Maura membuka mata dengan malas, seluruh tubuhnya terasa lepas dari sendi. Semalam, Rangga benar-benar membuatnya tidur nyenyak sebelum sempat membersihkan diri. Tak ada sosok Rangga di sampingnya.
Menarik selimut membungkus tubuhnya, Maura berjalan ke kamar mandi. Ia berencana berendam lama dalam air panas dan minyak aromaterapi yang kemarin Rangga bawa untuknya. Setelah dirasa cukup segar, Maura memutuskan keluar dari bathtub. Rangga belum juga terlihat.
“Ke mana dia?” gumam Maura seraya mengeringkan rambutnya yang basah.
Tok tok tok.
“Kak!”
Terdengar suara Alina berteriak memanggil.
“Ya, tunggu.” Maura segera memakai celana pendek dan tank top tanpa berkaca, lalu bergegas membuka pintu.
“Astaga, kenapa lama sekali?”
“Maaf, aku sedang mandi tadi.”
“Mana Bang Rangga? Masih tidur?”
“Entahlah. Dia sudah tidak ada di kamar ketika aku terjaga. Duduklah, mau minum sesuatu?”
“Apa dia
Bug. “Aku sudah bilang, aku akan menghajarmu kalau kamu gagal lagi.” Desh! “Kenapa dia bisa datang kemari, hah?! Bagaimana kamu mengurusnya?!” Rangga berteriak marah tepat di depan wajah Reno. “JAWAB!” “Maaf, Bos.” “Maaf tidak bisa menyelesaikan semuanya, Ren.” Rangga mendorong Reno dengan keras. Srett. Srett. “Di mana dia sekarang?” “Saya sudah mengirimnya terbang ke Bandung.” “Siapa yang dikirim ke Bandung? Astaga! Ada apa denganmu, Ren?” Alina berlari menghampiri Reno yang sibuk menyembunyikan wajahnya. “Sini, biar aku lihat.” Maura mendekati Rangga yang wajahnya masih merah padam. “Ada apa, Kak? Kenapa memukul Reno?” Rangga bergeming. Tidak menjawab atau menatap Maura. Saat kakinya akan melangkah pergi, tangan Maura mencekal lengannya. “Kak, apa yang terjadi?” “Tidak ada, hanya membuat Reno paham bahwa keputusannya salah.” Rangga melepaskan tangan Maura, menatapnya meminta wan
Mereka berdiri cukup dekat, tapi tidak sampai bersentuhan sepenuhnya, membuat Alina tersiksa. Dua tangan gadis itu berpegangan erat di bahu kokoh Reno. Alina menggigit bagian dalam mulutnya untuk menjaganya tetap sadar dan tidak melakukan tindakan yang akan membuatnya menyesal. Satu lengan Reno melingkari pinggang Alina, satu lagi menopang punggungnya. “Lepaskan aku.” Alina mendorong bahu kokoh di bawah telapak tangannya. “Sudah terlambat untuk mundur, Al. Dengarkan aku baik-baik, karena aku tidak akan mengulangnya.” Alina membuka mata dan telinganya lebar-lebar. Merekam setiap kata yang akan keluar dari mulut Reno, mulut yang tidak pernah lepas kendali sekeras apapun Alina mencoba memprovokasi. Jantungnya berdetak cepat, bersiap mendengar kalimat penolakan yang lebih resmi dan menyakitkan. “Alina, aku tidak pernah ingin menyakitimu. Aku kira dengan menjauh dan mengabaikanmu, bisa membuatmu bosan dan berpaling. Semua sikapku padamu selama ini bukan ka
