Maura menggelengkan kepalanya yang terasa berat. Perasaan seperti ini pernah ia rasakan sebelumnya. Kesadarannya seketika kembali, saat mengingat malam itu.
‘Ya, seperti ini rasanya ketika aku tersadar dari obat tidur. Kepala pening, mata mengantuk, badan terasa lemas dan berat.’
Pandangannya masih kabur, Maura mengerjapkan mata beberapa kali menjernihkannya. ‘Di mana ini?’
Matanya mengedar. Maura sedang duduk terikat di sebuah kursi stainles yang banyak digunakan di ruang perkuliahan. Kakinya juga diikat erat. Ia berada di sebuah bangunan kosong yang nampaknya sudah lama tidak terpakai. Dari luar tidak terdengar suara lalu lalang kendaraan.
‘Bangunan kosong di daerah terpencil,’ batinnya menarik kesimpulan. ‘Berteriak minta tolong, bukan pilihan tepat.’
“Hei! Apakah ada orang?!” teriaknya lantang.
Dua orang pria kekar dengan wajah tidak bersahabat bergegas menghampirinya.
“Sudah bangun rupanya, Nona Cantik. Ada apa?!” ujar pri
“Apa yang kamu lakukan, Mel?! Ahh!” Maura memekik sambil menahan ngilu yang menembus lengannya. Kepala jarum itu begitu tajam, dengan mudahnya mengoyak kulit dan dagingnya. “Apa yang kamu suntikkan?! Wanita iblis!” desisnya marah. “Tenang, itu hanya setengah dari dosis yang dibutuhkan untuk mengeluarkan janinmu. Dua jam lagi aku akan naikkan dosisnya, kalau Rangga terlambat datang.” Amelia tersenyum puas melihat tatapan marah Maura. “Kenapa? Merasa tidak berdaya? Marah aja, Ra. Sorot matamu seperti ingin menelanku hidup-hidup.” Amelia tergelak, tawa bahagia yang menjijikkan. “Jangan sentuh anakku. Kalau kamu mau pukul, pukul aku, lepaskan dia.” “Kenapa? Takut Rangga menceraikanmu kalau bayi itu sudah tidak ada? Bukannya kamu berencana membuangnya? Harusnya kamu terima kasih, karena aku membantu mewujudkan harapanmu.” Amelia tersenyum culas. Amelia menutup kepala jarumnya dan meletakkannya kembali ke dalam kotak stainles. Membersihkan tangannya
“Sudah kamu temukan lokasinya?” tanya Rangga begitu masuk ke dalam mobil.“Sudah, Bos.”“Bagus, ayo berangkat.”Reno mengarahkan mobilnya mengikuti GPS lokasi yang dikirimkan tim pengintai markasnya. Melihat air muka bosnya, Reno memilih diam. Tidak memberitahukan kondisi terakhir Maura di dalam gedung. Sebelum Rangga masuk ke dalam mobil, salah satu timnya melapor bahwa dia mendengar jeritan yang ditengarai sebagai suara Maura.“Rem!” Hardik Rangga. “Ke mana pikiranmu, Ren?! Fokus!”“Maaf, Bos.”Mereka sampai di lokasi yang dituju setengah jam kemudian. Reno menghentikan mobilnya di bawah pohon yang rindang, berjarak tiga ratus meter dari bangunan kosong tempat Maura disandera.“Gedung di depan sana, Bos!” tunjuk Reno lurus ke depan.“Oke, siapkan semuanya. Aku akan masuk sekarang.” Rangga meraih tas kerja hitam di sampingnya seraya
