Siska menatap Maura dengan pandangan prihatin. “Tugas utamamu adalah memperhatikan kondisi ibunya, agar bayinya bisa tumbuh sehat.”
“Maura kenapa, Tan?”
“Berapa tinggi badanmu?” tanya Siska.
“Seratus tujuh puluh,” jawab Maura seraya membetulkan kancing kemejanya.
“Berat?”
“Dua bulan lalu, lima puluh tujuh.”
“Lihat ini.” Siska melingkarkan metlin ke lengan atas Maura. “Kurang dari 23 cm. Status gizi ibunya kurang baik.”
“Apa yang harus dilakukan, Tan?”
“Banyak mengkonsumsi makanan tinggi kalori dan protein.” Siska kembali ke mejanya dan mulai menulis. “Bawa surat ini ke Klinik Gizi, mereka akan membuatkan contoh menu makanan yang sesuai dengan kebutuhan ibu hamil.”
Rangga menerima memo warna putih yang Siska ulurkan. Membacanya sejenak kemudian mengangguk mengerti.
“Oh ya, kapan kalian menikah? Kenapa tidak mengundang tante?”
“Sabtu depan,” sahut Rangga datar, mengabaikan ekspresi terkejut di waja
Maura kembali ke kantor, bingung harus pergi ke mana. Orang rumah akan curiga kalau dia pulang sekarang, setelah Rangga menyuruh ART-nya membereskan barang miliknya. Kembali ke rumah keluarga Rangga lebih tidak mungkin lagi. Begitu juga pergi ke tempat Rissa, hubungannya dengan Evan dan orang tuanya sedang rumit. Ada rasa lega begitu punggungnya mendarat aman di kursi besar miliknya. Ia tidak melihat Rissa saat memasuki ruangan, jadi untuk sementara ia aman. Tanpa sadar, kedua lengannya mendarat di atas perutnya, tetap di sana selama beberapa saat. “Apa nyaman berada di dalam?” Maura mengusap perlahan perutnya. “Maafkan aku. Aku tidak membencimu, tapi aku juga tidak yakin bisa merawatmu. Kehadiranmu tidak ada dalam rencana hidupku. Sekali lagi maaf,” gumamnya penuh sesal. “Hari ini, aku melihatmu hidup, bergerak di dalamku. Ada rasa haru dan takjub. Tapi itu saja tidak cukup untuk menerimamu.” Tangannya terus bergerak di atas perutnya. “Aku ingin, anak-anakku
Sejak pertengkaran terakhir mereka, Maura jarang bertegur sapa dengan Armand, hanya seperlunya untuk menjaga kesan di mata orang. Terutama hari ini, di mana ia telah resmi menjadi istri Rangga Danutirta dan sedang berdiri menyambut tamu undangan.“Senyumlah. Aku tidak ingin para tamu berpikir kamu terpaksa menikahiku.”“Memang begitu faktanya dan kita berdua tahu, itu benar,” balas Maura. “Lagipula, ini tamumu dan keluargamu.”“Tapi kamu sudah menjadi anggota keluarga Danutirta sekarang. Jadi mereka juga tamumu.” Rangga berbisik lagi, mulutnya gatal ingin berdebat dengan istri barunya.“Bagaimana bisa mereka tamuku, mereka diundang tanpa persetujuanku.”“Karena kamu pasti akan menolaknya. Ingat saat kamu kabur bersama Alina ke studio dan berakhir kabur lagi karena Alina menyinggungmu. Pada dasarnya, kamu memang berniat menggagalkan pernikahan ini, bukan?”Maura harus men
“Mau menjauhkanku dari apa?” ulangnya ketika Rangga tidak berniat menjawabnya. “Dari hal-hal tidak berguna. Aku mandi dulu.” Maura melompat turun dan menghadang Rangga. “Contohnya?” “Apa kamu gila?! Kenapa bisa melompat begitu?!” Rangga terkejut melihat apa yang barusan Maura lakukan. “Kenapa menghindar? Apa yang kamu sembunyikan?” Sret! Rangga mengangkat tubuh Maura dan membaringkannya lagi di ranjang. “Jangan pernah melakukannya lagi. Di dalam sini, ada penerus keluarga Danutirta!” ucapnya kesal sambil menunjuk perut Maura. “Maaf, aku lupa kalau sedang mengandung penerusmu,” balas Maura. “Sekarang, katakan apa yang kamu sembunyikan dariku.” Kurkk …. “Tidak ada. Tunggu di sini. Aku akan menyuruh Reno mengantar makanan untuk kita.” Rangga meraih kembali ponselnya dan berbicara beberapa detik, kemudian masuk ke dalam kamar mandi. Suara gemericik air makin mengacaukan pikiran Maura. “Apa yang sedan
