Pagi ini El harus rela istrinya cemberut. Tak mau bicara karena idenya untuk meminta bantuan Noah ditolak mentak-metah. Senyuman istrinya seketika hilang begitu saja. Hingga membuat El begitu frustrasi. Namun, belum usai nasib El yang sial pagi ini, kesialan ditambah dengan sambutan senyuman seorang gadis di depan pintu.
“Selamat pagi, Kak El.” Senyum mengembang di wajah Cia.El yang melihat wajah Cia langsung lemas. Senyuman Cia membuatnya semakin frustrasi. Apa lagi, Freya yang belum menerima.“Aku bawakan kue untuk Kak El dan orang yang akan menjagaku di sana nanti.” Cia menyerahkan dua bungkusan yang berisi kue.Menelan salivanya, El membayangkan kue buatan Cia. Namun, bukan itu yang dia pikirkan. Satu hal yang dia pikirkan adalah Cia yang memberi kue sudah sangat berharap bisa ke London.Freya yang berdiri di samping El, memutar bola matanya malas. Dia tahu jika adiknya datang untuk memberik“Halo, Kak, papa sudah setuju.” Suara Cia di sambungan telepon terdengar kencang. Hingga Freya harus menjauhkan sedikit ponsel dari telinganya.“Benarkah?” tanya Freya memastikan kembali. “Iya, tadi pagi papa mengatakannya.”“Baiklah kalau begitu. Aku ikut senang mendengarnya.”“Dari tadi aku menghubungi Kak El, tetapi dia tidak mengangkat sambungan telepon.” “Dia sedang ada urusan penting,” jawab Freya yang mengingat telepon suaminya yang mengatakan jika El sedang tidak bisa makan siang dengannya. “Baiklah, sampaikan terima kasihku.” Suara Cia terdengar begitu bahagia. “Baik aku akan sampaikan.” Freya mematikan sambungan telepon. Masih menatap layar ponselnya, dia berpikir untuk mengirim pesan pada El. [El, apa kamu sudah kembali ke kantor?]Freya meletakkan ponsel dan kembali menikmati makan siangnya dengan Reya. Mereka berdu
Mengayunkan langkahnya, Freya dan El menuju lift lagi. Nomor di access card tertera angka 2404 yang artinya berada di lantai dua puluh empat dan kamar nomor empat. Menuju ke lantai atas memerlukan waktu cukup lama, sehingga membuat El menoleh ke arah Freya terus. Memerhatikan perubahan wajah istrinya itu. “Kenapa menatapku seperti itu?”“Kamu sedang tidak akan membuang uangku dengan sia-sia, ‘kan?” Freya memicingkan matanya. Menatap malas pada pria yang menjadi suaminya itu. “Harga kamar yang kamu pilih tadi cukup mahal, jadi aku tidak mau uangku terbuang sia-sia, jika kita masuk kamar hanya untuk mencari nyamuk.” El tersenyum polos. Wajah El begitu tampak menyebalkan kali ini bagi Freya. Padahal dia sudah berniat untuk mau melakukan malam pertama. Bukan tanpa alasan Freya memutuskan hal itu. Pertama karena kondisi jantungnya yang sudah semakin tidak menentu. Kedua, rasa cemburu yang tiba-tiba m
“Apa sudah ada hasilnya?” tanya Felix menyikut tangan Freya. Hari ini Freya dan El pergi di rumah papa dan mamanya. Papa Felix sengaja memanggil El untuk membahas bagaimana nanti Cia di sana. Walaupun masih sekitar satu bulan lagi, paling tidak mereka harus mempersiapkan. Apalagi El sendiri yang akan mengantarkan Cia dan Bian keluar negeri. Freya yang mendapati pertanyaan papanya merasa heran. Baru genap dia sebulan setelah melakukan di hotel, tidak mungkin juga langsung jadi bukan? Lagi pula jika dihitung, pernikahan mereka baru sebulan lebih seminggu. “Belum, Pa.” “Lalu kapan Papa punya cucu?” tanya Felix. “Sabar, Pa. Memangnya seperti kue yang dibuat Cia, sekali adon jadi.” Freya menjawab dengan malas. Tangannya yang memegangi toples kacang, mengambil dan memasukkan kacang ke mulutnya. Mengunyah, menikmati makan sambil menonton televisi. “Adikmu itu bikin
