Mendengar itu Lily langsung meninggalkan pekerjaannya dan menghampiri Hana yang sudah duduk di atas sofa."Ternyata Nyonya Lily sedang ada di butik juga?" tanya Hana begitu melihat Lily mendekat."Panggil saja aku dengan Lily, sepertinya usiamu tidak jauh berbeda dariku." Akan sangat canggung jika berbicara terlalu formal. Lily sudah menganggap Hana sebagai seseorang yang dekat setelah menyelamatkan namanya saat itu.Hana tersenyum tipis. "Ah, tetap saja akan terasa aneh." Bagaimanapun statusnya hanyalah seorang sekretaris, sedang Lily adalah menantu dari keluarga Kalandra. Terlihat tidak sopan jika dia bersikap seolah dirinya dengan Lily begitu dekat."Tidak ada yang aneh. Semenjak kau menyelematkan nama baikku waktu itu, kau sudah ku anggap sebagai seseorang yang dekat." Lily mengatakannya dengan tulus.Memang di luar Hana terlihat tersanjung, namun dalam hatinya dia merasa tidak enak. Sebenarnya Finley lah yang menyelamatkan nama baik Lily, namun dia yang malah menanggung akibat ba
Beberapa hari kemudian, Lily telah menjalani rutinitas yang sudah menjadi template. Meski begitu tiada hari yang membosankan selama di butik karena dia bisa melakukan apapun yang dia sukai. "Oh, jadi di sini tempatmu sekarang?" Suara wanita yang sangat dikenal, membuat bulu kuduk Lily menjadi berdiri. "Pantas saja kau tidak mengirimkan uang bulanan. Rupanya disini kau bersembunyi." Saphira berkacak pinggang menatap Lily yang tengah memunggunginya, menata aksesoris di sebuah rak.Sebuah celemek yang menempel di tubuh Lily semakin membuatnya menjadi marah."Cepat pulang dan minta maaf pada Max!" teriaknya. Dia sudah tahu perihal Lily yang menginginkan cerai dari Max.Jika bukan karena uang bulanan yang tidak diberikan padanya, dia tidak mungkin tahu soal hal itu. Diam-diam dia telah bertanya pada seorang pelayan di mansion.Lily mengeratkan rahangnya. Saphira bahkan tidak tahu malu berteriak di dalam butik dengan pegawai lain yang masih bekerja. Beruntung saat ini sedang tidak ada ta
Setelah beberapa hari dia mendatangi butik Sandra, Max menjadi resah dan tidak bisa tidur dengan nyenyak. Dia menantikan kedatangan Lily di hadapannya atas ketidakberdayaan setelah keluar dari mansion.Dia ingin Lily mendatanginya dengan tatapan memohon dan meminta untuk tidak jadi bercerai.Namun mengapa sampai sekarang wanita itu tidak datang? Padahal dia sudah mendengar kabar dari seorang pelayan bahwa ibu tirinya datang menanyakan perihal Lily.Max sudah tahu dari dulu jika ibu tirinya sering meminta uang pada Lily. Pasti wanita tua itu telah kehilangan sumber satu-satunya pemasukan karena Lily tidak mempunyai uang. Jadi seharusnya desakan dari ibu tirinya membuatnya segera mendatanginya.Meskipun Max tahu Lily telah berselingkuh namun tetap dia tak sudi melihatnya keluar dengan bebas. Dia juga tak ingin Lily malah tertawa bahagia bersama kekasihnya di luaran sana.Dia tetap ingin memenjarakan Lily dalam mansionnya sampai dia puas. Wanita yang telah menghancurkan hidupnya itu har
Di dalam butik, Lily terus menerus menekuni buku sketsa miliknya. Dalam beberapa hari ini, pesanan gaun menjadi meningkat bahkan Sandra sendiri merasa kewalahan menghadapinya.Dia tidak mampu lagi menahan rasa kagumnya pada kinerja Lily untuk butik."Mungkin karena para pelanggan suka dengan rancangan gaun mu, Lily, mereka yang pernah datang kesini rata-rata akan kembali untuk memesan ulang," puji Sandra pada Lily sambil menyeka keringatnya yang bercucuran. Padahal AC di dalam ruangan sudah diatur dingin namun tetap Sandra berkeringat karena memang sudah lama dia tidak menggarap banyak pesanan gaun. "Semua ini juga berkat Tante yang membebaskan aku untuk berkarya." Lily berusaha untuk merendahkan diri. "Selain itu, Tante juga selalu membantuku mengatasi keluhan pelanggan yang pernah datang beberapa kali ke sini. Aku rasa, kalau Tante tidak ada aku tidak akan mungkin bisa mengatasinya. Aku banyak belajar dari Tante yang sudah senior."Sandra tersenyum senang melihat kerendahan hati L
