Berulang kali Bhara bertanya, tak kunjung ada tanggapan dari Maya. Gadis itu masih merengut sambil menyusun pakaiannya yang baru disetrika ke dalam lemari.
"Sayang ... kamu masih marah soal yang kemarin? Hm? Aku tau aku salah, tapi udahan dong marahnya ..." bujuk Bhara sambil mengekor tiap langkah Maya. Mulut Maya masih diam membisu. "May ... aku lagi ngomong, loh." Suara Bhara berubah lebih tegas. "Aku kan udah bilang, aku nggak bisa mengabaikan Alisa kayak gitu aja. Dia lagi kena musibah, May. Aku ini bosnya, atasannya, udah tugas aku memastikan dia baik-baik aja."
Maya masih diam seribu bahasa. Bhara nekat mendekapnya dari belakang lalu memberinya satu ciuman di pipi, Maya langsung menghindar, lantas melempar lirikan tajam.
Rapat baru saja berakhir menjelang jam makan siang. Seperti hari-hari biasa, Damar dan beberapa rekan kerjanya naik ke atas rooftop gedung kantor untuk merokok sambil mengopi, menikmati pemandangan dan embusan angin sepoi-sepoi.
Sebulan telah berlalu sejak mutasi Damar ke Bali meninggalkan Alisa yang tiap hari uring-uringan. Kata maaf pun rasanya tak cukup diucapkan Bhara, dia telah gagal memenuhi janjinya, walau sampai sekarang dia masih kerap berjanji akan membawa Damar kembali suatu hari nanti.Luna sendiri melanjutkan studi di rumah, dan tak lupa didampingi psikolog anak yang rutin mengecek kondisi psikisnya, tentu Bhara tak mau kejadian percobaan bunuh diri kembali terulang. Urusan asusila yang menjeratnya masih dalam tahap lanjutan, Bhara telah menugaskan anak-anak buahnya untuk mencari preman jalanan bernama Bimo. Untuk sesaat semua terasa tenang, setenang permukaan laut sebelum terjadi gelombang besar.***"Kamu cantik banget." Bha
"Aku nggak akan ikut sama Mama! Aku tetap tinggal sama Bhara!" tegas Maya enggan menurut perintah keluarganya.
"Ini bukan buat liburan, Maya ... kenapa kamu malah bawa banyak bikini kayak gitu?" gerutu Bhara sambil memandang heran Maya yang tengah sibuk menyusun pakaiannya ke dalam koper, dan memang rata-rata yang dia bawa adalah baju renang.
Bhug! Bhug!
Senyum tipis tersungging di wajah tampan Bhara setelah dilihatnya kehadiran Alisa kembali di belakang meja kerjanya. Gadis itu berdiri tegak lalu menyapa dengan wajah berseri-seri, "Selamat pagi, Pak! Baru balik bulan madu dari Bali, ya?!" tanyanya bermaksud berkelakar.
Maya terbangun dari tidur singkatnya di sofa usai telinganya menangkap suara pintu terbuka. Bhara akhirnya pulang setelah jarum pendek jam menunjuk angka 2. Sudah lewat pukul dua dini hari.
Lebih dari dua menit sudah Alisa mondar-mandir di depan TV, jam dinding klasik sudah berdentang tanda sudah lewat tengah malam. Bukan baru kali ini saja dia menunggu kepulangan Damar dengan hati resah, malah bisa dikatakan malam-malamnya hanya diisi dengan resah dan gelisah saja sejak hari pernikahan mereka. Padahal dokter kerap kali meminta dia untuk menghindari stres, tapi bagaimana bisa dia menghindari stres jika dia dihadapkan dengan situasi seperti ini setiap hari.Tepat saat Alisa baru meletakkan pantat di atas sofa, didengarnya suara pintu gerbang terbuka. Sesegera mungkin dia berlari untuk membukakan pintu. Dan tepat seperti dugaannya, Damar baru pulang, dengan kemeja agak acakadut dan berbagai aroma yang menguar dari tubuhnya."Aku mulai capek sama tingkah kamu, Mas," kritik
Dengan agak kesusahan, Alisa menarik koper besarnya keluar dari kamar. Di luar rumah, taksi yang akan membawa dia ke stasiun kereta sudah siap menunggu. Tepat saat kopernya baru sampai di anak tangga pertama, Damar masuk dengan derap langkah kaki yang cepat, pintu mobil bahkan dibantingnya tadi.