“Apa aku besok boleh ikut?” tanya Freya menatap El dengan penuh harap. Sebulan berlalu. Rencana keberangkatan Cia dan Bian ke London sudah selesai. Besok dua orang yang akan kuliah di London itu, akan berangkat. El akan mengantarkan adik-adiknya dan mengurus kuliah mereka di sana. Beberapa hari El akan tinggal di sana sehingga mengharuskannya meninggalkan istrinya. “Jika pekerjaanmu tidak banyak, aku akan dengan senang hati mengajakmu,” ucap El seraya mengambil pakaiannya dan memberikan pada istrinya. Freya dengan telaten merapikan pakaian El ke dalam koper. El tidak membawa banyak pakaian, mengingat dia masih meninggalkan pakaian di sana. Hanya beberapa pakaian hangat dan pakaian formal saja yang dibawa.Sambil memasukkan pakaian ke koper, Freya mencebikkan bibirnya. Merasa berat ditinggal suaminya. Namun, pekerjaanya di kantor sangat banyak, sehingga membuatnya tidak bisa ikut.
Pagi ini El mengantarkan Cia dan Bian ke kampus. Seharian penuh waktunya dipakai untuk mengurus kedua adiknya itu. Sampai menjelang malam dia baru kembali ke rumah. Hari ini, cukup menguras tenaga. Mengingat dia harus ke dua kampus. El yang sudah lelah, memilih untuk langsung membersihkan diri. Tenggorokannya yang terasa kering, membuat El keluar dari kamar. Langkahnya terhenti ketika petikan gitar terdengar dari taman belakang. El sudah menduga jika itu adalah Bian. Dari semua anggota keluarganya, hanya Bianlah yang bisa bermain gitar. Mengambil air putih di gelas, El meredakan tenggorokannya yang kering. Kemudian, menyusul adiknya. Di taman, dia melihat Bian duduk di kursi taman. Udara malam ini memang panas, jadi wajar saja adiknya itu di luar. Mungkin Bian belum terbiasa. “Kak,” ucap Bian yang melihat kakaknya. Seketika dia menghentikan gerakan tangannya dan menyingkirkan gitar dari pangkuannya.
Ghea langsung menoleh ketika mendengar suara Freya. Dia sungguh tidak menduga jika kakak iparnya itu ada di depan pintu. Apalagi pertanyaan Freya tentang perjanjian yang tadi dibahasnya, membuatnya yakin jika kakak iparnya baru saja mendengar pertanyaannya. “Apa itu Kak Freya?” tanya Cia yang juga tak kalah terkejut mendengar suara kakaknya. Ghea terpaku. Tak menjawab pertanyaan Cia. “Ghe …. Ghea, jawab aku,” panggil Cia yang panik.Ghea langsung mematikan sambungan teleponnya. Takut sekali dengan kakak iparnya yang memergokinya sedang membahas hal yang harusnya dia sembunyikan. Freya mengayunkan langkahnya menghampiri Ghea. Menatap tajam adik iparnya itu. Hatinya sudah menahan gemuruh yang semakin melingkupi hati. Menerka apa yang dia tidak ketahui selama ini. “Perjanjian apa yang dibuat El dan Cia?” tanya Freya kembali. Ghea menelan salivanya merasa takut sekali dengan semua ya
Freya yang berlari ke rumahnya, langsung masuk ke kamar. Ghea terus mengejar, hingga sampai di rumah Freya, dia berpapasan dengan Mama Chika. Mama Chika begitu terkejut melihat Freya dan Ghea berlarian. “Kenapa kalian lari-larian?” tanya Mama Chika. “Kak Freya marah, Ma.” Napsnya terengah-engah ketika menjawab pertanyaannya Mama Chika. “Kenapa?” Mama Chika mengerutkan dahinya.“Kak El katanya mengundur kepulangannya, jadi Kak Freya sedih.” Ghea menjelaskan sesuai dengan yang diminta oleh kakaknya.“Pantas.” Mama Chika tertawa. “Sudah, biarkan saja. Nanti dia juga akan tenang sendiri. Kamu pulang saja.” Mama Chika membelai pundak Ghea. Sebagai orang tua, dia tahu seperti apa anaknya. Freya yang sering marah, akan luluh sendiri. Dia cukup didiamkan saja. Tak perlu diganggu. “Baiklah, Ma.” Ghea memilih pulang. Tidak memaksakan diri untuk menemui Freya. Di dalam kamar, Freya menangis.