“Maaf, tidak ada yang bisa kita lakukan. Obat perangsang persalinan yang disuntikkan sudah melebihi dosis. Saat ini, sedang proses peluruhan janin. Jantungnya sudah berhenti berdetak.” Siska menguatkan hatinya mengatakan yang sedang terjadi pada dua keponakannya.Kata-kata dokter Siska memberi sengatan kekuatan pada Maura. “TIDAK! Selamatkan dia, Kak. Aku janji, aku akan bersikap baik padamu. Tolong, Kak!” Maura berteriak, menarik lengan Rangga, memukulnya.Rangga memeluk istrinya dengan lengan lainnya. Hatinya perih, matanya panas. Tidak ada hati yang masih bisa membeku melihat tangis sedih dan jerit marah Maura.‘Aku akan balas mereka, Ra!’“Maafkan aku, Ra.”“Tidak, aku tidak akan memaafkanmu! Selamatkan dia, Kak!” Maura terus memukul punggung Rangga dengan kepalan tangannya. “Dokter, lakukan sesua-tu….” Maura terkulai lemas.“Ra, Maura. Tante, dia kenapa
“Hehh! Kenapa kamu bisa di sini? Bukannya kamu bilang sudah pergi jauh dari Jakarta?” Amelia melotot kesal.“Anak buah Rangga menangkap saya, Mbak. Saya sudah keliling kota hanya untuk menarik tunai uang yang Mbak kirimkan agar tidak bisa dilacak. Mbak sendiri kenapa bisa tertangkap?”“Aku lebih berani dari kamu. Aku menculik istri Rangga dan membuatnya kehilangan bayi yang dikandungnya.” Amel tersenyum bangga ketika mengatakannya. Senyumnya kian lebar melihat Bayu mengernyit ngeri ke arahnya.“Aku sudah pernah katakan padamu, aku menyimpan dendam yang besar pada wanita itu.”“Ranggapati tidak akan melepaskanmu dengan mudah, Mbak.”“Tidak masalah. Asal aku sudah membalas sakit hatiku, tidak masalah bagiku. Dan aku pikir, Rangga bukan tipe pria bejat yang tega menyakiti wanita. Buktinya, dia sama sekali tidak menyentuhku.”“Mbak terlalu memandang remeh Ranggapati Da
“Kak, dia baik-baik saja, ‘kan?” Maura mengulang pertanyaannya. “Kenapa diam?”“Dia baik, sangat baik. Kamu tenang saja. Tidurlah, kamu pasti masih mengantuk.” Rangga mengusap lembut anak rambut yang lengket di kening Maura.Maura menekuk jarinya, meminta Rangga mendekat. “Aku lapar, Kak,” bisiknya.“Tan, apa dia sudah boleh makan?” Rangga berbalik menatap Siska.“Minum yang hangat dulu. Kalau tidak mual, muntah, bisa lanjut makan.”“Ren, tolong belikan minuman dan makanan hangat.”“Tidak, aku mau kamu yang belikan. Aku ingin minum teh hangat dan makan nasi rawon.”Rangga mengernyit sejenak sebelum akhirnya mengangguk dan keluar kamar diikuti Reno. Setelah Rangga pergi, Alina duduk di samping ranjang dan meraih tangan Maura.“Kak, maafkan aku. Kalau bukan karena aku memaksamu keluar bersamaku, semua ini tidak akan terjadi
“Kak,” “Apa?” Rangga berbalik. “Aku rasa, sebaiknya kita urus pembatalan pernikahan.” Rangga mengernyit. “Pembatalan pernikahan?” Kakinya melangkah cepat menghampiri Maura. “Apa maksud perkataanmu, coba jelaskan padaku.” Maura menata hatinya sebelum membuka mulutnya. Tapi, bibirnya hanya sedikit terbuka, tanpa bisa mengeluarkan kata. “APA?” emosi Rangga mulai meningkat. “Sudah tidak ada alasan bagi kita untuk terus bersama.” Desahan napas dan mata yang terpejam, sudah cukup memberi tanda bahwa Maura menyesali kalimatnya. “Jangan keterlaluan. Aku sudah cukup bersabar menghadapimu. Kalau keputusanku menyetujui kuret membuatmu marah, aku bisa mengerti. Marah saja, luapkan emosimu.” Rangga menyugar rambutnya dengan kesal. “Dengar, aku sudah pernah katakan padamu. Ini bukan pernikahan kontrak seperti dalam drama atau perjanjian bisnis yang biasa kita tangani. Ini pernikahan, hanya pernikahan. Jadi, apapun yang akan t
