Luna melirik agak sinis ketika dia lihat Maya datang kembali, tapi kali ini dengan barang-barang serta beberapa koper.
Tali gaun biru yang dikenakan Alisa beberapa kali jatuh ke lengannya, dengan muka kecut dan malu, beberapa kali pula tangannya memperbaiki. Dasar gaun murahan! Bisa tenang dikit nggak sih?! Jangan bikin malu! pekiknya dalam hati.Damar yang duduk santai di hadapannya mencoba bersikap seolah tidak tahu apa-apa, takut malah membuat Alisa risih bila dia ungkit soal pakaiannya.
"Semalam kenapa tanya aku ada di mana?"
Seorang pria tinggi bermata sipit dan berkulit putih pucat berdiri di belakang Maya dengan kedua tangan berada di dalam saku mantel hitam yang dia kenakan.
Kedua kelopak mata Maya perlahan terbuka akibat sengatan sinar mentari yang masuk dan memendar tepat di wajah teduhnya. Masih belum sepenuhnya sadar, Maya mengucek mata lalu mengedarkan pandangan setengah buramnya ke sekeliling.Semua terlihat asing, tidak seperti kamar hotel yang dia singgahi. Maya langsung panik begitu di sadar bahwa tubuhnya hanya ditutup selimut yang tak begitu tebal. Jantungnya berdegup ganjil tatkala pandangannya jatuh ke pakaian yang berserakan di atas lantai. Otaknya berputar menyusun segala kemungkinan yang telah menimpa dirinya.Wajahnya makin memucat ketika telinganya akhirnya menangkap suara guyuran air dari toilet.Siapa itu? Aku di mana? Ada yang mandi, tapi ... siapa?
Tak semudah yang dipikirkan Bhara, ternyata setelah kepergian Maya dari hidupnya pun, tak lantas membuat hatinya tenang, dia masih uring-uringan berkepanjangan. Apa yang dikatakan Maya pagi itu di Korea terus mengusik hati dan pikirannya. Nuraninya serasa telah mati.
"Apa sih mau Bapak?!"Tanpa tedeng aling-aling, Bhara
Maya tengah menyesap pelan cappucino hangat ketika seorang pria berjaket kulit duduk di hadapannya. Pandangan Maya yang semula terlempar ke luar kaca jendela kafe beralih kepada pria bertubuh sedang itu.
Langkah Luna yang semula cepat perlahan melambat lantaran disergap rasa ragu tiba-tiba ketika Alex menuntunnya masuk menuju sebuah lorong yang tampak gelap dari luar, akan tetapi terlihat bias-bias lampu neon berwarna merah terang dari dalam lorong mencurigakan itu.
Dengan agak kesusahan, Alisa menarik koper besarnya keluar dari kamar. Di luar rumah, taksi yang akan membawa dia ke stasiun kereta sudah siap menunggu. Tepat saat kopernya baru sampai di anak tangga pertama, Damar masuk dengan derap langkah kaki yang cepat, pintu mobil bahkan dibantingnya tadi.
"Sayang ...!!"Jantung Bhara nyaris mau copot rasanya ketika suara nyaring Maya tiba-tiba memekakkan telinga, perempuan cantik itu masuk ke dalam ruang kerja Bhara membawa serantang makanan, menggunakan gaunsummerberwarna putih bermotif bunga seroja."Ngapain kamu di sini?" tanya Bhara bingung."Kunjungan mendadak ~" jawab Maya manja seraya mendekat lalu duduk di atas pangkuan Bhara. "Aku juga buatin makan sing, loh. Kamu belum makan, kan?""May, nggak usah berlebihan, deh. Ini tuh kantor, minggir sana. Atau turun tuh, temui Tommy aja di bawah, liat kerjaannya," ujar Bhara pura-pura seb
Kedua tangan Alisa memegang hasil pemeriksaan USG kehamilan yang baru tadi siang dia lakukan. Dipegangnya perut yang mulai membesar. Genap kandungannya memasuki usia enam bulan, dan menurut tes USG, jenis kelamin janin yang dia kandung adalah laki-laki. Lantas hasil pemeriksaan USG itu dia letakkan di atas meja lampu, di samping sebuah undangan pernikahan yang juga baru saja dia baca.
Pria di hadapan Bhara masih membolak-balik foto-foto yang tadi diserahkan kepadanya. Bhara sendiri sembari menyesap kopinya pelan-pelan terus mengawasi.
"Mana Bang Bhara? Kak Maya?" tanya Tommy ketika dia temukan hanya ada Luna di rumah.Luna yang tengah asyik membaca novel di ruang tengah cuma melirik sinis sesaat lalu menjawab datar, "Di rumah sakit.""Eh? Siapa yang sakit?" tanyanya lagi.Novel di tangan ditutup Luna dengan kasar, dia mulai tak senang dengan gempuran pertanyaan dari Tommy, terlebih rasanya, pertanyaan itu hanya sekadar basa-basi cuma untuk mendekatkan diri dengannya."Kalau mau tau, tanya aja sendiri." Luna bangkit berdiri.Sebelum gadis remaja itu menaiki anak tangga, Tommy kembali membuka mulutnya, "Heh, B
Tulilit Tulilit ...
Lebih dari dua menit sudah Alisa mondar-mandir di depan TV, jam dinding klasik sudah berdentang tanda sudah lewat tengah malam. Bukan baru kali ini saja dia menunggu kepulangan Damar dengan hati resah, malah bisa dikatakan malam-malamnya hanya diisi dengan resah dan gelisah saja sejak hari pernikahan mereka. Padahal dokter kerap kali meminta dia untuk menghindari stres, tapi bagaimana bisa dia menghindari stres jika dia dihadapkan dengan situasi seperti ini setiap hari.Tepat saat Alisa baru meletakkan pantat di atas sofa, didengarnya suara pintu gerbang terbuka. Sesegera mungkin dia berlari untuk membukakan pintu. Dan tepat seperti dugaannya, Damar baru pulang, dengan kemeja agak acakadut dan berbagai aroma yang menguar dari tubuhnya."Aku mulai capek sama tingkah kamu, Mas," kritik
Maya terbangun dari tidur singkatnya di sofa usai telinganya menangkap suara pintu terbuka. Bhara akhirnya pulang setelah jarum pendek jam menunjuk angka 2. Sudah lewat pukul dua dini hari.
Senyum tipis tersungging di wajah tampan Bhara setelah dilihatnya kehadiran Alisa kembali di belakang meja kerjanya. Gadis itu berdiri tegak lalu menyapa dengan wajah berseri-seri, "Selamat pagi, Pak! Baru balik bulan madu dari Bali, ya?!" tanyanya bermaksud berkelakar.