“Apa kau akan ikut kakakku ke Munich?” tanya Alina saat Reno memberitahunya untuk menemani Maura tinggal beberapa hari lagi.“Sepertinya begitu, Nona. Ada yang bisa saya bantu?” Reno berusaha tetap bersikap formal dan sopan setelah mendapat telepon dari Galih. Dia baru saja teringat bahwa Alina yang sedang berdiri menatapnya, adalah putri dari bos besarnya.“Apa kita bisa bicara sebentar?” Alina menatap Reno yang berusaha menghindari pandangan matanya.“Sepertinya tidak bisa untuk saat ini. Maaf, saya permisi ke toilet.” Reno melangkah pergi menuju kamar mandi yang tidak jauh dari tempatnya berdiri. Bernapas lega saat ekor matanya tidak menangkap ada pergerakan dari Alina.“Ada apa denganmu sebenarnya? Kau berubah begitu cepat. Kembali dingin dan jauh. Teruslah menghindar, Ren. Kamu akan menyesal bila melakukannya,” ancam Alina dengan nada marah.Reno tidak menghiraukan ancaman Alina, mala
Kediaman Keluarga Danutirta“Akhirnya, sampai juga,” desah lega keluar dari bibir merah Alina.Jajang turun lebih dulu, membantu mengeluarkan koper dari bagasi disusul Alina dan Maura.“Kok rumah sepi, Mang? Pada ke mana?”“Bapak dan Ibu sedang keluar, Neng. Ada reuni dengan teman SMA Bapak, kalau tidak salah.” Jajang menarik dua koper besar masuk ke dalam rumah.Maura masuk mengikuti Alina yang menggamit lengannya. Sejak keluar dari kamar resor, Alina seolah enggan berpisah dengannya.“Kamu kenapa, Al?”“Kata Bang Rangga, kali ini aku tidak boleh membiarkanmu lepas dari pandangan mataku, Kak. Aku sendiri juga trauma dengan kejadian penculikanmu, jadi lebih baik aku selalu menempel padamu.”Maura memutar bola matanya dengan kesal. “Gak perlu sampai begini juga, Al.”“Hmm,” gumam Alina sambil menggeleng cepat.“Selamat datang,
Ketiga bocah itu terlonjak kaget karena teguran Maura, dua gadis kecil segera bersembunyi di belakang bocah laki-laki yang paling besar.“Umm,”“Cepat katakan, minta bolanya.” Gadis dengan bintik cokelat di wajah mulai mendorong bocah laki-laki di depannya.“Ish, jangan dorong!”“Masih mau berdebat?” tanya Maura lagi.Gadis dengan ekor kuda mengintip takut-takut dari balik punggung. “Maaf,” ucapnya lirih.Maura menelengkan kepalanya dan melambaikan tangan. “Gadis kecil, kemarilah.”Gadis itu terlihat ragu sejenak sebelum akhirnya memisahkan diri dari dua temannya dan mulai maju menghampiri Maura.‘Gadis pemberani,” batin Maura menahan senyuman.“Coba katakan padaku apa yang sudah kalian lakukan.”“Umm, kami sedang bermain bola dan Jason tidak sengaja menendang bolanya dengan keras. Apa sangat sakit?” tanya g
“Siapa ini, Al? Temanmu?” tanya Oma Tuti saat tangannya memeluk Alina sedang matanya menatap Maura yang berdiri canggung.“Ini istrinya Bang Rangga, Oma.” Alina menarik Maura mendekat. “Perkenalkan dirimu,” bisik Alina lirih.Mata tua itu menatap tajam ke arah Maura, penuh rasa ingin tahu. “Istri Rangga? Cantik.” Oma mengulurkan tangannya.“Senang berkenalan dengan Oma, saya Maura.”Tangan kurus terbalut kulit keriput itu menggenggam erat tangan Maura, tetap seperti itu selama beberapa saat. “Kau wanita berpendirian kuat, cocok bersanding dengan Rangga.” Bibir yang tadi sinis dan kaku, kini menyungging senyuman hangat.Alina menyikut lengan Maura dan mengerlingkan sebelah matanya. “Dia menyukaimu.”“Ayo, masuklah. Aku sudah menyuruh Euis memasak makanan kesukaanmu, Al.”Alina dan Oma saling berpandangan. “Nasi liwet, bakakak hayam, sa