“Bawa dia ke Rumah Sakit. Awasi dengan ketat, jangan sampai dia melarikan diri!” Rangga membanting gagang telepon di tangannya.“Ada apa, Bos?”“Kamu hubungi Potter, tanyakan ke mana mereka membawa Amelia. Wanita gila itu, nekat menggigit lidahnya sendiri.”“Baik.” Reno melangkah cepat melintasi ruangan.“Sial!”Ponsel Rangga berdering.[Maura calling ….]“Halo.”Tidak ada jawaban dari seberang, hanya terdengar tarikan dan embusan napas.“Ra, are you okay?”[I’m okay. Hanya saja, aku tidak bisa menyalakan lampunya. Aku tidak bisa menemukan saklar dan tepuk tanganku tidak berhasil membuat lampunya menyala.]“Oke, tunggu. Aku pulang sekarang.” Rangga tersenyum melihat celah untuk mendebat keputusan Maura.Lima menit kemudian, Rangga sudah duduk di sofa kamarnya, berhad
“Tan, bagaimana kondisi Maura?”“Dia baik-baik saja. Hanya saja, dia mengalami guncangan emosi yang berlebihan. Kalian bertengkar lagi?” Siska memicingkan mata ke arah Rangga.“Tidak, dia marah bukan padaku.”“Sudah Tante pesan berulang kali, kamu harus lebih bersabar menghadapinya. Dia baru saja kehilangan calon bayinya, itu sangat berat untuknya.”“Ya, aku ngerti.”“Mengerti saja tidak cukup, Ranggapati. Dia butuh rasa aman dan nyaman. Temani dia, jangan berani beranjak dari kursimu.”Rangga hanya mengangguk mendengar perintah Siska. Tangannya merogoh saku celana, mengambil ponsel dan menghubungi Reno.“Bagaimana kondisinya?”[Sudah sadar, Bos. Dan ternyata bukan lidahnya yang dia gigit, tapi bagian dalam mulutnya.]“Dasar wanita licik!” Rangga mengumpat marah. “Tunggu Maura sadar, aku akan menemuimu. Jangan lupa, samp
Vila Danutirta, Bandung“Gimana, Han? sudah dapat tiket pesawatnya?” tanya Jelita gelisah. “Kasihan Alina dan Rangga, mereka belum pernah menemani ibu bersalin, pasti bingung dan panik.” Jelita mondar-mandir seperti kain pel.“Belum, Bu. Penerbangan hari ini penuh semua. Tiket kereta juga ludes sampai besok,” lapor Hanna tak kalah gelisah.“Haduh ... kenapa bisa habis semua di saat seperti ini? Galih, kamu sudah hubungi Galih dan Reno? Biasanya otak pria bisa berpikir cepat saat situasi mendesak begini.”Hanna menggeleng. “Mas Galih dan Reno sedang berada di kawasan proyek, Bu. Ponselnya dinonaktifkan.”“Astaga, ya Allah Gusti ...! Kok bisa barengan begini, sih?!” Jelita menepuk kedua pahanya putus asa.Yuki yang tidak mengerti apa yang sedang terjadi, hanya bengong sambil kepalanya bergerak mengikuti Hanna dan Jelita bergantian.Jelita melambaikan tangannya denga
Rangga sedang iseng mengintip isi kantong belanjaan yang tergeletak di atas ranjang manakala telinganya mendengar seruan panik dari dalam kamar mandi. Rangga bergegas ke kamar mandi, melihat Maura sedang berdiri berpegang erat pada pinggiran wastafel, tapi mimiknya tidak menyiratkan kesakitan, membuat Rangga menurunkan kewaspadaannya.“Ada apa?” tanya Rangga tenang.“Balonnya meletus,” ucap Maura bingung.Rangga mengedarkan pandangan ke arah langit-langit, mencari bohlam yang pecah. “Mana? Gak ada yang pecah, kok.”“Ini, yang di sini.” Maura menunjuk ke bawah kakinya.“Astaga! Ini balon apa yang pecah, kok isinya air keruh?!” panik Rangga. “Jangan-jangan ... ini ketuban, ya?” tebak Rangga sambil menatap Maura meminta penjelasan.“Sepertinya begitu.”Rangga bergegas mengangkat Maura, membawanya keluar dan membaringkannya di ranjang.“Jangan