Akibat Finley menyuruh Hana untuk memberitahu pada orang-orang soal butik Sandra, keadaan butik tiap harinya menjadi ramai. Pemandangan orang yang berlalu-lalang di depan butik membuat Olivia mengeratkan tangannya di setir mobil."Kau sudah pastikan untuk membuat kekacauan?" tanyanya pada Tamara. Keduanya berada di dalam mobil, mengawasi keadaan butik Sandra dari seberang jalanan."Sudah, tapi sepertinya teman-temanku salah menerima informasi. Dia membuat kekacauan pada Sandra bukan pada Lily," jelas Tamara yang duduk disampingnya."Mereka mengira Lily adalah perancang gaunnya. Jadi mereka malah membuat kekacauan soal gaun bukannya malah mengacau pada pekerjaan Lily," lanjutnya sambil menghela napas kesal, memikirkan teman-temannya yang begitu bodoh.Olivia mengerutkan keningnya. "Kenapa begitu? Seharusnya hanya dengan melihat, teman-temanmu akan tahu kalau Lily hanyalah tukang bersih-bersih di sana."Tamara membenarkan ucapan Olivia dalam hatinya, lalu mengingat kembali percakapanny
"Sudah dua hari ini kedua kakiku terasa sakit. Sepertinya karena pernah terkena vas bunga saat aku tak sengaja menyampar nya." Lily menundukkan kepalanya, mengelus-elus bagian kakinya yang sakit. Di kulitnya juga terdapat bagian yang memerah.Sejenak Sandra terdiam. Keningnya mengerut dalam lalu bertanya, "Bukankah selama ini kakimu telah mati rasa?" Gerakan tangan Lily terhenti. Dia mendongakkan kepalanya dengan mata membulat. "Apa maksud Tante..."Sandra langsung memegang kedua bahu Lily dengan sumringah. "Mungkin saja terapi yang selama ini kamu lakukan mengalami perubahan, sebaiknya kamu pergi ke rumah Pak Zang untuk menanyakannya."Kedua mata Lily mulai berembun dan menatap kedua kakinya dengan penuh harap. Apakah harapannya akan segera terkabul?Keesokannya, Lily sudah berada di kediaman Zang. "Kedua kakimu memang mengalami perubahan yang baik, tapi kamu harus tetap menjalani terapi akupunktur. Selain itu, kamu harus melatih sendiri otot-otot di kaki yang sudah lama tidak kamu
Mobil Vina belum sampai tepat berada di depan butik karena kerumunan orang telah menghalangi jalannya. Perasaan Lily menjadi was-was dan dadanya berdebar lebih kencang. "Apa yang terjadi?" gumamnya kala melihat banyak orang.Pertanyaannya segera terjawab saat mobil mereka sudah berada di dekat butik.Serempak mereka membelalakkan mata. Butik Sandra mengalami kebakaran hebat!Vina yang panik langsung keluar dan berusaha untuk masuk, namun segera dihalangi oleh petugas. Kemudian dia menghubungi kedua orangtuanya untuk segera datang. Sedang Lily hanya mampu menatap butik milik Sandra yang perlahan-lahan dimakan oleh si jago merah dari jendela mobil tanpa bisa berbuat apa-apa.Ingin rasanya dia keluar dan masuk ke dalam butik untuk menyelamatkan benda-benda berharganya namun dia tidak bisa.Tak terasa kedua tangannya mengepal erat dan mengetuk kaca jendela mobil dengan keras. Dia benci pada dirinya yang tidak bisa berbuat banyak.Kakinya yang lumpuh menghalangi segala keinginannya. Air