“Kenapa kamu di sini?” Freya bingung saat melihat suaminya berada di tempat tidur. “Aku tidur dengan istriku, untuk apa lagi?” El dengan tenangnya menjawab pertanyaan istrinya itu. Tak merasa punya masalah sama sekali. “Sudah ayo tidur lagi, ini masih terlalu pagi untuk bangun,” ucap El seraya mengulurkan tangannya. Meminta istrinya untuk masuk ke dalam pelukannya. Ekor mata Freya melirik ke arah jam yang terpasang di dinding kamarnya. Jarum jam yang menunjuk angka tiga, yang artinya sekarang jam tiga pagi. Dan benar jika ini masih jam tidur. Namun, dia mengingat jika masih marah dengan El perihal perjanjian kemarin. Tak mau tidur seranjang dengan suaminya, dia memilih untuk mengambil bantal dan menuju ke sofa. El melihat raut wajah marah di wajah Freya. Bukan El namanya jika diam saja. Dia lantas bangkit dan mengekor di belakang Freya menuju ke sofa.“Mau apa kamu?” tanya Freya yang berbalik menatap El. “Ikut
“Kamu yakin menitipkan anak-anak ke daddy dan mommy?” tanya Freya memastikan. “Iya.” El tersenyum menyeringai. Dia memanfaatkan situasi dengan benar seperti yang dikatakan oleh daddy-nya.“Aku malu. Kalau mereka tanya mau apa kita, kita jawab apa?” Freya merasa malu ketika harus menitipkan anak-anaknya. “Mereka lebih paham. Tidak perlu menjelaskan panjang kali lebar.” El tahu jika orang tua mereka lebih paham akan hal itu. “Baiklah, aku akan pastikan yang akan dibawa.” Freya tidak mau ada yang sampai ketinggalan. Yang ada dirinya pasti tidak akan tenang bersama dengan El nanti ketika pergi. “Baiklah, aku akan lihat anak-anak dulu.” El mengayunkan langkah ke kamar sebelah. Mengecek anak-anak yang masih tidur lelap. El tersenyum. Dia merasa waktu bergulir begitu cepatnya. Anak-anak tumbuh begitu cepatnya. Belum lama El mengendong mereka bergantian. Kini mereka sudah bisa digendong bersamaan. Tepat saat El sedang meme
Suara tangis yang saling bersahutan terdengar mengisi keheningan malam. Di saat orang-orang sedang terlelap tidur, sepasang orang tua baru itu tampak sibuk menenangkan dua bayi yang kini sudah berusia lima bulan tersebut. Biasanya Kean akan anteng ketika malam hari, tetapi kali ini dia ikut menangis juga. Freya yang menyusui Lean harus pasrah ketika Kean menangis. El langsung mengambil susu yang disiapkan dan menghangatkannya. Sambil menunggu menghangatkannya, El mengajak main anaknya. Dia meletakkan Kean di atas bahunya, memanggulnya seraya memegangi tangannya. Seketika bayi kecil itu terdiam.El mengayun-ayunkan tubuh Kean hingga membuat melayang-layang. Kean langsung tertawa terbahak merasakan tubuhnya diayun-ayunkan. Tawa Kean itu menarik perhatian Lean. Adiknya itu langsung menoleh. Mulutnya yang masih menyesap puncak dada mommy-nya, tanpa sadar menariknya begitu saja sambil melepaskannya. Membuat mommy-nya mengaduh kesakitan dengan aksi si bungsu. Bola