“Hoek, hoek!” Maura bersandar lemas di depan pantry dengan kran menyala deras. Di sampingnya, Alina dengan telaten memijat lembut tengkuknya. “Maura kenapa, Al?” Rangga yang penuh keringat setelah bermain tenis bersama Kirman terlihat cemas. “Entahlah, sejak tadi pagi sudah begini.” Alina meraih selembar tisu untuk mengusap peluh yang membasahi leher dan dahi Maura. “Sini, biar aku saja.” Rangga menggantikan Alina, memijit tengkuk dan mengusap peluh. “Masih mau muntah?” tanyanya lembut. Maura menggeleng. “Aku mau duduk, Kak.” Rangga dengan sigap menggendong Maura, membawanya ke kursi goyang kayu kesayangan eyang kakungnya. “Duduk sini dulu, aku ambilkan minum.” “Aku mau teh lemon madu hangat,” sahut Maura cepat. “Oke, segera datang.” Rangga melesat kembali ke dapur bersih dan sibuk menyiapkan teh yang Maura minta. “Kak, apa masih ingin muntah? Perlu aku ambilkan baskom kecil?” tanya Alina seraya mendekat.
Rangga, Hanna dan Galih kompak mengernyit jijik melihat isi gelas yang Jelita sodorkan ke depan Maura. Sedangkan wanita hamil itu, dengan mata membeliak, mengintip ke dalam gelas dan penasaran pada isinya.“Sudah, jangan intip-intip. Minum!” desak Jelita lagi.Maura memasang wajah memelas. “Eyang, boleh tidak kita lewati saja tradisi yang ini?”Jelita menggeleng.“Kalau minumnya setelah makan?” tawar Maura lagi.“Bisa-bisa kamu makin eneg dan muntah nanti,” celetuk Rangga, membayangkan dirinya yang meminum ramuan Jelita.Maura mendelik marah ke arah Rangga yang memasang wajah tanpa dosa. “Kalau begitu, biar dia saja yang mewakili Maura, Eyang!” ketus Maura sambil terus menatap Rangga kesal.“Hush! Yang hamil kamu, yang lahiran kamu, masa’ iya yang minum jamu Rangga?” Jelita tersenyum memahami kekesalan Maura, tapi gelas di tangannya tetap teguh di depan waja
Jelita tersentak melihat Maura berdiri di tengah ruangan dengan lengan menggamit Rangga dan tangan lainnya menggandeng Yuki. Di belakangnya, ada Hanna dan Galih. “Lho, kalian?” heran Jelita sampai tidak bisa berkata-kata. Warsih yang pertama kali tanggap, menarik lengan Kirman dan Barno untuk membawa koper tamunya masuk. “Ayo, kopernya diurus dulu,” bisiknya memberi perintah. “Trus, urusan cacing ini gimana, Mbak?” protes Barno. “Tahan dulu!” hardik Warsih sambil melotot kesal. “Ehhem! Kalian ke belakang dulu, buatkan Maura minuman hangat.” Kumpulan abdi dalem itu pun membubarkan diri dengan wajah penasaran tentang apa yang terjadi pada majikannya. Jelita berdiri, mempersilakan tamunya duduk di sofa tengah. Sikapnya kaku dan canggung, membuat Galih dan lainnya merasa makin bersalah. “Kenapa tiba-tiba datang tanpa kasih tahu dulu? Ada apa?” tanya Jelita datar. Galih dan Hanna duduk mengapit Jelita. “Bu, kami datang untuk