Sejenak tubuh Max membeku di tempat. Kenneth tidak melihat ekspresi yang ditampakkan oleh Max karena dia segera beralih pada rekan kerjanya yang mendekat.Ingin rasanya Max menanyakan bagaimana Kenneth tahu soal Lily yang merupakan istrinya namun sepertinya sia-sia, Kenneth sudah menjauh dari hadapannya. Pada saat yang bersamaan, bahu Max di tepuk lembut oleh Olivia. "Kau pasti bosan, bagaimana kalau pulang?" tawarnya.Kening Max mengerut dalam. Mereka baru sampai setengah jam yang lalu namun Olivia malah ingin segera pulang? "Kenapa? Bukankah kau senang mengikuti acara seperti ini?"Senyuman manis terbit di wajahnya. "Aku sudah menemukan apa yang aku sukai." Sekilas, ada tatapan dingin dan tajam saat mengatakannya.Dia baru saja dihubungi oleh suruhannya kalau butik Sandra mengalami kebakaran hebat. Max juga tak ingin berlama-lama berada di tempat yang tidak dia sukai jadi Max menyetujuinya tanpa bertanya lebih lanjut.Sepanjang perjalanan mereka nampak diam. Olivia pun tidak mengg
"Hamil?" gumam Finley pelan. Kejadian hamil tidak pernah terbayangkan dalam hidup Finley. Dia selalu melakukan hubungan dengan aman, tidak pernah menumpahkan cairannya di dalam rahim lawan mainnya."Nikah saja kalau begitu," jawabnya enteng.Vina membuang pandangannya seraya mendengus pelan. Kedua sudut matanya sudah memerah dan juga nampak berair. "Entengnya kamu bicara," ujar Vina kesal sambil menatap ke arah jendela dengan menahan air matanya yang hendak keluar.Finley ikut berdiri dan menatap punggung Vina dengan kening mengernyit. "Kalau begitu mau kamu apa? Nasi sudah menjadi bubur, tidak mungkin kita kembali ke masa lalu untuk memperbaikinya."Vina nampak terdiam, tidak ada gerakan apapun dari arah punggungnya. Finley pun melanjutkan, "Yang bisa kita lakukan hanyalah mengatasi masalah yang akan timbul setelah perbuatan semalam."Tatapan Finley nampak muram tetapi tetap ada keseriusan di dalam sorot matanya. "Kalau memang kamu hamil nantinya, aku bersedia untuk bertanggung jaw
Vina menatap Finley tanpa mengedipkan mata, sesaat ada tatapan kecewa namun itu hanya sebentar.Vina tertawa dengan keras lalu berkata, "Kalau ingin membuatku menyerah, jangan berkata omong kosong. Mana mungkin Ivan yang gagah macho itu malah menyukai pria?"Tawa Vina begitu keras hingga keluar air mata dari sudut matanya. Finley begitu kejam, mengatakan hal-hal yang tak masuk akal demi membuatnya menyerah.Finley memutar kedua bola matanya dengan malas. "Terserah."Lalu kembali meminum botol alkoholnya hingga habis. Vina melihat Finley yang tengah minum dengan perasaan kacau. Jika Ivan hanya tidak menyukainya, dia bisa terus berjuang agar Ivan bisa melihat ke arahnya.Tetapi kalau benar Ivan suka pria, mau Vina berguling-guling atau memohon pun Ivan tak akan menyukainya.Vina membuang pandangannya lalu menatap ke sembarang arah dengan mata buram.Pantas saja Ivan selalu bersikap dingin dan cuek padanya.Setelah dipikir-pikir, Ivan selalu begitu pada setiap wanita. Awalnya dia berpi
Vina sedang ada acara keluarga di hotel bintang lima yang kemudian tak sengaja melihat Ivan saat sedang berjalan ke arah lift."Ivan? Rupanya yang aku lihat itu benar kamu?" tanyanya setelah memastikan jika seorang pria bertubuh tegap dan tinggi itu adalah Ivan.Ivan terlihat tak nyaman, dia mengalihkan pandangannya dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Saya sedang ditugaskan di sini."Meskipun Ivan selalu bersikap cuek dan dingin padanya, tetap Vina tidak menyerah. Baginya sikap Ivan yang seperti itu malah membuatnya semakin tergila-gila. Ivan semakin tampan dengan wajahnya yang dingin itu."Oh ya? Kebetulan sekali dong, aku juga sedang ada acara di sini. Jangan-jangan kita berjodoh kali ya..."Vina terkekeh pelan dan terdapat semburat merah di pipinya saat ini.Ivan merasa malu, lalu menoleh ke arah temannya, Norman yang sedang menahan tawanya saat ini."Kalau begitu, saya permisi dulu, Nona. Saya masih harus bertugas menjaga Tuan Finley."Vina segera menghentikan Ivan. "Apa?
