari Arsan dengan mobil. "Mau dicari kemana, Nona?" tanya si sopir."Kemana aja, Pak. Asal adik saya bisa ketemu.""Tapi, Non. Kata Nyonya Wina, Anda harus segera pulang. Kalau saya gak bisa nganterin Nona pulang tepat waktu, bisa-bisa saya yang akan kena omel nantinya.""Gak usah kha
Lily tersentak dan menjadi canggung. "Mmm... baru saja," jawabnya sambil menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. Seketika dia tersadar atas apa yang dilakukannya. Dia pun kembali meluruskan anak rambutnya.Max tersenyum lebar. Rasanya dia sudah lama tidak melihat Lily. Wajahnya nampak lebih segar dan pipinya semakin bulat. Jika dia pikir-pikir, keadaan Lily jauh berbeda dibanding saat menikah dengannya dulu."Mau ketemu dengan Arsan? Kebetulan aku mau pulang karena ada urusan, jadi aku bisa menitipkannya padamu sebentar," ucap Max."Memangnya Inda kemana? Kenapa dia menitipkannya padamu?""Tadi pagi dia ditelepon kalau ada saudaranya yang meninggal. Jadi dia harus pulang selama sehari semalam. Mungkin besok pagi dia baru pulang."Kening Lily mengerut dalam. "Kok dia gak ngabarin aku? Malah ngasih tahu kamu?"Max mengangkat kedua bahunya. "Entah. Mungkin karena kamu sulit untuk dihubungi? Ini bukan pertama kalinya kok. Dia juga pernah menitipkan Arsan padaku selama dua hari.""Dua
Di tengah keramaian kafe, Lily melihat Vina yang duduk di salah satu kursi sendirian di antara banyaknya pengunjung. Dia sudah menghubungi Vina untuk bertemu di kafe saja.Mata Lily berkilat senang, pasalnya sudah lama dia tidak bertemu dengan sahabatnya itu. Tangannya segera terangkat untuk melambai dan memanggil namanya. Sahabatnya itu segera menoleh dan senyuman lebar langsung merekah di wajahnya."Lily!" teriaknya sambil berdiri menyambut kedatangan Lily.Mereka berdua pun saling berpelukan erat."Bagaimana kabarmu?" tanya Vina begitu pelukan mereka sudah terlepas."Aku baik. Bahkan lebih baik."Vina bernapas lega, ada perasaan senang melihat wajah Lily yang nampak lebih cantik dan segar. "Syukurlah... apa Tuan Kenneth dan Nyonya Wina memperlakukanmu dengan baik?""Tentu saja. Mereka orang tua kandungku, tidak mungkin mereka menyia-nyiakan anak yang telah lama mereka kira sudah meninggal." Lily meneliti wajah Vina yang nampak kusam dan juga letih. "Lalu bagaimana denganmu? Kuden
Vina menatap ke arah halaman rumah dari jendela kaca kamar. Mobil Finley sudah menghilang dari pandangan, segera dia menutup kembali tirai jendela.Sandra membuka pintu kamar dan berjalan menghampiri Vina. "Maafkan Mama karena sudah membukakan pintu."Vina memaksakan senyumannya sambil duduk di tepi ranjang. "Tidak apa-apa, bukan salah Mama."Melihat senyuman Vina, Sandra semakin merasa bersalah. Dia pun ikut duduk di samping Vina dan berkata, "Kulihat dia pria yang baik dan bertanggung jawab. Kenapa kamu gak sepertinya tidak percaya padanya?""Menikah bukan perkara mudah, Ma. Apalagi aku dan Finley tidak saling mencintai. Biarlah aku mengurus anakku sendirian tanpa harus melibatkannya," jawab Vina sambil mengelus perutnya."Mengandung dan melahirkan anak sendirian itu terasa berat, Vina. Mama rasa akan lebih mudah kalau kamu menerima Finley untuk bertanggungjawab."Vina memegang kedua lututnya erat. "Bukannya ada Mama dan Papa yang akan membantuku? Aku tidak mencintai Finley, Ma. Men
Di tengah terpaan angin sepoi malam yang dingin. Vina memegang erat cangkir mug yang berisi susu cokelat hangat.Vina sendiri merasa heran, sejak kapan dirinya jadi menyukai segelas susu rasa cokelat sedang dulunya dia lebih menyukai kopi susu yang diberi es batu di dalamnya.Mungkin sejak dirinya diberitahu dokter untuk tidak mengonsumsi minuman yang mengandung alkohol dan kafein. Vina jadi lebih memperhatikan minuman yang akan dia minum.Sebuah senyuman tipis terbit di wajahnya yang manis sambil mengelus perutnya yang masih rata."Meskipun nanti kau lahir dari keluarga yang tidak lengkap, tapi aku pastikan kasih sayang untukmu tidak akan pernah kurang," ucapnya pada janinnya yang berada di dalam rahim.Vina belum bisa menerima kehamilannya, sampai seminggu yang lalu dia memeriksakan diri ke dokter spesialis kandungan dan melihat janin kecil yang tumbuh dengan menakjubkan.Suara detak jantung janin yang teratur dan pernyataan dokter kalau janinnya berkembang sehat dan baik membuat pe