Puri Mangkunegaran 15, Yogyakarta“Sih, Warsih! Ayo, jangan lama-lama. Keburu siang nanti.” Jelita berpaling ke belakang sambil merapikan sanggulnya.Warsih tergopoh-gopoh masuk dari pintu belakang. “Maaf, Ndoro. Saya baru selesai bantu Kirman motong ayam,” ujarnya sambil membenahi kebayanya yang berantakan.“Ya, sudah. Tolong kamu panggilkan Barno, minta dia untuk mengantar kita ke pasar.” Jelita menjinjing tas belanja yang terbuat dari anyaman plastik warna-warni kesayangannya dan berjalan mendahului Warsih ke teras.Nyatanya, Barno sedang sibuk mengelap mobil kuno warna hijau pastel yang bagian atasnya berbentuk lengkung. Melihat majikannya mendekat, Barno bergegas membuka pintu penumpang.“Sudah selesai bersih-bersihnya?” tanya Jelita seraya memeriksa hasil kerja abdinya.“Sampun, Ndoro.” Barno memeras kanebo sebelum memasukkannya ke dalam kotak plastik warna k
“Kenapa? Gak suka aku temani? Atau aku ganggu momen kamu ketemuan sama mantan pacar?” goda Rangga dengan wajah serius.“Kamu becanda apa beneran, sih? Kok serius banget mukanya?” panik Maura. “Aku ketemuan sama Rissa, bukan Evan, itupun karena gak sengaja. Dan Evan bukan mantan pacarku, Kak.”Rangga tergelak. “Oke, percaya. Masih mau ngobrol atau kita pulang sekarang?” tawar Rangga seraya bangkit dari kursi. Ekor matanya menangkap sososk Evan sedang mencari mereka.“Pulang.” Maura meraih tasnya dan mencium pipi Rissa sekilas. “Kapan-kapan kita sambung lagi,” pamitnya.Sret.Sejurus kemudian, Maura sudah berada dalam dekapan lengan kokoh Rangga. Kedua matanya melebar seolah bertanya apa yang sedang Rangga lakukan.“Biar lebih cepat!” sahut Rangga singkat. “Mang, tolong belanjaannya, ya.”Jajang keluar dari balik pilar besar dan mengangguk sa
Ibu jari Galih berhenti bergerak, diam terpaku di tulang pipi Hanna. Jelas sekali bahwa dia terkejut mendengar berita perihal kepulangan Jelita.“Ibu pulang? Kapan? Kenapa?”“Pagi tadi, kata Jajang. Alasan pastinya aku tidak tahu, tapi dari nada bicaranya saat menelfonku pagi ini, sepertinya ibu kecewa pada kita.” Hanna tertunduk sedih. “Selama lebih tiga puluh tahun menjadi menantunya, belum pernah aku dengar nada kecewanya terlontar untukku.”“Han, lihat aku.” Galih menarik dagu Hanna naik. “Kita tidak bisa selalu memuaskan orang lain. Tidak apa-apa terkadang salah dan mengecewakan, kita manusia.”Hanna tahu, suaminya berusaha menghiburnya, tapi kata-katanya makin membuat Hanna terbebani. “Apa kamu tahu salah kita di mana, Mas? Apa karena kita tidak memberitahunya tentang Alina? Aku tidak menyangka ibu akan begitu kecewa, padahal—.”“Stt, sudah. Jangan terus memik
Ruang VVIPAlina sudah kembali ke ruang perawatan. Dua jam di dalam ruang tindakan, membuat Maura menggigil karena terpaan AC dan ingatan masa lalu yang menghantuinya tanpa henti. Hanna tampak cemas melihat anak dan menantunya sama-sama pucat.“Ra, apa perlu mama minta Tante Siska buka satu kamar buat kamu?” Hanna meremas jemari Maura yang dingin.“Tidak perlu, Ma. Sebentar lagi juga mendingan,” kilah Maura sambil memasang senyum.“Ren, Reno!” Hanna meninggikan suaranya agar Reno terbangun.“Ehh, ya? Ada apa, Ma?” gagap Reno.“Ada apa gimana, sih? Tolong kamu jaga Alina, ini Maura kedinginan.” Hanna kesal dengan sikap menantunya.Reno bergegas menghampiri ranjang dan memeriksa keadaan istrinya. Sesekali menutup mulutnya yang tidak berhenti menguap.Beruntung Rangga datang dan mengambil alih perawatan Maura, meringankan kecemasan Hanna. Ketika dua pasang anak mantunya s