"Bu, sebenarnya aku dan Lily hanya pura-pura berpacaran."Saat ini Finley yang tengah duduk berhadapan dengan sang ibu, hanya mampu menundukkan pandangannya, tak berani bertatapan langsung.Tadi Donna bersikeras untuk mengajak Finley menjenguk Lily di rumah sakit. Donna berkata, "Kau sangat tidak perhatian pada kekasihmu sendiri, Finley. Lily sedang sakit, harusnya kamu lebih sering berkunjung dan menemaninya supaya lebih cepat pulih."Sebenarnya Donna sudah dijadwalkan pulang sejak beberapa hari yang lalu, namun Donna memutuskan untuk tinggal lebih lama setelah mendengar kabar kemalangan yang menimpa Lily.Karena Finley merasa tidak enak jika terus menerus membohongi sang ibu, akhirnya Finley berterus terang agar ibunya tak lagi terus berharap.Pada awalnya Finley merasa bisa menjadikan Lily sebagai pacar yang sesungguhnya. Namun lambat laun dia tersadar, kalau yang dia rasakan bukan perasaan cinta. Melainkan hanya perasaan nyaman karena sudah terbiasa. Selain itu, ketika Lily meno
"Tapi..." Sebenarnya Inda merasa ragu kalau Lily akan merasa lebih baik jika tinggal bersama dengan Kenneth dan Wina.Bukankah alasan Lily menjadi depresi karena belum bisa menerima kenyataan bahwa dirinya bukanlah anak kandung Darrel?Tetapi, Inda tidak berani mengatakannya secara langsung. Bagaimanapun dia sedang berhadapan dengan Kenneth, seorang pengusaha besar yang memiliki kekayaan dan kekuasaan.Wina mengetahui soal keraguan Inda. "Aku tahu kalau kamu ragu soal hal ini. Tapi kami adalah orang tua kandung Lily, kami juga ingin menjadi dekat dengannya meskipun dia masih syok atas kenyataan ini.""Lagipula kau juga sibuk mengurusi Arsan, bukan? Aku tidak yakin kau bisa mengurus dua manusia yang sedang mengalami gangguan kesehatan mental."Ucapan Wina ada benarnya bagi Inda. Dengan terpaksa Inda menyetujui permintaan Kenneth dan Wina untuk membawa Lily setelah pengobatan di rumah sakit selesai.Keesokannya.Dokter membolehkan Lily untuk pulang dan menjalani rawat jalan. Hal itu dit
Pupil mata Olivia bergetar. "Jadi kau juga menyalahkanku, Max?" Suaranya juga terdengar bergetar."Olivia, sadarlah..."Olivia menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa kalau orang lain yang menyalahkanku, tapi kau juga?"Butiran kristal menetes melalui matanya. "Bukankah kau dan aku sudah seperti saudara? Kenapa kau jadi seperti ini?"Dulu semasa mereka tumbuh bersama, berulang kali para orang tua mengatakan kalau mereka adalah saudara yang harus saling membantu."Justru karena aku menganggapmu sebagai saudara, makanya aku harus membuatmu sadar. Bertobatlah selagi kau masih hidup, Olivia," tukas Max tegas. Olivia menatap Max dibalik matanya yang buram, berusaha mencari-cari rasa kasih sayang yang selama ini Max tunjukkan padanya.Tetapi nyatanya tidak ada."Apa semua ini karena wanita jalang itu kau jadi seperti ini? Lily Orlantha?" tanya Olivia geram.Max mengeraskan rahangnya. "Ini tidak ada hubungannya dengan siapapun dan-""Tapi kau tidak pernah seperti ini sebelumnya!" jerit Oliv