Reno menarik lengan Vivian keluar dari vila keluarga Danutirta. Kali ini, Vivian sudah kelewat batas. Reno terus menarik sepupunya itu menjauh dari vila. “Lepas!” Vivian mengibaskan lengannya. “Sakit, Kak!” “Eve, kali ini kau terlalu jauh melewati batas. Apa maumu dengan bersikap begini? Aku sudah memperingatkanmu untuk menjauhi Maura.” “Bukan aku yang mengatur ini, takdir yang mengaturnya,” bantah Vivian. “Aku tidak tahu kalau vila mereka bersebelahan dengan vila Oma Tuti, nenek Cleo dan Jason. Mereka yang mengundangku dan Yuki untuk berlibur bersama mereka.” Reno menyugar rambutnya kasar. “Rahasia yang berusaha kau tutupi sekuat tenaga, akhirnya terbuka dengan sendirinya. Sudah waktunya semua tahu bahwa Yuki adalah anakku dan Rangga.” “EVE!” “Apa? Kau mau aku bagaimana kali ini? Pergi ke mana? Mengirimku ke mana?” Vivian meraih jemari Reno, mencoba membujuknya. “Kak, hanya kau yang aku punya. Harusnya kau menolongku, bukan be
Alina sedang menonton siaran pemilihan ratu sejagad di televisi sambil memangku setoples berondong jagung mentega yang masih hangat, saat Rangga dan Alina turun dengan penampilan memukau. “Rapi banget. Kalian mau ke mana?” tanya Alina penasaran. “Maura mengajakku makan malam romantis.” Rangga nyengir saking antusiasnya. “Keren?” “Kak, aku ikut, ya?” tanya Alina memelas. “Boring, nih.” Alina meletakkan toples kaca ke atas meja dan memakai sandalnya dengan tergesa. “Ya, ya, ya?” “Sejak kapan kencan rame-rame, Al? Kamu ajak aja Reno keluar.” Rangga mengulurkan kartu debit warna hitam. “Nih, unlimited. Balikin kalau sudah selesai pakai.” “Ogah, mending aku ajak Kang Asep bikin api unggun di belakang. Bakar jagung dan ikan,” ucap Alina kesal. “Masih belum baikan, Al?” tanya Maura lembut lalu maju selangkah dan berbisik, “Buka telinga dan hati, bicarakan baik-baik. Anggap kami keluar untuk memberimu ruang bicara leluasa dengan Reno.
Vila Danutirta, Bandung“Gimana, Han? sudah dapat tiket pesawatnya?” tanya Jelita gelisah. “Kasihan Alina dan Rangga, mereka belum pernah menemani ibu bersalin, pasti bingung dan panik.” Jelita mondar-mandir seperti kain pel.“Belum, Bu. Penerbangan hari ini penuh semua. Tiket kereta juga ludes sampai besok,” lapor Hanna tak kalah gelisah.“Haduh ... kenapa bisa habis semua di saat seperti ini? Galih, kamu sudah hubungi Galih dan Reno? Biasanya otak pria bisa berpikir cepat saat situasi mendesak begini.”Hanna menggeleng. “Mas Galih dan Reno sedang berada di kawasan proyek, Bu. Ponselnya dinonaktifkan.”“Astaga, ya Allah Gusti ...! Kok bisa barengan begini, sih?!” Jelita menepuk kedua pahanya putus asa.Yuki yang tidak mengerti apa yang sedang terjadi, hanya bengong sambil kepalanya bergerak mengikuti Hanna dan Jelita bergantian.Jelita melambaikan tangannya denga
Rangga sedang iseng mengintip isi kantong belanjaan yang tergeletak di atas ranjang manakala telinganya mendengar seruan panik dari dalam kamar mandi. Rangga bergegas ke kamar mandi, melihat Maura sedang berdiri berpegang erat pada pinggiran wastafel, tapi mimiknya tidak menyiratkan kesakitan, membuat Rangga menurunkan kewaspadaannya.“Ada apa?” tanya Rangga tenang.“Balonnya meletus,” ucap Maura bingung.Rangga mengedarkan pandangan ke arah langit-langit, mencari bohlam yang pecah. “Mana? Gak ada yang pecah, kok.”“Ini, yang di sini.” Maura menunjuk ke bawah kakinya.“Astaga! Ini balon apa yang pecah, kok isinya air keruh?!” panik Rangga. “Jangan-jangan ... ini ketuban, ya?” tebak Rangga sambil menatap Maura meminta penjelasan.“Sepertinya begitu.”Rangga bergegas mengangkat Maura, membawanya keluar dan membaringkannya di ranjang.“Jangan