Dilihatnya Alina sedang bersimpuh di depan kloset, memuntahkan semua isi perutnya. Anak rambutnya basah oleh keringat, wajahnya pucat.“Nona.” Reno berjongkok sambil menepuk perlahan punggung Alina.“Pergi!” Alina berusaha berdiri dan mengusap mulutnya dengan punggung tangannya.“Saya bantu kembali ke ranjang.” Reno meraih lengan Alina dan melingkarkannya ke lehernya, sedangkan lengannya merengkuh pinggang ramping Alina.“Lepas! Aku tidak butuh belas kasihanmu.”Tap. Sret.Reno mengangkat tubuh Alina, dengan cepat melintasi kamar dan membaringkan Alina di ranjang. Menutup tubuh berbalut piyama satin marun dengan cepat hingga dagu.“Saya permisi, Nona.” Reno mengangguk hormat sebelum berbalik pergi.“Tunggu. Aku hanya akan mengatakannya satu kali, dengar baik-baik. Perasaanku padamu selama tiga tahun ini, tulus. Dan malam ini adalah terakhir kalinya aku katakan pa
“Karena takut aku akan lari seperti Vivian?”“Siapa yang memberitahumu tentang dia?!”“Dia? Bahkan namanya saja enggan kamu sebut. Begitu bencikah kamu padanya? Karena dia kabur dengan kekasihnya di hari pernikahan kalian?”“Jaga ucapanmu, Ra!” desis Rangga marah.“Apa sikapmu yang suka memaksa dan seenaknya sendiri karena takut aku akan kabur seperti Vivian?” tanya Maura makin berani.“DIAM.”“Aku tegaskan padamu, aku adalah Maura. Apa yang aku lakukan dan katakan, berasal dariku sendiri, tidak meniru atau hasil pendapat orang. Jadi berhenti bersikap otoriter padaku.”Rangga melesat, meraih pinggang Maura dengan cepat. “Apa yang ada di pikiranmu saat aku melakukan ini?” Kepalanya menunduk dengan cepat, menyerang Maura yang lengah.Belum sempat Maura memikirkan apa yang harus dilakukan, Rangga sudah melepaskannya. “Morning
Pertanyaan polos Alina membuat pandangan mata Maura kabur oleh airmata. Alina benar, anak adalah buah cinta kedua orang tuanya. Bukan buah kesalahan seperti yang ia dan Rangga lakukan. “Kak, malah bengong.” “Kami tidak saling kenal. Malam itu, pertama kali kami bertemu dan melakukan kesalahan. Setelah malam itu, kami tidak lagi berhubungan sampai Rangga datang mencariku dan mengetahui kehamilanku.” “Apa benar kata Mama, kalau kamu berniat menggugurkan bayimu?” tanya Alina terdengar ngeri. Maura mengangguk. “Ya, benar. Aku tidak berniat melahirkannya atau menuntut pertanggungjawaban Rangga karena kondisi kami berdua malam itu di bawah pengaruh obat. Oleh sebab itu, aku menyebutnya kesalahan.” Maura mengelus perutnya sekilas. “Pantas saja, Reno dibuat kelimpungan beberapa minggu karena tugas mustahil yang dibebankan padanya. Menemukan gadis dalam video yang sedang mengacungkan jari tengahnya di depan pintu penthouse miliknya.” “