"Nona..."Lily membuka kedua matanya yang masih basah oleh linangan air mata. Suara sesenggukan masih keluar dari mulutnya kemudian dia melihat Inda berdiri di sampingnya begitu dekat."Nona tidak apa-apa?" tanya Inda begitu khawatir. "Kenapa Nona berteriak dan menangis?"Lily mengerjapkan mata berulang kali, masih mencoba mencerna apa yang telah terjadi barusan.Kemudian dia menyadari kalau dia sehabis bermimpi bertemu ayahnya.Lily semakin terisak. Dia menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan sambil menangis tersedu-sedu.Inda melihat itu dengan kedua mata yang berkaca-kaca. Butiran kristal ikut turut meluncur membasahi baju Lily. Hatinya ikut sedih melihat Lily yang begitu sakit dan kecewa. Apalagi terdengar suara lirih yang bersamaan dengan suara tangisan itu."Ayah... ayah..."Inda tahu betapa kecewanya Lily terhadap kenyataan yang kemarin dia dapatkan.Perkataan saja mungkin tidak akan didengar oleh Lily, jadi Inda memilih untuk diam saja sembari memeluk tubuh Lily yang rin
Pagi-pagi sekali, Inda datang setelah mengantar Arsan ke sekolah untuk dititipkan.Dia sudah mendengar kabar dari Finley soal keadaan Lily, jadi dia ingin menjenguknya sepagi mungkin.Dan disinilah dia sekarang, menatap Lily yang juga sudah bangun tapi tatapannya masih kosong mengarah ke luar melalui jendela.Hati Inda merasa sakit, melihat Lily luka yang belum mengering dengan wajah begitu pucat.Inda meletakkan tasnya di atas meja lalu menarik kursi, mencoba memulai obrolan."Nona, saya sudah ada di sini," lirihnya sambil memegang punggung tangan Lily.Tapi tidak ada respon apapun dari Lily.Inda menghela napasnya panjang. Sepertinya fakta soal dia merupakan putri kandung Kenneth benar-benar menghantam mentalnya.Hidupnya memang penuh dengan kejutan.Selang dua jam.Vina datang untuk kembali menjenguk Lily.Dia datang langsung duduk di atas kursi dan bertanya pada Inda, "Dia sudah makan?"Saat ini Lily sudah kembali tertidur karena efek obat yang dikonsumsinya.Inda menggeleng pelan
Dengan tergagap Max menjawab, "I-iya, saya suaminya."Perawat itu tersenyum lalu mulai merobek kemasan berisi jarum suntik baru. "Dokter sudah meresepkan untuk istri Anda beberapa obat, salah satunya obat tidur melalui suntikan.""Baik, Sus."Setelah itu perawat memberi suntikan pada Lily lewat jarum infus. Tak butuh lama, perawat sudah selesai lalu mengemas barangnya dan berpamitan pergi.Fernita juga masih ada di dalam ruangan, bedanya dia terduduk di atas sofa."Sebaiknya ibu pulang dulu saja," ujar Max tanpa mengalihkan pandangannya dari Lily."Tapi-"Brak!!Ucapan Fernita terpotong oleh suara pintu yang dibuka dengan keras.Fernita terkejut begitupun dengan Max.Seseorang yang membuka pintu dengan keras itu adalah Finley.Dia menatap Max dengan tajam lalu berjalan cepat ke arahnya dan melayangkan tinju ke wajah Max yang tidak sempat untuk menghindar. Alhasil, tubuhnya tersungkur di atas lantai."Max!!" jerit Fernita karena terkejut."Brengsek kau!" umpat Finley penuh amarah dan m