Selama perjalanan di mobil menuju rumah, baik Bhara maupun Maya tak ada yang berinisiatif untuk membuka mulut lebih dulu, keduanya kompak membisu walau ribuan kata saling adu jotos di kepala mereka masing-masing.
"Non ... Non Maya ...!"Suara panggilan Mbok Aya mengu
Bhara menepikan mobilnya di depan sebuah kios bunga. Dia tak ingin pulang dengan tangan kosong hari ini. Pertengkaran waktu lalu dia sadari tak luput dari egonya yang terlalu tinggi, karenanya dia berinisiatif untuk berbaikan dengan membawakan bunga untuk Maya.Dari bunga mawar sampai krisan, lily sampai anggrek. Bhara berpikir sebentar.Laki-laki sialan itu bawa lily kemarin buat Maya, aku harus bawa yang beda,pikirnya, mengingat apa yang terjadi di rumah sakit."Pak, mau bawa bunga untuk siapa?" Florist bertanya."Pacar saya. Cuma saya nggak tau dia sukanya bunga apa.""Kalau boleh tau
"Tin, tadi pagi-pagi banget Maya telepon Mama." Nenek Maya yang baru duduk di meja makan menuang susu ke dalam gelas sembari membuka percakapan.
"Aku nggak ngerti cara berpikir kamu, Bhar. Dari mana kamu bisa dapat uang sebanyak itu?"
Bhara melirik ke kanan dan kiri di sepanjang lokasi yang disebut oleh Alisa melalui panggilan tadi. Orang yang dia cari masih belum dia temukan. Karena telah menjelang pukul 9 malam, satu per satu kios maupun toko di sepanjang jalan pun mulai bertutupan, kebanyakan lampu utama telah padam, hanya lampu jalan di beberapa titik saja yang masih menyala.
"Eh ... liat, deh ...""Apaan?"
Berulang kali Bhara bertanya, tak kunjung ada tanggapan dari Maya. Gadis itu masih merengut sambil menyusun pakaiannya yang baru disetrika ke dalam lemari."Sayang ... kamu masih marah soal yang kemarin? Hm? Aku tau aku salah, tapi udahan dong marahnya ..." bujuk Bhara sambil mengekor tiap langkah Maya. Mulut Maya masih diam membisu. "May ... aku lagi ngomong, loh." Suara Bhara berubah lebih tegas. "Aku kan udah bilang, aku nggak bisa mengabaikan Alisa kayak gitu aja. Dia lagi kena musibah, May. Aku ini bosnya, atasannya, udah tugas aku memastikan dia baik-baik aja."Maya masih diam seribu bahasa. Bhara nekat mendekapnya dari belakang lalu memberinya satu ciuman di pipi, Maya langsung menghindar, lantas melempar lirikan tajam.
Rapat baru saja berakhir menjelang jam makan siang. Seperti hari-hari biasa, Damar dan beberapa rekan kerjanya naik ke atas rooftop gedung kantor untuk merokok sambil mengopi, menikmati pemandangan dan embusan angin sepoi-sepoi.