Maura menggelengkan kepalanya yang terasa berat. Perasaan seperti ini pernah ia rasakan sebelumnya. Kesadarannya seketika kembali, saat mengingat malam itu. ‘Ya, seperti ini rasanya ketika aku tersadar dari obat tidur. Kepala pening, mata mengantuk, badan terasa lemas dan berat.’ Pandangannya masih kabur, Maura mengerjapkan mata beberapa kali menjernihkannya. ‘Di mana ini?’ Matanya mengedar. Maura sedang duduk terikat di sebuah kursi stainles yang banyak digunakan di ruang perkuliahan. Kakinya juga diikat erat. Ia berada di sebuah bangunan kosong yang nampaknya sudah lama tidak terpakai. Dari luar tidak terdengar suara lalu lalang kendaraan. ‘Bangunan kosong di daerah terpencil,’ batinnya menarik kesimpulan. ‘Berteriak minta tolong, bukan pilihan tepat.’ “Hei! Apakah ada orang?!” teriaknya lantang. Dua orang pria kekar dengan wajah tidak bersahabat bergegas menghampirinya. “Sudah bangun rupanya, Nona Cantik. Ada apa?!” ujar pri
“Apa yang kamu lakukan, Mel?! Ahh!” Maura memekik sambil menahan ngilu yang menembus lengannya. Kepala jarum itu begitu tajam, dengan mudahnya mengoyak kulit dan dagingnya. “Apa yang kamu suntikkan?! Wanita iblis!” desisnya marah. “Tenang, itu hanya setengah dari dosis yang dibutuhkan untuk mengeluarkan janinmu. Dua jam lagi aku akan naikkan dosisnya, kalau Rangga terlambat datang.” Amelia tersenyum puas melihat tatapan marah Maura. “Kenapa? Merasa tidak berdaya? Marah aja, Ra. Sorot matamu seperti ingin menelanku hidup-hidup.” Amelia tergelak, tawa bahagia yang menjijikkan. “Jangan sentuh anakku. Kalau kamu mau pukul, pukul aku, lepaskan dia.” “Kenapa? Takut Rangga menceraikanmu kalau bayi itu sudah tidak ada? Bukannya kamu berencana membuangnya? Harusnya kamu terima kasih, karena aku membantu mewujudkan harapanmu.” Amelia tersenyum culas. Amelia menutup kepala jarumnya dan meletakkannya kembali ke dalam kotak stainles. Membersihkan tangannya
Vila Danutirta, Bandung“Gimana, Han? sudah dapat tiket pesawatnya?” tanya Jelita gelisah. “Kasihan Alina dan Rangga, mereka belum pernah menemani ibu bersalin, pasti bingung dan panik.” Jelita mondar-mandir seperti kain pel.“Belum, Bu. Penerbangan hari ini penuh semua. Tiket kereta juga ludes sampai besok,” lapor Hanna tak kalah gelisah.“Haduh ... kenapa bisa habis semua di saat seperti ini? Galih, kamu sudah hubungi Galih dan Reno? Biasanya otak pria bisa berpikir cepat saat situasi mendesak begini.”Hanna menggeleng. “Mas Galih dan Reno sedang berada di kawasan proyek, Bu. Ponselnya dinonaktifkan.”“Astaga, ya Allah Gusti ...! Kok bisa barengan begini, sih?!” Jelita menepuk kedua pahanya putus asa.Yuki yang tidak mengerti apa yang sedang terjadi, hanya bengong sambil kepalanya bergerak mengikuti Hanna dan Jelita bergantian.Jelita melambaikan tangannya denga
Rangga sedang iseng mengintip isi kantong belanjaan yang tergeletak di atas ranjang manakala telinganya mendengar seruan panik dari dalam kamar mandi. Rangga bergegas ke kamar mandi, melihat Maura sedang berdiri berpegang erat pada pinggiran wastafel, tapi mimiknya tidak menyiratkan kesakitan, membuat Rangga menurunkan kewaspadaannya.“Ada apa?” tanya Rangga tenang.“Balonnya meletus,” ucap Maura bingung.Rangga mengedarkan pandangan ke arah langit-langit, mencari bohlam yang pecah. “Mana? Gak ada yang pecah, kok.”“Ini, yang di sini.” Maura menunjuk ke bawah kakinya.“Astaga! Ini balon apa yang pecah, kok isinya air keruh?!” panik Rangga. “Jangan-jangan ... ini ketuban, ya?” tebak Rangga sambil menatap Maura meminta penjelasan.“Sepertinya begitu.”Rangga bergegas mengangkat Maura, membawanya keluar dan membaringkannya di ranjang.“Jangan