“Hoek, hoek!” Maura bersandar lemas di depan pantry dengan kran menyala deras. Di sampingnya, Alina dengan telaten memijat lembut tengkuknya. “Maura kenapa, Al?” Rangga yang penuh keringat setelah bermain tenis bersama Kirman terlihat cemas. “Entahlah, sejak tadi pagi sudah begini.” Alina meraih selembar tisu untuk mengusap peluh yang membasahi leher dan dahi Maura. “Sini, biar aku saja.” Rangga menggantikan Alina, memijit tengkuk dan mengusap peluh. “Masih mau muntah?” tanyanya lembut. Maura menggeleng. “Aku mau duduk, Kak.” Rangga dengan sigap menggendong Maura, membawanya ke kursi goyang kayu kesayangan eyang kakungnya. “Duduk sini dulu, aku ambilkan minum.” “Aku mau teh lemon madu hangat,” sahut Maura cepat. “Oke, segera datang.” Rangga melesat kembali ke dapur bersih dan sibuk menyiapkan teh yang Maura minta. “Kak, apa masih ingin muntah? Perlu aku ambilkan baskom kecil?” tanya Alina seraya mendekat.
Rangga, Hanna dan Galih kompak mengernyit jijik melihat isi gelas yang Jelita sodorkan ke depan Maura. Sedangkan wanita hamil itu, dengan mata membeliak, mengintip ke dalam gelas dan penasaran pada isinya.“Sudah, jangan intip-intip. Minum!” desak Jelita lagi.Maura memasang wajah memelas. “Eyang, boleh tidak kita lewati saja tradisi yang ini?”Jelita menggeleng.“Kalau minumnya setelah makan?” tawar Maura lagi.“Bisa-bisa kamu makin eneg dan muntah nanti,” celetuk Rangga, membayangkan dirinya yang meminum ramuan Jelita.Maura mendelik marah ke arah Rangga yang memasang wajah tanpa dosa. “Kalau begitu, biar dia saja yang mewakili Maura, Eyang!” ketus Maura sambil terus menatap Rangga kesal.“Hush! Yang hamil kamu, yang lahiran kamu, masa’ iya yang minum jamu Rangga?” Jelita tersenyum memahami kekesalan Maura, tapi gelas di tangannya tetap teguh di depan waja
Jelita tersentak melihat Maura berdiri di tengah ruangan dengan lengan menggamit Rangga dan tangan lainnya menggandeng Yuki. Di belakangnya, ada Hanna dan Galih. “Lho, kalian?” heran Jelita sampai tidak bisa berkata-kata. Warsih yang pertama kali tanggap, menarik lengan Kirman dan Barno untuk membawa koper tamunya masuk. “Ayo, kopernya diurus dulu,” bisiknya memberi perintah. “Trus, urusan cacing ini gimana, Mbak?” protes Barno. “Tahan dulu!” hardik Warsih sambil melotot kesal. “Ehhem! Kalian ke belakang dulu, buatkan Maura minuman hangat.” Kumpulan abdi dalem itu pun membubarkan diri dengan wajah penasaran tentang apa yang terjadi pada majikannya. Jelita berdiri, mempersilakan tamunya duduk di sofa tengah. Sikapnya kaku dan canggung, membuat Galih dan lainnya merasa makin bersalah. “Kenapa tiba-tiba datang tanpa kasih tahu dulu? Ada apa?” tanya Jelita datar. Galih dan Hanna duduk mengapit Jelita. “Bu, kami datang untuk