Waktu bergulir dengan cepatnya. Semua menanti kelahiran penerus dari dua keluarga. Setelah kejadian kemarin, semua keluarga menjaga Freya. Apalagi sudah menjelang melahirkan, pastinya Freya perlu pengawasan penuh. Mommy Shea dan Mama Chika selalu berganti menjaga Freya di saat El bekerja. Tak mau sampai anak dan cucu mereka kenapa-kenapa. El yang biasanya pulang larut malam pun, kini pulang lebih awal. Tak mau sampai kehilangan momen. Mengingat Freya sudah akan melahirkan dan di saat itu, dia ingin selalu ada di sisi istrinya.“Ini sudah jalan berapa minggu?” El yang merebahkan tubuhnya, meletakkan kepalanya di kaki istrinya. Menghadap ke arah perut Freya yang semakin membesar. “Tiga puluh sembilan.” “Kenapa lama sekali mereka keluar. Bukankah harusnya mereka keluar di antara waktu tiga puluh tujuh minggu sampai empat puluh minggu.” El selalu dengan saksama mendengarkan ucapan dokter. Jadi dia selalu tahu perkembangan ibu hamil. “Enta
“Pa, cepat!” El menepuk kursi kemudi dari belakang. Meminta untuk papa mertuanya bergegas untuk melajukan mobilnya. “Sabar, El.” Rasanya, Felix benar-benar mengulang kepanikan sewaktu El lahir. Temannya-Bryan juga menepuk kemudinya, hingga membuatnya lemas. “Berapa bulan sebenarnya usia kandungan anak Freya?” tanya Papa Felix. Mengingat El yang lahir prematur membuat Papa Felix takut jika cucunya akan mengalami hal yang sama. “Tiga puluh enam minggu, Pa.”El menatap Freya dengan tatapan kasihan. Freya tampak meringis kesakitan saat perutnya kencang. Dengan usia segitu, artinya anak akan dilahirkan prematur. Karena usia tiga puluh tujuh-baru anak dikatakan normal. Papa Felix hanya bisa berharap semua baik-baik saja. Mobil berhenti di depan Rumah sakit. El buru-buru membawa Freya keluar dari mobil. Saat keluar dari mobil, mereka sudah disambut oleh perawat. Namun, El justru membawa Freya dengan tangannya sendiri ke UGD.Papa Fe
Sebagai pengusaha muda, El mulai diperhitungkan. Namanya mulai dikenal di kalangan pengusaha. Apalagi, El terkenal membangun bisnisnya di luar negeri. Kini perusahaannya sudah bergabung dengan Julian Company. Semua proyek pembangunan di bawah tanggung jawab El. Tiga bulan sejak kematian Kakek Theo, perusahaan semakin membaik di bawah pimpinan El. Seperti yang diharapkan Kakek Theo, El berusaha keras memajukan perusahaan. Menjalin kerja sama dengan beberapa kolega sang kakek mertua. “Sayang, ingat besok aku, mama dan mommy akan pergi untuk mencari baju untuk anak kita. Jadi aku harap kamu ikut!” Freya memberi peringatan penuh pada suaminya itu. Beberapa hari belakangan ini El sibuk bekerja hingga malam. Dia takut saat libur, suaminya itu akan tetap bekerja. Kini usia kandungan Freya sudah mencapai dua puluh sembilan minggu atau setara dengan tujuh bulan satu minggu. Semua persiapan mulai dilakukan oleh keluarga, termasuk membeli perlengkapan dari mulai baju dan pe
Beberapa hari ini El disibukkan dengan kepindahannya kantor. Kini kantornya berada di kantor Julian Company. El bertanggung jawab atas perusahaan istrinya karena sang istri yang sedang hamil dan tidak bisa mengurusi perusahaan. Namun, nanti saat sang istri sudah bisa bekerja kembali, dia akan menyerahkannya kembali. Keluarga yang lain pun tidak masalah. Mereka menyerahkan pada El. Terutama Papa Felix. Dia yakin El bisa mengurus perusahaan peninggalan papanya itu. Tidak terasa kandungan Freya sudah mencapai dua puluh minggu. Perutnya semakin hari semakin membesar. Semakin bertambahnya usia kandungannya, mual yang dirasakan Freya semakin berkurang. Dia pun sudah mulai bisa makan seperti biasanya. Justru dia sangat lahap saat makan.El keluar dari kamar mandi. Menggosok-gosokan rambutnya yang basah. Melihat istrinya yang sedang berada di depan cermin. Tampak istrinya itu sedang melihat wajahnya yang terlihat sangat gembil. “Semakin hari, kamu sema