“Hoek, hoek!” Maura bersandar lemas di depan pantry dengan kran menyala deras. Di sampingnya, Alina dengan telaten memijat lembut tengkuknya. “Maura kenapa, Al?” Rangga yang penuh keringat setelah bermain tenis bersama Kirman terlihat cemas. “Entahlah, sejak tadi pagi sudah begini.” Alina meraih selembar tisu untuk mengusap peluh yang membasahi leher dan dahi Maura. “Sini, biar aku saja.” Rangga menggantikan Alina, memijit tengkuk dan mengusap peluh. “Masih mau muntah?” tanyanya lembut. Maura menggeleng. “Aku mau duduk, Kak.” Rangga dengan sigap menggendong Maura, membawanya ke kursi goyang kayu kesayangan eyang kakungnya. “Duduk sini dulu, aku ambilkan minum.” “Aku mau teh lemon madu hangat,” sahut Maura cepat. “Oke, segera datang.” Rangga melesat kembali ke dapur bersih dan sibuk menyiapkan teh yang Maura minta. “Kak, apa masih ingin muntah? Perlu aku ambilkan baskom kecil?” tanya Alina seraya mendekat.
Rangga, Hanna dan Galih kompak mengernyit jijik melihat isi gelas yang Jelita sodorkan ke depan Maura. Sedangkan wanita hamil itu, dengan mata membeliak, mengintip ke dalam gelas dan penasaran pada isinya.“Sudah, jangan intip-intip. Minum!” desak Jelita lagi.Maura memasang wajah memelas. “Eyang, boleh tidak kita lewati saja tradisi yang ini?”Jelita menggeleng.“Kalau minumnya setelah makan?” tawar Maura lagi.“Bisa-bisa kamu makin eneg dan muntah nanti,” celetuk Rangga, membayangkan dirinya yang meminum ramuan Jelita.Maura mendelik marah ke arah Rangga yang memasang wajah tanpa dosa. “Kalau begitu, biar dia saja yang mewakili Maura, Eyang!” ketus Maura sambil terus menatap Rangga kesal.“Hush! Yang hamil kamu, yang lahiran kamu, masa’ iya yang minum jamu Rangga?” Jelita tersenyum memahami kekesalan Maura, tapi gelas di tangannya tetap teguh di depan waja
Jelita tersentak melihat Maura berdiri di tengah ruangan dengan lengan menggamit Rangga dan tangan lainnya menggandeng Yuki. Di belakangnya, ada Hanna dan Galih. “Lho, kalian?” heran Jelita sampai tidak bisa berkata-kata. Warsih yang pertama kali tanggap, menarik lengan Kirman dan Barno untuk membawa koper tamunya masuk. “Ayo, kopernya diurus dulu,” bisiknya memberi perintah. “Trus, urusan cacing ini gimana, Mbak?” protes Barno. “Tahan dulu!” hardik Warsih sambil melotot kesal. “Ehhem! Kalian ke belakang dulu, buatkan Maura minuman hangat.” Kumpulan abdi dalem itu pun membubarkan diri dengan wajah penasaran tentang apa yang terjadi pada majikannya. Jelita berdiri, mempersilakan tamunya duduk di sofa tengah. Sikapnya kaku dan canggung, membuat Galih dan lainnya merasa makin bersalah. “Kenapa tiba-tiba datang tanpa kasih tahu dulu? Ada apa?” tanya Jelita datar. Galih dan Hanna duduk mengapit Jelita. “Bu, kami datang untuk