"Sayang ...!!"Jantung Bhara nyaris mau copot rasanya ketika suara nyaring Maya tiba-tiba memekakkan telinga, perempuan cantik itu masuk ke dalam ruang kerja Bhara membawa serantang makanan, menggunakan gaunsummerberwarna putih bermotif bunga seroja."Ngapain kamu di sini?" tanya Bhara bingung."Kunjungan mendadak ~" jawab Maya manja seraya mendekat lalu duduk di atas pangkuan Bhara. "Aku juga buatin makan sing, loh. Kamu belum makan, kan?""May, nggak usah berlebihan, deh. Ini tuh kantor, minggir sana. Atau turun tuh, temui Tommy aja di bawah, liat kerjaannya," ujar Bhara pura-pura seb
Kedua tangan Alisa memegang hasil pemeriksaan USG kehamilan yang baru tadi siang dia lakukan. Dipegangnya perut yang mulai membesar. Genap kandungannya memasuki usia enam bulan, dan menurut tes USG, jenis kelamin janin yang dia kandung adalah laki-laki. Lantas hasil pemeriksaan USG itu dia letakkan di atas meja lampu, di samping sebuah undangan pernikahan yang juga baru saja dia baca.
Pria di hadapan Bhara masih membolak-balik foto-foto yang tadi diserahkan kepadanya. Bhara sendiri sembari menyesap kopinya pelan-pelan terus mengawasi.
"Mana Bang Bhara? Kak Maya?" tanya Tommy ketika dia temukan hanya ada Luna di rumah.Luna yang tengah asyik membaca novel di ruang tengah cuma melirik sinis sesaat lalu menjawab datar, "Di rumah sakit.""Eh? Siapa yang sakit?" tanyanya lagi.Novel di tangan ditutup Luna dengan kasar, dia mulai tak senang dengan gempuran pertanyaan dari Tommy, terlebih rasanya, pertanyaan itu hanya sekadar basa-basi cuma untuk mendekatkan diri dengannya."Kalau mau tau, tanya aja sendiri." Luna bangkit berdiri.Sebelum gadis remaja itu menaiki anak tangga, Tommy kembali membuka mulutnya, "Heh, B
Tulilit Tulilit ...
Lebih dari dua menit sudah Alisa mondar-mandir di depan TV, jam dinding klasik sudah berdentang tanda sudah lewat tengah malam. Bukan baru kali ini saja dia menunggu kepulangan Damar dengan hati resah, malah bisa dikatakan malam-malamnya hanya diisi dengan resah dan gelisah saja sejak hari pernikahan mereka. Padahal dokter kerap kali meminta dia untuk menghindari stres, tapi bagaimana bisa dia menghindari stres jika dia dihadapkan dengan situasi seperti ini setiap hari.Tepat saat Alisa baru meletakkan pantat di atas sofa, didengarnya suara pintu gerbang terbuka. Sesegera mungkin dia berlari untuk membukakan pintu. Dan tepat seperti dugaannya, Damar baru pulang, dengan kemeja agak acakadut dan berbagai aroma yang menguar dari tubuhnya."Aku mulai capek sama tingkah kamu, Mas," kritik
Maya terbangun dari tidur singkatnya di sofa usai telinganya menangkap suara pintu terbuka. Bhara akhirnya pulang setelah jarum pendek jam menunjuk angka 2. Sudah lewat pukul dua dini hari.
Senyum tipis tersungging di wajah tampan Bhara setelah dilihatnya kehadiran Alisa kembali di belakang meja kerjanya. Gadis itu berdiri tegak lalu menyapa dengan wajah berseri-seri, "Selamat pagi, Pak! Baru balik bulan madu dari Bali, ya?!" tanyanya bermaksud berkelakar.