"Apa? Hamil?" Lily hampir berteriak jika tidak mengingat kalau dirinya ada di sebuah acara penting."Finley, kau becanda kan?" bisik Lily takut ada seseorang yang mendengar.Helaan napas keluar dari mulut Finley. "Aku tahu ini terdengar seperti lelucon. Tapi aku berkata jujur, kami tak sengaja melakukan..."Finley ikut memelankan suaranya. "...hubungan intim saat kami mabuk."Lily tidak tahu lagi apa yang harus dia katakan karena saat ini dia benar-benar terkejut.Vina dan Finley? Berhubungan intim? Terdengar tidak masuk akal."Aku tahu kamu pasti kaget, tapi ini benar adanya. Aku hanya khawatir padanya karena beberapa hari ini dia tidak bisa dihubungi. Dia bahkan bersembunyi, seolah tidak mau diajak bertemu." Raut wajah Finley nampak muram membuat Lily sedikit merasa kasihan.Keheningan terjadi sesaat."Kamu datang ke acara ini berharap aku bisa memberi informasi soal Vina?" tanya Lily yang dijawab Finley dengan anggukan kepala."Sayangnya aku sudah lama tidak menghubunginya," ujar L
"Lily?"Suara dari arah belakang yang memanggil membuat Lily menoleh. Kedua matanya terbelalak lebar mendapati Finley berjalan perlahan ke arahnya."Finley?" serunya yang membuat orang-orang disekitarnya terheran-heran."Ah, Tuan Finley. Kau sudah bersedia datang ke acaraku. Sungguh suatu kehormatan untukku." Arneth dan Samantha mendekati Finley yang membuatnya menghentikan langkah.Finley menoleh ke arah mereka berdua dan berkata, "Oh, Nyonya Arneth? Kau sudah sembuh? Ku dengar kau sehabis mengalami cidera di pergelangan tangan setelah bermain golf."Arneth tersenyum senang mendengar Finley sedikit perhatian padanya. "Benar, tapi sudah sembuh berkat putri saya yang telaten mengurus."Beberapa keponakan Kenneth memutar kedua bola matanya malas. Semua orang yang melihat pasti bisa menduga kalau Arneth sedang mempromosikan putrinya di depan Finley."Apa Tuan sedang mencari sesuatu?" tanya Samantha dengan memegang lengan Finley. Berada dekat dengan Finley adalah suatu kebanggan. Ketampan
"Dia adalah putriku, Laura Owen," jelas Kenneth sambil memperhatikan reaksi dari anggota keluarga besarnya.Beberapa dari mereka nampak terkejut hingga tidak bersuara tapi ada juga yang tertawa sinis seperti Samantha."Paman Kenneth, apa karena saking putus asa nya Paman sampai menganggap wanita murahan itu sebagai Laura?" Kenneth menatap tajam ke arah Samantha yang lagi-lagi bermulut tajam."Jangan marah dulu, Paman. Itu karena ucapan Paman terdengar mengada-ada." Ucapan Samantha dibenarkan oleh anggota keluarga yang lain."Samantha benar, Ken. Ucapanmu terdengar mengada-ada. Mana mungkin Laura yang dulunya sudah dinyatakan meninggal malah tiba-tiba muncul sebagai wanita yang sehat? Aku yakin dia pasti sudah menipumu!"Wina nampak panik, tetapi tidak dengan Lily. Dia yakin kalau Kenneth telah menyiapkan semuanya untuk menjelaskan kebenaran pada anggota keluarganya sendiri."Usir dia sekarang, Ken! Aku tidak sudi kalau dia mengotori hariku yang bahagia!" seru Arneth memojokkan Wina,
Sama seperti dirinya, Wina mengenakan gaun buatan Lily yang nampak mewah.Gaun panjang berwarna hijau emerald yang sudah lama Lily buat akhirnya dia pakai sekarang. Warna gaun itu menjadikan kulit Wina nampak lebih putih dan bersih. Meski gaun tersebut memiliki potongan yang sederhana, tetapi hiasan berupa berlian putih dua karat yang berada di sekeliling gaun menjadikannya nampak mewah dan istimewa.Lily menatap bangga pada hasil buatannya sendiri. Terlebih aura old money yang terpancar dari tubuh Wina menjadikan gaun itu melekat sempurna ditubuhnya."Mama juga nampak luar biasa," ujar Lily tersenyum bangga."Berkat karyamu yang sangat luar biasa, Sayang."Wina juga merasa begitu bangga mengenakan gaun buatan putrinya sendiri. Apalagi saat bercermin, Wina seperti merasa tidak mengenali diri sendiri.Bahkan perias yang memoles wajahnya tadi sempat terkejut dan menatapnya kagum dengan gaun yang nampak mewah."Anda terlihat sepuluh tahun lebih muda, Nyonya," puji si perias tadi tanpa di