Puri Mangkunegaran 15, Yogyakarta“Sih, Warsih! Ayo, jangan lama-lama. Keburu siang nanti.” Jelita berpaling ke belakang sambil merapikan sanggulnya.Warsih tergopoh-gopoh masuk dari pintu belakang. “Maaf, Ndoro. Saya baru selesai bantu Kirman motong ayam,” ujarnya sambil membenahi kebayanya yang berantakan.“Ya, sudah. Tolong kamu panggilkan Barno, minta dia untuk mengantar kita ke pasar.” Jelita menjinjing tas belanja yang terbuat dari anyaman plastik warna-warni kesayangannya dan berjalan mendahului Warsih ke teras.Nyatanya, Barno sedang sibuk mengelap mobil kuno warna hijau pastel yang bagian atasnya berbentuk lengkung. Melihat majikannya mendekat, Barno bergegas membuka pintu penumpang.“Sudah selesai bersih-bersihnya?” tanya Jelita seraya memeriksa hasil kerja abdinya.“Sampun, Ndoro.” Barno memeras kanebo sebelum memasukkannya ke dalam kotak plastik warna k
“Kenapa? Gak suka aku temani? Atau aku ganggu momen kamu ketemuan sama mantan pacar?” goda Rangga dengan wajah serius.“Kamu becanda apa beneran, sih? Kok serius banget mukanya?” panik Maura. “Aku ketemuan sama Rissa, bukan Evan, itupun karena gak sengaja. Dan Evan bukan mantan pacarku, Kak.”Rangga tergelak. “Oke, percaya. Masih mau ngobrol atau kita pulang sekarang?” tawar Rangga seraya bangkit dari kursi. Ekor matanya menangkap sososk Evan sedang mencari mereka.“Pulang.” Maura meraih tasnya dan mencium pipi Rissa sekilas. “Kapan-kapan kita sambung lagi,” pamitnya.Sret.Sejurus kemudian, Maura sudah berada dalam dekapan lengan kokoh Rangga. Kedua matanya melebar seolah bertanya apa yang sedang Rangga lakukan.“Biar lebih cepat!” sahut Rangga singkat. “Mang, tolong belanjaannya, ya.”Jajang keluar dari balik pilar besar dan mengangguk sa
Ibu jari Galih berhenti bergerak, diam terpaku di tulang pipi Hanna. Jelas sekali bahwa dia terkejut mendengar berita perihal kepulangan Jelita.“Ibu pulang? Kapan? Kenapa?”“Pagi tadi, kata Jajang. Alasan pastinya aku tidak tahu, tapi dari nada bicaranya saat menelfonku pagi ini, sepertinya ibu kecewa pada kita.” Hanna tertunduk sedih. “Selama lebih tiga puluh tahun menjadi menantunya, belum pernah aku dengar nada kecewanya terlontar untukku.”“Han, lihat aku.” Galih menarik dagu Hanna naik. “Kita tidak bisa selalu memuaskan orang lain. Tidak apa-apa terkadang salah dan mengecewakan, kita manusia.”Hanna tahu, suaminya berusaha menghiburnya, tapi kata-katanya makin membuat Hanna terbebani. “Apa kamu tahu salah kita di mana, Mas? Apa karena kita tidak memberitahunya tentang Alina? Aku tidak menyangka ibu akan begitu kecewa, padahal—.”“Stt, sudah. Jangan terus memik
Ruang VVIPAlina sudah kembali ke ruang perawatan. Dua jam di dalam ruang tindakan, membuat Maura menggigil karena terpaan AC dan ingatan masa lalu yang menghantuinya tanpa henti. Hanna tampak cemas melihat anak dan menantunya sama-sama pucat.“Ra, apa perlu mama minta Tante Siska buka satu kamar buat kamu?” Hanna meremas jemari Maura yang dingin.“Tidak perlu, Ma. Sebentar lagi juga mendingan,” kilah Maura sambil memasang senyum.“Ren, Reno!” Hanna meninggikan suaranya agar Reno terbangun.“Ehh, ya? Ada apa, Ma?” gagap Reno.“Ada apa gimana, sih? Tolong kamu jaga Alina, ini Maura kedinginan.” Hanna kesal dengan sikap menantunya.Reno bergegas menghampiri ranjang dan memeriksa keadaan istrinya. Sesekali menutup mulutnya yang tidak berhenti menguap.Beruntung Rangga datang dan mengambil alih perawatan Maura, meringankan kecemasan Hanna. Ketika dua pasang anak mantunya s