Freya hanya bisa menangis di atas makam sang kakek. Perasaannya hancur ketika tak bisa ikut mengantarkan kakeknya ke peristirahatannya terakhirnya. Dia yang harus pingsan, justru menghabiskan waktu di Rumah sakit.“Jangan bersedih terus. Kamu harus kuat.” El mencoba menenangkan sang istri. Membelai punggung lembut sang istri. Berharap istrinya dapat tenang. El dapat merasakan betapa sedihnya istrinya, tidak bisa menemani sang kakek untuk terakhir kalinya. “Kakek bilang dia ingin bermain dengan cicitnya.” Freya menoleh ke arah suaminya. Matanya yang sudah sembab-menandakan jika dia terus menangis tanpa henti. Freya mengingat apa saja yang dia rencanakan dengan sang kakek sewaktu di Rumah sakit. Namun, rencana tinggal rencana, karena kini sang kakek pergi untuk selama-lamanya. “Iya, dan dia tidak akan senang jika kamu membuat cicitnya kenapa-kenapa. Jadi jangan terus bersedih.” El membawa istrinya dalam pelukan. Manusia hanya bisa berharap dan Tuhanlah yan
Papa Felix merasa cemas dengan keadaan papanya. Pikirannya menerka-nerka apa yang terjadi dengan papanya. Ada sedikit ketakutan dalam hatinya karena apa yang sudah dilakukannya kemarin yang menjadi papanya itu masuk Rumah sakit. Turun dari mobil, Papa Felix langsung menghubungi sekretaris papanya, menanyakan keberadaan papanya. “Apa yang terjadi?” Tepat di depan ruang rawat, Papa Felix bertanya pada sekretaris papanya. Pandangannya penuh ketakutan dan kecemasan. “Pak Theo sudah masuk ke Rumah sakit sejak tiga hari yang lalu, dan sekarang kondisinya menurun.” “Sudah tiga hari dan kamu baru memberitahu sekarang!” Papa Felix ingin melayangkan bogem mentah pada sekretaris papanya itu, tetapi ditahan oleh Daddy Bryan. Temannya itu membawa Felix untuk duduk. Tubuh Felix begitu lemas. Tiga hari artinya di saat dirinya bertemu dengan papanya dan pastinya papanya sakit karena semua ucapannya. “Maaf, Pak, selama ini Pak Theo melarang untuk men
Papa Felix kembali ke Rumah sakit setelah puas mengungkapkan semua perasaan dalam hatinya. Dia sedikit menyesali karena tidak melakukannya sejak lama dan justru membiarkan papanya melakukan apa yang dia mau. Namun, kini Felix tidak akan membiarkannya. Dia akan menjaga anak dan cucunya. Sampai di Rumah sakit sudah banyak orang yang datang. Ada kedua orang El yang ada di sana. Istrinya pun turut hadir di sana. “Kamu dari mana?” tanya Mama Chika pada suaminya. “Dari kantor papa.” Wajah Felix tampak masih terlihat kesal. Masih ada amarah yang meliputinya. “Papa marah dengan kakek?” tanya Freya cepat ketika mendengar ucapan dari papanya. “Dia tidak bisa dibiarkan begitu saja. Ini sudah melampaui batas. Harusnya dia tidak seenaknya memintamu mengecek proyek langsung karena kamu sedang hamil. Lagi pula masih banyak karyawan yang bisa dia suruh untuk mengecek.” “Ta—”Freya masih mau menyanggah, tetapi El memegangi lenganny