Puri Mangkunegaran 15, Yogyakarta“Sih, Warsih! Ayo, jangan lama-lama. Keburu siang nanti.” Jelita berpaling ke belakang sambil merapikan sanggulnya.Warsih tergopoh-gopoh masuk dari pintu belakang. “Maaf, Ndoro. Saya baru selesai bantu Kirman motong ayam,” ujarnya sambil membenahi kebayanya yang berantakan.“Ya, sudah. Tolong kamu panggilkan Barno, minta dia untuk mengantar kita ke pasar.” Jelita menjinjing tas belanja yang terbuat dari anyaman plastik warna-warni kesayangannya dan berjalan mendahului Warsih ke teras.Nyatanya, Barno sedang sibuk mengelap mobil kuno warna hijau pastel yang bagian atasnya berbentuk lengkung. Melihat majikannya mendekat, Barno bergegas membuka pintu penumpang.“Sudah selesai bersih-bersihnya?” tanya Jelita seraya memeriksa hasil kerja abdinya.“Sampun, Ndoro.” Barno memeras kanebo sebelum memasukkannya ke dalam kotak plastik warna k
“Kenapa? Gak suka aku temani? Atau aku ganggu momen kamu ketemuan sama mantan pacar?” goda Rangga dengan wajah serius.“Kamu becanda apa beneran, sih? Kok serius banget mukanya?” panik Maura. “Aku ketemuan sama Rissa, bukan Evan, itupun karena gak sengaja. Dan Evan bukan mantan pacarku, Kak.”Rangga tergelak. “Oke, percaya. Masih mau ngobrol atau kita pulang sekarang?” tawar Rangga seraya bangkit dari kursi. Ekor matanya menangkap sososk Evan sedang mencari mereka.“Pulang.” Maura meraih tasnya dan mencium pipi Rissa sekilas. “Kapan-kapan kita sambung lagi,” pamitnya.Sret.Sejurus kemudian, Maura sudah berada dalam dekapan lengan kokoh Rangga. Kedua matanya melebar seolah bertanya apa yang sedang Rangga lakukan.“Biar lebih cepat!” sahut Rangga singkat. “Mang, tolong belanjaannya, ya.”Jajang keluar dari balik pilar besar dan mengangguk sa
Ibu jari Galih berhenti bergerak, diam terpaku di tulang pipi Hanna. Jelas sekali bahwa dia terkejut mendengar berita perihal kepulangan Jelita.“Ibu pulang? Kapan? Kenapa?”“Pagi tadi, kata Jajang. Alasan pastinya aku tidak tahu, tapi dari nada bicaranya saat menelfonku pagi ini, sepertinya ibu kecewa pada kita.” Hanna tertunduk sedih. “Selama lebih tiga puluh tahun menjadi menantunya, belum pernah aku dengar nada kecewanya terlontar untukku.”“Han, lihat aku.” Galih menarik dagu Hanna naik. “Kita tidak bisa selalu memuaskan orang lain. Tidak apa-apa terkadang salah dan mengecewakan, kita manusia.”Hanna tahu, suaminya berusaha menghiburnya, tapi kata-katanya makin membuat Hanna terbebani. “Apa kamu tahu salah kita di mana, Mas? Apa karena kita tidak memberitahunya tentang Alina? Aku tidak menyangka ibu akan begitu kecewa, padahal—.”“Stt, sudah. Jangan terus memik
Ruang VVIPAlina sudah kembali ke ruang perawatan. Dua jam di dalam ruang tindakan, membuat Maura menggigil karena terpaan AC dan ingatan masa lalu yang menghantuinya tanpa henti. Hanna tampak cemas melihat anak dan menantunya sama-sama pucat.“Ra, apa perlu mama minta Tante Siska buka satu kamar buat kamu?” Hanna meremas jemari Maura yang dingin.“Tidak perlu, Ma. Sebentar lagi juga mendingan,” kilah Maura sambil memasang senyum.“Ren, Reno!” Hanna meninggikan suaranya agar Reno terbangun.“Ehh, ya? Ada apa, Ma?” gagap Reno.“Ada apa gimana, sih? Tolong kamu jaga Alina, ini Maura kedinginan.” Hanna kesal dengan sikap menantunya.Reno bergegas menghampiri ranjang dan memeriksa keadaan istrinya. Sesekali menutup mulutnya yang tidak berhenti menguap.Beruntung Rangga datang dan mengambil alih perawatan Maura, meringankan kecemasan Hanna. Ketika dua pasang anak mantunya s